Jari jemari saya menari lincah diatas permukaan layar sentuh itu. Sesekali mengetuk menu, atau juga menggeser dan memilih segala jenis informasi yang ditampilkan diatas layar selebar lebih dari 50 inchi itu. Memang tidak terlalu banyak informasi yang tersedia dimasing-masing layar menu, namun setidaknya sudah cukup membuat saya tersenyum puas. Karena layanan informasi berupa touchscreen ukuran besar ini tersedia sebagai sebuah fasilitas informasi di sebuah museum Indonesia. Yaa… betul… tepatnya di Museum Nasional Benteng Vredeburg Jogjakarta.
Menjadi salah satu dari beberapa bangunan kuno di area Titik Nol Kilometer pusat kota Jogja, Benteng yang dibangun pada tahun 1760-an ini berdiri kokoh hingga saat ini. Terletak berhadapan dengan Gedung Agung (salah satu Istana Kepresidenan yang ada di Indonesia), Benteng Vredeburg merupakan museum yang kerap menjadi jujugan pelajar sekolah selama wisata di kota Jogja. Seperti halnya saya, dengan membayar tiket masuk Cuma 2000 rupiah. Saya memuaskan diri menjelajah satu demi satu ruangan yang ada di dalam kompleks benteng.
Setelah melewati gerbang disisi Barat, saya disambut oleh halaman luas memanjang kearah Timur. Dengan bangunan-bangunan kembar dikiri kanannya, semakin memperkuat konsep simetris dari bangunan berbentuk persegi ini. Masing-masing bangunan menyimpan banyak barang bernilai sejarah. Terutama koleksi asli berupa senjata, pakaian perang, bahkan alat-alat rumah tangga. Juga ada koleksi berupa foto maupun diorama yang menggambarkan perjalanan perjuangan bangsa Indonesia. Diorama itu dibuat demikian detail dan ekspresif sehingga cukup memuaskan para pengunjung. Namun jujur saja, yang membuat saya puas dan bangga adalah sistim informasi layar sentuhnya itu, benar-benar berkelas…!! Hahaha…
Puas berkeliling didalam masing-masing ruangan, saya mencoba beralih menikmati suasana diluar. Sembari memperhatikan bentuk arsitektural bangunan, pula menikmati penataan landscape benteng yang cukup sederhana, dan sekali lagi… semua nyaris Simetris.
Dikelilingi oleh tembok yang kokoh disemua sisi, dan beberapa lubang-lubang intai diujungnya. Segala akses didalam benteng dibuat demikian mudah, banyak undak-undakan, trap tangga, lantai yang dibuat tinggi untuk dudukan meriam, dan keempat sudutnya dilengkapi menara pantau. Semakin menunjukkan betapa kuatnya pertahanan benteng ini dari sisi dalam. Sementara area luar dikelilingi parit dan dinding yang tinggi licin. Kiranya pada masa itu sulit sekali bagi lawan untuk menembus kedalam, karena pastilah dengan mudah dibabat habis jauh sebelum mendekati benteng.
Sementara bagi yang didalam benteng, tentulah merasa sangat aman dengan kondisi pertahanan yang demikian kuat. Mungkin kondisi itulah yang awalnya membuat benteng ini dinamakan Benteng Rustenburg, artinya Benteng Peristirahatan. Karena mungkin tentara yang ada dalam barak secara psikologis merasa aman-aman saja sehingga lebih cocok beristirahat didalam barak. Hehehe.
Sembari membayangkan sebagai seorang komandan benteng, saya menaiki salah satu sisi tembok utara benteng. Terlihat dengan jelas area pasar Beringharjo yang ada di Utara benteng, begitu pula dengan sisi benteng yang lain. Memang keberadaan benteng ini sangat strategis, pantaslah jikalau dulu benteng ini dibangun sebagai reaksi Belanda atas keberadaan Kraton Jogja disebelah Selatan. Kekhawatiran Belanda akan segala perkembangan dalam Kraton, membuat mereka membangun Benteng yang katanya hanya berjarak sekali tembakan meriam dari Kraton Jogja.
Namun pada tahun-tahun selanjutnya, perkembangan politik di Kraton tidak terlalu mengkhawatirkan pihak Belanda. Sehingga pada tahun 1860-an, nama benteng diubah menjadi Vredeburg, atau Benteng Pedamaian. Seiring dengan adanya sedikit renovasi di beberapa bangunannya yang rusak karena Gempa.
Tapi kiranya saya tidak perlu berkisah panjang lebar mengenai asal-usul benteng ini, karena saya pikir anda bisa mendapatkan informasinya jauh lebih lebih lengkap melalui berbagai sumber di internet. Yang perlu saya tekankan, keberadaan benteng ini hanyalah sebuah bukti penggalan sejarah dimasa lalu. Terlepas dari tampilannya yang kokoh dan terkesan mengintimidasi, serta simbol Benteng selalu identik dengan Perang, Vredeburg adalah simbol wacana Perdamaian dimasa lalu. Biarlah para pelajar serta generasi muda yang mengunjunginya, bisa mengenal sejarah dan berusaha mewujudkan iklim Perdamaian di masa depan. Dan jari-jemari sayapun masih terus menari diatas layar sentuh raksasa itu, membuat iri dan dengki Hape touchscreen ukuran mini milik saya, yang sudah hampir dua jam dibiarkan merana dalam kantong celana. Hehehe.
Para tukang ojek itu berebut mendekati saya, “kemana mas…?? Prambanan…??” tanya mereka berulang-ulang. Sembari membetulkan ransel setelah tadi terpaksa menentengnya saat berada didalam bus TransJogja, saya dengan sopan menolak tawaran mereka. Agak berjalan menjauh dari terminal mungil Bus TransJogja area Prambanan, saya melirik jam tangan yang menunjuk pukul tiga sore. Segera saya mencangklong ransel, memakai topi lebar menahan panas, lantas melangkahkan kaki kearah selatan. Tidak ada tujuan lain saya di sore itu, kecuali menuju salah situs purbakala populer di Jogja, yakni Candi Ratu Boko.
Lokasi Candi yang terkenal dengan pemandangan saat sunset ini berada tidak jauh dari Kompleks Candi Prambanan. Hanya berjarak sekitar 6km sebelah selatan Prambanan. Anda bisa menjangkaunya menggunakan ojek, sewa mobil, atau bahkan membeli tiket terusan dari Prambanan dan nantinya akan diantar mobil ke lokasi Ratu Boko. Namun tidak demikian halnya dengan saya, sore itu saya bertekad menembus terik mentari dengan trekking menuju lokasi.
Bagi yang tidak terbiasa jalan kaki, tentu aktivitas ini amat sangat menyiksa. Namun setidaknya saya masih bisa sejenak “membuang” waktu agar supaya sampai dilokasi menjelang pukul 16.00 sore. Bagi saya, semakin sore keindahan Ratu Boko semakin mempesona, dan saya sudah berniat mendokumentasikan salah satu spot sunset terbaik di Jogja itu. Dan tak sampai 30 menit, Bukit Boko sudah terlihat diujung tikungan jalan. Bagi yang terbiasa menggunakan kereta api, bukit ini bisa terlihat disisi selatan rel kereta, sesaat setelah anda melewati stasiun Lempuyangan menuju kearah Solo.
Langkah kaki saya makin bersemangat, melintasi rel dan jembatan sungai penuh batu-batu menarik. Hingga tak lama saya telah tiba di gerbang utara Bukit Boko. Setelah membeli tiket masuk senilai 20 ribu rupiah, saya harus menaiki ratusan anak tangga untuk mencapai check-point yang berada sekitar 40 meter diatas sana. “Fuuhh….!! demi sunset di Ratu Boko, semua akan saya lalui”, demikian pikir saya.
Sampai di check point, saya disambut petugas yang menyobek tiket masuk. Dengan menyodorkan jatah air mineral botol, dia bertanya dengan sopan, “kok sendiri mas..? terus kendaraannya mana..?”
Dengan mengatur nafas yang sedikit tersengal, saya sampaikan bahwa saya seorang lone-traveller dan kebetulan pingin mencoba mengunjungi Ratu Boko dengan trekking. Saya sampaikan pula bahwa sebelumnya saya sudah trekking ke Candi Plaosan dan Prambanan, dan bapak itu mengangguk-angguk tersenyum, “yaa… silahkan masuk mas, mumpung belum tutup. Kita satu jam lagi sudah mau tutup”.
Akhirnya saya segera memasuki area kompleks Candi yang punya sejarah kental dengan Candi Prambanan itu. Konon menurut legenda, Candi Prambanan dibangun oleh Bandung Bondowoso demi ikrar cintanya kepada Loro Jonggrang, Putri Raja Boko, Penguasa istana Boko. Jadi jika dikaitkan dengan legenda yang ada, maka Candi Ratu Boko tak lain adalah sisa-sisa istana Kerajaan Boko.
Dari pintu masuk, anda akan berjalan menuju arah Timur dan menaiki gerbang yang sangat menarik. Seperti sisa-sisa reruntuhan Gapura pintu masuk menuju kerajaan Boko. Ini adalah salah satu spot favorit untuk berfoto. Dari balik gerbang batu ini, pemandangan kota Jogja yang berada disisi Barat terlihat seolah dibingkai oleh Gapura bernuansa Purbakala. Eksotis…!!
Setelah menaiki tangga dan melewati gerbang, kita disambut pemandangan hamparan rumput hijau yang luas, dan jika mengikuti jalan setapak terus kearah Timur, sampailah pada area Kraton Ratu Boko. Kebetulan saat itu sudah terlampau sore, tidak terlalu banyak pengunjung yang berada dalam kompleks candi. Sayapun leluasa membuka papan sketsa dan mulai menggores pensil diatas kertas, mencoba menerjemahkan Kraton Boko dalam sebuah sketsa. Sebuah panggung beralas batu dengan pagar keliling juga dari batu yang diukir, membawa khayalan saya pada dongeng Loro Jonggrang dimasa lampau.
Tidak begitu lama, saya masih menyempatkan diri menjenguk kolam bekas pemandian yang berada disisi Timur bangunan Kraton. Walau kondisinya sudah tidak terawat, namun keadaan kolam-kolam batu yang airnya demikian tenang itu menyiratkan bahwa area ini dulunya adalah area privasi dari Kraton Boko. Masih terlihat pagar batu berlumut yang mengelilingi kolam-kolam yang bentuknya sudah tak teratur itu, sekaligus menunjukkan betapa lama dan tua-nya situs purbakala ini.
Lamunan dan analisa iseng saya sontak buyar, tatkala seorang petugas keamanan candi memperingatkan kami bahwa sudah pukul 5 sore, dan candi akan ditutup. Dengan perasaan kecewa, saya dan empat orang pengunjung yang kebetulan berada disitu segera bergegas kembali ke pintu masuk. Dan bapak petugas itu melanjutkan aktivitasnya menyisir sekeliling kompleks, mengantisipasi andai ada pengunjung yang tertinggal. Mengingat jika menjelang gelap, dalam area candi di perbukitan luas ini tidak ada jaringan penerangan listrik yang memadai.
Saya berjalan kembali menuju pintu masuk, dan sebelum sampai pada gerbang gapura utama. Saya segera mengambil posisi untuk mengabadikan tenggelamnya matahari di area favorit itu. Kebetulan sekali sore itu ada sesi foto prewed dari sekelompok pengunjung, akhirnya sayapun seolah-olah “membonceng” menjadi bagian dari kru foto prewed sehingga tidak segera diusir keluar dari area Candi. Hehehe…
Sayangnya saya hanya membawa kamera Hape, tapi setidaknya langit sore itu cukup bersahabat, sehingga saya masih cukup puas dengan beberapa jepretan di kamera hape saya. “mas…, masnya mau jalan kaki lagi, sebaiknya saya antar aja ke Halte TransJogja, sudah gelap”, tawaran bapak petugas pintu masuk membuyarkan keasyikan saya menyeleksi foto-foto dalam hape. Ternyata hanya tinggal saya seorang pengunjung yang tersisa didalam candi, sementara waktu sudah menunjukkan pukul 18.00.
“Wah, terima kasih tawarannya pak. Kebetulan saya butuh tumpangan”, saya berseri dan segera mengikuti bapak petugas itu menuju area parkir motor karyawan. Dalam benak saya hanya ada satu kalimat, “Tiada senja hari yang istimewa di Jogja, selain menikmatinya dengan jejalan di Candi Ratu Boko”.
Dibangun semasa pemerintahan Sultan HB I (1755), tamansari merupakan kawasan pesanggrahan bagi Sultan dan keluarganya untuk beristirahat. Saya sendiri tidak tahu persis kapan Tamansari dibuka untuk umum. Tapi semenjak saya kecil, sekitar tahun 90-an, area Tamansari bisa dikunjungi oleh umum. Dan seperti halnya Keraton Jogja, Tamansari merupakan area living heritage yang patut dilestarikan.
[one-half-first]
[/one-half-first]
[one-half]
[/one-half]
Dengan tiket masuk seharga 2.000 rupiah, saya segera masuk melewati terowongan dibawah Gapuro Panggung yang kaya ornamen. Fantastik, jujur saya langsung terkagum-kagum dengan kondisi area pesanggrahan Tamansari yang sekarang jauh terlihat lebih bersih. Warna tembok seluruh bangunan dominan berwarna krem menyala, bahkan hiasan sepasang naga digerbang ini cukup detail dan membuat saya nyaris lupa untuk mencoba naik ke area puncak gapura. Dengan tangga dikiri kanan gerbang, saya berpuas-puas diri menikmati antrian pengunjung di loket pintu masuk.
Saya melanjutkan ke halaman dibalik Gapuro Panggung, yakni area terbuka berbentuk segidelapan dengan empat bangunan berdinding kokoh yang dikenal dengan Gedong Sekawan (Gedung Empat), masing-masing bangunan hanya seukuran pos jaga satpam perumahan, namun keberadaan tanaman dan pot-pot bunga yang ditata teratur dengan perkerasan di alasnya, membuat khayalan saya melambung pada kemewahan khas bangsawan di masa lalu.
Maju selangkah lagi kearah Barat, saya segera menuruni anak tangga di lorong lebar yang dipenuhi oleh pengunjung. Tepat diujung lorong saya segera disambut oleh cantiknya Pesanggrahan Umbul Binangun. Yaa.., area inilah yang konon menjadi ikon di Tamansari, sebuah tempat pemandian Sultan dan keluarganya. Yang mana terdiri atas dua kolam di sebelah Tengah dan Utara, serta sebuah Kolam lebih Privat lagi disisi Selatan yang dikelilingi tembok dan Tower khas Tamansari.
Kolam-kolam itu memang sangat indah, dinding kolam dan bangunan yang berwarna seragam, kremterang menyala. Bertemu dengan air yang tentunya mengandung lumut kehijauan, menciptakan warna air hijau muda yang menyegarkan mata. Apalagi beberapa sculpture teratai buatan yang memancurkan air, mengalirkan suara gemericik mempesona indera pendengaran. Sejenak saya mencari tempat duduk berteduh, menyiapkan pensil dan papan sketsa. Dan tanpa peduli tatapan ratusan pasang mata yang memadati Tamansari siang itu, tangan saya mulai bergerak lincah, seakan mengalir menggambar sketsa pensil tower Pesanggrahan Umbul Binangun.
Puas menikmati keindahan area utama Tamansari, saya beranjak terus kesisi Barat, menuju Gedong Gapura Agung dan menaiki puncak gerbangnya. Menurut cerita paman saya dulu, sebenarnya pintu masuk utama Tamansari ya dari Gapura Agung di sisi Barat ini. Sekilas memang mirip dengan Gerbang Gapura Panggung disisi Timur, namun ornamen ukirannya terlihat lebih ramai disini.
Terakhir, saya tidak lupa menyambangi bangunan tinggi berlantai tiga di sebelah utara. Dari sini saya bisa menikmati sekeliling pasar Ngasem dari atas. Namun sayangnya kondisi bangunan yang kalo tidak salah bernama Gedong Pulo Kenanga ini tidak seberuntung bangunan yang lain. Sebagian atap dan dindingnya runtuh karena faktor usia dan juga karena gempa. Pula saya kerap melihat di area sudut bangunan yang sepi, justru dijadikan tempat bercengkrama pasangan muda-mudi.
Tepat pukul 13.00 siang saya mengakhiri kunjungan di Tamansari, memang cukup lama blusukan disana. Tapi setidaknya sudah sangat memuaskan kerinduan saya setelah belasan tahun tidak menjenguk salah satu obyek menarik disebelah Barat keraton Jogja ini. Akhirnya, masih tetap berjalan kaki, saya memutuskan jejalan kearah Timur, menuju jalan Wijilan yang terkenal dengan sentra Gudeg-nya itu. Ternyata hampir tiga jam berpanas-panas ria, membuat saya keroncongan.
Semenjak pertengahan tahun 90-an, kuliner ini memang sudah lama menjadi makanan khas yang dijajakan disepanjang jalan utama Gempol – Pasuruan. Anda akan temukan puluhan kios yang menjual klepon disepanjang jalan wilayah Gempol, Wahyu Klepon, Lisa Klepon, Ridho Klepon, Klepon Barokah, Klepon Gangsar, dan banyak lagi yang lainnya.
Sejatinya, Klepon termasuk salah satu dari rangkaian Jajanan Pasar tradisional yang sudah ada sejak lama. Di pasar-pasar tradisional, Klepon dijual bersama jajanan lain semisal Cenil, Lupis, Gempo, Klanting, dan lain-lain.
Jajanan ini cocok buat anda yang sibuk, apalagi jika Anda sangat selo, akan sangat amat disarankan untuk mencoba. Untuk ceritanya silahkan baca artikel jadul kami disini saja ya . Selamat menikmati 🙂
Pukul sebelas malam saya sudah meluncur ke terminal Purabaya (Bungur AC) Surabaya, kali ini adalah trip dadakan ke Yogyakarta. Ya sebuah trip tanpa rencana yang matang sama sekali. Bahkan saya hanya packing sesaat sebelum berangkat saja. Sebuah tas daypack saya isi dengan dua buah t-shirt, sebuah kemeja, sebuah celana pendek serta tidak lupa sebuah tas kecil berisi kamera untuk ikut dimasukkan kedalamnya. Waktu itu hanya ingin menuruti kemana kaki ini akan melangkah di salah satu daerah istimewa Republik ini.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi saya masih belum mendapati bus Eka (Surabaya – Jogja) yang menjadi incaran untuk mengantarkan trip kali ini. Bersama banyak penumpang lain saya terlantar karena bus Patas ini tidak kunjung tersedia di Terminal. Beberapa tukang ojek secara persuasif menawarkan jasanya untuk langsung mengantri bus langsung dari Garasinya saja. Ya mengingat banyaknya penumpang yang bertujuan sama hendak ke Yogja pada jumat malam itu, banyak yang lebih memilih naik langsung dari garasi busnya.
Setiap kali ke Jogja saya lebih memilih bus Patas dibandingkan ekonomi. Pertimbangannya adalah lebih cepat dan nyaman untuk istirahat dalam perjalanan, selain itu jika di hitung tanpa mengambil menu makan ketika istirahat di tengah perjalanan perbandingan harga tiketnya hanya sekitar 12 ribu saja. Ya walaupun saya selalu mengambil jatah makannya sih. Lumayanlah untuk tambahan energi di perjalanan yang rata-rata menghabiskan waktu normal antara 6-7 jam ini. Dengan balutan rasa kantuk, saya memutuskan bergeser ke arah tempat tunggu bus Ekonomi. Lah… saya sempat terkejut, ternyata sama saja di lokasi tempat bus Ekonomi ini berangkat. Penumpang yang mengantri malah jauh lebih rame dan padat. Saya baru menyadari jika malam itu adalah awal weekend sebelum memasuki bulan Ramadhan. Wajar saja penumpangnya membludak. Ya mungkin beberapa hendak mudik dini untuk melaksanakan ritual ziarah ke makam kerabat yang mendahului mereka. Atau bisa jadi banyak yang memang berencana untuk meliburkan diri sebelum memulai aktivitas puasa.
Tepat setengah tiga pagi saya baru dapat naik ke bus Sumber Selamat, itupun setelah sedikit berebut dengan calon penumpang lain. Mendapatkan tempat duduk dekat jendela, maka segera saya beristirahat sejenak dengan menyandarkan kepala di kaca jendela. Yap kantuk yang menyergap segera membuat saya terlelap.
Entah waktu itu sudah sampai mana, tiba-tiba saya terbangun ketika hari sudah hampir terang, tetapi matahari belum juga menampakkan diri. Perkiraan saya sih hampir memasuki wilayah ngawi. Oke segera saya browsing destinasi via hape butut saya. Ya saya baru mencari destinasi ketika diatas bus yang melaju membawa badan saya ke Jogja. Setelah membaca secara singkat beberapa alternatif lokasi menarik, akhirnya pilihan mengerucut di sekitaran pantai Gunung Kidul. Maka saya putuskan menjelajah Pantai Wediombo, dengan pertimbangan info bahwa Wediombo memiliki garis pantai paling panjang dibandingkan pantai lain di kawasn Gunung Kidul.
Setelah fix dengan rutenya, saya melanjutkan beristirahat lagi, tetapi seringkali terbangun mendadak karena sebab kondisi jalanan yang mulai tidak rata dan juga cara mengemudi supir yang bak superhero… haha, maka istirahat diperjalananpun menjadi tidak bisa maksimal lagi.
Pukul 12 siang bus yang saya naiki baru memasuki terminal Giwangan, Yogyakarta. Setelah menyempatkan diri sarapan siang dengan Gudeg yang di jual dikantin terminal, saya melanjutkan perjalanan ke Kota Wonosari. Ya untuk menuju ke berbagai pantai di Gunung Kidul via transportasi umum, langkah pertama adalah kita harus ke Terminal Wonosari untuk berpindah kendaraan lain yang akan mengantarkan kita ke pantai tujuan. Cukup dengan membayar sejumalah uang 6.000 rupiah kita akan sampai terminal Wonosari. Pilihannya ada dua, bus besar atau bus kecil (minibus), keduanya sama saja, hanya saja bus yang agak besar relatif lebih membutuhkan waktu untuk menunggu penumpang penuh, sebelum busnya dapat berangkat.
Perjalanan dengan melintasi punggung Gunung Kidul cukup menarik, rerimbunan pohon dan kombinasi kontur tanah yang naik turun cukup menghibur mata. Dengan berjalan lambat dan menempuh perjalanan hampir satu setengah jam. Akhirnya Bus saya sampai juga di Terminal Wonosari. Setelah bertanya beberpa orang di terminal, akhirnya saya melanjutkan perjalanan dengan minibus ke arah Jepitu. Perjalanan dari Wonosari ke Jepitu di tempuh dengan waktu kira-kira satu jam lebih sedikit. Tarif yang berlaku seharusnya 6.000 rupiah juga, tetapi pak Supir meminta ongkos 10.000 rupiah. Sayapun tidak mau berdebat, karena fisik sudah cukup lelah dengan perjalanan yang terus sambung-menyambung semenjak semalam. Terlebih lagi hanya saya tinggal satu-satunya penumpang yang harus diantarkan hingga akhir tujuan.
Sebenarnya cukup kaget ketika sebelumnya penumpang lain memberitahu, bahwa bus ini adalah minibus terakhir yang berangkat menuju Jepitu. Ya mengingat Jepitu adalah desa kecil di Gunung Kidul maka tidak banyak penumpang yang menggunakan transportasi ini lagi, ketika hari mendekati malam. Dan seperti biasa ketika memutuskan untuk Jejalan, maka show must go on.Soal apakah ada transportasi balik ke Yogyakarta sore nanti?, itu diurus belakangan. Kalaupun harus menginap di pantai, saya tidak akan pernah keberatan.
Jarak pantai dari pemberhentian minibus tadi adalah 5 km. Dari info browsing dibus terdapat dua opsi untuk mencapai pantai, pertama jalan kaki kira-kira 30 menit, atau naik ojek dengan ongkos 5.000 rupiah. Dan benar saja setelah berjalan sejenak dan mencari hingga pertigaan jalan, sayapun mendapati ojek untuk mengantarkan mencapai destinasi akhir. Alhamdulillah saya tidak perlu melakukan opsi yang pertama, hehe.
Karena kedatangan saya saat itu sudah hampir sore. Pak Basri (kalau saya tidak salah ingat nama tukang ojeknya) menawari saya untuk dijemput kembali pada pukul lima. Maka beliaupun menjelaskan bahwa sudah tidak ada lagi ojek ataupun transportasi lain ketika hari sudah sore untuk kembali ke desa Jepitu.
“Kalau minibus ke arah Wonosari masih ada kan Pak?” tanya saya sebelum menjawab tawarannya.
“Haha… Masnya dari mana ya, kok sore hari baru berkunjung kesini?” beliau balik bertanya.
“Saya sih dari Surabaya Pak, dan ini langsung iseng lanjut kemari.” Jawab saya
“Ohh pantes, jadi belum pernah kemari rupanya, ya disini memang ketika sudah sore hari sudah tidak ada kendaraan umum yang beroperasi, ya karena memang tidak ada yang memakai, jadi mereka berhenti beroperasi daripada tekor setorannya… hehe.” kata beliau mencoba menjelaskan.
Sebenarnya percakapan yang terjadi diantara kami dalam bahasa jawa. Sayapun kemudian berusaha mengorek keterangan lebih jauh tentang kondisi disana. Setiba di parkiran pantai Wediombo sayapun mencoba menawarkan untuk belau bersedia untuk menjemput dan mengantarkan saya ke terminal Wonosari. Ya dengan sedikit negosiasi disepakatilah harga 50.000 rupiah untuk mengantar saya kepantai dan kemudian menjemput, sekaligus mengantarkan kembali saya ke Wonosari, yang berjarak kira-kira 40 km dari pantai ini. Lumayan jauh rupanya, haha.
Kesepakatan dengan Pak Basri membuat saya sangat lega ketika harus mengeksplorasi pantai yang masih alami ini. Alami dalam artian belum banyak di eksplorasi, hal itu terlihat masih sedikit bangunan penunjang disekitar lokasi pantai. Ketika saya mencoba memandangi sekilas kondisi pantainya, ternyata masih banyak sampah dedaunan dan ranting yang tersebar di pantai. Sekilas terlihat kotor memang, tetapi itulah tanda kalau pantai ini memang masih cukup alami. Kombinasi tanah berpasir putih diselingi batuan karang dengan variasi berbagai ukuran membuatnya unik. Anda akan kecewa jika mengharapkan kondisi pasirnya selembut seperti pantai Kuta di Bali atau the Gili’s di Lombok. Tetapi pantai ini tetap menawan mata.
Awalnya saya mencoba berjalan pelan menuju ujung timur pantai, lokasi ini sepertinya adalah penarik utama wisatawan, dengan pantai perpasinya yang paling luas, saya mendapati beberapa rombongan keluarga yang mencoba menghabiskan akhir pekannya dengan bermain pasir pantai. Beberapa berpose dan berfoto dengan riang, cukup pas dengan cuaca siang menjelang sore waktu itu. Langit cerah dengan warna birunya sembari diselingi gumpalan awan putih yang cantik jika dilihat.
Setelah cukup mengambil gambar di sisi timur, saya melanjutkan berjalan ke bagian barat pantai ini. Sesekali saya berhenti untuk mengambil gambar. Sesekali juga sekedar duduk-duduk diatas batu karang sembari menikmati angin laut selatan. Seolah mereka mencoba menyapa dengan menghantarkan salam melalui gelombang air lau yang saling berkejaran. Sebuah perasaan tenang ditengah berisiknya suara deburan ombak dipecah karang. Ya waktu itu saya benar-benar mencoba menikmati pemandangan yang ada di depan mata. Rasa lelah setelah melakukan perjalanan panjang-pun sedikit terlupakan.
Setelah puas saya berupaya menghimpun sisa tenaga untuk memanjat pohon dan menikmati pantai dari ketinggian. Haha, saya berusaha memanjat sebuah pohon besar. Puas saya menikmati keindahan pantai dari atas pohon. Kemudia saya mencoba duduk dan bersandar untuk sekedar beristirahat pada sebuah dahan. Hampir saja saya tertidur oleh bisikan dan buaian semilir angin yang masuk dari celah-celah dedaunan. Envy!
Cukup lama saya menikmati kesendirian dibagian barat pantai ini. mengingat pengunjung lebih terfokus dibagian timur saja. Mendekati tenggelamnya sang mentari merah, saya bergegas berjalan kembali ke arah parkiran, menunggu Pak Basri tukang Ojek tadi untuk datang menjemput.
Sebelumnya saya menyempatkan untuk mengisi perut dengan mie kuah di warung pinggir pantai, dan disana saja jadi cukup paham kenapa pantai yang potensial ini sepi pengunjung. Ibu penjual mie bercerita kalau tahah sepanjang pantai ini adalah tanah milik pribadi beberapa orang penduduk setempat. Berbeda dengan pantai di Gunung kidul lainnya, dimana statusnya kebanyakan adalah milik Negara atau publik, sehingga relatif mudah untuk dikembangkan.
Kendala kedua adalah suplai kebutuhan pokok semacam air bersih, padahal air adalah kebutuhan vital untuk memudahkan segala macam kegiatan serta aktivitas ekonomi. Tidak heran jika disana tidak ada penginapan untuk pengunjung yang berniat untuk bermalam. Satu-satunya cara untuk bermalam, ya kita harus siap untuk berkemah disana. Atau setidaknya bersiaplah membawa sleeping bag untuk sekedar berteduh di areal parkiran.
Diluar hal diatas, pantai ini masih layak untuk dikembangkan lagi potensinya, tetapi dengan catatan tetap mengakomodir kelestarian alamnya. Sebuah konsekuensi yang sering kali dipandang sebelah mata ketika sebuah tempat wisata mulai dieksploitasi untuk tujuan komersial.
ArtJog adalah gelaran seni rupa tahunan Yogyakarta. Bertempat di Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani no 1 Yogyakarta. Tahun ini karya yang ditampilkan sebanyak 224 dari 155 orang perupa, baik dari dalam maupun luar negeri.
Malam minggu waktu itu selepas trip singkat ke Gunung Kidul, saya menyempatkan diri mengikuti ajakan teman lama untuk melihat pembukaan ArtJog. Saya memang tidak mengikuti dari awal pembukaannya yang kira2 dimulai sejak pukul tujuh malam, mengingat saya baru meluncur dari terminal Wonosari – Gunung Kidul sekitar pukul enam sore lebih. Pukul delapan malam lebih saya baru sampai di lokasi pembukaan ArtJog 2012 ini. Begitu menginjakkan kaki dipelataran Taman budaya, saya melihat anyaman bambu utuh didepan gedung, seketika kesan awal yang saya tangkap adalah pameran seni kali ini akan keren.
Tidak lama dipelataran Taman budaya itu juga saya bertemu teman yang sudah menanti. Kemudian teman saya mengajak masuk kedalam lagi untuk menyaksikan Orkes ‘Sinten Remen’ pimpinan musikus Djaduk Ferianto. Sembari berdesakan bersama penonton lain kami menikmati musik-musik plesetan yang berisi kritik sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat. Cukup menarik dan menghibur, beberapa liriknya menjadi bahan ger-ger-an penonton malam itu.
Tak lama berselang, teman yang juga menampung saya bermalam di kosannya itu, mengajak bergeser masuk ke dalam gedung. Kali ini untuk menikmati melihat karya-karya perupa yang ada di dalam gedung. Berbagai karya lukis, patung, foto, seni installasi, videoart serta multimedia memenuhi sudut-sudut ruangan di di gedung Taman Budaya tersebut. Beberapa yang menarik perhatian saya adalah ketika sebuah ruangan diset warna hitam kelam dan di atasnya disusun gumpalan awan yang terbuat dari kapas, kemudian diberi benang-benang turun ke lantai menyerupai hujan, serta divariasi dengan tembakan cahaya projector ke belakang layar, jika kita mencoba berjalan melewati ruangan dengan suasana dreamy tersebut, seketika banyak imajinasi yang muncul memenuhi kepala. Keren!.
Beberapa karya seni menarik lainnya adalah beberapa buah baju digantung, kemudian dibagian tangannya yang berbentuk kaki kuda, turun menapak hingga ke lantai, sedangkan si pemakai baju adalah beberapa orang manusia asli, kombinasi yang unik menurut saya. Sebenarnya banyak sekali interpretasi yang muncul dibalik karya seni yang ditampilkan disana, beberpa berbicara tentang kritik akan keadaan, beberapa lainnya merupakan karya absurd, dimana saya pribadi tidak dapat mencari gagasan dibalik terbentuknya karya tersebut. Ya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, beberapa perupa terkadang cuma menuruti egoisme yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Tak perlu karya harus bermakna menurut orang lain, yang jelas kepuasan berkarya dalam beraktualisasi diri lebih diutamakan.
Malam itu saya menyusuri karya satu persatu sambil sedikit berdesakan dengan pengunjung yang lain, beberapa karya cuma saya lihat sekilas, sedang beberapa lainnya mampu menarik saya untuk tinggal lebih lama dan menikmatinya hingga puas. Kira-kira selama 40 menit kemudian saya memutuskan keluar, memberi ruang untuk penonton lainnya. Ya mengingat banyaknya peminat pameran malam itu, penonton tidak dapat masuk langsung masuk dalam ke gallery, melainkan harus mengikuti pengaturan petugas serta panitia pameran.
Kondisi gallery akan sangat berbeda di waktu malam pembukaan dengan hari biasa. Waktu malam pembukaan kondisi penontonnya berjubel dan sesak, sehingga saya kurang nyaman untuk menikmati karya-karya yang ada. Maka pada hari minggu siang saya kembali mengunjunginya lagi, untuk sekedar menikmati beberapa karya dengan lebih nyaman. Tapi kali ini seorang teman yang merupakan editor majalah travel digital asal Jogja yang menemani saya.
Mengingat pameran ini masih berlangsung hingga tanggal 28 Juli 2012. Jika tidak ada halangan saya sarankan Anda untuk menikmati dan mengapresiasi langsung karya-karya perupa disana. Atau sebelumnya anda juga bisa mengunjungi situs resmi ArtJog untuk mengunduh Guide Book-nya terlebih dahulu.
“Pertunjukan Kelas Dunia dari Kota TERBINA (Tertib, Bersih, Indah dan Aman)”
Adalah seorang Dynand Fariz yang sukses membawakan sebuah karnaval kelas dunia di kota tempat dirinya berasal. Ya Jember adalah sebuah kota kabupaten kecil di Jawa Timur bagian selatan, di kota ini seorang Dynand Faris tumbuh dan berkembang, sebelum akhirnya sukses merintis karir didunia seni dan fashion. Beliau berhasil menjadikan Jember sebagai tempat untuk menyelenggarakan sebuah karnaval tahunan yang mampu menyedot perhatian wisatawan luas, baik domestik maupun internasional.
Hari minggu kemaren (8 Juli 2012), saya menyempatkan diri untuk melihat langsung gelaran karnaval fashion ke 11 ini, yang mengusung tema “EXTREMAGINATION”. Agar lebih leluasa dalam pengambilan dokumentasi acara, jauh-jauh hari saya sudah diberi tahu teman untuk mendaftarkan diri sebagai fotografer di website resmi panitia. Ya dengan mendaftarkan diri maka diwaktu pelaksanaan acara kita akan medapatkan Id card photografer. Dengan adanya Id card ini, akan memudahkan kita memasuki area utama karnaval ketika sudah berlangsung, termasuk juga kemudahan mengambil gambar di area persiapan rias dan make-up peserta sebelum acara dimulai.
Karena baru pertama kali ini saya berkunjung ke kota, tentu butuh guide lokal nan handal, untuk menjelajah kota dalam waktu kunjungan yang singkat. Pilihan saya jatuh pada sahabat lain, Arman Dhani seorang fresh graduate wartawan dari media lokal yang kerap dijuluki sebagai ‘sing nduwe Jember’ (yang punya Jember), oleh teman-temannya. Dengan ditampung di Istananya yang mewah dengan puluhan kamar (baca: kost-kostan), maka terhindarlah saya dari serangan udara dingin kota Jember dikala malam menjelang.
Tetapi sejujurnya saya bingung, sebenarnya saya itu ditampung di Istana atau di Perpustakaan sih? dari sudut kesudut ruangan isinya tumpukan buku, yang saya yakin 90% diantaranya belum pernah saya baca, hehe. Ya saya maklum, Dhani adalah seorang kawan yang gemar mengkoleksi buku. Dirumanya terenyata ada dua kamar penuh dengan buku ketika saya mencoba bertanya lebih jauh tentang buku koleksinya.
Reputasinya Dhani sebagai mantan wartawan lokal tak perlu diragukan lagi, orang ini kenalannya banyak, hampir disetiap tempat yang kami kunjungi banyak bertegur sapa dengan temannya. Belum lagi si Dhani hapal jalan-jalan dan sejarah sebuah bangunan tua di sudut-sudut kota Jember, benar-benar membantu saya untuk dapat mengenali dengan cepat seluk beluk kota tempat festival fashion ini berlangsung.
Kembali ke acara Karnavalnya sendiri, acara yang di kukuhkan sebagai karnaval terbesar ke-4 dunia setelah Mardi Grass New Orleans, Rio De Jeneiro dan Fastnatch koln Jerman ini, baru dimulai sekitar pukul 12.30 minggu siang. Acara berlangsung cukup meriah, dengan mengusung tema EXTREMAGINATION, perserta dikelompokkan dalam beberapa grup dengan konsep kostum yang sama. Parade kostum yang extrem dan unik mengiasi delivile dengan jarak tempuh sekitar 3,5 KM tersebut. Setiap rombongan peserta dengan kostum satu konsep melintas di ikuti dengan sebuah mobil pick-up full dengan sound system memutar jenis musik yang menunjang dan menghidupkan konsep kostum yang baru saja melintas di jalan. Memang ini adalah sebuah gelaran acara yang mampu membuat kota kecil Jember menjadi berwarna dan lebih semarak sehingga menarik minat wisatawan.
Hanya sedikit yang menurut saya kurang sreg dari acara ini tetapi masih dapat dimaklumi adalah konsep acara yang terpaku pada pakem fotografi. Baik pemahaman dari sudut peserta hingga panitia. Tetapi di sini saya cukup maklum, mengingat id undangan yang tersedia adalah fotografer, walaupun sebenarnya waktu acara kemaren, saya lebih menekankan untuk mengambil video. Yang bikin kurang sreg buat videografer adalah, peserta yang sering berpose patung sehingga kurang ekspresif untuk diambil dalam format video, hanya beberapa peserta yang terlihat cukup dinamis dengan berpose dan bergerak sesuai tema kostumnya. Mungkin akan sangat berbeda dengan official videografer, mereka lebih leluasa melintasi dan bergerak diantara peserta sehingga bisa mendapatkan sudut-sudut pengambilan gambar yang lebih menarik dan variatif.
Diluar hal tersebut sih, acaranya tetap menarik untuk dinikmati, ya semoga tahun depan ada id khusus untuk videografer, dan tentunya dengan kewenangan yang lebih fleksible. Ya tentunya dengan verifikasi khusus agar hanya benar-benar orang yang berkepentingan dengan dokumentasi video yang bisa mendapatkannya.
Sabtu pagi itu, saya sedang asyik berbelanja kebutuhan aquarium di pasar ikan. Maklum, selain suka travelling, saya sedari kecil adalah seorang penggemar ikan hias. Walau sudah menemukan apa yang dicari, namun saya masih menyempatkan diri melihat beberapa pernak-pernik aquarium dan kolam hias di pasar pagi yang ramai itu.
Sejenak tatapan mata saya tertumbuk pada beberapa benda replika kecil untuk kolam, seperti kincir air, patung kodok, patung ikan koi, dan yang paling menarik adalah patung replika ”manneken pis” yang legendaris itu. Yaaa betul, menneken pis yang selama ini kita kenal dengan tampilan patung bocah kecil nan lucu, dengan pose sedang pipis yang mana airnya terus-menerus keluar dan menjadi pancuran kolam. Sangat menarik memang, namun belum terlalu menarik bagi saya untuk membeli replika patung yang asalnya dari kota Brussels ini.
Segera saya mengangkat telpon dan mengontak Jeri, salah satu partner di jejalan. Tidak ada hubungannya dengan Pasar Ikan atau penggemar ikan hias tentunya, namun saya janjikan sebuah petualangan wisata yang menarik sebagai imbas terinspirasi dari manneken piss tadi. Hahaha, boleh jadi anda berpikir kalau kami akan berangkat ke Brussels. Karena demikian menggebunya, tepat pukul Sembilan pagi saya dan Jeri sudah bertemu di sekitar perempatan Gempol. Sembari menikmati beberapa butir Klepon di pagi hari, kami berdua melibas jalan raya Gempol – Pandaan dengan motor.
Tujuan kami berdua adalah Candi Belahan, sebuah situs Purbakala di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di dusun Belahan Jowo, desa Wonosunyo, kecamatan Gempol, Pasuruan. Yang mana oleh warga sekitar lebih dikenal dengan sebutan Candi Tetek, tetek adalah sebutan untuk payudara dalam bahasa jawa. Petirtaan ini adalah sebuah pemandian bersejarah dari abad ke 11, di masa kerajaan Airlangga. Konon tempat ini terkenal sebagai tempat pertapaan prabu Airlangga, selain itu ada cerita juga tempat ini sebagai lokasi pemandian untuk selir-selirnya. Sebagai penanda maka dibangunalah dua buah patung yang mengalirkan air dari payudaranya.
Tidak mudah akses menuju kesana, dari pertigaan Pom Bensin Pelem, menuju ke arah barat dan berjarak kurang lebih berjarak 10 km dari jalan utama. Perjalanan 30 menit menyusuri perkampungan penduduk, diselingi dengan hamparan bukit dan persawahan di jalur aspal yang tidak begitu bagus. Pula motor-motor kecil kami harus bersaing dengan truk-truk pengangkut tanah dan pasir yang berukuran raksasa.
Debu dan deru asap monster-monster otomotif itu memang sangat mengganggu, namun efeknya justru kami akhirnya mendapatkan spot-spot penambangan pasir batu di kiri kanan jalan yang menampilkan view spektakuler. Belum lagi mendekati lokasi Situs Purbakala, terhampar pemandangan sawah hijau dengan landscape terasering khas pegunungan.
Tiba di lokasi kami disambut hamparan pohon-pohon tinggi menjulang, suara kicauan burung, berisik serangga, dan gemericik air pancuran. Berbentuk kolam pemandian persegi empat, dengan pasokan air dari sebuah sumber kecil. Diperkirakan dibangun pada masa Raja Airlangga. Dinding sebelah barat belakang mengepras lereng gunung penanggungan dengan bentuk relung-relung yang dahulunya berisi arca perwujudan Airlangga sebagai dewa Wishnu. Jujur, ada rasa sedikit kecewa menyaksikan sosok Candi Tetek yang legendaris itu, ternyata kondisinya tidak seperti yang kami bayangkan. Berbahan dari batu bata, dengan permukaan yang sebagian sudah ditumbuhi lumut.
Sembari berdiskusi dengan warga lokal, kami cukup lama meluangkan waktu berteduh dibawah pendopo sederhana dalam kompleks candi seluas kurang lebih 120 meter persegi itu. Menyempatkan menyaksikan aktifitas penduduk sekitar yang memanfaatkan petirtaan candi sebagai sarana kebutuhan air bersih. Mulai mencuci, mandi, sekedar membasuh muka, atau bahkan mengambil langsung air dari pancuran untuk kebutuhan air minum.
Tidak sedikit pula warga dari luar kota berkunjung untuk sekedar rekreasi, studi, atau juga wisata religi. Sebagian juga percaya jika air dari tempat ini membawa berkah, kesembuhan, dan juga berkhasiat. Bahkan pada malam-malam tertentu menurut penanggalan jawa, sering ditemui orang yang berkunjung dengan keperluan khusus. Tak heran kami juga menemukan beberapa sisa sesajen dan bekas bakaran dupa.
Mungkin sekarang candi Sumber Tetek mungkin sudah tak sebagus, atau sesakral pada masanya dulu. Namun setidaknya, eksistensinya masih bisa memberikan manfaat bagi penduduk sekitar, menjadi sebuah tanda keberadaan sebuah sejarah pada eranya. Dan yang paling penting, terlepas dari segala mitos dan kepercayaan tentang mistis tempat ini. Saya berharap, suatu saat nanti akan membuat replika Candi Tetek skala kecil untuk hiasan pancuran kolam air didepan rumah, hehe.
Dari beragam kuliner yang menggunakan olahan berbahan dasar petis, seperti Rujak Cingur, Lontong Balap, Tahu Campur, maupun Lontong Lodeh. Ada satu khasanah kuliner yang tak kalah unik, yakni Lontong Kupang. Mungkin nama menu ini terdengar sedikit asing di telinga orang luar Jawa Timur. Namun bagi penggemar makanan di Jawa Timur khususnya Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan, Lontong Kupang adalah menu yang tak boleh dilewatkan.
Kata “Kupang” identik dengan hewan laut sejenis kerang atau juga sebagian menyebut siput laut, berukuran sebesar kacang kedelai dan bercangkang tipis. Kumpulan hewan inilah yang menjadi bahan dasar olahan Kupang, dipisahkan dari cangkangnya lantas direbus hingga matang.
Kebetulan siang hari itu, seusai jejalan disekitar Pasuruan. Kami menyempatkan diri berburu Lontong Kupang khas Kraton. Salah satu kuliner lokal yang mudah ditemui disepanjang jalan raya Bangil – Pasuruan. Tentunya favorit saya adalah beberapa depot yang berada di Sentra Kuliner pertigaan Kraton – Pasuruan.
Seporsi Lontong Kupang Kraton disajikan dengan bumbu meliputi gula, cabe, sedikit petis dan kucuran air jeruk nipis. Semua bahan diaduk diatas masing-masing piring. Dengan ditambah beberapa potong cabai bagi yang suka pedas. Setelah semuanya dicampur diatas piring, beberapa potong lontong ditambahkan diatasnya. Terakhir disiram dengan rebusan kupang dan kuah panas yang baunya… “hhmmm”… Sungguh menggoda selera.
Sebelum meng”eksekusi” seporsi makanan ini, saya sempatkan menjumput sepotong Lentho dan beberapa tusuk sate kerang. Tanpa permisi kedua jenis makanan ini langsung “nyemplung” dalam luberan kuah Lontong Kupang dipiring saya. Waahh, tampilan makanan ini semakin meriah saja.
Lentho adalah gorengan dari parutan ketela pohon, atau ada juga yang dicampur dengan butiran kacang beras. Sedangkan sate kerang adalah biji-biji kerang kaya bumbu yang dirangkai jadi satu ditusuk batangan lidi. Kedua macam makanan ini seolah sudah menjadi “sobat karib” yang selalu menemani seporsi Lontong Kupang.
Aroma rasa Lontong Kupang semakin istimewa dengan taburan bawang goreng diatasnya. Dan tatkala sesendok pertama saya coba, seketika sensasi gurih khas rasa kupang, berpadu dengan rasa manis, asin dan asem, mengiringi pedas yang menyengat dari cabai yang dicampur didalam bumbunya. “Wuuaahh…”, seketika itu juga sesuap demi sesuap sajian Lontong Kupang masuk kedalam mulut rakus saya. Terus mengunyah dengan sesekali meneguk segelas es Kelapa Muda, mendorong makanan nikmat ini kedalam tenggorokan. Benar-benar makan siang yang menggila, demikian pikir saya.
Bagi anda yang pertama kali menjajal kuliner ini, ada baiknya memesan Es Kelapa Muda sebagai minuman pendamping. Memang sebagian besar depot Lontong Kupang senantiasa menyediakan menu Es Kelapa Muda. Bukan tanpa alasan, karena memang es Kelapa Muda adalah penawar mujarab bagi para konsumen yang tidak tahan atau alergi dengan olahan Lontong Kupang.
Tidak sampai memakan waktu lama, seporsi Lontong Kupang tandas kedalam perut saya. Piring seketika kosong dan nyaris licin tidak menyisakan kuah atau apapun. Sembari asyik menikmati es kelapa muda, mulut saya masih juga menyempatkan mengunyah sate kerang dan lentho yang tersedia diatas meja. Hehehe, anda tak perlu khawatir jika ingin menambah porsi lagi. Karena makanan Lontong Kupang bukanlah jenis kuliner yang menguras kantong.
Hari itu, kami sengaja memutuskan pindah dari hotel pertama. Sebelumnya kami memang sempat trekking disekitar Sivatha Street, dan menemukan penginapan lain yang tarifnya jauh lebih bersahabat di kantong. Sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter, dengan kamar mandi dalam seharga 5 USD. Tarif Naga GuestHouse ini benar-benar membuat kami seketika merubah anggaran keuangan. Hehehe, dengan adanya sisa beberapa USD dari kelebihan uang penginapan, kami memutuskan untuk mencoba berbelanja beberapa pernak-pernik khas Kamboja.
Noon Night Market ini berada persis didepan Angkor Night market. Bedanya, pasar ini terletak di sepanjang jalan aspal yang menghubungkan kuliner jalanan di Pithnou Street dengan lokasi Angkor Night Market. Dan pebedaan lain, tentu saja Noon Night Market buka setiap hari, mulai pagi hingga malam, sementara Angkor Night market hanya beroperasi mulai sore sampai tengah malam.