Purnama bersinar terang sekali malam itu, ponsel butut saya terus berdering tanpa henti akibat sms beruntun teman-teman yang sudah berangkat ke Jogja, mengikuti rangkaian momen Waisak di Candi Borobudur akhir pekan lalu. Yaa, seolah “mengkhianati” mereka karena saya mendadak membatalkan rencana pada hari H keberangkatan. Tak heran caci maki dan ungkapan kejengkelan (tentunya dalam bentuk candaan) dari teman-teman memenuhi draft sms di ponsel saya hari ini. Namun mereka maklum, saya tidak bisa berangkat karena terbentur padatnya kesibukan kerja, serta bermacam agenda acara keluarga. Saya benar-benar beruntung memiliki teman-teman yang mau menyadari kesibukan saya.
Kembali ponsel saya berdering, dengan sedikit malas saya mencoba membaca deretan tulisan yang tertera diatas layar. “Astaga…!!, saya baru sadar kalau Jumat malam ini ada acara Festival Purnama yang rutin diadakan di Candi Jawi Prigen. Beruntung tadi ada Yuliana, seorang partner jejalan dari Prigen yang mengingatkan saya via sms, beberapa menit sebelum acara dimulai. Karena perjalanan dari rumah ke Candi Jawi tidak memakan waktu lama, saya bergegas memacu motor butut dengan lampunya yang redup, menyusuri jalanan malam terang benderang karena cahaya Purnama, bukan karena cahaya lampu motor saya.
Tepat pukul 19.30, area Candi Jawi sudah dipadati pengunjung, beberapa pemuda Karang Taruna disekitar sudah mempersiapkan area parkir untuk kendaraan pengunjung. Sayapun tidak perlu ribet lagi dimana menaruh motor, dan lantas bergegas memasuki kompleks Candi yang telah bersolek dengan puluhan batang nyala lilin disekeliling undak-undakannya.
Baru saja mengambil satu dua gambar sosok Candi Jawi yang gemerlap malam ini, saya dikejutkan oleh senyum manis yuk Yuliana yang muncul dihadapan saya bersama beberapa kawannya dari Prigen. Wah, saya langsung bertegur sapa sekaligus memberi ucapan selamat padanya. Karena dia hari ini sedang bersuka cita mengingat baru saja menerima pengumuman kelulusan di SMA-nya. Saya sempatkan mengobrol sejenak, mengisi waktu sebelum acara dimulai, dia dan kawan-kawannya bercerita banyak akan tema acara malam ini. Maklum saja, yuk Yuliana ini juga salah satu Duta Wisata Kabupaten Pasuruan, jadi sekalian saya iseng-iseng curi dengar tentang acara yang akan digelar.
Tak perlu menunggu lama, lampu sorot disekeliling panggung mulai dinyalakan. Acara Pementasan Festival Bulan Purnama bertajuk Pencak Kembangan dari Padhepokan Singo Yudho kali ini, sudah dimulai dengan suara tetabuhan kendang dan gong yang bertalu-talu nyaring. Ditambah penampilan pembawa acara dengan seragam khas Pendekar yang mulai memperkenalkan satu demi satu tokoh-tokoh yang akan tampil malam ini.
Mendadak saya teringat akan kisah dalam komik cerita silat (Cersil) jaman dulu, entah itu Cersil Wiro sableng, atau pula Cersil karya Kho Ping Hoo. Kisah para pendekar dunia persilatan yang berlaga diatas panggung, sekedar untuk mengadu ilmu dan mengukur kepandaian, demi menambah wawasan dan pengalaman di dunia persilatan. Aahh… saya berkhayal terlalu tinggi, nyaris saja saya melewatkan momen penampilan pembuka pada malam ini, kalau saja si Yuliana tidak menepuk pundak saya agar tersadar dari lamunan.
Dimulai dari acara perkenalan tentang jurus khas Padhepokan Singo Yudho oleh seorang pesilat senior, dilanjutkan dengan jurus kembangan Lawe Setugel, bapak paruh baya ini bersilat dengan mantap. Gerakan-gerakannya bertenaga, diiringi suara kendang, tambur dan gong yang cukup padu. Lalu langsung disusul oleh penampilan seorang pendekar putri yang masih belia. Memperagakan jurus Ronce Melati, pesilat remaja ini menunjukkan jurus-jurus silat yang lincah, anggun, namun penuh tenaga. Applaus para penonton bergemuruh diakhir penampilannya.
Saya semakin terbius dengan penampilan demi penampilan para pesilat yang unjuk kebolehan diatas panggung, tidak menyangka bahwa di era modern saat ini ternyata masih banyak para “Pendekar” silat yang masih eksis dengan jurus-jurus dahsyat nan melegenda. “Hmm, malam ini saya merasa menjadi bagian dari dunia persilatan…”, demikian pikir saya.
Berikutnya adalah penampilan yang layak ditunggu, pertandingan duel antara dua pemuda menggunakan jurus-jurus silat khas Padhepokan. Para penonton semakin merapat mendekati panggung, dan bunyi tetabuhan semakin nyaring dengan tempo yang bertambah cepat. Kiranya malam ini sang purnama akan menjadi saksi adu kepandaian antara dua pendekar muda diatas panggung.
Tidak seperti adegan tinju, atau tarung bebas yang kita saksikan di televisi, pertandingan ini cukup seru dan menarik untuk ditonton, dua pendekar bersilat dengan padu dan menampilkan gerakan-gerakan dinamis. Kendati terkesan ada unsur urutan jurus atau gerakan yang sudah diatur sebelumnya, namun pukulan dan tangkisan yang yang terjadi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh tenaga. Wah, mengingatkan saya akan pertarungan ala tontonan Ketoprak jaman kecil dulu.
Belum puas bertarung dengan tangan kosong, mereka bergantian mengambil senjata, mulai dari pedang, toya besi, clurit dan trisula. Pembawa acara berkali-kali mengingatkan penonton untuk menjaga jarak dengan panggung, karena senjata yang digunakan adalah senjata sungguhan. Waahh… malam semakin riuh, alunan tetabuhan yang berpadu dengan riuh tepuk tangan penonton, kini semakin bertambah dengan suara nyaring denting senjata beradu. Para pendekar bersilat dengan tempo yang cepat, senjata mereka seolah berubah menjadi kilatan cahaya yang terpantul akibat lampu sorot panggung. Sampai akhirnya pertarungan diakhiri dengan manis, kedua pendekar muda bertempur dengan imbang. Masing-masing berhasil merebut senjata lawan dan membuangnya keluar panggung. Applaus penonton kembali bergemuruh.
Sosok terakhir yang tampil adalah seorang pemuda yang memperagakan jurus Kembangan Satriyo Sungkem, dengan pakaian ala Pendekar khas Pasuruan, pemuda ini menampilkan gerakan-gerakan yang memukau. Pukulan-pukulan tangannya sambung menyambung diiringi dengan langkah kaki yang mantap hingga membuat alas panggung agak sedikit bergetar. Penonton terbius oleh rangkaian jurus yang diperagakan dengan sangat sempurna dan nyaris tanpa cela. Hingga sang pendekar muda mengakhiri gerakan dengan sungkem memberi hormat, penonton pun masih termangu samapai lupa memberi applaus untuknya.
Sebagai penutup acara, disajikan tarian khas Barongan dan Bantengan. Barongan gak mirip dengan atraksi barongsai, namun dengan bentuk kostum yang lebih sederhana dan bertema lokal. Begitu pula dengan atraksi Bantengan, mirip dengan Barongsai tapi menggunakan kostum Banteng, pula diakhir acara para pemain kadang tampil penuh semangat hingga kadangkala ada yang setengah kesurupan. Wah, sedikit diluar perkiraan memang, salah satu penari Bantengan bahkan harus menggelinding keluar panggung, dan baru berhasil disadarkan kembali setelah hampir setengah jam “menggila” di halaman Candi Jawi.
Benar-benar acara yang cukup seru, syukurnya tidak ada pengunjung yang terluka akibat mengamuknya penari Bantengan tadi. Dan rangkaian Festival Purnama di Candi Jawi pun berakhir dengan semarak, setidaknya saya juga punya oleh-oleh cerita pengganti untuk teman-teman yang malam ini sudah memastikan diri meliput prosesi Waisak di Candi Borobudur. Hehehe