Mencoba Sony a6000 di Bromo

Kamera apa yang lebih cocok untuk menemani saya sebagai pejalan yang semakin tua ini? haha… ya sebenarnya seiring dengan tenaga yang sudah tidak meledak-ledak lagi seperti beberapa tahun yang lalu, tentu ada pertimbangan untuk mengganti kamera dslr lama yang cukup berat dengan kamera baru. Kamera yang lebih ringan dan praktis, tentu dengan tidak mengorbankan sisi kualitas fotonya secara “teknis”.

Maksud “teknis” diatas adalah secara sepesifikasi teknisnya. Karena kalau soal ranah bagus tidaknya kembali ke penggunanya, seperti pepatah yang cukup terkenal diantara tukang jepret saat ini, semua tergantung dari “Man Behind the Gun”. Saya cukup sepakat dengan kata tersebut, tapi juga bukan yang setuju seratus persen juga, haha. Bagaimanapun kamera yang secara teknologi semakin advance akan sangat membantu banyak penggunanya. Walaupun disini saya tidak akan menjelaskan detail teknik hasil foto-foto saya. Hanya sekedar built-in kualitas kamera dengan feel/style saya memotret.

Selebihnya saya tidak akan berpanjang lebar, foto-foto berikut adalah testing pertama saya yang mencoba menggunakan kamera mirrorless a6000 (alpha 6000) keluaran dari Sony. Untuk spesifiasi lengkapnya silahkan dilihat langsung disini.

DSC00347

DSC00348

DSC00331

Lensa yang saya coba hanyalah Kit-nya saja, Sony 16-50mm f/3.5-5.6 OSS, secara umum saya cukup puas dengan lensa ini, cukup tajam dengan rentang yang pas buat berjejalan. 16mm-nya lebih dari cukup untuk menangkap landscape alam. Bagaimana untuk Selfie? ya walaupun tidak memungkinan melihat melalui lcd, namun dengan lensa yang cukup lebar, selfie dengan gaya ngawur-pun akan ter-cover dengan baik :p.

DSC00524

DSC00272

DSC00111

IMG_1248

Kamera ini cukup ringan dan ringkas buat penyuka gaya snap-shoot, sangat nyaman untuk memotret dengan kondisi bergerak atau objek-nya yang bergerak, atau bahkan keduanya bergerak bersama. Pemotret dan objek yang dipotret sama-sama bergerak. Ya cukup nyaman untuk melakukannya.

IMG_1252

LCD-nya cukup tajam dengan warna yang cerah, komposisi peletakan menu di LCD juga cukup terorganisir dengan baik, untuk aksesnya sepertinya hanya butuh membiasakan diri saja, terlebih buat saya yang lebih familiar dengan urutan menu Canon setelah bertahun-tahun menggunakannya.

IMG_1253

Bagaimana dengan Electronic View Finder-nya? atau biasa disebut EVF. Sebelumnya saya belum pernah menggunakan kamera dengan penggunaan EVF, tetapi secara umum saya cukup puas dengan EVF milik a6000 ini, semua menu juga dapat terakses/tampil langsung di dalam EVF. Memudahkan untuk mengubah-ubah setingan sambil tetap fokus membidik melalui EVF. Cukup keren menurut saya.

DSC00286

DSC00282

DSC00319

Untuk kondisi low light-pun saya cukup puas. Percobaan dengan iso 3200-pun memunculkan noise yang menurut saya masih bisa diterima.

Slebihnya silahkan menilai sendiri melalui hasil jepretan saya lainnya.

DSC00327

DSC00395

DSC00414

DSC00415

DSC00439

DSC00447

DSC00550

DSC00544

DSC00497

DSC00570

DSC00490

DSC00480

DSC00468

DSC00466

DSC00465

DSC00160

DSC00181

Bagimana kalau pendapat Anda?

Sejenak Bermain di Alam, dengan Berarung Jeram

Hujan masih turun dengan cukup deras membasahi tubuh terbalut pelampung kami. hawa dingin dan suasana mendung siang itu lumayan membuat kami bertujuh terdiam diatas mobil bak terbuka menyusuri jalanan perbukitan di daerah Probolinggo. “Kalau hujan masih tetap aman kan mas?” tanya sahabat saya Vika pada pemandu kami disebelah.

“Aman mbak, selama kami cek masih layak disusuri, kita bisa turun”, jawab salah satu pemandu rafting yang mendampingi kami siang itu.

Yaa, Sabtu siang ini saya diajak oleh Vika, seorang sahabat saya di kampus dulu untuk memacu adrenalin berarung jeram di sekitar Probolinggo. Walaupun musim hujan lagi puncak-puncaknya, si Vika masih tetap bernyali juga menjajal derasnya arus sungai Pekalen Probolinggo yang memang populer sebagai trek rafting di jawa Timur. Meski awalnya sempat ragu, akhirnya saya penasaran juga menjajal liarnya arus sungai dikala hujan. Lagipula masak saya kalah sama teman cewek saya sih, hahaha.

Sampai pada titik pemberhentian, kami bertujuh turun dari mobil bak terbuka sembari membawa dayung masing-masing, perjalanan menuju start point sungai ditempuh berjalan kaki sekitar setengah jam dari sini. Disepanjang trek jalur setapak menembus perkebunan dan belukar naik turun itu, kami memulai obrolan ringan. Kebetulan kali ini Vika mengajak serta ibunda dan adik-adiknya, trekking melelahkan itu jadi tidak terasa karena penuh dengan percakapan. Selain sama-sama satu profesi, si Vika ini juga penggemar ekstrim sport. Pembicaraan pun jadi mengarah pada adventure travelling deh, apalagi sahabat saya mengajak pula temannya mas Kunto yang juga suka olahraga air, “wah… hari ini bakal beraksi bersama orang-orang yang mahir bermain di air nih”, pikir saya.

Sungai dengan gemuruh suara arus deras terbentang didepan, dua perahu karet besar telah siap di tepian. Sejenak kami melakukan briefing seperlunya, serta tak lupa memanjatkan doa untuk keselamatan selama perjalanan… eh, ralat… Selama Petualangan… Hehehehe.

DSC_0045

Perahu karet pun mulai melaju diantara derasnya arus penuh bebatuan sungai, dan dikawal oleh rintik hujan yang tanpa henti terus berjatuhan dari langit mendung. Saya satu perahu bersama Vika, ibundanya, serta keponakannya Awang. Sementara perahu kedua ada Kunto serat adiknya Vika, Dewi dan Abhi ditemani dua orang skipper (nahkoda rafting). Semua orang dalam perahu kami masih terdiam dan memainkan dayung perlahan, mungkin sedikit tegang dan merinding melihat hujan yang belum berhenti dan arus air berwarna keruh kecoklatan karena debitnya yang mulai naik.

Ketegangan tiba-tiba berubah menjadi teriakan seru ketika skipper meneriakkan “boom” pertanda perahu memasuki jeram yang cukup dalam. Sontak kami semua mengambil posisi duduk berjongkok didalam perahu diiringi jeritan ekspresif dan tawa geli. Jeram pertama tadi menandakan dimulainya petualangan kami kali ini.

Selain jeram yang cukup menantang adrenalin, spot sungai Pekalen juga dihiasi tebing-tebing yang sangat mempesona. Tebing dialiri air terjun dan goa penuh kelelawar adalah spot istimewa yang bisa ditemui ditengah perjalanan menyusuri sungai Pekalen ini. Derasnya arus sungai dan banyaknya jeram membuat perahu kami pontang-panting seolah mobil yang nge-drift kesana kemari. Namun setidaknya rasa lelah kami terbayar dengan berpose didiepan air terjun besar icon sungai Pekalen yang cukup populer itu.

Suguhan minuman hangat dan pisang goreng di saung tepi sungai tatkala kami beristirahat adalah momen untuk sejenak menarik nafas dan melonggarkan ketegangan kami. Hujan yang mulai reda dan tubuh yang basah kuyup membuat saya lupa berapa potong pisang goreng yang masuk kedalam mulut rakus ini. Jeda istirahat sekitar limabelas menit tidak terlalu lama dibanding total hampir tiga jam perjalanan rafting kami kali ini. Dayung kembali direngkuh helm kembali terpasang, sisa trek kurang dari setengah lagi. Kami masih punya semangat untuk menuntaskan perjalanan. Semangat yang timbul dari pisang goreng setengah basah akibat terguyur tetesan air hujan yang bocor dari atap rumbia saung. Hahaha.

Masih melewati beberapa jeram dan pemandangan indah dari tebing, setengah perjalanan juga melintasi pemandangan air terjun yang cukup deras, sayangnya lokasi cukup jauh dari alur sungai, sehingga kami cukup puas dengan menyaksikannya sembari melaju diatas perahu.

DSC_0028

 DSC_0036
 DSC_0071

Pada salah satu spot menjelang akhir rute, kami berhenti pada sebuah tebing dengan arus yang menikung tanpa bebatuan. Di tempat ini kami semua mencoba mendaki tebing setinggi lebih dari enam meter dan bergantian melompat dari atas. Waow, inilah jumping spot yang menjadi primadona saya kali ini, karena mengingatkan masa kecil yang suka bermain loncat dari atas pintu air milik Jasa Tirta di sungai dekat rumah saya. Hehehe.

Satu demi satu kami mencoba meloncat dari atas dan jatuh kedalam arus air dibawah sana. Benar-benar sensasional, free fall dari ketinggian enam meter lebih membuat darah berdesir dan adrenalin memuncak. Jatuh kedalam air memang sangat menyenangkan, namun kadang membuat kehilangan orientasi arah karena sungai yang cukup keruh dan kondisi tubuh yang sedikit lelah. Walau demikian, saya acungi jempol kepada ibunda teman saya yang sepuh itu, ternyata bernyali juga untuk bersaing dengan kami meloncat dari ketinggian.


IMG_6723

IMG_6718

Rasa lelah mengarungi trek sepanjang lebih dari sepuluh kilometer tadi membuat perut terasa keroncongan. Apalagi setelah tubuh dan kostum perang yang basah sudah berganti dengan pakaian kering. Kami tak sabar menuju tempat makan berbentuk pendopo tradisional dengan furniture kayu serta penerangan lampion. Hujan deras yang kembali turun sore itu membuat makan siang kami serasa makin nikmat. Sayur urap, sambal terong, ikan asin, ikan panggang, dadar jagung, khas makanan pedesaan. Ditambah dengan minuman hangat, kami disuguhi tampilan foto-foto ekspresif kami selama arung jeram yang terpampang pada televisi layar datar di ujung pendopo. Mengesankan, kami akan coba lagi lain waktu.

Menyambut pagi di Pantai Goa Cina

Langit masih memerah di ufuk Timur tatkala saya dan teman-teman tiba ditepian pantai. Melangkahkan kaki dengan sedikit terburu diatas hamparan pasir putih pantai dan menyelinap diantara mobil-mobil pengunjung lain yang terparkir rapi disana. Selamat datang di Pantai Goa Cina, sebuah destinasi wisata berlokasi tidak jauh disebelah Barat Pantai Sendang Biru – Malang Selatan.

Kedatangan kami sepertinya tepat waktu, seusai subuh pemandangan sebelah Timur pantai ini benar-benar menjadi daya tarik utama. Semburat gradasi warna langit cerah dari warna kuning jingga merah hingga kelabu, ditambah dengan gugusan pulau-pulau karang dan bukit batu menjorok ke pantai, perpaduan itu menciptakan siluet alam yang sangat memanjakan mata. Kami dan para pengunjung lain tidak henti-hentinya membidikkan kamera mengabadikan momen istimewa itu, dan tentunya sebagian besar dari mereka tidak lupa bernarsis ria dengan latar kemolekan Sunrise pantai.

 

Dibandingkan dengan Sendang Biru atau Balekambang yang sudah lama dikenal, Pantai Goa Cina mungkin belum setenar pantai-pantai lain di Malang Selatan. Seiring dengan meningkatnya pembangunan prasarana transportasi, jangkauan menuju ketempat ini pun semakin mudah. Cukup mengikuti jalan aspal baru yang masih mulus disisi Barat sebelum masuk ke Sendang Biru, kita bisa menemukan banyak papan penunjuk jalan menuju Pantai Goa Cina.

Nama Goa Cina sendiri berasal dari sebuah goa yang ada di salah satu tebing pantai. Konon dahulu ada seorang keturunan Cina yang menyepi atau bertapa didalam goa tersebut hingga akhir hayatnya. Oleh karena itulah, pantai nan elok dengan pasir putih dan tepian karang ini lantas dinamakan Pantai Goa Cina.

IMG_1518

Sayapun menyempatkan diri menengok Goa yang keberadaannya membuat penasaran itu. Mentari pagi yang sinarnya sudah mulai terang memudahkan saya mendaki jalan setapak terjal dipermukaan tebing karang. Tersembunyi dibalik dedaunan semak, mulut goa tempat bertapa itu mulai nampak. Tidak terlalu besar memang, seukuran tinggi manusia dewasa dengan lebar satu meter lebih. Bagian dalam sedikit luas namun masih tidak jauh dari mulut goa, sehingga cahaya terang bisa dirasakan disini.

IMG_1615

IMG_1616

Puas menamatkan rasa penasaran akan goa tadi, saya kembali menyusul teman-teman yang asyik bermain-main denga air laut dan pasir pantai. kendati tergolong perairan laut Selatan yang terkenal ganas, pengunjung bisa bermain air di bibir pantai jika cuaca sedang bagus seperti saat kami tiba kemarin. Yang penting tetap berhati-hati dan menikmati wisata dengan sewajarnya.

Akhirnya, kunjungan kami pagi itu diakhiri dengan pakaian yang basah kuyup oleh air laut, serta kenang-kenangan pasir pantai yang menempel keseluruh permukaan tubuh. Hehehe, kami harus segera membersihkan diri dan bertukar pakaian. Karena para pemilik warung dan tempat makan disekitar parkiran pantai, tentu kurang nyaman menerima tamu kelaparan yang basah kuyup dan penuh pasir macam kami ini.

Menghabiskan Sabtu di Grojogan Sewu

Penunjuk waktu yang tertera dilayar ponsel sudah menunjuk pukul tujuh, tidak terlalu pagi kami berempat tiba di kota Karanganyar, Jawa Tengah. Perjalanan saya kali ini ditemani Zakky, Diky, dan Faris, tiga kawan dari Pasuruan yang juga doyan travelling. Sesuai rencana awal, tujuan jejalan kali ini adalah menyambangi Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu. Dan kami tidak sendirian, saya juga mengajak Maya, sahabat lama jaman sekolah yang kebetulan sudah lama stay di kota ini. Karena kami yang buta rute menuju destinasi, akhirnya sepakat menemui Maya di pusat kota Karanganyar pagi-pagi sekali.

Lima jam berkendara dari Surabaya menembus pekat malam terasa cukup melelahkan bagi kami. Sembari menunggu si Maya tiba di lokasi, sejenak saya dan kawan-kawan merebahkan diri di jok kendaraan, dengan diiringi lantunan musik dari audio mobil setidaknya bisa membuat kami rileks.

IMG_3125

Tak berapa lama, yang kami nanti sudah tiba. Dengan senyum manisnya Maya menyapa kami yang sedang terkantuk-kantuk didalam mobil. “ayo sarapan dulu”, dia mengajak kami menuju warung Timlo yang tidak jauh dari tempat kami menunggu. “Pagi yang masih dingin disuguhi kuliner Timlo yang hangat tentu sangat mengundang selera” pikir saya.

Sambil saling mengenalkan kawan-kawan saya dengan si Maya, kami bercakap-cakap ringan ditemani sajian nasi hangat dan semangkuk sup Timlo yang masih mengepulkan uap panas, sup hangat dengan tampilan bening ini terasa segar di tenggorokan. Irisan telur pindang, dadar gulung, sosis, ditambah dengan mihun, potongan wortel dan sedikit jamur, semakin menggugah selera dengan suwiran daging ayam serta taburan bawang goreng yang menambah aroma. Ahh, kami hampir lupa untuk segera berkemas lagi menuju destinasi.

Dari kota Karanganyar, lokasi Grojogan Sewu Tawangmangu tidak lebih dari 30 kilometer. Jalur khas pegunungan berkelok dengan pemandangan perkebunan indah dikiri kanan jalan adalah salah satu daya tarik yang tidak bisa dilewatkan. Sejenak kami lupa akan rasa kantuk sebelumnya, dan fokus menikmati rute sepanjang perjalanan. Apalagi Maya mengajak serta dua temannya, Ami dan mas Ari. Perjalanan semakin menarik dan penuh dengan obrolan.

IMG_3133

Atas saran mas Ari, kami diarahkan masuk melalui pintu gerbang kedua Grojogan Sewu, mengingat jika melalui gerbang utama, jumlah undak-undak turunan anak tangga yang konon katanya mencapai 1200 lebih itu bisa membuat kaki gemetaran. Karenanya kami memilih alternatif gerbang kedua yang mana lokasi parkirnya lebih jauh, namun trek jalannya relatif lebih ringan. Apalagi teman saya Maya kala itu belum sepenuhnya fit akibat didera flu, medan yang berat dan cuaca hujan bisa menambah resiko.

Menerobos hutan pinus dan menapaki jalur bebatuan yang lembab berlumut bagaikan olahraga pagi buat kami. Cuaca mendung dan hawa pegunungan yang sejuk memang tidak membuat berkeringat, tapi setidaknya bisa menyegarkan paru-paru kami yang sudah lama merindukan udara segar travelling di alam terbuka. Trek relatif datar yang tidak terlalu menguras tenaga membuat kami lekas sampai pada view point Air Terjun Grojogan Sewu yang Legendaris itu.

 IMG_7267
 IMG_7289

 

Dari makna kata, Grojogan Sewu berasal dari kata Grojogan : Pancuran, Air Terjun dan kata Sewu : Seribu. Yang secara sederhana berarti Air Terjun Seribu. Entah darimana nama itu berasal, terkait mitos atau legenda, saya belum sempat bertanya. Tapi yang jelas, setelah berjalan menurun menuju aliran sungai, saya berdiri diatas jembatan dan menatap sebuah tampilan alam yang luar biasa. Sebuah air terjun yang cantik, hanya sebuah bukan seribu.

Sejenak saya terdiam menikmati hempasan uap air yang menerpa halus kulit muka, sementara yang lain mulai sibuk mengabadikan momen melalui kamera. Salah satu pesona wisata di kaki Gunung Lawu ini memang luar biasa, gemuruh deras aliran air yang tumpah dan hempasan angin bercampur uap air demikian terasa dari Air Terjun setinggi kurang lebih 80 meter ini. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan musim penghujan, dimana debit air sedang tinggi. Kami benar-benar menikmati kemolekan Grojogan Sewu dengan sosok yang nyaris sempurna.

IMG_3147

Sedikit berhati-hati dengan banyaknya kera liar yang ada disana, kami harus pandai-pandai menyimpan benda-benda berwarna mencolok yang menarik perhatian mereka. Kacamata, jam tangan, gantungan kunci, makanan, bahkan ponsel. Satwa yang satu ini kadang tak segan bersitegang dengan pengunjung dan berani melakukan intimidasi. Tapi maklum sajalah, kita datang ke habitat mereka, mestinya kita yang harus tahu diri. Hehehe.

snapshot_00.02

Pukul sebelas siang mendung mulai bergelayut disusul rintik hujan, kabut juga mulai memenuhi udara disekitar kami. Hawa semakin terasa dingin dan jaket yang mulai basah mengingatkan kami untuk segera meninggalkan lokasi. Sembari menyempatkan diri mengambil beberapa gambar sepanjang trek menuju pintu keluar, perjalanan kami diiringi dengan obrolan dan debat santai terkait pilihan menu makan siang nanti. Hahaha, benar-benar Sabtu siang yang menyenangkan.

Menengok Eco-Green Park

eco-1

Tiap kali menyambangi kota Batu, kita tak lepas dari bayangan akan wisata alam pegunungan berhawa dingin, sekaligus juga wisata keluarga penuh dengan wahana buatan yang rekreatif. Beberapa tahun terakhir, wahana rekreatif ini jauh lebih populer dibanding wisata alam yang merupakan ke-khas-an kota pegunungan seperti Batu. Siapa yang tidak kenal dengan Jatim Park 1 dan Jatim Park 2, Batu Night Spectacular, dan juga Museum Angkut serta Eco Green Park. Kesemuanya merupakan destinasi wisata yang selalu ramai disetiap hari libur.

Waktu lalu, kami sempat mampir di Eco green park, salah satu destinasi yang baru saja diresmikan sekitar tahun 2012 kemarin. Sesuai dengan namanya, Eco Green Park merupakan Wahana mengenal entang Ekosistem sekaligus belajar memupuk kesadaran terhadap Lingkungan Hijau. Dengan tema Fun and Study, menjelajah Eco green Park kami serasa belajar tentang Pendidikan Lingkungan, Budaya, serta kreatifitas seni yang menarik.

eco-2

 

Dari pintu gerbang utama, kami langsung disambut sekumpulan miniatur candi-candi yang menjadi latar sebuah kolam ikan berisi unggas warna-warni. Menyusul kemudian aneka ragam sculpture terbuat dari daur ulang barang bekas pakai yang disusun menjadi sebuah karya seni instalasi nan menarik. Konsep “green” dan ramah lingkungan juga terlihat dari detail tempat sampah yang memisahkan antara sampah organic dan sampah non organic.

eco-3

Usai berkenalan dengan aneka barang bekas pakai, kami disambut dengan insektarium raksasa yang memajang beragam jenis serangga hidup maupun diawetkan. Beberapa serangga langka dan kupu-kupu beraneka warna bisa ditemui ditempat ini. Bahkan beberapa kalajengking bisa bebas dipegang dan diajak berinteraksi dengan tangan kami.

Tak kalah menarik dengan insektarium, zona unggas juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Di beberapa titik, pengunjung juga bebas berfoto bersama burung berwarna warni, maupun coba member makan beberapa jenis burung unta dan kasuari.

Memasuki area yang lebih menarik, adalah Jungle Adventure. Konsepnya sederhana, pengunjung diajak bersafari memasuki hutan buatan dengan mengendarai mobil berbentuk klasik. Namanya juga hutan buatan, pasti saja banyak ditemui satwa liar dan ganas yang tentunya juga berupa patung buatan. Kami bisa menggunakan senjata laser yang terpasang disetiap tempat duduk mobil untuk mencoba “menembak” beberapa patung pemburu liar yang berada disana.

eco-6

 eco-7
 eco-8

Memasuki zona berikutnya, kami lebih banyak menemui wahana edukasi disini. Mulai dari wahana aliran air yang diatur hingga mengeluarkan bunyi-bunyian layaknya composer musik, hingga edukasi tentang bercocok tanam secara Hidroponik. Tak ketinggalan juga area peternakan yang membuat pengunjung bisa mencoba belajar profesi seorang peternak dengan berinteraksi member makan binatang-binatang ternak.

Selain area edukasi, juga terdapat beberapa wahana  yang menguji nyali dan ketrampilan. Simak saja Rumah terbalik, yang membuat kami kehilangan orientasi dan merasa “aneh” saat memasukinya, atau permainan berjalan diatas balok-balok air ala Takeshi Castle yang bisa membuat pengunjung basah kuyup, cukup menyenangkan dan melelahkan.

Menjelang pintu keluar, cafeteria dengan konsep green garden setidaknya menjadi tempat melepas penat sekaligus mencicip aneka makanan dan minuman segar. Dan disebelah cafeteria, kami bisa menemui Cinema Multidimensi, wahana pemutaran film animasi dengan tema cerita khas pewayangan cukup sayang untuk dilewatkan.

eco-10

eco-12

Jangan lupa pula untuk memasuki Science Center, beragam pengetahuan tentang apa saja yang ada didalam perut bumi diceritakan disini. juga ada simulasi rumah gempa yang mampu membuat kami merasakan seperti apa jika gempa berskala kecil melanda.

Sehari menyusuri Eco Green Park memang cukup melelahkan, walau tersedia kendaraan Electric Bike yang bisa disewa diawal pintu masuk, menyusuri semua wahana dengan berjalan kaki sembari menikmati udara sejuk khas pegunungan, adalah pilihan yang terbaik bagi para kru Jejalan. Hehehe.

eco-11

Rujak Manis, Salad Buah Citarasa Lokal

Rujak, identik dengan salah satu jenis menu makanan bercitarasa pedas. Khusus bagi warga Surabaya, kuliner Rujak Cingur mungkin adalah yang paling terkenal dan melegenda. Kendati demikian, ada beragam jenis rujak yang juga tak kalah istimewa dibanding rujak cingur, salah satunya adalah Rujak Manis atau sebagian juga menyebut dengan Rujak Buah.

Siang itu saya dan seorang sahabat memang sengaja menyambangi jalan Dr. Soetomo Surabaya yang sudah lama dikenal sebagai sentra Rujak Buah. Disepanjang kiri dan kanan jalan Dr. Soetomo, Mereka biasa ditemui dengan rombong-rombong rujaknya sejak pukul 10.00 siang hingga menjelang sore. Rata-rata para pembeli lebih suka membawa pulang rujak dalam kemasan plastik mika, namun untuk kali ini kami sengaja mencoba menikmati di tempat seraya mendokumentasikan aktivitas penjualnya.

Karena dari dulu tidak punya langganan penjual rujak, kami langsung saja memarkir kendaraan di salah satu penjual yang terlihat menyediakan tempat duduk. Sambil duduk diatas kursi- kursi plastik, dua porsi rujak manis komplit pesanan kami langsung diracik oleh ibu penjualnya.

penjual rujak manas
penjual rujak manis
buah-buahan bahan rujak manias
buah-buahan bahan rujak manias

Dengan cekatan dia mengiris aneka buah diatas piring, Apel, belimbing, ketimun, papaya, bengkoang, kedondong, mangga, nanas, dan melon terpotong rapi diatas piring. Dan masih ada lagi tambahan buah lain seperti semangka, nangka, jambu, dan tentunya tahu goreng (ini yang saya suka). Adakalanya kita juga bisa mengganti jenis buah sesuai selera. Kadang malah si penjual bertanya lebih dulu buah apa saja yang kita mau.

penjual mengiris buah-buahan segar
penjual mengiris buah-buahan segar

Sembari menunggu semua buah terpotong rapi, saya coba mendokumentasikan ibu penjual yang asyik mengiris buah. Dan juga memotret rombong berdinding kaca tempat display aneka buah segar yang cukup mengundang selera di siang yang terik ini.

Racikan salad buah khas lokal itu berakhir tatkala guyuran bumbu rujak dituang diatas irisan aneka buah yang menggunung. Bumbu rujak manis yang terbuat dari campuran gula jawa dan kacang goreng yang dihaluskan itu menciptakan tampilan menggoda selera diantara warna warni beragam buah.

“Fruit Parade”, demikian komentar teman saya sembari mulai menyantap satu demi satu irisan buah yang sudah berlumur bumbu kental tadi. Manis, asam, pedas, dan tentu saja segarnya buah, adalah kombinasi yang spesial bagi mereka yang sedang merasakan teriknya jalanan kota Surabaya. Dan jangan lupa pula untuk menambah rasa dengan aneka krupuk renyah yang sudah tersedia juga disana.

rujak manis dipinggir jalan
rujak manis dipinggir jalan
menikmati rujak manis
menikmati rujak manis
penikmat rujak manis
mbak manis penikmat rujak manis

Satu demi satu irisan buah menyegarkan mulut dan tenggorokan kami, tanpa terasa satu porsi Rujak Manis ludes dinikmati sembari ngobrol bersama dengan ibu penjual. Hanya tersisa rasa pedas di dalam mulut yang membuat kami sedikit berkeringat. Beruntung sebelumnya kami sudah membawa minum dari rumah, karena tidak semua penjual menyediakan minum. Maklum, rata-rata rujak yang dijual dalam bentuk kemasan untuk dinikmati dirumah.

Kendati sudah cukup kenyang, kami masih saja merasa belum puas. Mungkin besok atau lusa kami akan berencana menjajal lagi Rujak Manis disepanjang jalan ini. Tentunya juga membungkusnya buat oleh-oleh kerabat dirumah, biar semua bisa ikut merasakan uniknya citarasa salad buah ala lokal ini.

Menembus Tirai Air Madakaripura

“Sewa payung mas…?? Mbak…??” beberapa pemuda menyapa kami tatkala memasuki areal trek menuju air terjun. Saya hanya membalas dengan senyum menolak tawaran mereka, karena sudah dari awal jas hujan dan cover bag telah siap didalam ransel. Bukan kali pertama saya berkunjung ke tempat ini, dan perlengkapan musim hujan adalah piranti wajib yang harus tersedia jika ingin berkunjung ke Air Terjun Madakaripura.

Terletak di Kecamatan Lumbang – Probolinggo, menuju ke tempat ini tidak terlalu sulit. Selain masih satu jurusan dengan akses yang menuju Gunung Bromo via Tongas – Probolinggo, papan petunjuk disetiap persimpangan juga cukup komunikatif memandu para wisatawan untuk menjangkau salah satu spot air terjun yang erat kaitannya dengan legenda Patih Gajah Mada ini.

Sebenarnya akses menuju titik air terjun sudah dilengkapi dengan jalur pedestrian dari beton dan plester semen. Akan tetapi karena medan yang sangat ekstrim, beberapa jalur dan jembatan ada yang rusak arena longsor maupun tergerus air. Maka bisa dipastikan, perjalanan menuju lokasi yang memakan waktu setengah jam itu, menjadi cukup menarik dan merupakan petualangan seru bagi mereka yang baru pertama kali mencoba.

IMG_7326

IMG_7331

Walau jalurnya tidak terlalu menanjak, perjalanan menyusuri tepian sungai dengan batu-batu besar merupakan pengalaman yang menarik. Beberapa kali pengunjung harus turun dan menyeberangi sungai berarus deras dengan bantuan pemandu warga lokal. Walau tidak terlalu berbahaya, ada baiknya kita tetap berhati-hati agar tidak jatuh terpeleset dan basah kuyup.

Perjalanan seru diapit tebing-tebing curam yang dipenuhi tanaman hijau itupun akhirnya sampai juga, kami berhenti di ujung pedestrian yang langsung berubah menjadi undak-undakan kecil masuk kedalam aliran sungai. Gemuruh suara air terjun terdengar jelas, beberapa pemuda lokal tampak sibuk menawarkan jasa peminjaman payung dan jas hujan plastik. Sayapun segera mengenakan perlengkapan anti air, dan secepatnya memasuki aliran sungai dengan gemuruh air yang cukup deras.

Luar biasa, pada tikungan pertama saya langsung disambut dengan pemandangan yang eksotis, sepanjang tebing dipenuhi dengan pancuran air yang seakan muncul dari ribuan lubang-lubang pada tebingnya. Dipenuhi hijaunya tanaman yang merambat dari bawah hingga ke puncak tebing, derasnya pancuran membentuk tirai air yang mana semua pengunjung harus masuk melewatinya jika ingin melanjutkan perjalanan. Beberapa rekan saya yang baru pertama kali kemari, sampai terpukau dan tak henti mengarahkan kamera mengambil gambar tirai air raksasa yang menyambut kami.

Bagaikan melangkah dalam hujan, kami berjalan dengan hati-hati menyusuri sungai berbatu menembus derasnya ribuan kubik air yang tumpah dari atas, rasanya menyenangkan dan sedikit menegangkan. Andai saja tidak membawa perlengkapan kamera dan gadget, mungkin saya akan memuaskan diri bermain-main dengan kesegaran air disini.

IMG_7317

Rintangan menuju air terjun utama bukan hanya itu saja, kami harus mendaki lereng tebing yang sempit dan berbatu tajam. Meski tidak terlalu tinggi, namun aktivitas ini cukup menguras adrenalin, lintasan sempit yang hanya muat untuk satu orang dengan pijakan yang licin dipenuhi batu-batu tajam bukanlah kompromi yang baik jika sampai terpeleset. Dan jatuh terhempas dari ketinggian dua meteran menuju aliran sungai juga sudah tentu berbahaya. Sembari terus mendokumentasikan lalu lalang pengunjung yang bergantian melewati jalur sempit itu, kami mengantri menunggu giliran melintas.

Saat kami mencobanya, sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya karena pemandangan dibawah yang arus airnya cukup deras, dan lintasan yang memang sempit, sehingga psikologis para pengunjung menganggapnya terkesan menegangkan. Meski demikian tetap saja semua pengunjung sebaiknya harus berhat-hati, dan terus ikuti arahan bapak petugas yang memandu jalan dan mengatur antrian.

Gemuruh suara air terjun jelas terdengar, hempasan uap air terasa menerpa wajah dan membuat lensa kamera mendadak basah dalam waktu sekejap. Para pengunjung kini sudah berdiri ditengah tebing dengan dua air terjun berukuran raksasa menjulang setinggi duaratus meter dihadapan. Yaa… benar-benar berada ditengah tebing, karena sejatinya Air Terjun Madakaripura berbentuk ceruk yang dikelilingi tebing tinggi disekelilingnya. Hanya seperlima bagian ceruk saja yang terbuka dan itu adalah aliran air sekaligus satu-satunya tempat pengunjung untuk masuk dan keluar dari dalam area air terjun.

Dengan ukuran demikian besar, kami bagaikan berada didalam sebuah tabung alami berskala raksasa. Derasnya air yang jatuh ke dasar kolam membuat ragu salah satu rekan saya yang tadinya hendak mencoba mandi dan bermain-main dibawahnya, karena puncak air terjun yang demikian tinggi sudah cukup menciutkan nyalinya.

Menurut legenda tempat ini dulu digunakan oleh Mahapatih GajahMada untuk bersemedi, dan ada pula yang mengatakan bahwa disini adalah tempat terakhir beliau bermeditasi. Namun terlepas dari legenda dan sejarahnya, Madakaripura memang tempat yang eksotis. Dinding air terjun sebagian masih terlihat dipenuhi tanaman rambat, dan ceruk tebing membentuk tigaperempat lingkaran, serta derasnya tirai air yang menyambut di ujung perjalanan, adalah daya tarik yang mungkin tidak ditemui di destinasi lain.

IMG_7256

IMG_7066

Tatkala Kelamnya Sejarah Dijadikan Obyek Wisata

“Selamat pagi Phnom Penh…!! Selamat datang di Choueng Ek killing Fields…!! Saya bersumpah, ini bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi” demikian sambut Mr. Map, driver tuk-tuk (becak motor) yang kami sewa pagi hari itu. Setelah 30 menit perjalanan dari pusat kota Phnom Penh yang penuh debu dan asap kendaraan, sampailah kami didepan pintu gerbang ladang pembantaian yang konon sudah mengubur hampir 9000 korban itu. Pantas saja Mr. Map sampai berkata bahwa ini bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi, dan saya cuma mengiyakan tatkala ia memilih menunggu di area parkiran yang agak jauh sembari memesan minuman dingin.

Memasuki gerbang, saya membayar tiket masuk senilai 5 USD. Termasuk selembar brosur rute dan panduan memasuki killing fields, serta mini audio personal lengkap dengan headset yang berisi tentang beragam kisah mengenai tempat ini. Agak berbeda dengan Mr. Map yang tetap tersenyum ramah tadi, petugas di loket masuk terkesan garang dengan seragam dan sikapnya yang sedikit mengintimidasi. “dilarang merokok, dilarang bicara dengan suara keras, pakailah pakaian yang sopan, ini adalah tempat yang penuh kedukaan” demikian dia bicara kepada kami dengan bahasa Inggris yang kaku dan terkesan lucu.

Saya memulai perjalanan menyusuri tempat itu sambil menempelkan headphone serta  memutar rekaman. Alhasil saya baru tahu, bahwa tempat ini dahulunya adalah sebuah kompleks pemakaman Cina. Sayangnya tidak ada opsi bahasa Indonesia dalam rekaman ini, sehingga format bahasa Inggris adalah pilihan yang paling mudah dipahami. (kalau anda mau, ada pilihan bahasa Rusia dan Prancis. Hahaha)

DSC_2959

IMG_9450

Namun dasar saya termasuk bandel, bukannya tetap memasang headphone diposisinya. Alih-alih justru melepas piranti suara itu dan mematikan rekaman MP3 yang berkisah tentang tempat ini. Barulah saya benar-benar merasakan suasana sesungguhnya disini. Semua turis tetap sibuk dengan suara rekaman yang memenuhi indera pendengarannya, tapi saya justru sumringah menikmati suara angin, gemerisik daun dan heningnya lalu lalang para turis yang seolah membisu. Yaaa… sejatinya tempat ini sungguh asri. Hijau tanaman dan rindangnya pepohonan teduh, diseling kicau burung menyambut pagi. Terbayang tempat yang menyenangkan dan penuh nuansa kedamaian.

Sembari memejamkan mata, mendongakkan kepala, menghirup dalam-dalam udara segar pagi di bekas kompleks pemakaman ini, mendadak suasana damai di benak pun berubah. Kaki saya tersaruk sesuatu, terlihat seperti potongan tulang manusia bercampur dengan sobekan kain yang berserakan. Dibiarkan saja disana, didekat jalur lintasan jalan setapak, teronggok dan hanya ditandai dengan papan kecil yang telah kusam.

IMG_3854

“Perhatikan langkahmu, Kau sedang berjalan diatas hamparan kuburan massal”, kiranya demikian bunyi papan kayu yang tulisannya sudah memburam itu. Saya menelan ludah, menoleh ke segala arah karena keasyikan dalam menikmati suasana tadi berimbas pada kekurang waspadaan terhadap sekitar. Dan jauh dibelakang sana, partner jejalan saya berseru tanpa suara, sekedar memberi kode dengan jarinya agar memasang kembali headphone di kepala.

“Dasar tolol…!!”, saya memaki diri sendiri. Ternyata dalam rekaman itu terdapat peringatan dan petunjuk arah kemana kita harus melangkah. Agar supaya tidak “masuk” kedalam area ladang pembantaian, serta mengikuti runtutan alur cerita tanpa terlewatkan. Sambil mendengarkan audio yang kini terpasang rapi di telinga, saya berjalan dalam diam. Mencoba merenung dan memahami peristiwa yang terjadi lebih dari tiga dekade silam.

IMG_9469

Jalan setapak masih belum sepenuhnya aman. Potongan tulang yang sudah pecah, mengering, bahkan berlumut tampak bercampur dengan pasir dan tersamar dedaunan. Sementara dibeberapa tempat, sisa-sisa potongan tulang yang bisa dibersihkan namun tanpa mampu diidentifikasi, disimpan dalam kotak kaca. Sekali lagi, benar apa kata Mr. Map tadi, “bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi”.

Pada salah satu titik berupa bekas lubang berpagar bambu beratap rumbia. Saya berhenti sejenak, disini adalah salah satu lokasi kuburan dengan jumlah korban terbanyak. 450 jenasah ditemukan disini pada saat penggalian, sebagian besar tidak dapat diidentifikasi. Beberapa meter tak jauh dari tempat ini, bangunan yang kurang lebih sama juga menyimpan 166 korban yang kesemuanya ditemukan tanpa kepala. Beberapa tangkai bunga dan pita pemberian para pengunjung masih terhampar rapi disekeliling pagar bambunya. Para turis juga terdiam tanpa peduli saya berjalan disela mereka yang diam mematung mendengarkan rekaman audio. Mereka tidak ingin sekalipun terganggu konsentrasinya agar tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini.

 

DSC_2935Kala Khmer Merah berkuasa, Choueng Ek adalah salah satu tempat eksekusi para tawanan yang dianggap lawan dari rezim penguasa. Mereka yang sebelumnya diculik, ditawan, dan ditangkap dibeberapa tempat, dipindahkan kemari dengan diangkut truk pada malam hari. Sesampainya disini, mereka dibantai tanpa belas kasihan. Tua, muda, pria, wanita, bahkan anak-anak dan bayi tanpa kecuali. Puluhan lubang kuburan massal dapat kita temui dengan mudah, terkadang mereka tidak sekedar dikubur, adakalanya ditumpuk didalam satu lubang begitu saja.

Salah satu isi rekaman audio yang bikin saya merinding adalah pengakuan beberapa orang algojo. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, nyawa manusia lebih murah dibanding sebutir peluru. Tidak semua korban di eksekusi dengan cara yang wajar, dihantam balok kayu dan dipenggal adalah cara paling murah dan efektif kala itu. Karena perlu anda ketahui sekali lagi, peluru adalah barang mahal.

Dengan bahasa asli mereka bersaksi dalam rekaman, diiring suara translator yang menggunakan bahasa Inggris. Saya mendengarkan dengan cermat, setengah tidak percaya dengan kesaksian betapa dinginnya mereka mengeksekusi, kiranya agak tidak layak jika diceritakan dalam tulisan kali ini. Ditengah kesaksian itu, saya coba mengecilkan volume audio, dua wanita bule disebelah juga sedang mendengarkan kisah yang sama. Dan sudah bisa ditebak, headphone dia lepas, terdengar suaranya mulai terisak. Teman disebelahnya ikut menggigit bibir menahan emosi, jari-jari mereka  bergerak mengganti audio ke setelan selanjutnya, tidak kuasa mendengar salah satu bagian dari kisah yang teramat memilukan itu.

Langkah saya terhenti dihadapan sebuah pohon besar yang cukup menyita perhatian, dimana dulu menjadi tempat pembantaian bayi dan anak-anak. Sempat terpikir jikalau batang-batang pohon kekar itu adalah tempat menggantung anak-anak tak berdosa. Namun anggapan saya salah besar, pohon tua berjuluk “Killing Tree” itu adalah saksi bisu tatkala tubuh-tubuh mungil tak berdaya dilempar dan dihantamkan ke pokok batangnya yang kokoh. Yaa, dihempaskan begitu saja ke batangnya. Jauh lebih mengerikan dari apa yang saya perkirakan sebelumnya.

IMG_3849

IMG_9513

 

Kami para pengunjung, berhenti sejenak disekeliling pohon tua yang sampai saat ini berdiri dengan tegarnya. Beberapa turis bule menggantungkan pita duka cita disana, hening suasana sesaaat. Hanya mereka yang kuat hati saja mampu bertahan dan berdiri lebih lama disini, sebagian turis  wanita lebih memilih meninggalkan lokasi dengan berlinang airmata. Merasa tidak nyaman untuk melanjutkan pengalaman “tour” kejam ini lebih jauh, sayapun mengalah mengikuti para pengunjung menuju titik terakhir didekat pintu keluar, yang menjadi ikon Choueng Ek killing Fields.

Sebuah bangunan ramping menjulang dengan atap khas arsitektur Khmer, dikelilingi pagar rendah sekaligus sebagai media tanam bunga. Beberapa pengunjung termenung seperti sedang memanjatkan doa, lantas menyalakan batang-batang hio dan menancapkannya ditempat yang tersedia. Diantara bau asap dupa hio, saya melepas alas kaki menaiki beberapa anak tangga menuju kedalam monumen itu.

IMG_9562

IMG_9546

Sejatinya, bagian dalam monumen ini tersusun atas tujuh belas tingkat rak, dan perlu diketahui ketujuhbelas tingkat itu tersusun dari ribuan tengkorak korban pembantaian. Dengan kata lain, ini adalah monumen yang disusun dari tengkorak dan tulang manusia. Agak mengerikan memang, namun ini benar-benar nyata, pengunjung diperbolehkan masuk dan melihat isi monumen dari dekat. Tentunya dengan perasaan respek serta hormat kepada para korban, dan syarat lainnya adalah, hanya bagi mereka yang cukup bernyali.

Benar-benar bukan hal yang mengasyikkan berada dalam ruangan sempit yang berisi ribuan tengkorak manusia, orang normal seperti saya tentu enggan berlama-lama disana. Sembari menyempatkan menengok museum kecil yang menyimpan alat-alat pembunuhan dan memutar video dokumenter, saya ingin lekas-lekas mengakhiri kunjungan ditempat ini.

Headphone saya lepas, brosur panduan masuk kedalam kantong jaket. Dengan masih penuh rasa penasaran dan tanda tanya besar akan beragam hal, saya berlalu menuju pintu keluar yang menjadi satu dengan pintu masuk. Jelas terlihat wajah-wajah suram dan suara tangis tersedu dari mereka yang berbarengan dengan saya menuju pintu keluar. Sementara muka-muka cerah dan ekspresi sumringah justru terlihat dari para turis yang hendak masuk dan berpapasan dengan kami di pintu tadi.

Yaa… pemandangan yang sangat kontras antara mereka yang baru masuk dan kita yang hendak keluar. Tapi dalam hati saya berpikir, diawal saya datang kemari tanpa tahu apa-apa, begitu keluar saya mendapatkan pelajaran yang tak kalah penting, yakni sebuah nilai tentang Kemanusiaan.

Agak sulit memahami apa yang terjadi di Kamboja pada masa itu. namun tragedi kemanusiaan ini hanyalah tinggal kisah sejarah yang takkan berulang. Dan bagi kami yang berkunjung kesana… hal ini adalah pelajaran teramat penting agar supaya tidak terjadi kembali di masa depan.

Menelusur sejarah kelam Vietnam dalam Cu Chi Tunnel

Gadis petugas loket itu menempelkan Stiker tanda masuk ke lengan jaket saya, pakaian tradisional Vietnam berwarna hitam menambah kecantikannya dikala tersenyum. Saya membalas ucapan selamat datangnya sembari memandangi stiker tanda masuk ketempat ini. Bentuknya bulat, kecil, dengan gambar siluet seorang tentara yang sedang merayap.

IMG_0652

Saya kemudian melangkahkan kaki mengikuti orang-orang yang ada didepan saya. Rombongan kami semua berjalan bebanjar mengikuti alur jalan setapak yang tanahnya telah padat karena sering dilewati. Siang itu harusnya terik memang, namun tanaman dan semak belukar disini cukup mengurangi sengatan sang surya. Kendati demikian, hembusan angin masih belum mampu menahan tetes peluh di dahi, sembari sesekali menyeka, sayapun melangkah dan terus melangkah diantara sampah dedaunan kering nan tebal menutupi permukaan tanah dikiri kanan jalan setapak.

Kicau burung dan keberadaan serangga yang bersahutan sempat menyita perhatian saya. Dan itu sejatinya sudah cukup membuat kami lengah. Mendadak terdengar suara gemeresak dedaunan, dan sekonyong-konyong muncul seorang prajurit Vietcong dari dalam tanah… Yaa.. muncul begitu saja, dari dalam tanah…

Untungnya saya bukan tentara Amerika, pula si Vietcong ini tidak membawa senjata… dan “Game”-pun masih belum “over”… Hahahaha. Tentu saja, karena aksi kejutan ini adalah ini adalah salah satu adegan sambutan ala “Cu Chi Tunnel” kepada para turis yang berkunjung kesana.

Ya, Cu Chi Tunnel adalah sebuah terowongan bawah tanah, yang digunakan sebagai sarana mobilisasi rahasia tentara gerilya peninggalan perang Vietnam. Menempuh perjalanan selama satu setengah jam dari pusat kota Ho Chi Minh City, kita bisa mengunjungi salah satu destinasi wisata yang unik dan terkenal ini. Sebagai salah satu benteng pertahanan terpanjang dan berada dibawah tanah, Cu Chi Tunnel benar-benar terkamuflase secara sempurna, dengan beberapa titik keluar-masuk ke permukaan tanah yang sangat sulit terdeteksi, tersembunyi dibawah rimbunnya belukar hutan Vietnam. Kabarnya jaringan Cu Chi Tunnel panjangnya mencapai ratusan kilometer, tersebar seantero bawah tanah kawasan Vietnam Selatan.

Jaringan “tunnel” ini sangat komplit, memiliki koneksi dengan area-area strategis dan menjadi markas bawah tanah selama perang Vietnam. Terhubung dengan titik-titik yang berfungsi sebagai markas, ruang kesehatan, ruang rapat, bahkan dapur umum yang tersebar kesegala penjuru wilayah. Semuanya tergambar jelas kala kami mencoba memasuki replika masing-masing ruangan dipandu oleh guide lokal yang sedikit kocak.

cu chi tunnel

Seperti halnya diorama ditempat terbuka, beberapa barak sederhana juga dibuat di sudut-sudut jalan setapak. Tampak patung-patung tentara Vietcong berpose disana, lengkap dengan pakaian gerilya dan senjata replikanya. Para turis pun langsung rebutan berpose dengan latar manekin gerilyawan itu.

Bukan hanya melihat kondisi riil barak dan gambaran aktivitas diorama saja, kami juga sempat deg-degan kala menyaksikan beberapa jebakan khas gerilyawan Vietcong yang kondisi dan lokasinya masih aseli. Jebakan berupa lubang besar penuh dengan besi dan kayu tajam itu terkamuflase sempurna dengan rerumputan diatasnya. Beberapa turis wanita bergidik ngeri membayangkan jika tubuh atau kaki musuh terperosok kedalamnya.

Kami terus melangkah menyusuri jalan menurun yang mirip lembah, sayup-sayup terdengar satu dua suara tembakan, disusul kemudian oleh rentetan senapan mesin yang sambung menyambung. Agak penasaran juga, apakah ini sekedar sound-system buatan untuk menambah suasana trekking menjadi lebih menarik?? Kami belum mendapat jawaban, dan terus berjalan mendekati sumber suara.

Oh ternyata, di area ini juga disediakan lapangan khusus bagi para turis yang ingin menjajal menembak menggunakan senapan asli eks perang Vietnam. Tentunya dengan biaya ekstra sebagai ongkos pengganti peluru yang digunakan. Disini tersedia banyak senjata legendaris yang cukup populer di eranya, mulai dari AK-47, M-16, M1-Carabin, hingga senapan mesin kelas berat Browning.

cu chi tunnel

cu chi tunnel

cu chi tunnel

Puas menjajal betapa garangnya senapan-senapan tua peninggalan perang Vietnam, kami melanjutkan ke bagian utama dari tour kali ini. Yaa.. benar, mencoba kesempatan berperan menjadi tentara Vietcong melalui uji nyali dengan menjajal masuk ke lubang terowongan di satu sisi, dan keluar pada sisi lainnya. Agak ragu juga tatkala saya hendak mencobanya, antara takut terowongan akan runtuh, atau bahkan salah orientasi karena nyasar kearah lain, karena memang banyak percabangan didalam jalurnya. Namun karena sudah terlanjur mengikuti tour dari awal, rasanya tidak sempurna kalau batal menjajal masuk kedalam Cu Chi Tunnel ini, sayapun memberanikan diri menyeruak kedalam mulut sumur sempit dengan sedikit belukar itu.

Ternyata tidak terlalu menyenangkan, terowongan ini sangat sempit, hanya selebar pundak, setinggi setengah badan, saya dan rombongan pun harus berjalan menunduk. Pula dibeberapa titik bahkan harus berjongkok sambil memaksakan diri setengah merangkak. Sekedar bergerak bebas saja benar-benar sukar sekali dilakukan didalam tempat ini, apalagi untuk membalikkan badan bertukar arah. Tak bisa dibayangkan, bukannya para gerilyawan pada masa itu tentu juga membawa ransel dan senjata laras panjang pula.

Semua itu masih belum seberapa. Kondisi gelap yang menyergap, oksigen yang serba tipis, dan bau tanah gua yang lembab membuat nafas kami semua tersengal. Ditambah lagi teriakan para turis bule dibelakang yang panik karena sempitnya terowongan, menjadikan suasana semakin berisik disepanjang lorong sempit nan gelap ini. Betapa tidak nyamannya kondisi ini, belum lagi kalau kondisi perang seperti dulu, gaduhnya suara manusia tidak sebanding dengan berisik rentetan tembakan, desing peluru dan ledakan bom yang tentunya juga terasa didalam.

IMG_0749

Ouuhh… kesialan nyata-nyata bertambah, saya samasekali tidak bersiap membawa penerangan guna menyusuri terowongan, maka jadilah blitz kamera yg membantu saya sesekali untuk meraba dan menduga kemana arah menuju. Sungguh perjalanan yang menegangkan dan penuh derita, saking sempitnya terowongan dan banyaknya anggota rombongan, saya serasa terjepit didalam antrian penumpang dikala musim mudik Lebaran. “Bahkan saya sampai bisa mendengar dan mencium bau nafas bule cewek yang tepat berada dibelakang saya”, bisik saya kepada Jeri, partner jejalan. Hehehe, sekedar gurauan pereda ketegangan saja.

Dan setelah lima menit yang mencekam, cahaya mulai tampak disalah satu tikungan terowongan. Sorot cahaya dari atas itulah pintu keluar menuju permukaan. Saya bernafas lega, dengan tetap berjongkok dan sesekali kepala terantuk dinding atas terowongan. Saya berhasil naik keatas permukaan tanah. Tak lupa pula membalikkan badan, sekedar mengulurkan tangan membantu cewek bule dibelakang saya tadi untuk naik keatas permukaan, hehehe…

Sejurus kemudian saya mengambil nafas dalam-dalam, memuaskan diri menghirup udara segar selepas lolos dari neraka sempit yang baru saja saya lewati. Ketegangan juga mulai berkurang tatkala kami diajak memasuki tempat semacam barak sederhana. Disana disediakan suguhan makanan khas gerilyawan Vietcong pada masa perang dulu. Ketela rebus, dengan piring kecil berisi sedikit campuran garam dan kacang yang ditumbuk halus. Bagi kami turis Indonesia, sajian ini tidak terlalu aneh. Lain halnya dengan turis dari Eropa, US dan Jepang yang satu rombongan dengan kami, mereka semua ragu untuk memakannya, mengira itu adalah batang semak belukar yang dimasak. Hehehe, jadilah kami akhirnya membantu guide untuk membujuk mereka supaya menyantap sajian ini.

Puas dengan sepiring ketela rebus dicocol kedalam serbuk kacang dan garam, secangkir the tawar khas Vietnam cukup membantu saya relaksasi setelah tour yang menegangkan kali ini. Bukan perkara jalur treknya, macam-macam kejutan dan jebakannya, atau karena menjajal senapannya yang menegangkan. Justru mencoba menyusuri terowongan gerilya adalah suatu petualangan yang luar biasa ekstrim bagi saya, lima menit serasa lima jam. Dan bisa menghasilkan cerita yang demikian panjang. Fuuhh… Mungkin terkesan biasa bagi anda, namun jika menikmati sedikit demi sedikit artikel ini. Setidaknya anda beruntung, karena sudah membaca kisah tentang Cu Chi Tunnel yang ditulis oleh seorang Klaustrophobia.

Pendekar-Pendekar Candi Jawi

Purnama bersinar terang sekali malam itu, ponsel butut saya terus berdering tanpa henti akibat sms beruntun teman-teman yang sudah berangkat ke Jogja, mengikuti rangkaian momen Waisak di Candi Borobudur akhir pekan lalu. Yaa, seolah “mengkhianati” mereka karena saya mendadak membatalkan rencana pada hari H keberangkatan. Tak heran caci maki dan ungkapan kejengkelan (tentunya dalam bentuk candaan) dari teman-teman memenuhi draft sms di ponsel saya hari ini. Namun mereka maklum, saya tidak bisa berangkat karena terbentur padatnya kesibukan kerja, serta bermacam agenda acara keluarga. Saya benar-benar beruntung memiliki teman-teman yang mau menyadari kesibukan saya.

Kembali ponsel saya berdering, dengan sedikit malas saya mencoba membaca deretan tulisan yang tertera diatas layar. “Astaga…!!, saya baru sadar kalau Jumat malam ini ada acara Festival Purnama yang rutin diadakan di Candi Jawi Prigen. Beruntung tadi ada Yuliana, seorang partner jejalan dari Prigen yang mengingatkan saya via sms, beberapa menit sebelum acara dimulai. Karena perjalanan dari rumah ke Candi Jawi tidak memakan waktu lama, saya bergegas memacu motor butut dengan lampunya yang redup, menyusuri jalanan malam terang benderang karena cahaya Purnama, bukan karena cahaya lampu motor saya.

IMG_4641

Tepat pukul 19.30, area Candi Jawi sudah dipadati pengunjung, beberapa pemuda Karang Taruna disekitar sudah mempersiapkan area parkir untuk kendaraan pengunjung. Sayapun tidak perlu ribet lagi dimana menaruh motor, dan lantas bergegas memasuki kompleks Candi yang telah bersolek dengan puluhan batang nyala lilin disekeliling undak-undakannya.

Baru saja mengambil satu dua gambar sosok Candi Jawi yang gemerlap malam ini, saya dikejutkan oleh senyum manis yuk Yuliana yang muncul dihadapan saya bersama beberapa kawannya dari Prigen. Wah, saya langsung bertegur sapa sekaligus memberi ucapan selamat padanya. Karena dia hari ini sedang bersuka cita mengingat baru saja menerima pengumuman kelulusan di SMA-nya. Saya sempatkan mengobrol sejenak, mengisi waktu sebelum acara dimulai, dia dan kawan-kawannya bercerita banyak akan tema acara malam ini. Maklum saja, yuk Yuliana ini juga salah satu Duta Wisata Kabupaten Pasuruan, jadi sekalian saya iseng-iseng curi dengar tentang acara yang akan digelar.

Tak perlu menunggu lama, lampu sorot disekeliling panggung mulai dinyalakan. Acara Pementasan Festival Bulan Purnama bertajuk Pencak Kembangan dari Padhepokan Singo Yudho kali ini, sudah dimulai dengan suara tetabuhan kendang dan gong yang bertalu-talu nyaring. Ditambah penampilan pembawa acara dengan seragam khas Pendekar yang mulai memperkenalkan satu demi satu tokoh-tokoh yang akan tampil malam ini.

Mendadak saya teringat akan kisah dalam komik cerita silat (Cersil) jaman dulu, entah itu Cersil Wiro sableng, atau pula Cersil karya Kho Ping Hoo. Kisah para pendekar dunia persilatan yang berlaga diatas panggung, sekedar untuk mengadu ilmu dan mengukur kepandaian, demi menambah wawasan dan pengalaman di dunia persilatan. Aahh… saya berkhayal terlalu tinggi, nyaris saja saya melewatkan momen penampilan pembuka pada malam ini, kalau saja si Yuliana tidak menepuk pundak saya agar tersadar dari lamunan.

Dimulai dari acara perkenalan tentang jurus khas Padhepokan Singo Yudho oleh seorang pesilat senior, dilanjutkan dengan jurus kembangan Lawe Setugel, bapak paruh baya ini bersilat dengan mantap. Gerakan-gerakannya bertenaga, diiringi suara kendang, tambur dan gong yang cukup padu. Lalu langsung disusul oleh penampilan seorang pendekar putri yang masih belia. Memperagakan jurus Ronce Melati, pesilat remaja ini menunjukkan jurus-jurus silat yang lincah, anggun, namun penuh tenaga. Applaus para penonton bergemuruh diakhir penampilannya.

IMG_4823

IMG_4695

IMG_4791

IMG_4774

Saya semakin terbius dengan penampilan demi penampilan para pesilat yang unjuk kebolehan diatas panggung, tidak menyangka bahwa di era modern saat ini ternyata masih banyak para “Pendekar” silat yang masih eksis dengan jurus-jurus dahsyat nan melegenda. “Hmm, malam ini saya merasa menjadi bagian dari dunia persilatan…”, demikian pikir saya.

Berikutnya adalah penampilan yang layak ditunggu, pertandingan duel antara dua pemuda menggunakan jurus-jurus silat khas Padhepokan. Para penonton semakin merapat mendekati panggung, dan bunyi tetabuhan semakin nyaring dengan tempo yang bertambah cepat. Kiranya malam ini sang purnama akan menjadi saksi adu kepandaian antara dua pendekar muda diatas panggung.

Tidak seperti adegan tinju, atau tarung bebas yang kita saksikan di televisi, pertandingan ini cukup seru dan menarik untuk ditonton, dua pendekar bersilat dengan padu dan menampilkan gerakan-gerakan dinamis. Kendati terkesan ada unsur urutan jurus atau gerakan yang sudah diatur sebelumnya, namun pukulan dan tangkisan yang yang terjadi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh tenaga. Wah, mengingatkan saya akan pertarungan ala tontonan Ketoprak jaman kecil dulu.

Belum puas bertarung dengan tangan kosong, mereka bergantian mengambil senjata, mulai dari pedang, toya besi, clurit dan trisula. Pembawa acara berkali-kali mengingatkan penonton untuk menjaga jarak dengan panggung, karena senjata yang digunakan adalah senjata sungguhan. Waahh… malam semakin riuh, alunan tetabuhan yang berpadu dengan riuh tepuk tangan penonton, kini semakin bertambah dengan suara nyaring denting senjata beradu. Para pendekar bersilat dengan tempo yang cepat, senjata mereka seolah berubah menjadi kilatan cahaya yang terpantul akibat lampu sorot panggung. Sampai akhirnya pertarungan diakhiri dengan manis, kedua pendekar muda bertempur dengan imbang. Masing-masing berhasil merebut senjata lawan dan membuangnya keluar panggung. Applaus penonton kembali bergemuruh.

IMG_4938

IMG_4957

Sosok terakhir yang tampil adalah seorang pemuda yang memperagakan jurus Kembangan Satriyo Sungkem, dengan pakaian ala Pendekar khas Pasuruan, pemuda ini menampilkan gerakan-gerakan yang memukau. Pukulan-pukulan tangannya sambung menyambung diiringi dengan langkah kaki yang mantap hingga membuat alas panggung agak sedikit bergetar. Penonton terbius oleh rangkaian jurus yang diperagakan dengan sangat sempurna dan nyaris tanpa cela. Hingga sang pendekar muda mengakhiri gerakan dengan sungkem memberi hormat, penonton pun masih termangu samapai lupa memberi applaus untuknya.

Sebagai penutup acara, disajikan tarian khas Barongan dan Bantengan. Barongan gak mirip dengan atraksi barongsai, namun dengan bentuk kostum yang lebih sederhana dan bertema lokal. Begitu pula dengan atraksi Bantengan, mirip dengan Barongsai tapi menggunakan kostum Banteng, pula diakhir acara para pemain kadang tampil penuh semangat hingga kadangkala ada yang setengah kesurupan. Wah, sedikit diluar perkiraan memang, salah satu penari Bantengan bahkan harus menggelinding keluar panggung, dan baru berhasil disadarkan kembali setelah hampir setengah jam “menggila” di halaman Candi Jawi.

Benar-benar acara yang cukup seru, syukurnya tidak ada pengunjung yang terluka akibat mengamuknya penari Bantengan tadi. Dan rangkaian Festival Purnama di Candi Jawi pun berakhir dengan semarak, setidaknya saya juga punya oleh-oleh cerita pengganti untuk teman-teman yang malam ini sudah memastikan diri meliput prosesi Waisak di Candi Borobudur. Hehehe

IMG_4999

IMG_5002

IMG_5008