Jika kamu penyuka bangunan kuno dan bersejarah di sekitaran Jakarta, tentu tidak akan pernah melewatkan stasiun Jakarta Kota. Stasiun ini juga dikenal dengan nama stasiun Beos, kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Berdiri sejak zaman Belanda, stasiun ini masih beroperasi hingga sekarang, yang mana melayani rute kereta lokal jarak menengah hingga kereta jarak pendek commuter line. Secara personal jika berada di stasiun ini selalu memancing imajinasi saya akan kisah-kisah masa lampau yang telah dilewati oleh bangunan ini. Mengingat bentuk bangunan yang khas arsitektur peninggalan Belanda.
Jika ada waktu luang, saya sering berkunjung ke stasiun ini dengan menaiki kereta listrik (commuter line). Entah untuk singgah ke beberapa bangunan dengan nuansa yang sama di sekitarnya, atau hanya sekedar duduk mengamati hiruk pikuk manusia yang transit di stasiun ini.
Mengamati ekspresi muka dan gerak ratusan manusia. Melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan moda angkutan masal bebasis re, kadangkala cukup menggugah banyak pemikiran tentang hidup. Stasiun seperti halnya Terminal, secara umum selalu menjadi salah satu tempat istimewa, semacam laboratorium hidup buat saya. Tempat mengamati aktivitas manusia yang selalu terulang semenjak zaman dahulu. Ketika detik berubah menjadi jam, hari, bulan hingga tahun, dan terus berganti, aktivitas manusia untuk berpindah tempat (traveling) tidak pernah berhenti. Selalu ada jutaan alasan untuk setiap individu kenapa mereka melakukannya sejak dahulu kala. Aktivitas yang sama tuanya dengan usia manusia. Stasiun adalah tempat yang tidak terpisahkan yang dengan aktivitas traveling manusia modern. Jutaan bentuk perpisahan dan perjumpaan terjadi di sini, kenangan akan orang, tempat dan juga rasa bercampur dalam setiap waktu.
Suatu waktu ketika berjalan di sekitar stasiun Jakarta Kota saya melihat ada commuter line melintas keluar dari stasiun, di depannya tertulis jurusan “Tanjung Priok”. Penasaran dengan hal itu, saya pun berencana menaiki kereta tersebut nantinya. Informasi yang saya dapatkan kereta pemberangkatan terakhir baru akan berangkat jam 5 sore, sekitar 2 jam lagi. Cukup lama saya menunggu di stasiun Jakarta kota, dan kembali saya menghabiskan waktu mengamati manusia dengan beragam kegiatannya di dalam stasiun ini.
Ketika hampir pukul 5 sore, satu rangkaian kereta yang ditunggu datang menuju jalur 10 untuk berhenti. Saya pun bergegas menghampirinya dan memutuskan untuk masuk ke salah satu gerbongnya. Saya duduk di bangku yang tersusun memanjang, tersebar menempel di dinding kanan dan kiri gerbong. Tidak lama berselang kereta listrik ini bergerak. Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk kereta ini sampai tujuan akhir stasiun Tanjung Priok, diantaranya kereta hanya berhenti sejenak untuk menaik-turunkan penumpang di stasiun Kampung Bandan dan Ancol.
Begitu turun dari commuter line kepala saya tidak henti-hentinya menengok ke atas, mengamati arsitektur stasiun Tanjung Priok ini. Imajinasi saya pun bergerak serasa berada di dunia masa lampau di Eropa, setidaknya seperti yang saya pernah lihat di tayangan televisi dan film. Bayangan akan kemegahan stasiun Jakarta Kota langsung mengecil jika dibandingkan dengan stasiun ini.
Saya berjalan di sebelah gerbong kereta listrik modern yang baru saja saya naiki, menuju ujung luar kubah melengkung yang berfungsi melindungi kereta dan penumpangnya dari air hujan dan sengatan terik mentari. Perlahan saya berjalan mengamati arsitektur bangunan, sembari sesekali mencoba memotret dengan kamera ponsel yang saya bawa. Seperti juga stasiun Jakarta Kota, stasiun Tanjung Priok rupanya juga bertipe terminus (perjalanan awal/akhir), atau stasiun yang tidak memiliki jalur lanjutan lagi, tidak banyak jumlah stasiun yang seperti ini di Indonesia.
Kubah stasiun Tanjung Priok yang sangatlah besar, kaca balok tersebar di bagian atas kanan-kiri atap, memberi jalan bagi sinar yang berasal dari luar bangunan untuk sedikit menerangi bagian dalam. Kebetulan ketika itu hari sudah hampir menjelang malam. Pencahayaan kurang bersahabat dengan kamera handphone, setidaknya noise sedikit terasa di hasil akhir foto saya. Untungnya cahaya dari kaca di kanan kiri atap bangunan tadi sedikit membantu menerangi struktur didalam bangunan.
[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]
Saya melanjutkan berjalan ini hingga ujung stasiun, kemudian menyusuri susunan batu yang berjajar dengan pola melengkung di taman bagian luar bangunan. Tiada hentinya saya kagum, begitu besar dan megahnya bangunan stasiun ini. Jantung saya kembali berdegup, imajinasi kembali berkembang hingga ke mana-mana. Menghubungkan berbagai literasi cerita zaman kolonial yang pernah saya baca, hingga kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, tentang bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat sekitar di waktu itu.
Tidak banyak tempat yang sering membuat saya merasakan sensasi seperti ini, dan disini jelas salah satunya. Satu saran buat Anda yang sedang membaca blog ini dan belum pernah ke tempat ini, saya rekomendasikan setidaknya sekali saja berkunjung kemari.
Dari cerita petugas, stasiun ini selain untuk “memandikan” kereta jarak jauh, sekarang hanya melayani rute commuter line dari dan ke stasiun Jakarta Kota, itu pun dengan jadwal yang bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak, namun itu sarana transportasi umum terbaik untuk orang kebanyakan yang hendak berkunjung ke sini. Adapun opsi lainnya adalah Busway dengan tujuan terminal akhir Tanjung Priok, yang tepat berada di seberang jalan depan stasiun.
Saya sedikit berpikir ketika melihat kereta dengan desain modern yang aktif melayani rute dua bangunan stasiun jadul (jaman dahulu) ini. Kombinasi kontras yang unik antara desain jadul dan desain baru yang kekinian. Sempat terlintas kembali bayangan seandainya desain kereta yang beroperasi di hanya 4 stasiun ini menyesuaikan dengan gambaran kereta zaman dahulu sebagaimana ikon stasiun awal dan akhir kereta tersebut beroperasi. Itu hanya sekedar bayangan ideal menurut saya. Namun tidak ada yang salah juga sih dengan kawin silang desain seperti ini, karena keduanya memang dua objek yang berbeda. Desain adalah masalah selera yang berbeda satu orang dengan orang lainnya. Beberapa desain benda mengikuti perkembangan zaman yang berbeda yang penuh dengan pertimbangannya masing-masing ketika dibuat. Tidak terikat satu dengan lainnya. Begitu juga dengan desain kereta dan juga bangunan stasiun ini.
[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]
Saya menyempatkan keluar berkeliling melihat bagian depan bangunan stasiun ini. Kondisi bangunannya cukup terawat, sangat cocok untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata pelengkap selain kunjungan di kawasan Kota Tua Jakarta dan pelabuhan Sunda Kelapa yang sudah sangat populer.
Ada beberapa cerita “legenda” yang sebenarnya ingin saya gali lebih lanjut. Kawan saya pernah bercerita bahwa stasiun Tanjung Priok dan pelabuan Tanjung Priok zaman dahulu memiliki keterikatan desain sebagai satu kawasan. Konon ada lorong bawah tanah yang menghubungkan kedua lokasi kunci transportasi di zaman ketika Jakarta masih bernama Batavia ini. Katanya terdapat sebuah hotel bawah tanah di antara keduanya. Entahlah hingga saat ini saya masih belum pernah melihatnya secara langsung.