Singapura, Pembuka Coldplay Tour Asia

31 Maret 2017 mungkin merupakan hari yang tidak dilupakan oleh penggemar grup musik Coldplay di Asia, khususnya fans dari Singapura. Karena pada hari itu, grup musik asal Inggris ini memulai rangkaian tur Asia mereka bertajuk A Head Full of Dream Tour yang rencananya berlangsung hingga pertengahan April di Tokyo. Beberapa tempat bakal disinggahi Chris Martin dkk, diantaranya Singapura, Manila, Bangkok, Taipei, Seoul, dan Tokyo. Sebelum mereka melanjutkan menggebrak eropa pada bulan Juni dan Juli.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam jadwal mereka, sehingga saya dan beberapa teman dengan senang hati menyeberang ke negara tetangga untuk menyaksikan aksi pelantun lagu Yellow ini. Yaa… dengan senang hati lah, karena bagi saya. Tujuan mampir ke Singapura tentu bukan hanya nonton aksi panggung mereka, tapi pastinya juga ber-jejalan ria.

Akhirnya, setelah melalui persaingan berburu tiket yang “tentu saja” berujung kegagalan. Pada dua minggu menjelang hari H, saya dan seorang kawan akhirnya mendapat lungsuran tiket return dari beberapa kenalan. Hmm… walau menebusnya dengan harga sedikit lebih mahal, tidak apalah. Karena beberapa orang bahkan rela menebus tiket return yang berharga dua tiga kali lipat. Mungkin itulah buah dari kesabaran orang-orang seperti kami. hehehe.

Singapore International Stadium kabarnya sudah dipenuhi pengunjung sejak jam duabelas siang waktu setempat. Kendati gelaran acara akan dimulai pukul tujuh malam, antusias fans yang cukup membludak membuat area luar stadion berkapasitas limapuluh ribu orang itu semakin crowded. Saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di area Nicoll Highway, justru berangkat pukul empat sore, maklum Stasiun MRT Nicoll hanya tiga menit saja dengan Stasiun MRT Stadium. Jadi inilah keuntungan menginap lebih dekat dengan tempat konser.

Setelah sempat berbelanja di mall Kallang Wave yang masih bagian dari stadion, menjelang sore diiringi gerimis yang tak kunjung henti, kami mulai memasuki area plaza terbuka di lantai tiga. Dan… bum… ribuan calon penonton menyesaki antrian didepan gerbang yang ada. Tua Muda, Besar Kecil, wajah-wajah asia maupun bule, meramaikan suasana. Sebagian besar memakai kaos dan atribut bergambar Coldplay maupun logo geometris penuh warna pelangi, khas album terbaru mereka. Beberapa lagi juga terlihat memakai T-Shirt seragam dengan tagar AHFOD serta sablon jadwal tour dunia Coldplay yang terpampang di punggungnya.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Usut punya usut, ternyata disekitar plaza terdapat beberapa tenda official merchandise yang menjual Shirt serta pernak-pernik Coldplay selama konser berlangsung. Mengingat antrian sudah terlalu padat, dan kami juga harus mencari gate masuk yang sesuai dengan tiket. Maka tanpa tergoda belanja merchandise, kami ikut larut dalam barisan antrian masuk dalam stadion.

No Photography, No Videography, and selfie stick allowed. Dan itu benar-benar diterapkan petugas, semua tas diperiksa walaupun satu dua kamera mirrorless lolos dari pemeriksaan. Setidaknya himbauan yang tertera di tiket cukup membuat penonton enggan berencana membawa alat-alat yang pada nantinya bisa mengganggu kenyamanan penonton lain selama konser.

Whooaa… Akhirnya kami masuk kedalam stadion yang megah dengan penutup atap modern itu, sebagai arsitek saya dan kawan jejalan kali ini tentu saja termangu melihat barisan struktur atap serba high tech ini. Akan tetapi sudahlah, fokus ke konser, kita bahas itu lain kali, hehehe. Tempat duduk saya berada di baris tengah sedikit mendekati view panggung. Ini adalah titik paling sempurna bagi saya, karena bisa menyaksikan keramaian dibawah dan diatas saya. Walau jarak pandang ke panggung masih cukup jauh, tapi aksi Jhony Buckland dkk bisa terlihat jelas dari tiga layar super raksasa dibelakang mereka.

Dibuka aksi penyanyi muda Jess Kent, pengunjung terus memenuhi area dalam stadion, baik yang berdiri disekeliling panggung maupun tempat duduk. Suasana semakin gelap diluar stadion, dan pengunjung mulai asik bergoyang menikmati lagu-lagu pembuka. Sementara saya asyik memasang wristband di pergelangan tangan yang mana nantinya bisa menyala mengikuti permainan cahaya panggung, karena didalamnya terdapat perangkat elektronik yang dilengkapi sensor.

Tepat pukul 19.30 lampu stadion dimatikan, penonton sontak bergemuruh karena tiba-tiba wristband kami memancarkan cahaya merah seragam. Lautan manusia dibawah berubah menjadi lautan cahaya merah bak gemerlap plankton di lautan malam. Belum selesai kekagetan penonton, lampu laser panggung langsung menyorot bersahutan diiringi kemunculan para personel Coldplay membawakan lagu A head full of dream. Gebrakan yang istimewa, sebagian penonton masih bingung dan sibuk mengabadikan momen-momen permainan laser panggung dan ribuan cahaya wristband penonton lain hingga tak terasa lagu pertama telah usai dinyanyikan.

Tiba-tiba semua gelap, hanya ada bunyi gitar akustik yang Guy Beryman yang lembut mengalun, penonton terdiam menunggu… dan mendadak semua lampu wristband menyala kuning, stadion dipenuhi lautan cahaya warna kuning, penonton berteriak histeris karena mereka tahu bahwa ini adalah waktu melantunkan lagu Yellow, lagu yang turut mempopulerkan Coldplay di eranya. Bersamaan dengan itu pula alunan gitar berubah menghentak dengan distorsi khas lagu Yellow, kembang api menyala dibelakang panggung. Penonton semakin histeris dan stadion bergemuruh dengan nyanyian kami.

Berturut-turut kemudian, The scientist, Birds membuat para penonton riuh dengan bergoyang dan bernyanyi bersama. Hingga mereka kembali terdiam ketika lampu stadion meredup dan hanya terdengar alunan piano merdu dari kegelapan. “Paradise….” Demikian celetuk seorang penonton dibelakang saya, dan tetiba saja musik single Paradise mengalun khas, disertai warna merah dan biru menyala bersama di masing-masing wristband. Warna Pelangi untuk lagu Paradise seolah mengantar kami bernyanyi dalam mimpi indah.

Disusul kemudian dengan lagu beberapa lagu lain, diantaranya Clocks, Hmyn For The Weekend, dan Fix You yang sekali lagi Chris Martin membiarkan penonton bernyanyi dan dia yang mengiringi musiknya. Hingga akhirnya permainan laser dan wristband kembali menggila pada lagu Viva La Vida. Termasuk saya tak henti tertawa melihat rekan disebelah yang bergoyang heboh pada saat lagu Adventure of a lifetime dilantunkan. Suasana konser malam itu benar-benar istimewa. Aksi panggung, Background latar, permainan cahaya dan sound System, serta antusias pengunjung dengan aksi warna-warni wristband benar-benar patut mendapat acungan jempol. Atap stadion yang tertutup pun tak luput jadi sorotan permainan laser warna-warni yang menarik selama konser.

Ditengah acara, personil Coldplay sempat menghilang tatkala cahaya dimatikan, ternyata mereka berpindah tempat di panggung kecil yang lebih dekat dengan kerumunan penonton, tentu saja dengan pengamanan ekstra. Beberapa lagu akustik sempat dinyanyikan, diantaranya Don’t Panic yang mengalun lembut membius para penonton larut dalam suasana.

Dan seusai lagu Something Just Like This yang dipenuhi permainan videographic super keren di layar panggung utama. Aksi Coldplay kembali menggila di lagu A sky full of stars. Cahaya Laser dan Wristband menyala bersahutan, Chris Martin bahkan sempat berlari disepanjang panggung dengan disertai ledakan kembang api disusul taburan kertas warna-warni dan balon dari atap stadion. Hanya ada satu kata, luar biasa…

Histeris para penonton yang menjadi-jadi akhirnya ditutup dengan lagu Up & Up. Hingga lampu stadion dinyalakan, dan para personel Coldplay memberi salam perpisahan didepan panggung, para penonton sepertinya masih belum bisa move on. Teriakan “one more time” dari beberapa titik stadion masih terdengar. Namun semuanya telah berakhir bagi kami malam itu. Akhir bagi kami, namun awal bagi runtutan konser A Head Full Of Dream Coldplay 2017.

Clark Quay Singapura Dengan Sepenggal Senja Yang Romantis

Saya terpaku memandang sekeliling yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dengan beragam gaya. Mulai arsitektur modern, klasik, hingga high tech berdiri disepanjang tepian sungai Singapore River. Mentari sudah beranjak pergi, namun gelap masih belum kunjung tiba, sehingga kami berdua masih berkesempatan mengagumi masing-masing wujud bangunan disepanjang pedestrian Clark Quay Singapura. Apalagi saya yang masih terbius dengan perpaduan istimewa antara Sungai, Pedestrian, Landscape, dan jajaran arsitektur yang ada disana.

Tepukan ringan Siska di pundak saya kembali menyadarkan lamunan itu, “ayo ke sebelah sana, sunset dari atas jembatan jauh lebih menarik” tukasnya sembari memberi isyarat untuk menyiapkan kamera. Kami berdua melangkah ringan menuju Malacca Bridge, jembatan klasik yang menghubungkan area Riverside dengan kawasan kuliner Clark Quay Sentral yang berarsitektur high-tech.

suasana clark quay sebelum senja

Sore itu saya dan sahabat sengaja mengunjungi kawasan Clark Quay di tepi sepanjang Sungai Singapura. Setelah seharian penuh mengantar memenuhi hasrat belanjanya di Chinatown dan Orchard Road, sahabat saya yang satu ini berjanji mentraktir makan malam di tempat yang istimewa. Apalagi dia sudah paham jika saya suka melancong sambil menikmati senja di tepian sungai kota-kota besar, pilihannya untuk menghabiskan hari terakhir kunjungan di Singapura dengan menyambangi tempat ini adalah rekomendasi yang tepat. Sembari duduk-duduk di tepi railing pagar Malacca Bridge yang legendaris, kami berdua menikmati lalu lalang wisatawan menunggu hingga senja tiba di sebelah Barat.

Malacca Bridge memang tempat paling strategis, membujur dari sisi Utara ke Selatan, turis bisa leluasa memandang di kedua sisi jembatan yang demikian terbuka berupa sungai tanpa halangan apapun. Disisi Timur berupa gedung-gedung modern, dengan secuil plaza terbuka berupa wahana Reverse Bungee berukuran raksasa yang mampu melontarkan dua pasang manusia didalam kerangkeng mungilnya. Sesekali terdengar pekikan dan jerit ngeri bercampur senang tiap kali kami melihat bola besi transparan itu melenting puluhan meter ke udara, disertai kilatan cahaya blitz kamera ribuan turis yang mengabadikan momen disekitarnya. Namun kembali kami mengarahkan pandangan ke sisi Barat Jembatan, dimana deretan gedung Riverside Point yang cantik mulai menyalakan lampunya menyambut petang.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Kebetulan waktu itu langit Singapura benar-benar cerah, semburat warna jingga keunguan memenuhi langit senja. Jajaran gedung pencakar langit nan cantik berbaris disepanjang tepian sungai hingga ujung mata memandang. Lampu-lampunya yang mulai nyala berkilauan memantul laksana lukisan dipermukaan sungai Singapura yang tenang. Lalu lalang perahu kecil berhias lampu gemerlap semakin menambah daya tarik tempat ini, suasana romantis makin terasa tatkala beberapa pasangan muda-mudi asyik berselfie ria dengan latar sunset ditepi Malacca Bridge.

Sangat singkat, kurang dari sepuluh menit kami menikmati atraksi senja disni, namun ini adalah salah satu sepuluh menit terlama dalam hidup saya. Keindahan suasana senja ala Clark Quay tak patut untuk dilewatkan para traveler yang berkunjung ke Singapura. Kombinasi sunset, sungai dan keberadaan beragam arsitektur menarik adalah mahakarya yang memukau.

Rasa haus dan lapar membuat kami teringat untuk segera menuju Clark Quay Sentral di sebelah Utara. Area plaza terbuka dengan pedestrian berupa granit tile tertata unik, dengan dominasi struktur pipa besi membentuk payung-payung kanopi raksasa. Bahan tenda transparan diperkuat kabel-kabel baja sebagai penutup atapnya menambah kesan hightech dan modern, apalagi permainan tata cahaya yang demikian spektakuler semakin memberi kesan warna warni gemerlap yang serba berkelas.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Aneka pilihan menu tersedia disana, walaupun bagi saya range harga yang ditawarkan lumayan diatas rata-rata. Namun menjajal menikmati suasana makan malam ditepi Sungai Singapura adalah pengalaman spesial yang harus dicoba. Dua porsi Seafood Noodle, Minuman Sari buah dan Cocktail adalah pilihan yang kooperatif bagi saya dan sahabat untuk menghabiskan malam panjang kami di Clark Quay.

Prihal Seni dan Sosial Menumbuk Padi

Sewaktu saya masih kecil dan tinggal di desa, kerapkali saya menjumpai aktivitas penduduk menumbuk padi. Menumbuk padi ala tradisional adalah cara manual untuk mengubah padi kering menjadi beras yang siap dimasak. Tatkala keberadaan mesin penggilingan padi dirasa lebih ekonomis, mudah dan tidak menghabiskan banyak waktu, banyak petani yang mulai meninggalkan aktivitas tersebut. Tidak bisa disalahkan memang, namun ada satu tradisi yang turut punah ketika aktivitas tersebut juga menghilang.

desa-adat-ciptagelar

Di Ciptagelar, kampung adat yang berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi. Saya menemukan kembali beberapa potongan ingatan apa saja yang hilang dari aktivitas menumbuk padi ini. Satu hal yang saya ingat adalah keberadaan nilai Seni didalamnya. Menumbuk padi bukan sekedar aktivitas merubah padi menjadi beras. Jika dilakukan bersama-sama, Alu yang dipegang ibu-ibu akan menghasilkan suara khas ketika bertumbukan dengan lumpang. Sekiranya dilakukan dengan tempo yang sudah diatur secara bersama-sama, niscaya akan menghasilkan alunan musik yang indah. Secara pribadi saya terhibur dan suka dengan bunyi-bunyian unik semacam ini.

tempat-menumbuk-padi-ciptagelar

ibu-ibu-membawa-padi-untuk-ditumbuk

aktivitas-menumbuk-padi-ciptagelar

Inilah musik yang saya nantikan ketika dulu berkunjung ke desa, dan saya menemukan kembali ketika berkunjung ke Ciptagelar. Seni musik yang membuat saya betah berlama-lama menikmati alam pedesaan yang masih asri.

Selain perpaduan musik, hal lain yang saya amati ketika melihat sekelompok ibu-ibu menumbuk padi adalah mereka aktif melakukan obrolan, kalau kata orang kota ini semacam ajang untuk bergosip, bisa jadi hal itu ada benarnya. Mungkin lebih tepatnya ajang untuk bersosialiasi, membahas isu terkini yang terjadi di desa. Saya sendiri hanya bisa menyimpulkan berdasarkan asumsi untuk hal ini. Tapi saya cukup yakin sih kalau hal itu yang terjadi. Hehehe.

Jadi menumbuk padi adalah aktivitas berkesenian sekaligus besosialiasi yang berkembang bersama budaya hidup agraris.

Lantunan Doa Di Depan Istana Phnom Penh

Ribuan warga masih terus memadati halaman luar Istana Royal Palace Phnom Penh Kamboja (Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea). Bahkan jalan raya Samdech Sothearos Boulevard yang tepat berada didepan pintu masuk Istana juga ditutup penuh sore itu. Dengan penjagaan petugas bersenjata lengkap, ritual pembacaan doa berlangsung seharian didepan Royal Palace. Area steril membentang sepanjang Samdech Sothearos Boulevard, hingga Royal Palace Park yang mirip alun-alun itupun sepi dari pengunjung. Kami dan ribuan warga hanya bisa berjejal memenuhi jalan raya Sisowath Quay diseberang yang berbatasan langsung dengan Tonle Sap River disisi Timur.

Lantunan doa dari ribuan bhiksu dan pemuka agama mengalun khidmat seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk Barat, tepat dibelakang Royal Palace. Siluet bangunan berarsitektur Khmer klasik dan penuh ornamen itu semakin cantik menjelang malam dengan ribuan lampu yang menghiasinya. Sementara tepat ditengah bangunan, terpampang foto Raja Norodom Sihanouk berukuran raksasa dengan diterangi lampu sorot.

[one-half-first]biksu di depan istana kamboja[/one-half-first]
[one-half]biksu dan istana kamboja[/one-half]

doa di depan istana kamboja

Itulah sedikit gambaran tepat empat tahun yang lalu, di awal tahun 2013, tatkala kami berkesempatan menyaksikan rangkaian ritual penghormatan terakhir pada mendiang Raja Kamboja Norodom Sihanouk, yang digelar di pusat kota Phnom Penh. Sebelum jenazah diarak menuju krematorium pada tanggal 1 Februari hingga dikremasi pada 4 Februari lalu, warga dan para simpatisan beliau dipersilahkan turut mendoakan langsung didepan Istana Royal Palace.

Begitu matahari benar-benar terbenam, rangkaian doa yang dipimpin oleh para pemuka agama berakhir sudah. Ratusan bhiksu ini satu demi satu meninggalkan tempat prosesi, berganti dengan ribuan warga yang serempak berbondong memasuki alun-alun didepan Royal palace hingga mendekati gerbang depan istana. Ratusan lilin sudah disiapkan disepanjang jalan raya Samdech Sothearos Boulevard, juga tikar-tikar terpal tersedia bagi mereka yang ingin berdoa. Kami turut bergabung dengan arus ribuan warga yang hadir, kapan lagi bisa melibatkan diri untuk menyaksikan prosesi doa pamakaman seorang Raja besar di Kamboja.

Batang demi batang hio dinyalakan diatas api lilin, asap ribuan hio memenuhi udara malam. Bau dupa semerbak memenuhi udara, diiringi sayup-sayup alunan doa yang mengalun dari dalam istana, para warga semakin larut dalam khidmat doa yang mereka panjatkan untuk sang Raja tercinta. Sesekali kepak sayap puluhan merpati jinak yang menghuni istana sempat mengganggu kami dikala asyik mengabadikan momen dalam kamera. Namun tetap tidak mengurangi kekhusyukan para warga dalam lantunan doanya.

turis ikut berdoa

[one-half-first]warga kamboja berdoa[/one-half-first]
[one-half]warga kamboja berdoa[/one-half]

Hingga menjelang malam antusiasme ribuan warga yang berdatangan masih belum berhenti juga, bergantian memanjatkan doa didepan istana sembari sesekali menatap haru pada poster besar Sang Raja yang terpajang disana. Tempat hio sudah nyaris penuh, pintu masuk Royal Palace juga telah disesaki ribuan batang kuncup teratai pemberian para warga. Mungkin sampai tengah malam pun warga yang berdatangan mengikuti prosesi tidak akan berhenti, demikian pikir saya sembari memandangi batre kamera yang sudah mulai menipis. Dengan diterangi sorot lampu istana Royal Palace dan benderang ratusan lilin, kami bergegas meninggalkan Samdech Sothearos Boulevard. Selamat jalan Raja Sihanouk…!, rakyat Kamboja selalu mengenangmu…!

img_0244

Baru Tapi Lama Di Stasiun Priok Jakarta

Jika kamu penyuka bangunan kuno dan bersejarah di sekitaran Jakarta, tentu tidak akan pernah melewatkan stasiun Jakarta Kota. Stasiun ini juga dikenal dengan nama stasiun Beos,  kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Berdiri sejak zaman Belanda, stasiun ini masih beroperasi hingga sekarang, yang mana melayani rute kereta lokal jarak menengah hingga kereta jarak pendek commuter line. Secara personal jika berada di stasiun ini selalu memancing imajinasi saya akan kisah-kisah masa lampau yang telah dilewati oleh bangunan ini. Mengingat bentuk bangunan yang khas arsitektur peninggalan Belanda.

Jika ada waktu luang, saya sering berkunjung ke stasiun ini dengan menaiki kereta listrik (commuter line). Entah untuk singgah ke beberapa bangunan dengan nuansa yang sama di sekitarnya, atau hanya sekedar duduk mengamati hiruk pikuk manusia yang transit di stasiun ini.

Mengamati ekspresi muka dan gerak ratusan manusia. Melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan moda angkutan masal bebasis re, kadangkala cukup menggugah banyak pemikiran tentang hidup. Stasiun seperti halnya Terminal, secara umum selalu menjadi salah satu tempat istimewa, semacam laboratorium hidup buat saya. Tempat mengamati aktivitas manusia yang selalu terulang semenjak zaman dahulu. Ketika detik berubah menjadi jam, hari, bulan hingga tahun, dan terus berganti, aktivitas manusia untuk berpindah tempat (traveling) tidak pernah berhenti. Selalu ada jutaan alasan untuk setiap individu kenapa mereka melakukannya sejak dahulu kala. Aktivitas yang sama tuanya dengan usia manusia. Stasiun adalah tempat yang tidak terpisahkan yang dengan aktivitas traveling manusia modern. Jutaan bentuk perpisahan dan perjumpaan terjadi di sini, kenangan akan orang, tempat dan juga rasa bercampur dalam setiap waktu.

kereta-commuter-line-jurusan-stasiun-priok

Suatu waktu ketika berjalan di sekitar stasiun Jakarta Kota saya melihat ada commuter line melintas keluar dari stasiun, di depannya tertulis jurusan “Tanjung Priok”. Penasaran dengan hal itu, saya pun berencana menaiki kereta tersebut nantinya. Informasi yang saya dapatkan kereta pemberangkatan terakhir baru akan berangkat jam 5 sore, sekitar 2 jam lagi. Cukup lama saya menunggu di stasiun Jakarta kota, dan kembali saya menghabiskan waktu mengamati manusia dengan beragam kegiatannya di dalam stasiun ini.

Ketika hampir pukul 5 sore, satu rangkaian kereta yang ditunggu datang menuju jalur 10 untuk berhenti. Saya pun bergegas menghampirinya dan memutuskan untuk masuk ke salah satu gerbongnya. Saya duduk di bangku yang tersusun memanjang, tersebar menempel di dinding kanan dan kiri gerbong. Tidak lama berselang kereta listrik ini bergerak. Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk kereta ini sampai tujuan akhir stasiun Tanjung Priok, diantaranya kereta hanya berhenti sejenak untuk menaik-turunkan penumpang di stasiun Kampung Bandan dan Ancol.

Begitu turun dari commuter line kepala saya tidak henti-hentinya menengok ke atas, mengamati arsitektur stasiun Tanjung Priok ini. Imajinasi saya pun bergerak serasa berada di dunia masa lampau di Eropa, setidaknya seperti yang saya pernah lihat di tayangan televisi dan film. Bayangan akan kemegahan stasiun Jakarta Kota langsung mengecil jika dibandingkan dengan stasiun ini.

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta-view-ke-dalam

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta-2

Saya berjalan di sebelah gerbong kereta listrik modern yang baru saja saya naiki, menuju ujung luar kubah melengkung yang berfungsi melindungi kereta dan penumpangnya dari air hujan dan sengatan terik mentari. Perlahan saya berjalan mengamati arsitektur bangunan, sembari sesekali mencoba memotret dengan kamera ponsel yang saya bawa. Seperti juga stasiun Jakarta Kota, stasiun Tanjung Priok rupanya juga bertipe terminus  (perjalanan awal/akhir), atau stasiun yang tidak memiliki jalur lanjutan lagi, tidak banyak jumlah stasiun yang seperti ini di Indonesia.

Kubah stasiun Tanjung Priok yang sangatlah besar, kaca balok tersebar di bagian atas kanan-kiri atap, memberi  jalan bagi sinar yang berasal dari luar bangunan untuk sedikit menerangi bagian dalam. Kebetulan ketika itu hari sudah hampir menjelang malam. Pencahayaan kurang bersahabat dengan kamera handphone, setidaknya noise sedikit terasa di hasil akhir foto saya. Untungnya cahaya dari kaca di kanan kiri atap bangunan tadi sedikit membantu menerangi struktur didalam bangunan.

stasiun-tanjung-priok-rumah-sinyal

[one-half-first]stasiun-tanjung-priok-struktur-kubah[/one-half-first]
[one-half]stasiun-tanjung-priok-struktur-kubah-2[/one-half]

Saya melanjutkan berjalan ini hingga ujung stasiun, kemudian menyusuri susunan batu yang berjajar dengan pola melengkung di taman bagian luar bangunan. Tiada hentinya saya kagum, begitu besar dan megahnya bangunan stasiun ini. Jantung saya kembali berdegup, imajinasi kembali berkembang hingga ke mana-mana. Menghubungkan berbagai literasi cerita zaman kolonial yang pernah saya baca, hingga kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, tentang bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat sekitar di waktu itu.

Tidak banyak tempat yang sering membuat saya merasakan sensasi seperti ini, dan disini jelas salah satunya. Satu saran buat Anda yang sedang membaca blog ini dan belum  pernah ke tempat ini, saya rekomendasikan setidaknya sekali saja berkunjung kemari.

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta

Dari cerita petugas, stasiun ini selain untuk “memandikan” kereta jarak jauh, sekarang hanya melayani rute commuter line dari dan ke stasiun Jakarta Kota, itu pun dengan jadwal yang bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak, namun itu sarana transportasi umum terbaik untuk orang kebanyakan yang hendak berkunjung ke sini.  Adapun opsi lainnya adalah Busway dengan tujuan terminal akhir Tanjung Priok, yang tepat berada di seberang jalan depan stasiun.

Saya sedikit berpikir ketika melihat kereta dengan desain modern yang aktif melayani rute dua bangunan stasiun jadul (jaman dahulu) ini. Kombinasi kontras yang unik antara desain jadul dan desain baru yang kekinian. Sempat terlintas kembali bayangan seandainya desain kereta yang beroperasi di hanya 4 stasiun ini menyesuaikan dengan gambaran kereta zaman dahulu sebagaimana ikon stasiun awal dan akhir kereta tersebut beroperasi. Itu hanya sekedar bayangan ideal menurut saya. Namun tidak ada yang salah juga sih dengan kawin silang desain seperti ini, karena keduanya memang dua objek yang berbeda. Desain adalah masalah selera yang berbeda satu orang dengan orang lainnya. Beberapa desain benda mengikuti perkembangan zaman yang berbeda yang penuh dengan pertimbangannya masing-masing ketika dibuat. Tidak terikat satu dengan lainnya. Begitu juga dengan desain kereta dan juga bangunan stasiun ini.

stasiun-tanjung-priok-2

[one-half-first]stasiun-tanjung-priok-lorong-kantor[/one-half-first]
[one-half]stasiun-tanjung-priok-1[/one-half]

stasiun-tanjung-priok-3

Saya menyempatkan keluar berkeliling melihat bagian depan bangunan stasiun ini. Kondisi bangunannya cukup terawat, sangat cocok untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata pelengkap selain kunjungan di kawasan Kota Tua Jakarta dan pelabuhan Sunda Kelapa yang sudah sangat populer.

Ada beberapa cerita “legenda” yang sebenarnya ingin saya gali lebih lanjut. Kawan saya pernah bercerita bahwa stasiun Tanjung Priok dan pelabuan Tanjung Priok zaman dahulu memiliki keterikatan desain sebagai satu kawasan. Konon ada lorong bawah tanah yang menghubungkan kedua lokasi kunci transportasi di zaman ketika Jakarta masih bernama Batavia ini. Katanya terdapat sebuah hotel bawah tanah di antara keduanya. Entahlah hingga saat ini saya masih belum pernah melihatnya secara langsung.

 

Nuansa Gado-Gado Ala Kampong Glam

Mentari baru saja menampakkan sinarnya, semburat cahaya keemasan memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit yang mendominasi Singapura. Langkah kaki saya berjalan berpadu dengan hentakan musik yang mengalun dari headset handphone kesayangan. Irama lagu Gurindam 12 besutan Jogja HipHop Foundation membawa saya berkeliling Kampong Glam, salah satu kawasan heritage di Singapura dengan Sultan Mosque sebagai ikonnya. Dan kebetulan juga menjadi setting video klip lagu HipHop penyemangat pagi saya seusai shalat subuh di Sultan Mosque.

Masih ingat sehari sebelumnya berdebat dengan partner jejalan karena bingung memilih penginapan di hari ketiga kedatangan. Saya bersikeras memilih di Aliwal Street, sementara dia kepingin stay di kawasan Bugis karena jangkauan jalan kaki ke stasiun MRT lebih dekat, akhirnya mau tidak mau kami harus berpisah (sedih juga). Kendati penginapan saya lokasinya memang sedikit nanggung, jauh dari Stasiun Bugis dan Rochor, agak jauh pula dari Stasiun Nicoll Highway. Tapi setidaknya saya cukup puas karena bisa berjalan-jalan setiap pagi menyusuri lorong demi lorong Kampong Glam dengan bangunan khas nya, mirip seperti adegan dalam video klip HipHop favorit saya. Hahaha.

Kawasan dominan oleh Kafe-kafe dengan kuliner khas Melayu dan Timur Tengah

 

Okelah, tidak perlu berpanjang lebar tentang lagu HipHop, dan tidak perlu pula sedih karena harus berpisah dengan partner jejalan saya yang manis. Ada banyak hal menarik yang bisa ditemui di kawasan Kampong Glam ini, dan saya cukup nyaman dengan nuansa “gado-gado” nya.

Ditilik dari sejarah, area ini memang didominasi oleh warga keturunan Bugis dan Arab, serta suku Jawa. Juga terdapat beberapa keluarga keturunan Banjar, Cina dan India. Oleh karena itu jangan heran dengan identitas jalan di kawasan Kampong Glam, nama-nama seperti Arab Street, Baghdad Street, Haji Lane, Kandahar Street, juga Bussorah street akan kita temui disana.

[one-half-first]Sudut Bussorah Street[/one-half-first]
[one-half]Sunrise Sultan Mosque dari perempatan Arab Street[/one-half]

Dari segi kuliner juga terdapat perpaduan yang unik, banyak kafe dan resto di sepanjang Busorrah Street yang tertata rapi dan glamor, menyajikan aneka pilihan makanan Halal. Daftar menu semacam Kebab Turki, Martabak, Mie Goreng, Nasi Briyani, dan beberapa kuliner lain, kadangkala berpadu dengan menu familiar semacam Nasi Rawon dan Nasi Soto. Bagi saya yang orang Jawa, hal ini adalah sesuatu yang cukup menarik. Dengan komunitas multi etnis, akan ditemui juga ragam kuliner yang “gado-gado” (walau saya belum menemukan menu gado-gado tulen disana).

View Bussorah Street dari Sultan Mosque dengan latar  gedung Pencakar Langit modern

Kawasan Kampong Glam diapit oleh jalan besar dengan nama-nama asing seperti Ophir Road, Victoria Street, dan Nicoll Highway. Disepanjang jalan itulah sebagian besar berupa bangunan gedung pencakar langit yang berarsitektur modern. Cukup berbeda dengan kawasan Kampong Glam yang masih bertahan dengan desain kawasan perumahan dominan berlantai dua, serta keberadaan Masjid Sultan sebagai Vocal Point ditengah-tengahnya.

Lebih detail lagi berbicara keberadaan Busorrah Street. Selain Muscat Street, jalan inilah yang posisinya paling strategis dan berhadapan langsung dengan Sultan Mosque di ujung sebelah Barat. Juga merupakan satu-satunya jalan yang tidak diaspal, pula diberi penghalang temporer bagi kendaraan bermotor untuk bisa masuk kedalam kawasan. Tentu saja demikian, mengingat disinilah satu-satunya area yang arsitekturalnya masih dipertahankan dan kondisinya hampir mirip dengan foto lawasnya yang diambil pada tahun 1910.

Jalan ini juga kerap menjadi jujugan para traveler untuk menikmati sajian kuliner, serta tentunya berfoto dengan latar arsitektural klasik. View paling mainstream adalah Busorrah street sisi Barat, yang mana dipenuhi oleh lampu jalan model kuno, jajaran pohon palem yang tumbuh rapi di area rumput segar, serta diakhiri dengan keberadaan Sultan Mosque berkubah keemasan di ujung jalan. Tentunya dengan tampilan warna warni bangunan kaya ornamen disepanjang sisi lorong jalan.

Warna krem terang, hijau muda, putih dengan aksen ukiran emas, adalah warna yang paling banyak ditemui disini. Atap genteng rumah makan (kadang juga sekaligus penginapan), dilengkapi pula dengan listplank kayu yang diukir serta identik dengan arsitektur tempo dulu. Lantai dua bangunan menjorok sekaligus sebagai atap teras depan, jajaran kursi dan lampu kuno juga banyak ditemui disini. Menambah nuansa klasik dan perkuatan identitas kawasan heritage diantara kepungan arsitektur pencakar langit modern.

Dominasi ornamen terasa kental menghias tampilan tampak bangunan disepanjang jalan. Detail-detail ukiran dekoratif gaya campuran Eropa dan Timur Tengah menjadi favorit untuk mengisi bidang-bidang di lantai dua bangunan. Bentuk kusen dan daun jendela model klasik berbahan kayu, menjadi semakin manis dengan pilihan warna-warna yang senada dengan bangunan. Sesekali warna kusen dan jendela sedikit kontras dengan cat bangunan, akan tetapi hal itu justru menambah semarak kawasan yang memang dihuni oleh multi etnis itu.

Permainan dekoratif juga terasa pada area sepanjang jalan. Pedestrian didepan bangunan ditata sedemikian rupa. Pilihan perkerasan non aspal dilabur warna merah terakota, berpadu dengan lantai abu-abu serta ornamen geometri bermotif Islami di beberapa titik, merupakan sebuah aksentuasi landscape yang menarik. Pula keberadaan area penghijauan rumput sebagai media perletakan lampu jalan dan pohon palem menambah manis warna-warni dan segar pemandangan di kawasan ini.

salah satu view Bussorah Street dengan latar Sultan Mosque

Pagi itu saya cukup puas mengapresiasi Busorrah Street dari sisi Arsitektural. Keberadaannya sebagai area heritage diantara kepungan pencakar langit, serasa oase segar ditengah belantara batu beton dan kaca bangunan modern.

Lumayan lama saya asyik mendokumentasikan suasana Heritage Kampong Glam dengan kamera ponsel, tak terasa jam sudah menunjuk angka delapan. Astaga, saya hampir lupa untuk menjemput partner di Bugis, mengingat siang ini sudah berjanji hendak menyambangi Orchid Garden di kawasan Konservasi Bootanical Garden . Segera saya mengakhiri jalan-jalan pagi ditempat ini, karena jika wanita sudah berencana mengunjungi taman bunga, terlambat sedikit saja bakal ditinggal duluan. Hahaha.

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa Apa di benak anda ketika mendengar kata “sketsa”. Sebuah gambar diatas kertas, semacam ide atau gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya dan tindakan, atau mungkin terbayang pada salah satu acara televisi swasta yang pernah tayang beberapa tahun lalu. Hehehe. Kali ini saya bercerita tentang sketsa dalam arti harfiahnya, yakni karya seni yang tertuang diatas kertas sebagai gambaran dokumentasi suatu tempat, peristiwa, atau kegiatan.

Kebetulan hari libur panjang awal bulan lalu saya tidak mengagendakan traveling. Karena pada weekend itu saya kedatangan tamu-tamu istimewa dari Surabaya dan Jogja. Yaa, hobby sebagai travel sketcher tentu tidak jauh dengan kawan-kawan yang memiliki kesukaan sama bukan. Oleh karena itulah para sahabat penggiat urbansketch dan beberapa komunitas lain mengontak saya untuk berkegiatan di Pasuruan. Wah, senang rasanya kota Pasuruan dikunjungi orang-orang keren, dan sebagai tuan rumah yang baik, tentu saja saya memberi sambutan yang spesial buat mereka, termasuk siap untuk beradu skill sketsa diatas kertas.

IMG_9963 (Salah Satu Bangunan Kuno di Pasuruan)

Memulai aktivitas pagi di sekitar Klenteng kota Pasuruan, saya menyambut kawan-kawan urbansketch dengan membahas rute sketsa di sekitar Pasuruan. Kebetulan pada gathering kali ini turut pula beberapa teman dari komunitas Heritage/Pecinta Sejarah dan Urban Selfie. Maka target kami tentu saja mengunjungi spot-spot bangunan tua yang ada di sekitar pusat kota, dan kami memulai rute dari area sepanjang Stasiun berlanjut ke perempatan Gedong Woloe.

Salah satu bangunan yang cukup menarik minat kami adalah rumah kuno di sudut perempatan Gedong Woloe. Karya arsitektur lawas yang tepat berada diseberang SMAN 1 Pasuruan ini menjadi aksentuasi dengan bentuk tower menjulang di salah satu sisinya. Berbekal izin dan sambutan baik dari empunya rumah, kami kembali ngemper diatas trotoar, beraksi menggores pensil dan menyapu warna diatas kertas. Satu jam waktu yang cukup untuk menyelesaikan karya kami.

IMG_9972 (Hasil Karya Sketsa)

Rute berlanjut menuju Jl. Hasanuddin, tepatnya gedung Yayasan Pancasila dengan halaman depannya yang cukup luas, view sketsa semakin leluasa. Sambutan dari adik-adik Sekolah Dasar awalnya agak menghambat aktivitas kami, syukurnya saya dan kawan-kawan sudah terbiasa dengan hal ini. Justru kami semakin appresiatif dan mengajak mereka untuk larut dalam kegiatan, sekaligus mengenalkan hobby menggambar dan mengedukasi mereka dengan beberapa tips sketsa singkat.

Usai menyelesaikan karya kami, destinasi berikutnya adalah Rumah Singa yang juga masih di sekitaran Jl. Hasanuddin. Sayangnya kami tidak mendapat izin lebih leluasa untuk melakukan aktivitas disekitar destinasi populer ini. Maklum karena alasan privasi pribadi dari empunya rumah, akhirnya kami sepakat mendokumentasikan dari seberang jalan. Tak terasa hari semakin sore, setelah beristirahat dan makan siang sembari berjalan santai disekitar alun-alun kota Pasuruan.

Rute puncak kami adalah gedung Yayasan Kejuruan Untung Surapati atau lebih dikenal dengan sebutan Gedung Harmoni. Kebetulan kami disambut baik dan dipersilahkan berkegiatan di halaman gedung yang letaknya persis berhadapan dengan Taman Kota ini. Rasa letih dan lelah setelah terforsir seharian, kembali berkurang dan berganti dengan semangat untuk menyelesaikan karya sketsa kami sebelum senja. Gedung ini masih dipergunakan sebagai bangunan fasilitas pendidikan. Halaman depannya kerap dipakai berkegiatan outdoor siswa sekolah. Kebetulan sore itu masih ada kegiatan olahraga dan senam siswa sebelum jam sekolah berakhir. Maka kami betul-betul memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya.

Sementara kami fokus dengan pensil dan cat air, kawan-kawan dari penggiat Heritage/Sejarah dan Urban Selfie asyik bergelut dengan kamera mereka masing-masing. Tema Bangunan Tua kali ini benar-benar menjadi benang merah untuk kami berkolaborasi. “Taadaaa….” Hampir dua jam berjuang, kami menyelesaikan karya. Dan seperti biasanya, menjelang akhir kegiatan kami kerap berfoto bersama, sekaligus mengikutsertakan karya masing-masing dengan latar bangunan yang menjadi obyek sketsa.

IMG_9978 (Hasil Karya Sketsa)

 

Akhirnya hari itu kami sukses membingkai beberapa sudut Kota Tua Pasuruan dalam Sketsa, antusiasme teman-teman dari Surabaya dan Jogja adalah kepuasan tersendiri bagi saya sebagai warga Pasuruan. Sembari tentunya senantiasa menanti kolaborasi selanjutnya dari UrbanSketch, UrbanSelfie, dan HeritageTraveler untuk berkarya dan berkegiatan positif di lain waktu.

IMG_9991 (Foto Bersama)

 

Why We Love Plaosan

Candi Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin juga Kalasan, kiranya sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Ketiganya cukup terkenal dan acapkali muncul menjadi icon promosi daerah Klaten, Jogja, dan Jawa Tengah. Apalagi Prambanan dan Ratu Boko, keduanya menjadi Taman Wisata Candi yang dikelola dengan serius sebagai aset wisata internasional. Namun pada kesempatan kali ini saya tidak berkisah tentang ketiga candi tersebut, karena ada beberapa peninggalan cagar budaya lain yang tidak kalah keren, dan mungkin sudah kesekian kalinya menjadi artikel di Jejalan.

Yaa, kembali saya bercerita tentang Candi Plaosan di Klaten yang mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya bagi para kru Jejalan. Terletak kurang lebih empat kilometer disebelah Timur kompleks Candi Prambanan, Candi Plaosan bisa ditemui berdiri dengan gagah ditengah hamparan lahan persawahan yang lapang. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dan teman-teman menyambangi Candi yang diperkirakan dibangun pada abad 9 Masehi ini. Bahkan pada kesempatan kali ini saya sudah berkunjung dua kali dalam sebulan.

IMG_9709 sawah

Ibarat sebuah oase di padang pasir yang terik dan gersang, sosok Candi Plaosan adalah sebuah arsitektur kuno yang berdiri megah ditengah sawah lapang. Warna hitam kelabu batu-batu yang menyusunnya adalah pemandangan kontras bagi hamparan permadani hijau lahan persawahan disekelilingnya. Saya menyebutnya aksentuasi, dan inilah daya tarik pertama mengapa kami belum bisa move on dari Plaosan.

DSC00266

Lokasinya yang jauh dari jalan raya utama bukanlah kekurangan, justru jalan aspal pedesaan yang menjadi penghubung Candi ke jalan raya arteri adalah nilai lebih yang membuat tempat ini jauh dari bising dan polusi udara. Cobalah bayangkan ketika pagi buta, sembari menghirup udara segar pedesaan, memandang lansekap hijau persawahan, telinga dipenuhi suara gemericik aliran air sungai dan kicauan aneka burung, disambut senyum ramah bapak ibu petani yang berangkat kesawah dengan sepeda kayuhnya, disusul terbitnya mentari di ufuk Timur yang menciptakan siluet Candi di tengah lahan persawahan. Hanya satu kata, istimewa.

DSC00274

plaosan jejalan sunrise 7

Bagi pemburu sunrise ataupun sunset, Plaosan menawarkan sensasi berbeda. Terbitnya mentari dengan latar belakang candi, dan aktivitas petani di sawah adalah sebuah kisah yang bisa diabadikan dalam kamera. Sementara tenggelamnya matahari dengan siluet candi juga merupakan pemandangan yang tak kalah spektakuler. Apalagi bagi mereka yang menyukai berburu Milky Way, area terbuka persawahan di sekitar Plaosan adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Momen Sunrise dan Sunset yang khas, inilah daya tarik kedua Candi Plaosan.

[one-half-first]plaosan right[/one-half-first]
[one-half]plaosan left[/one-half]

Tempat ini memang belum dikelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, tidak ada ticketing khusus dengan tarif yang mengikat. Kendati pengunjung hanya diminta iuran sukarela untuk biaya perawatan candi, namun fasilitas macam Kamar Mandi dengan air bersih sudah bisa dipergunakan disini. Murah, dan juga jam kunjungan yang fleksibel adalah alasan ketiga mengapa candi Plaosan cukup menarik. Kami pernah datang bukan pada jam kunjungan resmi, tepatnya pukul enam pagi, justru dipersilahkan memasuki kompleks candi serta diiringi oleh senyum ramah bapak petugas pos jaga dipintu gerbang, betapa menyenangkan.

Candi Plaosan memang masih berupa reruntuhan, akan tetapi merupakan kompleks percandian dengan skala yang cukup besar dan terawat dengan baik. Dua candi utamanya yang berada di Utara jalan desa adalah icon utama, sementara beberapa candi kecil di Selatan juga tidak boleh dilewatkan. Dibanding dengan Cagar Budaya lain yang sudah cukup ramai, Plaosan bisa jadi alternatif menikmati jejalan tanpa harus dipusingkan dengan potensi padatnya pengunjung. Karena itu, bagi para traveller yang sudah bosan dengan destinasi terlalu mainstream, sepatutnya harus mencoba mlipir kemari. That’s why we love Plaosan.

Melenggang di kawasan Kota Tua Semarang

Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.

Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.

Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Gedung Marabunta dengan icon semutnya
Gedung Marabunta dengan icon semutnya
 Semarang Art Gallery
 tangga menuju lt.2 galery

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.

Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.

Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

interior galery
interior galery

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.

Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.

Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.

Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.

Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.

teman jejalan
teman jejalan

Gemerlap Lampion Pasar Gede Solo

“Masih belum nyala…!!” demikian komentar teman saya sembari menengok jam ditangannya. Sudah hampir pukul 18.00, dan kami semua tetap sabar menanti berbaur dengan para pengunjung lain. Yaa, menjelang Imlek seperti saat ini, sekitar Pasar Gede Solo selalu dihias dengan ribuan lampion khas berwarna merah menyambut datangnya Tahun Baru Cina. Momen paling dinanti tentu saja kala menjelang malam, saat masing-masing lampion mulai nyala dan memancarkan cahaya cantik dari balik kertas pembungkusnya.

Kebetulan hari itu baru saja berlangsung acara Grebeg Sudiro, sebuah panggung masih terlihat mulai dibersihkan dekorasinya. Tepian jalan raya masih tampak sampah berserakan bekas makanan para penonton pawai Grebeg yang berlangsung siang harinya. Sambil menyaksikan perjuangan para petugas kebersihan bertempur melawan sampah, kami sejenak berjalan menuju Klenteng Tien Kok Sie Pasar Gede yang hanya beberapa langkah dari pusat keramaian.

IMG_7533

IMG_7534

IMG_7535

Klenteng kecil ini terlihat mulai bersolek, lampion lampion cantik bergantungan di langit-langit. Selendang dan pita warna merah menyala menghiasi pagar depan dan kedua patung di pintu masuk. Cahaya lilin dan kertas hias membuat suasana Klenteng semakin berkilau. Kami dan pengunjung mulai sibuk mengambil gambar dan juga sedikit berpose narsis disana.

Suasana yang semakin gelap, dan beberapa kendaraan yang mulai menyalakan lampunya sekaligus mengingatkan kami kalau saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Satu demi satu lampion di depan Pasar Gede mulai menyala. Wah, suasana berubah menjadi meriah, bahkan jalan raya sejenak menjadi macet akibat ulah para pengunjung yang asyik mengabadikan nyala lampion hingga mengganggu pengguna jalan.

IMG_7540

IMG_7345

IMG_7346

IMG_7563

Sepanjang jalan didepan Pasar Gede memang dipenuhi oleh ribuan bola cahaya berwarna merah. Lampion-lampion itu seolah menjadi elemen dekoratif sekaligus penghias taman dan jalan raya. Ada yang ditata memanjang melintang maupun membujur dengan jalan. Disusun melingkar bertumpuk-tumpuk diatas sculpture menara jam Pasar Gede. Beberapa menggantung di sepanjang bangunan, berbaris melintang diatas sungai, bahkan disusun rapat laksana tirai raksasa didekat jembatan sungai, sungguh sangat meriah sekali.

Saya dan kawan-kawan segera larut dalam suasana semarak petang itu, kami berfoto bersama, gantian berpose, berusaha mengabadikan momen-momen spesial dibawah gemerlap terang lampion. Sebuah momen travelling yang menyenangkan, menikmati akhir pekan dengan jejalan diatas aspal jalan Pasar Gede Solo dengan bermandikan cahaya lampion Imlek. Semoga Imlek tahun depan kami bisa menikmatinya lagi.