Musim Semi Di Kebun Raya Cibodas

Sudah lama saya mendengar bahwa di Kebun raya Cibodas ada beberapa pohon sakura, pohon ini katanya ditanam sejak tahun 1953. Sebagai penduduk negara dengan dua musim; hujan dan kemarau, boleh dong menikmati suasana musim semi seperti di Jepang. Yang paling terkenal tentu ditandai dengan berbunganya pohon sakura.

Tak perlu jauh maka saya mencoba menikmati suasana ala musim semi di Kebun raya Cibodas, tentu ketika pohon sakura sedang berbunga. Di Kebun raya Cibodas pohon sakura berbunga dua kali dalam setahun, yakni bulan februari dan bulan september.

Saya mendapati beberapa satwa kecil juga turut menikmati mekarnya bunga khas Jepang ini. Pohon sakura atau beberapa orang menyebutnya bunga sakura ini sebenarnya tergolong dalam familia Rosaceae, genus Prunus sejenis dengan pohon prem, persik, atau aprikot. Bahasa inggrisnya umum disebut dengan nama cherry blossoms.

Tak hanya soal bunga sakura sebenarnya, secara umum Kebun raya Cibodas cukup asyik dan nyaman untuk digunakan sebagai tempat melepas penatnya Jakarta, tentu pilih waktu berkunjung yang pas, agar gak malah jadi tambah penat ketika mendapati jalur puncak Bogor yang macetnya ampun-ampun, hehe.

Yang membedakan Kebun raya Cibodas dengan Kebun raya Bogor rasanya soal sejuknya udara, ya karena lokasi Kebun raya Cibodas memang pas di lereng atau kaki gunung Gede Pangrango, wajar jika lebih dingin. Yang jelas koleksi flora faunanya ya memang berbeda sih, secara otomatis suasananya juga berbeda.

Bagaimana seru kan? Mungkin lagu Uci bing slamet dengan judul Bukit Berbunga cocok diputar saat berkunjung ke sana, hehe.

Di bukit indah berbunga
Kau mengajak aku kesana
Memandang alam sekitarnya
Karena senja telah tiba
Mentari tenggelam
Di gunung yang biru
Langit merah berwarna sendu

Kita pun turun bersama
Melintasi jalan setapak
Tanganmu kau peluk di pundak
Membawa aku melangkah
Tak lupa kau petik
Bunga warna ungu
Lalu kau selipkan di rambutku

Bukit berbunga
Bukit yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Memadu cinta
Bukit berbunga
Tempat yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Di bukit berbunga

Singapura, Pembuka Coldplay Tour Asia

31 Maret 2017 mungkin merupakan hari yang tidak dilupakan oleh penggemar grup musik Coldplay di Asia, khususnya fans dari Singapura. Karena pada hari itu, grup musik asal Inggris ini memulai rangkaian tur Asia mereka bertajuk A Head Full of Dream Tour yang rencananya berlangsung hingga pertengahan April di Tokyo. Beberapa tempat bakal disinggahi Chris Martin dkk, diantaranya Singapura, Manila, Bangkok, Taipei, Seoul, dan Tokyo. Sebelum mereka melanjutkan menggebrak eropa pada bulan Juni dan Juli.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam jadwal mereka, sehingga saya dan beberapa teman dengan senang hati menyeberang ke negara tetangga untuk menyaksikan aksi pelantun lagu Yellow ini. Yaa… dengan senang hati lah, karena bagi saya. Tujuan mampir ke Singapura tentu bukan hanya nonton aksi panggung mereka, tapi pastinya juga ber-jejalan ria.

Akhirnya, setelah melalui persaingan berburu tiket yang “tentu saja” berujung kegagalan. Pada dua minggu menjelang hari H, saya dan seorang kawan akhirnya mendapat lungsuran tiket return dari beberapa kenalan. Hmm… walau menebusnya dengan harga sedikit lebih mahal, tidak apalah. Karena beberapa orang bahkan rela menebus tiket return yang berharga dua tiga kali lipat. Mungkin itulah buah dari kesabaran orang-orang seperti kami. hehehe.

Singapore International Stadium kabarnya sudah dipenuhi pengunjung sejak jam duabelas siang waktu setempat. Kendati gelaran acara akan dimulai pukul tujuh malam, antusias fans yang cukup membludak membuat area luar stadion berkapasitas limapuluh ribu orang itu semakin crowded. Saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di area Nicoll Highway, justru berangkat pukul empat sore, maklum Stasiun MRT Nicoll hanya tiga menit saja dengan Stasiun MRT Stadium. Jadi inilah keuntungan menginap lebih dekat dengan tempat konser.

Setelah sempat berbelanja di mall Kallang Wave yang masih bagian dari stadion, menjelang sore diiringi gerimis yang tak kunjung henti, kami mulai memasuki area plaza terbuka di lantai tiga. Dan… bum… ribuan calon penonton menyesaki antrian didepan gerbang yang ada. Tua Muda, Besar Kecil, wajah-wajah asia maupun bule, meramaikan suasana. Sebagian besar memakai kaos dan atribut bergambar Coldplay maupun logo geometris penuh warna pelangi, khas album terbaru mereka. Beberapa lagi juga terlihat memakai T-Shirt seragam dengan tagar AHFOD serta sablon jadwal tour dunia Coldplay yang terpampang di punggungnya.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Usut punya usut, ternyata disekitar plaza terdapat beberapa tenda official merchandise yang menjual Shirt serta pernak-pernik Coldplay selama konser berlangsung. Mengingat antrian sudah terlalu padat, dan kami juga harus mencari gate masuk yang sesuai dengan tiket. Maka tanpa tergoda belanja merchandise, kami ikut larut dalam barisan antrian masuk dalam stadion.

No Photography, No Videography, and selfie stick allowed. Dan itu benar-benar diterapkan petugas, semua tas diperiksa walaupun satu dua kamera mirrorless lolos dari pemeriksaan. Setidaknya himbauan yang tertera di tiket cukup membuat penonton enggan berencana membawa alat-alat yang pada nantinya bisa mengganggu kenyamanan penonton lain selama konser.

Whooaa… Akhirnya kami masuk kedalam stadion yang megah dengan penutup atap modern itu, sebagai arsitek saya dan kawan jejalan kali ini tentu saja termangu melihat barisan struktur atap serba high tech ini. Akan tetapi sudahlah, fokus ke konser, kita bahas itu lain kali, hehehe. Tempat duduk saya berada di baris tengah sedikit mendekati view panggung. Ini adalah titik paling sempurna bagi saya, karena bisa menyaksikan keramaian dibawah dan diatas saya. Walau jarak pandang ke panggung masih cukup jauh, tapi aksi Jhony Buckland dkk bisa terlihat jelas dari tiga layar super raksasa dibelakang mereka.

Dibuka aksi penyanyi muda Jess Kent, pengunjung terus memenuhi area dalam stadion, baik yang berdiri disekeliling panggung maupun tempat duduk. Suasana semakin gelap diluar stadion, dan pengunjung mulai asik bergoyang menikmati lagu-lagu pembuka. Sementara saya asyik memasang wristband di pergelangan tangan yang mana nantinya bisa menyala mengikuti permainan cahaya panggung, karena didalamnya terdapat perangkat elektronik yang dilengkapi sensor.

Tepat pukul 19.30 lampu stadion dimatikan, penonton sontak bergemuruh karena tiba-tiba wristband kami memancarkan cahaya merah seragam. Lautan manusia dibawah berubah menjadi lautan cahaya merah bak gemerlap plankton di lautan malam. Belum selesai kekagetan penonton, lampu laser panggung langsung menyorot bersahutan diiringi kemunculan para personel Coldplay membawakan lagu A head full of dream. Gebrakan yang istimewa, sebagian penonton masih bingung dan sibuk mengabadikan momen-momen permainan laser panggung dan ribuan cahaya wristband penonton lain hingga tak terasa lagu pertama telah usai dinyanyikan.

Tiba-tiba semua gelap, hanya ada bunyi gitar akustik yang Guy Beryman yang lembut mengalun, penonton terdiam menunggu… dan mendadak semua lampu wristband menyala kuning, stadion dipenuhi lautan cahaya warna kuning, penonton berteriak histeris karena mereka tahu bahwa ini adalah waktu melantunkan lagu Yellow, lagu yang turut mempopulerkan Coldplay di eranya. Bersamaan dengan itu pula alunan gitar berubah menghentak dengan distorsi khas lagu Yellow, kembang api menyala dibelakang panggung. Penonton semakin histeris dan stadion bergemuruh dengan nyanyian kami.

Berturut-turut kemudian, The scientist, Birds membuat para penonton riuh dengan bergoyang dan bernyanyi bersama. Hingga mereka kembali terdiam ketika lampu stadion meredup dan hanya terdengar alunan piano merdu dari kegelapan. “Paradise….” Demikian celetuk seorang penonton dibelakang saya, dan tetiba saja musik single Paradise mengalun khas, disertai warna merah dan biru menyala bersama di masing-masing wristband. Warna Pelangi untuk lagu Paradise seolah mengantar kami bernyanyi dalam mimpi indah.

Disusul kemudian dengan lagu beberapa lagu lain, diantaranya Clocks, Hmyn For The Weekend, dan Fix You yang sekali lagi Chris Martin membiarkan penonton bernyanyi dan dia yang mengiringi musiknya. Hingga akhirnya permainan laser dan wristband kembali menggila pada lagu Viva La Vida. Termasuk saya tak henti tertawa melihat rekan disebelah yang bergoyang heboh pada saat lagu Adventure of a lifetime dilantunkan. Suasana konser malam itu benar-benar istimewa. Aksi panggung, Background latar, permainan cahaya dan sound System, serta antusias pengunjung dengan aksi warna-warni wristband benar-benar patut mendapat acungan jempol. Atap stadion yang tertutup pun tak luput jadi sorotan permainan laser warna-warni yang menarik selama konser.

Ditengah acara, personil Coldplay sempat menghilang tatkala cahaya dimatikan, ternyata mereka berpindah tempat di panggung kecil yang lebih dekat dengan kerumunan penonton, tentu saja dengan pengamanan ekstra. Beberapa lagu akustik sempat dinyanyikan, diantaranya Don’t Panic yang mengalun lembut membius para penonton larut dalam suasana.

Dan seusai lagu Something Just Like This yang dipenuhi permainan videographic super keren di layar panggung utama. Aksi Coldplay kembali menggila di lagu A sky full of stars. Cahaya Laser dan Wristband menyala bersahutan, Chris Martin bahkan sempat berlari disepanjang panggung dengan disertai ledakan kembang api disusul taburan kertas warna-warni dan balon dari atap stadion. Hanya ada satu kata, luar biasa…

Histeris para penonton yang menjadi-jadi akhirnya ditutup dengan lagu Up & Up. Hingga lampu stadion dinyalakan, dan para personel Coldplay memberi salam perpisahan didepan panggung, para penonton sepertinya masih belum bisa move on. Teriakan “one more time” dari beberapa titik stadion masih terdengar. Namun semuanya telah berakhir bagi kami malam itu. Akhir bagi kami, namun awal bagi runtutan konser A Head Full Of Dream Coldplay 2017.

Clark Quay Singapura Dengan Sepenggal Senja Yang Romantis

Saya terpaku memandang sekeliling yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dengan beragam gaya. Mulai arsitektur modern, klasik, hingga high tech berdiri disepanjang tepian sungai Singapore River. Mentari sudah beranjak pergi, namun gelap masih belum kunjung tiba, sehingga kami berdua masih berkesempatan mengagumi masing-masing wujud bangunan disepanjang pedestrian Clark Quay Singapura. Apalagi saya yang masih terbius dengan perpaduan istimewa antara Sungai, Pedestrian, Landscape, dan jajaran arsitektur yang ada disana.

Tepukan ringan Siska di pundak saya kembali menyadarkan lamunan itu, “ayo ke sebelah sana, sunset dari atas jembatan jauh lebih menarik” tukasnya sembari memberi isyarat untuk menyiapkan kamera. Kami berdua melangkah ringan menuju Malacca Bridge, jembatan klasik yang menghubungkan area Riverside dengan kawasan kuliner Clark Quay Sentral yang berarsitektur high-tech.

suasana clark quay sebelum senja

Sore itu saya dan sahabat sengaja mengunjungi kawasan Clark Quay di tepi sepanjang Sungai Singapura. Setelah seharian penuh mengantar memenuhi hasrat belanjanya di Chinatown dan Orchard Road, sahabat saya yang satu ini berjanji mentraktir makan malam di tempat yang istimewa. Apalagi dia sudah paham jika saya suka melancong sambil menikmati senja di tepian sungai kota-kota besar, pilihannya untuk menghabiskan hari terakhir kunjungan di Singapura dengan menyambangi tempat ini adalah rekomendasi yang tepat. Sembari duduk-duduk di tepi railing pagar Malacca Bridge yang legendaris, kami berdua menikmati lalu lalang wisatawan menunggu hingga senja tiba di sebelah Barat.

Malacca Bridge memang tempat paling strategis, membujur dari sisi Utara ke Selatan, turis bisa leluasa memandang di kedua sisi jembatan yang demikian terbuka berupa sungai tanpa halangan apapun. Disisi Timur berupa gedung-gedung modern, dengan secuil plaza terbuka berupa wahana Reverse Bungee berukuran raksasa yang mampu melontarkan dua pasang manusia didalam kerangkeng mungilnya. Sesekali terdengar pekikan dan jerit ngeri bercampur senang tiap kali kami melihat bola besi transparan itu melenting puluhan meter ke udara, disertai kilatan cahaya blitz kamera ribuan turis yang mengabadikan momen disekitarnya. Namun kembali kami mengarahkan pandangan ke sisi Barat Jembatan, dimana deretan gedung Riverside Point yang cantik mulai menyalakan lampunya menyambut petang.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Kebetulan waktu itu langit Singapura benar-benar cerah, semburat warna jingga keunguan memenuhi langit senja. Jajaran gedung pencakar langit nan cantik berbaris disepanjang tepian sungai hingga ujung mata memandang. Lampu-lampunya yang mulai nyala berkilauan memantul laksana lukisan dipermukaan sungai Singapura yang tenang. Lalu lalang perahu kecil berhias lampu gemerlap semakin menambah daya tarik tempat ini, suasana romantis makin terasa tatkala beberapa pasangan muda-mudi asyik berselfie ria dengan latar sunset ditepi Malacca Bridge.

Sangat singkat, kurang dari sepuluh menit kami menikmati atraksi senja disni, namun ini adalah salah satu sepuluh menit terlama dalam hidup saya. Keindahan suasana senja ala Clark Quay tak patut untuk dilewatkan para traveler yang berkunjung ke Singapura. Kombinasi sunset, sungai dan keberadaan beragam arsitektur menarik adalah mahakarya yang memukau.

Rasa haus dan lapar membuat kami teringat untuk segera menuju Clark Quay Sentral di sebelah Utara. Area plaza terbuka dengan pedestrian berupa granit tile tertata unik, dengan dominasi struktur pipa besi membentuk payung-payung kanopi raksasa. Bahan tenda transparan diperkuat kabel-kabel baja sebagai penutup atapnya menambah kesan hightech dan modern, apalagi permainan tata cahaya yang demikian spektakuler semakin memberi kesan warna warni gemerlap yang serba berkelas.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Aneka pilihan menu tersedia disana, walaupun bagi saya range harga yang ditawarkan lumayan diatas rata-rata. Namun menjajal menikmati suasana makan malam ditepi Sungai Singapura adalah pengalaman spesial yang harus dicoba. Dua porsi Seafood Noodle, Minuman Sari buah dan Cocktail adalah pilihan yang kooperatif bagi saya dan sahabat untuk menghabiskan malam panjang kami di Clark Quay.

Prihal Seni dan Sosial Menumbuk Padi

Sewaktu saya masih kecil dan tinggal di desa, kerapkali saya menjumpai aktivitas penduduk menumbuk padi. Menumbuk padi ala tradisional adalah cara manual untuk mengubah padi kering menjadi beras yang siap dimasak. Tatkala keberadaan mesin penggilingan padi dirasa lebih ekonomis, mudah dan tidak menghabiskan banyak waktu, banyak petani yang mulai meninggalkan aktivitas tersebut. Tidak bisa disalahkan memang, namun ada satu tradisi yang turut punah ketika aktivitas tersebut juga menghilang.

desa-adat-ciptagelar

Di Ciptagelar, kampung adat yang berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi. Saya menemukan kembali beberapa potongan ingatan apa saja yang hilang dari aktivitas menumbuk padi ini. Satu hal yang saya ingat adalah keberadaan nilai Seni didalamnya. Menumbuk padi bukan sekedar aktivitas merubah padi menjadi beras. Jika dilakukan bersama-sama, Alu yang dipegang ibu-ibu akan menghasilkan suara khas ketika bertumbukan dengan lumpang. Sekiranya dilakukan dengan tempo yang sudah diatur secara bersama-sama, niscaya akan menghasilkan alunan musik yang indah. Secara pribadi saya terhibur dan suka dengan bunyi-bunyian unik semacam ini.

tempat-menumbuk-padi-ciptagelar

ibu-ibu-membawa-padi-untuk-ditumbuk

aktivitas-menumbuk-padi-ciptagelar

Inilah musik yang saya nantikan ketika dulu berkunjung ke desa, dan saya menemukan kembali ketika berkunjung ke Ciptagelar. Seni musik yang membuat saya betah berlama-lama menikmati alam pedesaan yang masih asri.

Selain perpaduan musik, hal lain yang saya amati ketika melihat sekelompok ibu-ibu menumbuk padi adalah mereka aktif melakukan obrolan, kalau kata orang kota ini semacam ajang untuk bergosip, bisa jadi hal itu ada benarnya. Mungkin lebih tepatnya ajang untuk bersosialiasi, membahas isu terkini yang terjadi di desa. Saya sendiri hanya bisa menyimpulkan berdasarkan asumsi untuk hal ini. Tapi saya cukup yakin sih kalau hal itu yang terjadi. Hehehe.

Jadi menumbuk padi adalah aktivitas berkesenian sekaligus besosialiasi yang berkembang bersama budaya hidup agraris.

Lantunan Doa Di Depan Istana Phnom Penh

Ribuan warga masih terus memadati halaman luar Istana Royal Palace Phnom Penh Kamboja (Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea). Bahkan jalan raya Samdech Sothearos Boulevard yang tepat berada didepan pintu masuk Istana juga ditutup penuh sore itu. Dengan penjagaan petugas bersenjata lengkap, ritual pembacaan doa berlangsung seharian didepan Royal Palace. Area steril membentang sepanjang Samdech Sothearos Boulevard, hingga Royal Palace Park yang mirip alun-alun itupun sepi dari pengunjung. Kami dan ribuan warga hanya bisa berjejal memenuhi jalan raya Sisowath Quay diseberang yang berbatasan langsung dengan Tonle Sap River disisi Timur.

Lantunan doa dari ribuan bhiksu dan pemuka agama mengalun khidmat seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk Barat, tepat dibelakang Royal Palace. Siluet bangunan berarsitektur Khmer klasik dan penuh ornamen itu semakin cantik menjelang malam dengan ribuan lampu yang menghiasinya. Sementara tepat ditengah bangunan, terpampang foto Raja Norodom Sihanouk berukuran raksasa dengan diterangi lampu sorot.

[one-half-first]biksu di depan istana kamboja[/one-half-first]
[one-half]biksu dan istana kamboja[/one-half]

doa di depan istana kamboja

Itulah sedikit gambaran tepat empat tahun yang lalu, di awal tahun 2013, tatkala kami berkesempatan menyaksikan rangkaian ritual penghormatan terakhir pada mendiang Raja Kamboja Norodom Sihanouk, yang digelar di pusat kota Phnom Penh. Sebelum jenazah diarak menuju krematorium pada tanggal 1 Februari hingga dikremasi pada 4 Februari lalu, warga dan para simpatisan beliau dipersilahkan turut mendoakan langsung didepan Istana Royal Palace.

Begitu matahari benar-benar terbenam, rangkaian doa yang dipimpin oleh para pemuka agama berakhir sudah. Ratusan bhiksu ini satu demi satu meninggalkan tempat prosesi, berganti dengan ribuan warga yang serempak berbondong memasuki alun-alun didepan Royal palace hingga mendekati gerbang depan istana. Ratusan lilin sudah disiapkan disepanjang jalan raya Samdech Sothearos Boulevard, juga tikar-tikar terpal tersedia bagi mereka yang ingin berdoa. Kami turut bergabung dengan arus ribuan warga yang hadir, kapan lagi bisa melibatkan diri untuk menyaksikan prosesi doa pamakaman seorang Raja besar di Kamboja.

Batang demi batang hio dinyalakan diatas api lilin, asap ribuan hio memenuhi udara malam. Bau dupa semerbak memenuhi udara, diiringi sayup-sayup alunan doa yang mengalun dari dalam istana, para warga semakin larut dalam khidmat doa yang mereka panjatkan untuk sang Raja tercinta. Sesekali kepak sayap puluhan merpati jinak yang menghuni istana sempat mengganggu kami dikala asyik mengabadikan momen dalam kamera. Namun tetap tidak mengurangi kekhusyukan para warga dalam lantunan doanya.

turis ikut berdoa

[one-half-first]warga kamboja berdoa[/one-half-first]
[one-half]warga kamboja berdoa[/one-half]

Hingga menjelang malam antusiasme ribuan warga yang berdatangan masih belum berhenti juga, bergantian memanjatkan doa didepan istana sembari sesekali menatap haru pada poster besar Sang Raja yang terpajang disana. Tempat hio sudah nyaris penuh, pintu masuk Royal Palace juga telah disesaki ribuan batang kuncup teratai pemberian para warga. Mungkin sampai tengah malam pun warga yang berdatangan mengikuti prosesi tidak akan berhenti, demikian pikir saya sembari memandangi batre kamera yang sudah mulai menipis. Dengan diterangi sorot lampu istana Royal Palace dan benderang ratusan lilin, kami bergegas meninggalkan Samdech Sothearos Boulevard. Selamat jalan Raja Sihanouk…!, rakyat Kamboja selalu mengenangmu…!

img_0244

Cerita Tuna Dari Larantuka

Ttuuuuttt… handphone bung Arif rekan saya berbunyi, di seberang terdengar om Yos mengabari jika kapalnya sore ini melaut, kami diminta segera bergegas ke dermaga agar tidak kemalaman. Dalam perjalanan menuju dermaga kami mampir ke beberapa kios untuk membeli logistik tambahan agar tidak membebani awak kapal ketika menampung kami untuk pergi memancing tuna di perairan Flores.

Siang sebelumnya kami menemui beberapa orang untuk mencari kapal yang akan berlayar mecari ikan dan sesuai dengan jadwal kami. Singkatnya kami hanya mencari kapal yang hanya berlayar satu hari saja, karena itu waktu kami yang tersisa di Larantuka, karena keesokan sorenya kami harus mengejar pesawat yang akan membawa kami kembali ke Kupang. Kondisi ini menjadikan aktivitas kami sangat fleksibel, jika beruntung ada kapal yang jadwalnya sesuai, kami berangkat melaut, jika tidak kami menyiapkan pilihan ativitas lain untuk esok hari.

Jadwal kapal di Larantuka untuk berangkat melaut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketersediaan umpan yang akan mereka gunakan untuk memancing. Ada dua jenis umpan, yang pertama jika berniat memancig Tuna-handline, maka umpan yang harus dicari adalah umpan ikan dengan ukuran besar, namun jika hendak memancing Cakalang-Pole and line maka umpan yang dicari adalah umpan ikan kecil.

Hampir semua kapal nelayan yang berukuran lebih kurang 6 GT dapat beralih fungsi antara handline (pancing ulur) dan pole and line atau orang lokal menyebutnya huhate. Semua bergantung keputusan kapten kapal mau memancing ikan apa dan mendapatkan umpan jenis apa.

dsc00092

Yang membuat kami tertarik untuk ikut melaut barang sehari dengan nelayan di Larantuka adalah praktik penangkapan ikan mereka termasuk yang ramah lingkungan. Ketika praktik perikanan yang merusak mulai diperangi oleh ibu menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti, maka metode mencari ikan ala kebanyakan nelayan Larantuka adalah solusinya. Ketika laut sehat dan terlindungi, maka dengan motode seperti ini keberlanjutan perikanan tangkap akan terjamin. Sebaliknya juga ketika praktik perikanan tangkap yang merusak jika terus dibiarkan berlanjut, maka nelayan seperti orang-orang di Larantuka ini dapat terkena imbasnya. Saya justru khawatir, jika praktik perikanan yang merusak terus berlangsung, maka kehidupan mereka akan terancam, atau bisa jadi mereka akan turut jadi pelaku karena merasa sudah tidak ada pilihan lain untuk bisa bersaing mendapatkan ikan.

Kapal kami bergerak perlahan menuju bagan nelayan di sekitar perairan Adonara. Sekitar satu jam kami baru sampai lokasi yang dituju, membeli umpan untuk memancing tuna. Umpan akhirnya didapat, dan kapal langsung bergerak ke lokasi biasanya mereka memancing tuna.

Walaupun kondisi malam itu cukup gelap namun saya masih bisa melihat daratan dalam bentuk siluet besar diatas air dan juga jutaan titik bintang di langit yang sangat terang. Saya mengamati dan merasa jika posisi daratan bertukar antara yang kiri dan kanan. Saya mendapatkan penjelasan dari awak kapal jika mencari ikan umpan, kapal bergerak ke arah selatan menuju Adonara, namun sebenarnya lokasi mencari tuna yang hendak dituju adalah perairan utara Larantuka, jadi kita berbalik arah saat ini setelah umpan tadi di dapat.

Dalam satu jam berikutya kota Larantuka terlihat kembali dengan lampu-lampu cantiknya yang memantul dipermukaan perairan selat di depannya. Kapal kami kembali tidak untuk bersandar, namun hanya melintas untuk keluar ke perairan terbuka di laut Flores, tempat favorit tuna sirip kuning berenang bebas.

Pukul 8 malam beberapa awak kapal sudah mulai mempersiapan bahan masakan untuk kita mengisi perut malam ini. Kita makan dulu sebelum beristirahat kata salah satu awak kapal yang bertugas memasak. Mereka melanjutkan penjelasan bahwa kapal diperkirakan baru sampai lokasi memancing antara pukul 3 atau 4 pagi nanti. Satu jam berikutnya nasi sudah matang, beserta olahan ikan kue (giant trevally) yang kami dapatkan ketika memancing saat kapal berjalan tadi, sebagian di goreng, sebagian dimasak kuah asam. Awak kapal yang kesemuanya lekaki ini ternyata juga koki yang handal. Kenyang perut kami semua dengan masakan mereka. Setelah kenyang, tanpa disuruh lagi kami mengambil posisi untuk segera beristirahat dan terlelap.

Pukul 3 pagi saya terbangun, saya turun ke dek melihat kondisi sekeliling. Sebagian besar awak kapal masih tertidur pulas, hanya juru kemudi yang terlihat serius mengarahkan laju kapal ke titik lokasi memancing. Saya bergerak sempoyongan menuju bagian depan kapal. Rupanya kapal baru saja memasuki di wilayah memancing, terlihat di depan banyak lampu dari kapal lain yang sudah tiba lebih dulu. Diluar dugaan saya ternyata banyak juga sampan kecil yang hanya berisi satu orang nelayan turut berebut mendapatkan rejeki dengan mencari ikan di lokasi ini.

Kapal memutar, sembari juru kemudi kemudian mulai membangunkan kapten kapal dan dilanjutkan membangunkan awak kapal lainnya. Dalam waktu singkat mereka sudah bangun semua, ada yang membuat kopi untuk menemani memancing pagi itu, sebagian lainnya mempersiapkan umpan dan juga peralatan memancing.

nelayan larantuka memancing

Umpan telah dilempar, tali pancing mulai terulur. Setidaknya 5 tali pancing telah bersiap menerima kejutan dari bawah laut. 15 menit berlalu, umpan belum juga disambar. Setelah 20 menit satu pemancing mulai mengulur talinya, tanda ikan dibawah sana memakan umpan. Sayang tali yang sedikit kusut di tempat gulungan menghampat terulurnya tali mengikuti tarikan ikan besar, pemancing mencoba menahan sejenak tarikan ikan untuk memberi kesempatan rekannya mebetulkan kusutnya tali di gulingan tadi. Sayangnya tarikan ikan terasa sangat kuat pemancing kewalahan sehingga tali kemudian putus. Hilang sudah ikan pertama yang seharusnya didapatkan pagi itu. Memancing membutuhkan keahlian antara tarik dan ulur agar ikan tidak terlepas dari mata kail dan juga memutus tali pancing. Memancing bukan sekedar dapat dan asal tarik saja, nelayan handline di Larantuka sangat paham akan itu.

dsc00367

Kekecewaan akan terlepasnya ikan pertama kemudian terobati, pemancing di bagian depan berteriak tanda umpannya disambar ikan lainnya. Tarik dan ulur umpan kembali dilakukan, untuk melayani gerakan ikan dibawah sana. Selama lebih kurang 15 menit kemudian Tuna sirip kuning dengan berat berkisar 30 Kg berhasil mereka angkat ke dek kapal. Setelah memastikan ikan tersebut sudah mati, kru kapal lain segera mengambil pisau untuk mengeluarkan isi perut ikan sebelum dimasukkan ke dalam salah satu palka kapal yang bersisi es sebagai tempat menyimpan hasil tangkapan.

Sinar mentari sudah mulai menerangi langit pagi itu, ketika ikan tuna berikutnya menyampar uman pemancing bagian bekalang kapal. Perlahan pemancing bergerak ke bagian samping-depan kapal untuk memudahkan proses tarik ulur dan mengangkat ikan hasil tangkapan nantinya. Ikan tuna sirip kuning kembali terangkat ke tas dek.

dsc00373

dsc00405

Menunggu umpan lainnya dimakan ikan, saya mengamati sekeliling, kapal-kapal liannya juga melakukan kesibukan yang sama. Armada pole and line juga mulai sibuk mengangkati Cakalang satu-persatu dengan pemancing yang berjajar di bagian depan kapal. Terlihat begitu mudahnya memancing ikan Cakalang dengan metode seperti ini. Pagi itu setidaknya 3 kapal pole and line beroperasi di wilayah favorit nelayan sekitar Flores timur ini.

nelayan pole and line

Untuk pertama kalinya saya melihat langsung proses bagaimana Nelayan Flores timur, khususnya Larantuka ini melakukan praktik perikanan tangkap yang ramah lingkungan, dengan memancing ikan satu-persatu. Metode ini sangat meminimalkan resiko “by catch”, yakni tertangkapnya satwa laut lainnya yang dilindungi atau ikan belum layak konsumsi ikut tertangkap. Sangat berbeda dengan trawl besar yang sekali menebar jaring, 50 ton isi laut terangkat semua tanpa bisa dipilah, tak jarang ikan kecil, hiu, penyu dan mamalia laut lainnya ikut mati sia-sia.

Saya hanya berharap praktik perikanan bertanggung jawab ini bisa dipromosikan lebih luas lagi, agar sumber daya perikanan laut kita dapat terjaga hingga anak cucu kita nantinya.

nelayan larantuka dan tuna
yellow fin larantuka
]tuna larantuka

dsc00155

Dua Benang Air Di Kaki Rinjani

Benang Stokel dan benang Kelambu, merupakan dua air terjun yang cukup poluler di Lombok. Keduanya berada berada di kaki gunung Rinjani, yang hanya dipisahkan dengan jarak lebih kurang 2 kilometer dari gerbang masuk kawasan wisata. Jika hendak ke air terjun benang Stokel, pengunjung cukup melakukan trekking sekitar 300 meter dari arah kiri pintu masuk, sedangkan menuju ke benang Kelambu, tinggal berjalan lurus mengikuti jalur dengan jarak tempuh sekitar 1500 meter.

Benang Stokel memang paling mudah dijangkau karena jaraknya relatif lebih dekat, cukup mempersiapkan alas kaki yang nyaman dan anti selip jika berencana mengunjunginya, terlebih jika musim hujan tiba. Begitu juga dengan benang Kelambu, jaraknya yang lumayan jauh dengan jalur trekking  berkombinasi naik turun akan merepotkan, apabila alas kaki kita tidak nyaman. Saya sempat melihat beberapa wisatawan yang pada akhirnya kesulitan berjalan ketika mengenakan alas kaki dengan hak tinggi (High Heels).

Satu hal lagi, demi keamanan bawaan dan benda berharga, anda sebaiknya membawa tas kedap air. Tidak hanya soal hujan yang kerap turun mendadak di tempat seperti lereng gunung, namun juga soal percikan air terjun acapkali menerpa cukup deras dari ketinggian.

Pilihan pertama saya untuk memulai trekking kala itu tentu saja menuju lokasi air terjun benang Stokel, yang dalam bahasa lokal artinya seikat benang. Trek yang relatif ringan dan dukungan cuaca masih cerah, hampir tidak ada kesulitan sama sekali untuk mencapainya. Sesampai di lokasi kita bisa melihat terdapat dua air terjun yang berdampingan, dimana terdapat kolam tampungan air terjun di bagian bawahnya. Beberapa pengunjung terlihat asyik mandi dan menikmati guyuran kesejukan air terjun di kaki gunung Rinjani ini.

air-terjun-benang-stokel-4

[one-half-first]air-terjun-benang-stokel-1[/one-half-first]
[one-half]air-terjun-benang-stokel-2[/one-half]

Tidak jauh di bawah air terjun benang Stokel terdapat satu air terjun dengan kolam yang cukup dalam. Seorang pemandu perjalanan sempat menantang tamunya untuk melompat dari tebing atas hingga terjun ke kolam di bawahnya. Abang pemandu perjalanan akhirnya mempraktikkan untuk meyakinkan tamunya bahwa kolam sangat dalam sehingga aman jika kita meloncat dari ketinggian yang cukup lumayan ini. Setelah melompat akhirnya mereka berjalan menyusuri sungai sebentar, mencari tebing sedikit landai yang mengantar mereka naik kembali ke lokasi awal.

air-terjun-benang-kelambu-jalur-treking

Destinasi selanjutnya tentu saja benang Kelambu. Butuh stamina yang cukup untuk mencapai Air terjun ini. Hal yang diluar prediksi sewaktu saya ke sana adalah, hampir saja handphone dan dompet saya basah karena hujan yang turun mendadak. Beruntung sebelum turun ke bawah air terjun saya sempat mengantongi dua bungkus plastik tempat makanan ringan yang sudah habis dan dibuang begitu saja di jalan oleh pengunjung. Yakin bahwa dompet dan handphone saya aman dari air, sayapun memutuskan trekking sekalian berhujan-hujanan saja, karena memang sudah sangat mustahil menghindari air hujan dalam kondisi ditengah jalur treking seperti ini. Tiada tempat berteduh jika sudah memastikan turun menuju ke lokasi air terjun, tempat-tempat strategis seperti di bawah pohon yang rindang pun, sudah penuh dengan pengunjung lain.air-terjun-benang-kelambu-dari-atas

air-terjun-benang-kelambu-2

[one-half-first]air-terjun-benang-kelambu-tangga-turunan[/one-half-first]
[one-half]air-terjun-benang-kelambu-1[/one-half]

Di bawah rintik hujan yang lebat saya menyempatkan mengamati air terjun Benang Kelambu. Namun tak lama saya memutuskan segera naik karena saya merasa terlalu beresiko berteduh dibawah tebing-tebing curam dalam kondisi hujan lebat seperti ini, apalagi jika berada dibawah sekitar air terjun. Mengambil tidakan berhati-hati tentu adalah prioritas yang saya utamakan, mengingat saya bukan orang lokal yang pastinya belum tahu kondisi dan tingkat keamanan disini.

air-terjun-benang-kelambu-hujan

Hujan semakin lebat dengan suara guntur terdengar dengan intensitas semakin sering. Saya memutuskan menyudahi kunjungan dengan berjalan balik ke arah motor sewaan saya terparkir. Kembali menyusuri medan naik turun sejauh 1500 meter untuk mencapai gerbang masuk bukan hal yang singkat. Lagipula, berjalan sendirian ditengah hujan di kaki Rinjani cukup dingin juga rupanya. Jangan dibayangkan jalurnya murni hutan di lereng gunung, jalur ke air terjun tadi merupakan kombinasi hutan dan kebun warga sekitar, yang mana kebanyakan berupa kebun pisang. Ah sepertinya saya harus cari penjual kopi dan pisang goreng ketika sudah sampai sekitar parkiran motor, demikian pikir saya selama menyusuri jalur menembus dinginnya hujan.

Baru Tapi Lama Di Stasiun Priok Jakarta

Jika kamu penyuka bangunan kuno dan bersejarah di sekitaran Jakarta, tentu tidak akan pernah melewatkan stasiun Jakarta Kota. Stasiun ini juga dikenal dengan nama stasiun Beos,  kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Berdiri sejak zaman Belanda, stasiun ini masih beroperasi hingga sekarang, yang mana melayani rute kereta lokal jarak menengah hingga kereta jarak pendek commuter line. Secara personal jika berada di stasiun ini selalu memancing imajinasi saya akan kisah-kisah masa lampau yang telah dilewati oleh bangunan ini. Mengingat bentuk bangunan yang khas arsitektur peninggalan Belanda.

Jika ada waktu luang, saya sering berkunjung ke stasiun ini dengan menaiki kereta listrik (commuter line). Entah untuk singgah ke beberapa bangunan dengan nuansa yang sama di sekitarnya, atau hanya sekedar duduk mengamati hiruk pikuk manusia yang transit di stasiun ini.

Mengamati ekspresi muka dan gerak ratusan manusia. Melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan moda angkutan masal bebasis re, kadangkala cukup menggugah banyak pemikiran tentang hidup. Stasiun seperti halnya Terminal, secara umum selalu menjadi salah satu tempat istimewa, semacam laboratorium hidup buat saya. Tempat mengamati aktivitas manusia yang selalu terulang semenjak zaman dahulu. Ketika detik berubah menjadi jam, hari, bulan hingga tahun, dan terus berganti, aktivitas manusia untuk berpindah tempat (traveling) tidak pernah berhenti. Selalu ada jutaan alasan untuk setiap individu kenapa mereka melakukannya sejak dahulu kala. Aktivitas yang sama tuanya dengan usia manusia. Stasiun adalah tempat yang tidak terpisahkan yang dengan aktivitas traveling manusia modern. Jutaan bentuk perpisahan dan perjumpaan terjadi di sini, kenangan akan orang, tempat dan juga rasa bercampur dalam setiap waktu.

kereta-commuter-line-jurusan-stasiun-priok

Suatu waktu ketika berjalan di sekitar stasiun Jakarta Kota saya melihat ada commuter line melintas keluar dari stasiun, di depannya tertulis jurusan “Tanjung Priok”. Penasaran dengan hal itu, saya pun berencana menaiki kereta tersebut nantinya. Informasi yang saya dapatkan kereta pemberangkatan terakhir baru akan berangkat jam 5 sore, sekitar 2 jam lagi. Cukup lama saya menunggu di stasiun Jakarta kota, dan kembali saya menghabiskan waktu mengamati manusia dengan beragam kegiatannya di dalam stasiun ini.

Ketika hampir pukul 5 sore, satu rangkaian kereta yang ditunggu datang menuju jalur 10 untuk berhenti. Saya pun bergegas menghampirinya dan memutuskan untuk masuk ke salah satu gerbongnya. Saya duduk di bangku yang tersusun memanjang, tersebar menempel di dinding kanan dan kiri gerbong. Tidak lama berselang kereta listrik ini bergerak. Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk kereta ini sampai tujuan akhir stasiun Tanjung Priok, diantaranya kereta hanya berhenti sejenak untuk menaik-turunkan penumpang di stasiun Kampung Bandan dan Ancol.

Begitu turun dari commuter line kepala saya tidak henti-hentinya menengok ke atas, mengamati arsitektur stasiun Tanjung Priok ini. Imajinasi saya pun bergerak serasa berada di dunia masa lampau di Eropa, setidaknya seperti yang saya pernah lihat di tayangan televisi dan film. Bayangan akan kemegahan stasiun Jakarta Kota langsung mengecil jika dibandingkan dengan stasiun ini.

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta-view-ke-dalam

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta-2

Saya berjalan di sebelah gerbong kereta listrik modern yang baru saja saya naiki, menuju ujung luar kubah melengkung yang berfungsi melindungi kereta dan penumpangnya dari air hujan dan sengatan terik mentari. Perlahan saya berjalan mengamati arsitektur bangunan, sembari sesekali mencoba memotret dengan kamera ponsel yang saya bawa. Seperti juga stasiun Jakarta Kota, stasiun Tanjung Priok rupanya juga bertipe terminus  (perjalanan awal/akhir), atau stasiun yang tidak memiliki jalur lanjutan lagi, tidak banyak jumlah stasiun yang seperti ini di Indonesia.

Kubah stasiun Tanjung Priok yang sangatlah besar, kaca balok tersebar di bagian atas kanan-kiri atap, memberi  jalan bagi sinar yang berasal dari luar bangunan untuk sedikit menerangi bagian dalam. Kebetulan ketika itu hari sudah hampir menjelang malam. Pencahayaan kurang bersahabat dengan kamera handphone, setidaknya noise sedikit terasa di hasil akhir foto saya. Untungnya cahaya dari kaca di kanan kiri atap bangunan tadi sedikit membantu menerangi struktur didalam bangunan.

stasiun-tanjung-priok-rumah-sinyal

[one-half-first]stasiun-tanjung-priok-struktur-kubah[/one-half-first]
[one-half]stasiun-tanjung-priok-struktur-kubah-2[/one-half]

Saya melanjutkan berjalan ini hingga ujung stasiun, kemudian menyusuri susunan batu yang berjajar dengan pola melengkung di taman bagian luar bangunan. Tiada hentinya saya kagum, begitu besar dan megahnya bangunan stasiun ini. Jantung saya kembali berdegup, imajinasi kembali berkembang hingga ke mana-mana. Menghubungkan berbagai literasi cerita zaman kolonial yang pernah saya baca, hingga kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, tentang bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat sekitar di waktu itu.

Tidak banyak tempat yang sering membuat saya merasakan sensasi seperti ini, dan disini jelas salah satunya. Satu saran buat Anda yang sedang membaca blog ini dan belum  pernah ke tempat ini, saya rekomendasikan setidaknya sekali saja berkunjung kemari.

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta

Dari cerita petugas, stasiun ini selain untuk “memandikan” kereta jarak jauh, sekarang hanya melayani rute commuter line dari dan ke stasiun Jakarta Kota, itu pun dengan jadwal yang bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak, namun itu sarana transportasi umum terbaik untuk orang kebanyakan yang hendak berkunjung ke sini.  Adapun opsi lainnya adalah Busway dengan tujuan terminal akhir Tanjung Priok, yang tepat berada di seberang jalan depan stasiun.

Saya sedikit berpikir ketika melihat kereta dengan desain modern yang aktif melayani rute dua bangunan stasiun jadul (jaman dahulu) ini. Kombinasi kontras yang unik antara desain jadul dan desain baru yang kekinian. Sempat terlintas kembali bayangan seandainya desain kereta yang beroperasi di hanya 4 stasiun ini menyesuaikan dengan gambaran kereta zaman dahulu sebagaimana ikon stasiun awal dan akhir kereta tersebut beroperasi. Itu hanya sekedar bayangan ideal menurut saya. Namun tidak ada yang salah juga sih dengan kawin silang desain seperti ini, karena keduanya memang dua objek yang berbeda. Desain adalah masalah selera yang berbeda satu orang dengan orang lainnya. Beberapa desain benda mengikuti perkembangan zaman yang berbeda yang penuh dengan pertimbangannya masing-masing ketika dibuat. Tidak terikat satu dengan lainnya. Begitu juga dengan desain kereta dan juga bangunan stasiun ini.

stasiun-tanjung-priok-2

[one-half-first]stasiun-tanjung-priok-lorong-kantor[/one-half-first]
[one-half]stasiun-tanjung-priok-1[/one-half]

stasiun-tanjung-priok-3

Saya menyempatkan keluar berkeliling melihat bagian depan bangunan stasiun ini. Kondisi bangunannya cukup terawat, sangat cocok untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata pelengkap selain kunjungan di kawasan Kota Tua Jakarta dan pelabuhan Sunda Kelapa yang sudah sangat populer.

Ada beberapa cerita “legenda” yang sebenarnya ingin saya gali lebih lanjut. Kawan saya pernah bercerita bahwa stasiun Tanjung Priok dan pelabuan Tanjung Priok zaman dahulu memiliki keterikatan desain sebagai satu kawasan. Konon ada lorong bawah tanah yang menghubungkan kedua lokasi kunci transportasi di zaman ketika Jakarta masih bernama Batavia ini. Katanya terdapat sebuah hotel bawah tanah di antara keduanya. Entahlah hingga saat ini saya masih belum pernah melihatnya secara langsung.

 

Menyisir Rute Pantai Bali Selatan

Pada awalnya tujuan saya ke Bali hanya sekedar transit sekitar dua hari, serta menjemput seorang partner jejalan untuk berpetualang ke destinasi selanjutnya. Akan tetapi entah kenapa mendadak dia punya ide sedikit nekat. Di waktu singkat yang harusnya kami gunakan untuk beristirahat itu, dia justru mengajak saya sehari penuh menjelajah pantai-pantai disekitar Bali Selatan. “Packing semuanya malam ini, besok kita seharian keliling pantai”, demikian celotehnya.

Serasa perintah komandan pada bawahan, saya tak kuasa menolak, lagipula mampir ke Bali tanpa ke pantai memang serasa ada yang kurang. Akhirnya pada esok pagi kami berdua langsung menyewa motor dan memulai petualangan singkat, Menyisir Rute Pantai Bali Selatan. Bisa jadi rekan-rekan pejalan cukup familiar dengan beberapa lokasi berikut, namun tidak ada salahnya mencoba urutan rute perjalanan singkat kami menjelajah pantai-pantai yang sudah terdeteksi didalam radar.

Pantai Balangan, Bak Bilabong Hijau Dibawah Tebing

Pantai Balangan

Keluar dari hotel di kawasan Kuta, kami memacu motor menuju kearah Selatan. Seusai melewati Bandara dan kawasan Jimbaran, sampailah di perempatan yang menuju kearah pantai Balangan. Trek jalan memang cukup rumit dan berkelok-kelok, akan tetapi kami berdua cukup mengikuti jalur aspal utama hingga akhirnya sampai menuju lokasi.

View pantai berpasir putih terhampar dihadapan mata, disisi sebelah kiri terdapat tenda-tenda berwarna putih untuk para wisatawan yang mencoba menikmati pantai sambil tiduran diatas kursi malas. Sementara sisi sebelah kanan, air laut berwarna biru kehijauan dengan ombaknya yg lebih tenang justru lebih menarik minat kami. Berenang dan bermain air laut yang bening bak billabong adalah pilihan yang tidak boleh dilewatkan.

Dreamland, Dengan Aneka Spot Populer

Dreamland beach

Tujuan berikutnya adalah pantai dreamland, pasirnya yang putih lembut, dan viewnya yang menghadap ke barat adalah pilihan menkmati sunset yang cukup ideal. Bosan dengan bermain-main air laut, coba mendaki bukit di sisi utara adalah alternatif lain, sekedar mendapatkan tampilan yang sedikit berbeda dari ketinggian. Para pecinta selfie dan suka eksis, bakal menemukan banyak spot foto yang mainstream disini. Jadi, yang ke Dreamland jangan pernah melupakan tongsismu yah. Hehehe

Pantai Padang-padang, Sedikit Petualangan Menyisir Celah Karang

[one-half-first]pantai-padang-padang-1[/one-half-first]
[one-half]pantai-padang-padang-2[/one-half]

 

Pantai ini sebenarnya sudah terlihat jelas dari atas jembatan Labuan Sait, akan tetapi jangkaunnya masih cukup jauh menuruni karang dibawah. Perjalanan disela-sela tepian celah karang sempit dan gelap, dengan undak-undakan buatan menyuguhkan petualangan singkat bak memasuki gua. Tetapi semua terbayar lunas dengan kecantikan pantai berpasir putih, dengan batu-batu karangnya yang dipenuhi rumput.

BluePoint Uluwatu, Beragam Pilihan Viewpoint dari Kafe dan Resto

Blue Point Uluwatu

Petualangan menuruni hampir dua ratus anak tangga memang cukup menguras tenaga, tetapi banyaknya pilihan Kafe dan Resto dengan view menjanjikan dari atas karang, sudah cukup mengobati rasa lelah kami berdua selama perjalanan. Disebelah kiri viewpoint terdapat tangga menuju hamparan pasir pantai Uluwatu. Birunya laut bergradasi ke hijau tosca memang cukup memancing minat untuk terjun dan bermain-main air disana.

GreenBowl, Privat dan Tersembunyi dibawah bukit Karang

Green Bowl

Tiga Ratus Sebelas anak tangga. Itulah hitungan kami berdua tatkala turun menyusuri jalan setapak menuju pantai ini. Tersembunyi jauh dibawah bukit karang, melewati semak belukar dan jalan setapak yang kadang ditemui kera-kera liar, adalah perjuangan yang cukup melelahkan. Green Bowl menyuguhkan view yang istimewa, diapit bukit di kiri dan kanan, hamparan pasir putihnya serasa pantai privat yang hanya dikunjungi turis secara terbatas.

Pantai Pandawa, Pantai Populer Favorit Setting FTV

Pandawa beach

Tulisan “Pantai Pandawa” berwarna putih besar terpampang diatas bukit karang yang sudah “terbelah” ditembus jalan aspal. Jangkauan pantai ini memang sangat mudah dengan akses jalur yang berkelok-kelok hingga ke area parkir bawah. Beragam tenda dan bangunan permanen berjajar disepanjang pantai, aneka permainan air semacam perahu kayak dan pelampung disewakan disana. Mass tourism memang kental terasa di pantai yang juga populer sebagai setting Sinetron FTV ini, namun perjalanan dengan view pantai dari jalanan aspal diatas jalur karang adalah momen yang patut untuk diabadikan.

Pesona Lain Dari Kawasan Coban Rondo

Coban Rondo memang terkenal dengan wisata Air terjunnya, coban adalah bahasa jawa untuk Air terjun, atau orang Jawa barat menyebutnya Curug. Namun sebenarnya banyak aktivitas lain yang dapat kita nikmati di kawasan ini selain kawasan air terjunnya, mulai dari bermain petak umpet di taman Labirin, memanah, berkemah, hingga air berkuda, atau hanya sekedar untuk menikmati segelas kopi dipagi hari ketika menanti sang mentari terbit dari arah timur, diatas kota Malang dan Batu.

coban rondo taman labirin

sunrise coban rondo

daun cokelat dancok coban rondo

Salah satu saran tempat yang nyaman buat duduk-duduk santai di sini adalah DANCOK: Daun Cokelat (Cafe, Trail & Jeep Station). Lokasi ini tepat di seberang jalan taman labirin. Masih rimbunnya pepohonan disekelilingnya menjadikannya cukup sejuk, karena sinar mentari tersaring oleh daun-daun hijau yang memanjakan mata sekaligus menyegarkan paru-paru kita. Tempat ini cocok untuk mengamati kota batu jauh di kaki bukit.

Selain segarnya udara, kicau burung adalah hal yang dapat kita nikmati di kawasan ini. Tempat yang sebenarnya tidaklah terlalu jauh dari gunung Banyak, lokasi wisata yang terkenal dengan wisata paralayangnya. Mungkin hanya dibutuhkan sekitar 15-20 menit berkendara dari gunung Banyak ke lokasi ini. Hanya perlu menyeberang di perbukitan sebelah selatan gunung Banyak.

Sudut peninapan Palawi Risorsis

pt risorsis

[one-half-first]palawi risorsis 4[/one-half-first]
[one-half]PT. Palawi Risorsis 4[/one-half]

pt risorsis 2

Sebuah tempat alternatif bagi wisatawan yang berkunjung ke Malang atau Batu. Saran saya malah sebaiknya Anda mencoba menginap di sini setidaknya sehari, dengan bangun dipagi hari Anda dapat berjalan santai menikmati segar dan dinginnya udara yang semakin langka akhir-akhir ini. Dingin sejuk yang tidak terlalu menusuk menurut saya, pas sekali untuk suasana liburan keluarga Anda.

Yakin tidak ingin mencobanya berkunjung kemari?. Atau setidaknya lain waktu sempatkan kemari 🙂

Sekedar catatan, semua foto di postingan ini menggunakan camera dari Xiaomi Mi 4i, selama setahun ini saya cukup puas mengabadikan perjalanan saya dengan kamera dari smartphone ini.

coban rondo tree 2

coban rondo tree 1

dancok daun cokelat coban rondo 5

daun cokelat coban rondo 3

daun cokelat coban rondo 2

daun cokelat coban rondo 1