Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa Apa di benak anda ketika mendengar kata “sketsa”. Sebuah gambar diatas kertas, semacam ide atau gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya dan tindakan, atau mungkin terbayang pada salah satu acara televisi swasta yang pernah tayang beberapa tahun lalu. Hehehe. Kali ini saya bercerita tentang sketsa dalam arti harfiahnya, yakni karya seni yang tertuang diatas kertas sebagai gambaran dokumentasi suatu tempat, peristiwa, atau kegiatan.

Kebetulan hari libur panjang awal bulan lalu saya tidak mengagendakan traveling. Karena pada weekend itu saya kedatangan tamu-tamu istimewa dari Surabaya dan Jogja. Yaa, hobby sebagai travel sketcher tentu tidak jauh dengan kawan-kawan yang memiliki kesukaan sama bukan. Oleh karena itulah para sahabat penggiat urbansketch dan beberapa komunitas lain mengontak saya untuk berkegiatan di Pasuruan. Wah, senang rasanya kota Pasuruan dikunjungi orang-orang keren, dan sebagai tuan rumah yang baik, tentu saja saya memberi sambutan yang spesial buat mereka, termasuk siap untuk beradu skill sketsa diatas kertas.

IMG_9963 (Salah Satu Bangunan Kuno di Pasuruan)

Memulai aktivitas pagi di sekitar Klenteng kota Pasuruan, saya menyambut kawan-kawan urbansketch dengan membahas rute sketsa di sekitar Pasuruan. Kebetulan pada gathering kali ini turut pula beberapa teman dari komunitas Heritage/Pecinta Sejarah dan Urban Selfie. Maka target kami tentu saja mengunjungi spot-spot bangunan tua yang ada di sekitar pusat kota, dan kami memulai rute dari area sepanjang Stasiun berlanjut ke perempatan Gedong Woloe.

Salah satu bangunan yang cukup menarik minat kami adalah rumah kuno di sudut perempatan Gedong Woloe. Karya arsitektur lawas yang tepat berada diseberang SMAN 1 Pasuruan ini menjadi aksentuasi dengan bentuk tower menjulang di salah satu sisinya. Berbekal izin dan sambutan baik dari empunya rumah, kami kembali ngemper diatas trotoar, beraksi menggores pensil dan menyapu warna diatas kertas. Satu jam waktu yang cukup untuk menyelesaikan karya kami.

IMG_9972 (Hasil Karya Sketsa)

Rute berlanjut menuju Jl. Hasanuddin, tepatnya gedung Yayasan Pancasila dengan halaman depannya yang cukup luas, view sketsa semakin leluasa. Sambutan dari adik-adik Sekolah Dasar awalnya agak menghambat aktivitas kami, syukurnya saya dan kawan-kawan sudah terbiasa dengan hal ini. Justru kami semakin appresiatif dan mengajak mereka untuk larut dalam kegiatan, sekaligus mengenalkan hobby menggambar dan mengedukasi mereka dengan beberapa tips sketsa singkat.

Usai menyelesaikan karya kami, destinasi berikutnya adalah Rumah Singa yang juga masih di sekitaran Jl. Hasanuddin. Sayangnya kami tidak mendapat izin lebih leluasa untuk melakukan aktivitas disekitar destinasi populer ini. Maklum karena alasan privasi pribadi dari empunya rumah, akhirnya kami sepakat mendokumentasikan dari seberang jalan. Tak terasa hari semakin sore, setelah beristirahat dan makan siang sembari berjalan santai disekitar alun-alun kota Pasuruan.

Rute puncak kami adalah gedung Yayasan Kejuruan Untung Surapati atau lebih dikenal dengan sebutan Gedung Harmoni. Kebetulan kami disambut baik dan dipersilahkan berkegiatan di halaman gedung yang letaknya persis berhadapan dengan Taman Kota ini. Rasa letih dan lelah setelah terforsir seharian, kembali berkurang dan berganti dengan semangat untuk menyelesaikan karya sketsa kami sebelum senja. Gedung ini masih dipergunakan sebagai bangunan fasilitas pendidikan. Halaman depannya kerap dipakai berkegiatan outdoor siswa sekolah. Kebetulan sore itu masih ada kegiatan olahraga dan senam siswa sebelum jam sekolah berakhir. Maka kami betul-betul memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya.

Sementara kami fokus dengan pensil dan cat air, kawan-kawan dari penggiat Heritage/Sejarah dan Urban Selfie asyik bergelut dengan kamera mereka masing-masing. Tema Bangunan Tua kali ini benar-benar menjadi benang merah untuk kami berkolaborasi. “Taadaaa….” Hampir dua jam berjuang, kami menyelesaikan karya. Dan seperti biasanya, menjelang akhir kegiatan kami kerap berfoto bersama, sekaligus mengikutsertakan karya masing-masing dengan latar bangunan yang menjadi obyek sketsa.

IMG_9978 (Hasil Karya Sketsa)

 

Akhirnya hari itu kami sukses membingkai beberapa sudut Kota Tua Pasuruan dalam Sketsa, antusiasme teman-teman dari Surabaya dan Jogja adalah kepuasan tersendiri bagi saya sebagai warga Pasuruan. Sembari tentunya senantiasa menanti kolaborasi selanjutnya dari UrbanSketch, UrbanSelfie, dan HeritageTraveler untuk berkarya dan berkegiatan positif di lain waktu.

IMG_9991 (Foto Bersama)

 

Pendekar-Pendekar Candi Jawi

Purnama bersinar terang sekali malam itu, ponsel butut saya terus berdering tanpa henti akibat sms beruntun teman-teman yang sudah berangkat ke Jogja, mengikuti rangkaian momen Waisak di Candi Borobudur akhir pekan lalu. Yaa, seolah “mengkhianati” mereka karena saya mendadak membatalkan rencana pada hari H keberangkatan. Tak heran caci maki dan ungkapan kejengkelan (tentunya dalam bentuk candaan) dari teman-teman memenuhi draft sms di ponsel saya hari ini. Namun mereka maklum, saya tidak bisa berangkat karena terbentur padatnya kesibukan kerja, serta bermacam agenda acara keluarga. Saya benar-benar beruntung memiliki teman-teman yang mau menyadari kesibukan saya.

Kembali ponsel saya berdering, dengan sedikit malas saya mencoba membaca deretan tulisan yang tertera diatas layar. “Astaga…!!, saya baru sadar kalau Jumat malam ini ada acara Festival Purnama yang rutin diadakan di Candi Jawi Prigen. Beruntung tadi ada Yuliana, seorang partner jejalan dari Prigen yang mengingatkan saya via sms, beberapa menit sebelum acara dimulai. Karena perjalanan dari rumah ke Candi Jawi tidak memakan waktu lama, saya bergegas memacu motor butut dengan lampunya yang redup, menyusuri jalanan malam terang benderang karena cahaya Purnama, bukan karena cahaya lampu motor saya.

IMG_4641

Tepat pukul 19.30, area Candi Jawi sudah dipadati pengunjung, beberapa pemuda Karang Taruna disekitar sudah mempersiapkan area parkir untuk kendaraan pengunjung. Sayapun tidak perlu ribet lagi dimana menaruh motor, dan lantas bergegas memasuki kompleks Candi yang telah bersolek dengan puluhan batang nyala lilin disekeliling undak-undakannya.

Baru saja mengambil satu dua gambar sosok Candi Jawi yang gemerlap malam ini, saya dikejutkan oleh senyum manis yuk Yuliana yang muncul dihadapan saya bersama beberapa kawannya dari Prigen. Wah, saya langsung bertegur sapa sekaligus memberi ucapan selamat padanya. Karena dia hari ini sedang bersuka cita mengingat baru saja menerima pengumuman kelulusan di SMA-nya. Saya sempatkan mengobrol sejenak, mengisi waktu sebelum acara dimulai, dia dan kawan-kawannya bercerita banyak akan tema acara malam ini. Maklum saja, yuk Yuliana ini juga salah satu Duta Wisata Kabupaten Pasuruan, jadi sekalian saya iseng-iseng curi dengar tentang acara yang akan digelar.

Tak perlu menunggu lama, lampu sorot disekeliling panggung mulai dinyalakan. Acara Pementasan Festival Bulan Purnama bertajuk Pencak Kembangan dari Padhepokan Singo Yudho kali ini, sudah dimulai dengan suara tetabuhan kendang dan gong yang bertalu-talu nyaring. Ditambah penampilan pembawa acara dengan seragam khas Pendekar yang mulai memperkenalkan satu demi satu tokoh-tokoh yang akan tampil malam ini.

Mendadak saya teringat akan kisah dalam komik cerita silat (Cersil) jaman dulu, entah itu Cersil Wiro sableng, atau pula Cersil karya Kho Ping Hoo. Kisah para pendekar dunia persilatan yang berlaga diatas panggung, sekedar untuk mengadu ilmu dan mengukur kepandaian, demi menambah wawasan dan pengalaman di dunia persilatan. Aahh… saya berkhayal terlalu tinggi, nyaris saja saya melewatkan momen penampilan pembuka pada malam ini, kalau saja si Yuliana tidak menepuk pundak saya agar tersadar dari lamunan.

Dimulai dari acara perkenalan tentang jurus khas Padhepokan Singo Yudho oleh seorang pesilat senior, dilanjutkan dengan jurus kembangan Lawe Setugel, bapak paruh baya ini bersilat dengan mantap. Gerakan-gerakannya bertenaga, diiringi suara kendang, tambur dan gong yang cukup padu. Lalu langsung disusul oleh penampilan seorang pendekar putri yang masih belia. Memperagakan jurus Ronce Melati, pesilat remaja ini menunjukkan jurus-jurus silat yang lincah, anggun, namun penuh tenaga. Applaus para penonton bergemuruh diakhir penampilannya.

IMG_4823

IMG_4695

IMG_4791

IMG_4774

Saya semakin terbius dengan penampilan demi penampilan para pesilat yang unjuk kebolehan diatas panggung, tidak menyangka bahwa di era modern saat ini ternyata masih banyak para “Pendekar” silat yang masih eksis dengan jurus-jurus dahsyat nan melegenda. “Hmm, malam ini saya merasa menjadi bagian dari dunia persilatan…”, demikian pikir saya.

Berikutnya adalah penampilan yang layak ditunggu, pertandingan duel antara dua pemuda menggunakan jurus-jurus silat khas Padhepokan. Para penonton semakin merapat mendekati panggung, dan bunyi tetabuhan semakin nyaring dengan tempo yang bertambah cepat. Kiranya malam ini sang purnama akan menjadi saksi adu kepandaian antara dua pendekar muda diatas panggung.

Tidak seperti adegan tinju, atau tarung bebas yang kita saksikan di televisi, pertandingan ini cukup seru dan menarik untuk ditonton, dua pendekar bersilat dengan padu dan menampilkan gerakan-gerakan dinamis. Kendati terkesan ada unsur urutan jurus atau gerakan yang sudah diatur sebelumnya, namun pukulan dan tangkisan yang yang terjadi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh tenaga. Wah, mengingatkan saya akan pertarungan ala tontonan Ketoprak jaman kecil dulu.

Belum puas bertarung dengan tangan kosong, mereka bergantian mengambil senjata, mulai dari pedang, toya besi, clurit dan trisula. Pembawa acara berkali-kali mengingatkan penonton untuk menjaga jarak dengan panggung, karena senjata yang digunakan adalah senjata sungguhan. Waahh… malam semakin riuh, alunan tetabuhan yang berpadu dengan riuh tepuk tangan penonton, kini semakin bertambah dengan suara nyaring denting senjata beradu. Para pendekar bersilat dengan tempo yang cepat, senjata mereka seolah berubah menjadi kilatan cahaya yang terpantul akibat lampu sorot panggung. Sampai akhirnya pertarungan diakhiri dengan manis, kedua pendekar muda bertempur dengan imbang. Masing-masing berhasil merebut senjata lawan dan membuangnya keluar panggung. Applaus penonton kembali bergemuruh.

IMG_4938

IMG_4957

Sosok terakhir yang tampil adalah seorang pemuda yang memperagakan jurus Kembangan Satriyo Sungkem, dengan pakaian ala Pendekar khas Pasuruan, pemuda ini menampilkan gerakan-gerakan yang memukau. Pukulan-pukulan tangannya sambung menyambung diiringi dengan langkah kaki yang mantap hingga membuat alas panggung agak sedikit bergetar. Penonton terbius oleh rangkaian jurus yang diperagakan dengan sangat sempurna dan nyaris tanpa cela. Hingga sang pendekar muda mengakhiri gerakan dengan sungkem memberi hormat, penonton pun masih termangu samapai lupa memberi applaus untuknya.

Sebagai penutup acara, disajikan tarian khas Barongan dan Bantengan. Barongan gak mirip dengan atraksi barongsai, namun dengan bentuk kostum yang lebih sederhana dan bertema lokal. Begitu pula dengan atraksi Bantengan, mirip dengan Barongsai tapi menggunakan kostum Banteng, pula diakhir acara para pemain kadang tampil penuh semangat hingga kadangkala ada yang setengah kesurupan. Wah, sedikit diluar perkiraan memang, salah satu penari Bantengan bahkan harus menggelinding keluar panggung, dan baru berhasil disadarkan kembali setelah hampir setengah jam “menggila” di halaman Candi Jawi.

Benar-benar acara yang cukup seru, syukurnya tidak ada pengunjung yang terluka akibat mengamuknya penari Bantengan tadi. Dan rangkaian Festival Purnama di Candi Jawi pun berakhir dengan semarak, setidaknya saya juga punya oleh-oleh cerita pengganti untuk teman-teman yang malam ini sudah memastikan diri meliput prosesi Waisak di Candi Borobudur. Hehehe

IMG_4999

IMG_5002

IMG_5008

Tari Jawi

“Cetar.. Membahana..” meminjam ungkapan yang lagi ngetrend saat ini, pertunjukan kembang api yang sederhana disekeliling panggung itu mendapat applaus meriah dari para penonton, terutama bagi mereka yang masih kanak-kanak. Memadati area sekeliling kompleks Candi Jawi – Pasuruan, mereka tidak sabar menunggu penampilan yang akan tersaji dalam acara Gebyar Suro menyambut pergantian tahun itu.

Lalu lintas didepan kompleks candi sempat macet sesaat kala pertunjukan kembang api tadi membuka pagelaran Jumat malam itu. Diawali dengan tarian SekarSari, dimana tiga penari putri berbalut pakaian tradisonal tampil membius penonton dengan gerakan anggun gemulai. Penampilan perdana dari rangkaian pertunjukan yang digelar Padhepokan Seni Saraswati ini, mulai menarik minat beberapa pengguna jalan untuk berhenti sejenak dan menyaksikan kemeriahan acara di Candi Jawi.

Peserta Tari di Candi Jawi, tari bali
Peserta Tari di Candi Jawi asal Bali

Menyusul kemudian penampilan tari Jaipong yang khas dengan irama dan ketukan yang sedikit menghentak. Suasana Candi Jawi sedikit lebih meriah dengan lantunan musik Jaipong yang khas itu. Apalagi selanjutnya disusul pula dengan tari Jaipong pasangan muda-mudi yang tak kalah seru. Sepasang penari itu demikian piawai menarikan gerakan yang melambat dan mendadak cepat sesuai dengan tempo musik Jaipong.

Puas dihibur tarian khas tanah Sunda ini, beberapa penari belia asal Bali mulai turun memeriahkan suasana. Suara tetabuhan khas Pulau Dewata dari tarian Cilinaya yang mereka bawakan, sontak membuat Candi Jawi malam itu seakan bernuansa Bali. Para penonton dan undangan yang sebagian besar adalah komunitas tari dari Malang dan Bali ini semakin memberi applaus yang tak kalah meriah.

Penampilan tak kalah menarik adalah salah satu tari Bali yang dibawakan seorang bocah kecil, talenta cilik seusia siswi Sekolah Dasar ini adalah penderita disabilitas (tuna rungu dan tuna wicara) yang sebenarnya cukup berbakat. Dipandu seorang instruktur didepan panggung, gadis cilik ini mulai mengikuti gerakan lambaian tangan dan jentikan jari sang pelatih didepannya.

Sungguh luar biasa, kode dan aba-aba dari instruktur dapat diterjemahkan dengan sempurna olehnya. Si gadis kecil menari seirama dengan alunan musik tradisonal Bali pengiring Tari, yang sebenarnya sama sekali tidak mampu didengarnya. Dia percaya penuh dengan aba-aba dari instruktur, dan ketepatan gerakan tubuh terhadap irama musik itu membuat saya lupa bahwa dia sebenarnya seorang gadis dengan keterbatasan fisik.

Peserta Tari Candi Jawi
Peserta Tari Candi Jawi
Peserta Tari Candi Jawi
Peserta Tari Candi Jawi

Pertunjukan tari yang sangat menguras emosi penonton, awalnya mereka merasa iba dengan kekurangan yang dimiliki si bocah. Namun kini justru rasa salut dan tatapan mata penuh keterkaguman, serta tiada henti memberi applaus tatkala pertunjukan itu telah berakhir. Sayapun sampai nyaris melempar kamera dari pegangan, hanya karena refleks ingin memberi tepuk tangan dipenghujung penampilan. Bahkan ibu-ibu dibelakang saya juga bertepuk tangan dengan pelupuk mata berkaca-kaca, kagum bercampur haru.

Menjelang akhir acara, penampilan Tari Sintren Topeng Tayub yang kreatif dan penuh humor membuat para penonton tersenyum puas. Dengan mengikuti alunan musik yang temponya naik turun, penari tunggal ini menyesuaikan gerakan serta menyempatkan berganti-ganti topeng mengikuti karakter musik yang pas dengan karakter Topengnya. Hahaha, sayapun ikut tertawa dalam hati menyaksikan beberapa karakter Topeng Tradisional yang dipakainya, ternyata cukup lucu dan menggambarkan kondisi sosial masyarakat sehari-hari. Dan acara Gebyar Suro itupun, ditutup dengan sambutan yang cukup meriah dari para penonton yang ikut naik keatas panggung untuk menari bersama sang pemakai Topeng.

Fashion On The River

Saya memperlambat laju kendaraan tatkala memasuki tikungan pertigaan Kejayan. Jalan arteri yang menghubungkan Pasuruan dengan Malang itu terlihat lebih ramai daripada biasanya. “Tidak salah lagi, ini pasti tempatnya”, demikian pikir saya, sembari seksama memperhatikan tikungan jalan yang dilalui sungai lebar dibawahnya. Tanpa ragu lagi kami memarkir kendaraan dan langsung mengikuti mereka yang berjalan menyusuri tepian sungai menuju pusat keramaian.

Sesuai info beberapa teman dari Paguyuban Cak Yuk Kabupaten Pasuruan, pada pagi ini diselenggarakan acara unik di Kejayan – Pasuruan. Dalam rangka menyambut Sumpah Pemuda 28 Oktober 2012 yang bertepatan dengan hari Minggu, digelar pula acara bertajuk Fashion On The River. Yaa, sesuai dengan judulnya, acara ini menyuguhkan parade Fashion diatas aliran sungai. Bukan sekedar berjalan dipanggung atas sungai, tapi benar-benar berjalan “mengapung” diatas permukaan sungai.

Fashion On The River ini diagendakan rutin oleh siswa-siswi SMAN 1 Kejayan setiap peringatan Sumpah Pemuda. Dengan mengambil tempat di sungai Complong – Kejayan, aliran air akan menjadi pengganti karpet merah bagi para peserta parade. Dan pada gelaran kali kedua ini, tim jejalan berkesempatan menyaksikan uniknya sebuah Karnaval fashion diatas sungai.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Menjelang pukul Sembilan pagi, para peserta sudah mulai bersiap di lokasi. Sepasang pelajar berseragam menaiki rakit pertama dengan masing-masing membawa bendera Merah Putih. Dipimpin beberapa dewan guru dari tepi sungai, acara dibuka dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan. Darah serasa berdesir dan suasana mendadak hening tatkala Indonesia Raya berkumandang. Semua peserta dan penonton ditepi sungai bersama-sama menyanyi, bahkan bapak pengunjung disamping saya tak kalah antiusias menyanyi dengan suara lantang mengikuti aba-aba dari dirigen. Dari ekspresi dan semangatnya saya yakin betul, pasti bapak setengah baya ini serasa muda kembali di peringatan hari Sumpah Pemuda ini. Hehehe.

Setelah bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan disusul mengucapkan Sumpah Pemuda, satu demi satu peserta mulai berangkat dari garis start. Satu atau dua pelajar dengan kostum kreasi mereka, berdiri diatas rakit yang turut dihias sedemikian rupa. Dengan berpose didepan para penonton disepanjang tepian sungai, rakit berjalan mengikuti aliran air sungai dipandu oleh dua tiga teman lain yang berendam sepertiga badan didalam air sungai. Mengatur dan mengarahkan rakit agar tetap stabil berada ditengah jalurnya.

Haha, cukup lucu dan menarik juga. Bukan hanya gemelap warna-warni kreasi desain yang membuat Karnaval diatas air ini terlihat unik, tapi juga melihat perjuangan para pesertanya kadang membuat saya dan beberapa teman tersenyum geli. Bayangkan betapa sulitnya mereka berusaha berdiri bak peragawan peragawati diatas goyangan rakit yang diterpa arus sungai, butuh keseimbangan ekstra agar mereka tetap bisa berdiri stabil sembari menahan rasa takut akan terpeleset dengan kamuflase senyum yang menghias bibir.

fashion-on-the-river-2

fashion-on-the-river

Lihat pula perjuangan para pengendali rakit yang ada dibawah permukaan air. Mereka rela berbasah kuyup, berendam sampai ke batas leher, mengeluarkan tenaga ekstra untuk menjaga rakit tidak terbawa arus dan tetap stabil di tengah sungai. Usaha mereka untuk menyemarakkan acara ini patut diacungi jempol. Bahkan sebagian besar peserta juga rela menyisihkan uang saku beberapa waktu sebelumnya, untuk bisa membeli tambahan aksesoris karnaval bagi regu mereka.

Cukup banyak juga rakit yang menjadi peserta acara kali ini, rata-rata memang menampilkan kreasi fashion dengan tema keBhinekaan suku bangsa di tanah air. Masing-masing regu yang mewakili kelas tampil all out menyajikan kreasi fashion ala pelajar SMA yang kompetitif. Bahkan yang membuat saya kagum adalah, para pelajar lain yang tidak turun menjadi peserta karnaval, juga turut hadir menonton dengan dresscode Batik.

fashion-on-the-river-3

Candi Jawi dan Kemeriahan Malam Bulan Purnama

… Jaranan, jaranan jarane jaran Teji,

Sing nunggang ndoro Bei,

Sing ngiring para Mantri,

Jlek jlek nung, jlek jlek nung…

Syair lagu jaranan yang populer dimasa kecil saya itu terus membahana mengiringi malam. Alunan gamelan dan tetabuhan lain juga berkumandang di area kompleks Candi Jawi, salah satu lokasi wisata sejarah yang terletak di jalan raya Pandaan – Prigen, Pasuruan. Tidak seperti biasanya, malam itu Candi Jawi bersolek, puluhan batang lilin menghias diseluruh sudutnya. Serta sorot lampu spotlight menyinari sisi depannya. Pintu gerbang kompleks candi pun dibuka nonstop dari pagi sampai petang hari, dan momen itu dimanfaatkan beberapa pengunjung untuk menyesaki tepian panggung yang disusun didepan candi menghadap jalan raya.

Kebetulan hari Sabtu malam itu bertepatan dengan malam Purnama. Dan sudah menjadi agenda rutin Dinas terkait, diselenggarakan pentas seni budaya dengan setting kompleks Candi Jawi. Kebetulan malam itu menampilkan tarian kreasi baru bertema Jaranan, yang para penarinya berasal dari sanggar seni disekitar Prigen Pasuruan.

Acara dimulai semenjak pukul 19.00 dengan dibuka penampilan beberapa penari putri. Dengan kostum biru dan kuning mencolok, serta riasan khas penari jaran kepang, mereka menari gemulai dibawah terang sinar bulan. Walau tarian yang ditampilkan terlihat sederhana, namun antusiasme warga yang menghadiri acara cukup banyak, tepian panggung penuh sesak oleh penonton yang didominasi ibu-ibu dan anak-anak kecil.

Suasana Candi Jawi
Suasana Candi Jawi di Malam Pagelaran
Jaranan Candi Jawi
Pemain Wanita Menari Berdua
Jaranan Candi Jawi
Pemain Jaranan Beraksi

Selanjutnya giliran tampil sekelompok penari putra yang mengenakan setelan biru. Masih dengan tema tarian yang sama, para penari putra ini tampil lebih trengginas lagi diatas panggung. Dibanding sebelumnya, gerakan mereka terlihat lebih rancak dan bertenaga. Hentakan-hentakan cambuk meledak memecah udara malam mengagetkan para penonton cilik yang segera beringsut mundur menjaga jarak dari tepi panggung. Kuda lumping tunggangan mereka seakan bergerak liar mengikuti alunan musik gamelan yang temponya semakin cepat dan penuh semangat.

Tak pelak lagi, penampilan tari jaranan kali ini langsung membius seluruh penonton yang hadir. Bahkan beberapa pengguna jalan sempat menghentikan kendaraan untuk sekedar menengok kearah keramaian di Candi Jawi. Beberapa muda-mudi yang berencana menghabiskan malam minggu justru memarkir motornya berdesakan didepan pagar kompleks Candi. Sesekali mereka mengarahkan kamera telepon selulernya mendokumentasikan momen-momen unik ini. “jarang-jarang malam minggu ada hiburan yang beginian mas, mending kami weekend sambil nonton ginian daripada sekedar makan-makan di café dan resto seperti biasanya”, komentar seorang remaja putri dari Sidoarjo yang kebetulan mampir menghabiskan malam minggu bersama pasangannya di Pandaan.

Dipenghujung acara, tari jaranan kembali dibawakan oleh sekelompok bocah kanak-kanak yang lucu dan menggemaskan. Para penonton terutama yang ibu-ibu, terus memberi tepuk tangan tiap kali bocah-bocah usia Taman Kanak-kanak itu bergerak rancak mengikuti irama musik gamelan. Kendati terlihat seperti baru belajar, bocah-bocah itu tetap all-out berkonsentrasi menampilkan seluruh rangkaian gerakan tari hingga usai. Betul-betul semangat yang patut diapresiasi. Setidaknya mereka lebih menguasai gerakan khas tari Jaranan, daripada Gangnam Style yang lagi populer saat ini, demikian pikir saya sembari tersenyum simpul.

Peserta Jaranan Anak-anak
Peserta Jaranan Anak-anak
Aksi Jaranan Peserta Cilik
Aksi Jaranan Peserta Cilik

Menjelang pukul 21.00 acara tari jaranan usai ditampilkan, giliran beberapa MC yang mengisi acara dengan banyolan berbalut ala ludruk. Dengan pakaian tradisional, mereka menyampaikan pesan-pesan akan pentingnya menggelar kesenian khas budaya lokal. Apalagi jika itu diselenggarakan di tempat yang punya nilai sejarah dan budaya seperti Candi Jawi. Tentunya akan menambah nilai lebih sekaligus edukasi bagi para generasi muda, ujar mereka sembari menutup acara.

Skilot

Begitu halnya dengan para kru jejalan.com yang selama dua hari kemarin, Sabtu dan Minggu disibukkan dengan acara menyantap aneka hidangan berbahan dasar Ketupat. Namun kami tidak bisa bersantai-santai dengan program “penggemukan badan” seusai puasa, tahun ini kru jejalan sudah berencana menyempatkan diri untuk menengok sejenak, perayaan Lebaran Ketupat Khas masyarakat Pesisir Pasuruan. Kebetulan tahun ini kami memilih jejalan ke daerah Lekok, salah satu kecamatan di Pesisir Kabupaten Pasuruan.

Tambak sekitar lokasi skilot
Suasana gerbang masuk ke lokasi tambak tempat berlangsungnya acara

Bukan tanpa alasan kami sepakat memilih Lekok sebagai destinasi jejalan kali ini. Karena setiap bertepatan dengan momen Lebaran Ketupat, daerah Lekok selalu ramai dengan aktivitas festival budaya. Ada yang namanya tradisi Praon (berperahu), dimana orang-orang mengajak keluarganya menyewa perahu yang dihias berwarna-warni, kemudian berpesiar dengan kapal layar kecil itu mengelilingi sekitar pesisir Lekok. Selain rekreasi keluarga ala Praon, ada pula yang namanya festival balap Skilot. Dan balap Skilot inilah yang kali ini menjadi bidikan utama kami sebagai salah satu artikel pembuka nuansa Lebaran khas jejalan.

Konon menurut asal kata, Skilot adalah kepanjangan dari Ski dan Celot. Beberapa warga lokal juga mengartikannya sebagai “bermain Ski diatas Celot”, celot mengandung arti lumpur dalam bahasa lokal. Jadi istilah gampangnya yaa… Ski Lumpur, begitulah mungkin gambarannya. Karena memang sejatinya peserta skilot adalah para nelayan sekitar, yang memang terbiasa meluncur diatas papan kayu mencari kerang diantara lembeknya lumpur pantai.

Peserta skilot berpose dengan papan seluncurnya

Skilot yang sudah dilombakan sejak tahun 80-an memang menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan lokal maupun luar Pasuruan. Karena itu pada hari Minggu kemarin yang bertepatan dengan Lebaran Ketupat, ratusan bahkan mungkin ribuan warga berbondong-bondong menuju arena skilot yang tidak jauh dari kawasan tambak pesisir Lekok. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak kecil turut berebut menonton walau dalam gendongan ibunya. Kami sendiripun harus berdesakan untuk mendapat tempat diantara sesaknya tepian arena yang dulunya merupakan bekas tambak warga itu. Apalagi lebaran ketupat kali ini masih bernuansa Agustusan, arena semakin terlihat meriah dengan banyaknya umbul-umbul dan aksesoris warna merah putih disekitarnya.

Tambak arena skilot
Seorang peserta berseluncur diatas lumpur
Peserta adu cepat berseluncur

Tepat pukul Sembilan pagi, setelah dibuka oleh para Pejabat setempat yang diiringi oleh adik-adik dari Paguyuban Duta Wisata, para “atlit” skilot satu-demi satu mulai terjun kedalam arena. Sorak-sorai para penonton mulai membahana memberi semangat masing-masing atlit jagoan mereka. Perlombaan meluncur diatas lumpur dengan papan kayu itu benar-benar menjadi hiburan yang luarbiasa untuk para penontonnya. Apalagi bagi beberapa fotografer yang sudah sejak pagi turut berlomba mengabadikan aksi para peserta skilot, senyum kepuasan juga tersungging di bibir mereka setiap kali mendapatkan gambar yang menarik.

Memasuki babak semifinal, pertandingan semakin ramai. Kali ini para peserta jauh lebih piawai melajukan papan “ski” handmade diatas lumpur becek, bak kereta salju Sinterklas yang lancar meluncur diatas lembutnya salju. Saking semangatnya hingga beberapa peserta ada yang mengalami kram, atau bahkan nyaris pingsan akibat kehabisan nafas kala berlaga di lintasan skilot. Perkara nantinya kalah ataupun menang, mereka tetap menjaga sportivitas lomba. Sebuah contoh sikap yang patut mendapat apresiasi acungan jempol.

Kala mentari tepat tegak lurus diatas kepala, dan teriknya terasa semakin menyengat ubun-ubun. Lomba skilot yang meriah itu pun berakhir. Hadiah berkelas macam televisi layar datar pun diterima oleh para juara. Dan bagi kru jejalan, sepiring ketupat lontong dan segelas es sirup sajian dari rumah kerabat sudah cukup menjadi hadiah yang memuaskan, setelah berpanas ria ditengah tambak yang membuat lapar dan haus tadi. Aahh… semoga gelaran skilot tahun depan kami bisa hadir lagi disana.

Seorang peserta kelelahan

[wpcol_1half id=”” class=”” style=””]

Peserta beristirahat sejenak
Bersiap bertanding lagi
Antusiasme penonton menjelang final

Petirtaan Belahan, Candi Tetek

Sabtu pagi itu, saya sedang asyik berbelanja kebutuhan aquarium di pasar ikan. Maklum, selain suka travelling, saya sedari kecil adalah seorang penggemar ikan hias. Walau sudah menemukan apa yang dicari, namun saya masih menyempatkan diri melihat beberapa pernak-pernik aquarium dan kolam hias di pasar pagi yang ramai itu.

Sejenak tatapan mata saya tertumbuk pada beberapa benda replika kecil untuk kolam, seperti kincir air, patung kodok, patung ikan koi, dan yang paling menarik adalah patung replika ”manneken pis” yang legendaris itu. Yaaa betul, menneken pis yang selama ini kita kenal dengan tampilan patung bocah kecil nan lucu, dengan pose sedang pipis yang mana airnya terus-menerus keluar dan menjadi pancuran kolam. Sangat menarik memang, namun belum terlalu menarik bagi saya untuk membeli replika patung yang asalnya dari kota Brussels ini.

Segera saya mengangkat telpon dan mengontak Jeri, salah satu partner di jejalan. Tidak ada hubungannya dengan Pasar Ikan atau penggemar ikan hias tentunya, namun saya janjikan sebuah petualangan wisata yang menarik sebagai imbas terinspirasi dari manneken piss tadi. Hahaha, boleh jadi anda berpikir kalau kami akan berangkat ke Brussels. Karena demikian menggebunya, tepat pukul Sembilan pagi saya dan Jeri sudah bertemu di sekitar perempatan Gempol. Sembari menikmati beberapa butir Klepon di pagi hari, kami berdua melibas jalan raya Gempol – Pandaan dengan motor.

gunung-penanggungan-sawah

Tujuan kami berdua adalah  Candi Belahan, sebuah situs Purbakala di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di dusun Belahan Jowo, desa Wonosunyo, kecamatan Gempol, Pasuruan. Yang mana oleh warga sekitar lebih dikenal dengan sebutan Candi Tetek, tetek adalah sebutan untuk payudara dalam bahasa jawa. Petirtaan ini adalah sebuah pemandian bersejarah dari abad ke 11, di masa kerajaan Airlangga. Konon tempat ini terkenal sebagai tempat pertapaan prabu Airlangga, selain itu ada cerita juga tempat ini sebagai lokasi pemandian untuk selir-selirnya. Sebagai penanda maka dibangunalah dua buah patung yang mengalirkan air dari payudaranya.

Tidak mudah akses menuju kesana, dari pertigaan Pom Bensin Pelem, menuju ke arah barat dan berjarak kurang lebih berjarak 10 km dari jalan utama. Perjalanan 30 menit menyusuri perkampungan penduduk, diselingi dengan hamparan bukit dan persawahan di jalur aspal yang tidak begitu bagus. Pula motor-motor kecil kami harus bersaing dengan truk-truk pengangkut tanah dan pasir yang berukuran raksasa.

candi-tetek-bermotor-ke-penanggungan

candi-tetek-penanggungan

Debu dan deru asap monster-monster otomotif itu memang sangat mengganggu, namun efeknya justru kami akhirnya mendapatkan spot-spot penambangan pasir batu di kiri kanan jalan yang menampilkan view spektakuler. Belum lagi mendekati lokasi Situs Purbakala, terhampar pemandangan sawah hijau dengan landscape terasering khas pegunungan.

pertanian-lereng-gunung-penanggungan

Tiba di lokasi kami disambut hamparan pohon-pohon tinggi menjulang, suara kicauan burung, berisik serangga, dan gemericik air pancuran. Berbentuk kolam pemandian persegi empat, dengan pasokan air dari sebuah sumber kecil. Diperkirakan dibangun pada masa Raja Airlangga. Dinding sebelah barat belakang mengepras lereng gunung penanggungan dengan bentuk relung-relung yang dahulunya berisi arca perwujudan Airlangga sebagai dewa Wishnu. Jujur, ada rasa sedikit kecewa menyaksikan sosok Candi Tetek yang legendaris itu, ternyata kondisinya tidak seperti yang kami bayangkan. Berbahan dari batu bata, dengan permukaan yang sebagian sudah ditumbuhi lumut.

Sembari berdiskusi dengan warga lokal, kami cukup lama meluangkan waktu berteduh dibawah pendopo sederhana dalam kompleks candi seluas kurang lebih 120 meter persegi itu. Menyempatkan menyaksikan aktifitas penduduk sekitar yang memanfaatkan petirtaan candi sebagai sarana kebutuhan air bersih. Mulai mencuci, mandi, sekedar membasuh muka, atau bahkan mengambil langsung air dari pancuran untuk kebutuhan air minum.

candi-tetek

[one-half-first]candi-tetek-1[/one-half-first]
[one-half]candi-tetek-2[/one-half]

[one-half-first]candi-tetek-3[/one-half-first]
[one-half]candi-tetek-4[/one-half]

Tidak sedikit pula warga dari luar kota berkunjung untuk sekedar rekreasi, studi, atau juga wisata religi. Sebagian juga percaya jika air dari tempat ini membawa berkah, kesembuhan, dan juga berkhasiat. Bahkan pada malam-malam tertentu menurut penanggalan jawa, sering ditemui orang yang berkunjung dengan keperluan khusus. Tak heran kami juga menemukan beberapa sisa sesajen dan bekas bakaran dupa.

Mungkin sekarang candi Sumber Tetek mungkin sudah tak sebagus, atau sesakral pada masanya dulu. Namun setidaknya, eksistensinya masih bisa memberikan manfaat bagi penduduk sekitar, menjadi sebuah tanda keberadaan sebuah sejarah pada eranya. Dan yang paling penting, terlepas dari segala mitos dan kepercayaan tentang mistis tempat ini. Saya berharap, suatu saat nanti akan membuat replika Candi Tetek skala kecil untuk hiasan pancuran kolam air didepan rumah, hehe.

candi-tetek-belahan

Lontong Kupang Kraton Pasuruan

Sajian Meriah, Harganya Murah

Dari beragam kuliner yang menggunakan olahan berbahan dasar petis, seperti Rujak Cingur, Lontong Balap, Tahu Campur, maupun Lontong Lodeh. Ada satu khasanah kuliner yang tak kalah unik, yakni Lontong Kupang. Mungkin nama menu ini terdengar sedikit asing di telinga orang luar Jawa Timur. Namun bagi penggemar makanan di Jawa Timur khususnya Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan, Lontong Kupang adalah menu yang tak boleh dilewatkan.

Kata “Kupang”  identik dengan hewan laut sejenis kerang atau juga sebagian menyebut siput laut, berukuran sebesar kacang kedelai dan bercangkang tipis. Kumpulan hewan inilah yang menjadi bahan dasar olahan Kupang, dipisahkan dari cangkangnya lantas direbus hingga matang.

Kebetulan siang hari itu, seusai jejalan disekitar Pasuruan. Kami menyempatkan diri berburu Lontong Kupang khas Kraton. Salah satu kuliner lokal yang mudah ditemui disepanjang jalan raya Bangil – Pasuruan. Tentunya favorit saya adalah beberapa depot yang berada  di Sentra Kuliner pertigaan Kraton – Pasuruan.

kupang-bu-ning

lontong-kupang-kraton

 

Seporsi Lontong Kupang Kraton disajikan dengan bumbu meliputi gula, cabe, sedikit petis dan kucuran air jeruk nipis. Semua bahan diaduk diatas masing-masing piring. Dengan ditambah beberapa potong cabai bagi yang suka pedas. Setelah semuanya dicampur diatas piring, beberapa potong lontong ditambahkan diatasnya. Terakhir disiram dengan rebusan kupang dan kuah panas yang baunya… “hhmmm”… Sungguh menggoda selera.

Sebelum meng”eksekusi” seporsi makanan ini, saya sempatkan menjumput sepotong Lentho dan beberapa tusuk sate kerang. Tanpa permisi kedua jenis makanan ini langsung “nyemplung” dalam luberan kuah Lontong Kupang dipiring saya. Waahh, tampilan makanan ini semakin meriah saja.

Lentho adalah gorengan dari parutan ketela pohon, atau ada juga yang dicampur dengan butiran kacang beras. Sedangkan sate kerang adalah biji-biji kerang kaya bumbu yang dirangkai jadi satu ditusuk batangan lidi. Kedua macam makanan ini seolah sudah menjadi “sobat karib” yang selalu menemani seporsi Lontong Kupang.

Aroma rasa Lontong Kupang semakin istimewa dengan taburan bawang goreng diatasnya. Dan tatkala sesendok pertama saya coba, seketika sensasi gurih khas rasa kupang, berpadu dengan rasa manis, asin dan asem, mengiringi pedas yang menyengat dari cabai yang dicampur didalam bumbunya. “Wuuaahh…”, seketika itu juga sesuap demi sesuap sajian Lontong Kupang masuk kedalam mulut rakus saya. Terus mengunyah dengan sesekali meneguk segelas es Kelapa Muda, mendorong makanan nikmat ini kedalam tenggorokan. Benar-benar makan siang yang menggila, demikian pikir saya.

sate-kerang

Bagi anda yang pertama kali menjajal kuliner ini, ada baiknya memesan Es Kelapa Muda sebagai minuman pendamping. Memang sebagian besar depot Lontong Kupang senantiasa menyediakan menu Es Kelapa Muda. Bukan tanpa alasan, karena memang es Kelapa Muda adalah penawar mujarab bagi para konsumen yang tidak tahan atau alergi dengan olahan Lontong Kupang.

Tidak sampai memakan waktu lama, seporsi Lontong Kupang tandas kedalam perut saya. Piring seketika kosong dan nyaris licin tidak menyisakan kuah atau apapun. Sembari asyik menikmati es kelapa muda, mulut saya masih juga menyempatkan mengunyah sate kerang dan lentho yang tersedia diatas meja. Hehehe, anda tak perlu khawatir jika ingin menambah porsi lagi. Karena makanan Lontong Kupang bukanlah jenis kuliner yang menguras kantong.

Petualangan Ke Air Terjun Alap-alap

Sumber Alap-alap
Air Terjun Alap-alap

Sudah sesuai dengan rencana sebelumnya, tengah minggu itu kami memutuskan menyambangi salah satu lokasi air terjun di kawasan prigen pasuruan. Berada sekitar 6-7 km sebelah selatan dari air terjun kakek bodo, warga sekitar menyebutnya dengan julukan Air Terjun Alap-Alap. Mengambil nama sejenis burung pemangsa yang merupakan satwa endemik di hutan penyangga ekosistem pegunungan Welirang – Arjuno.

Kendati tidak dibuka untuk umum, air terjun ini bisa dijangkau dengan trekking kurang lebih 1 jam dari area bumi perkemahan kakek bodo. Berjalan menyusuri jalur hutan yang berkelok, menembus semak belukar dan naik turun tanjakan, merupakan sensasi yang menarik bagi para penggemar trekking kelas menengah seperti saya.

Continue reading “Petualangan Ke Air Terjun Alap-alap”

Air Terjun Sekuti Part 2

Kali ini saya mencoba sedikit berbagi cerita Jejalan yang tetap meng-explore keadaan air terjun Sekuti. Jika postingan cerita sebelumnya adalah tentang Sekuti atas (dapat dibaca disini), maka kali ini saya mencoba mengunjungi Sekuti dari view bawah air terjunnya. Untuk mudahnya kita sebut saja Sekuti bawah.

Air Terjun Sekuti Tretes Prigen
Air Terjun Sekuti Bawah Dari Kejauhan

Continue reading “Air Terjun Sekuti Part 2”