Sabtu pagi itu, saya sedang asyik berbelanja kebutuhan aquarium di pasar ikan. Maklum, selain suka travelling, saya sedari kecil adalah seorang penggemar ikan hias. Walau sudah menemukan apa yang dicari, namun saya masih menyempatkan diri melihat beberapa pernak-pernik aquarium dan kolam hias di pasar pagi yang ramai itu.
Sejenak tatapan mata saya tertumbuk pada beberapa benda replika kecil untuk kolam, seperti kincir air, patung kodok, patung ikan koi, dan yang paling menarik adalah patung replika ”manneken pis” yang legendaris itu. Yaaa betul, menneken pis yang selama ini kita kenal dengan tampilan patung bocah kecil nan lucu, dengan pose sedang pipis yang mana airnya terus-menerus keluar dan menjadi pancuran kolam. Sangat menarik memang, namun belum terlalu menarik bagi saya untuk membeli replika patung yang asalnya dari kota Brussels ini.
Segera saya mengangkat telpon dan mengontak Jeri, salah satu partner di jejalan. Tidak ada hubungannya dengan Pasar Ikan atau penggemar ikan hias tentunya, namun saya janjikan sebuah petualangan wisata yang menarik sebagai imbas terinspirasi dari manneken piss tadi. Hahaha, boleh jadi anda berpikir kalau kami akan berangkat ke Brussels. Karena demikian menggebunya, tepat pukul Sembilan pagi saya dan Jeri sudah bertemu di sekitar perempatan Gempol. Sembari menikmati beberapa butir Klepon di pagi hari, kami berdua melibas jalan raya Gempol – Pandaan dengan motor.
Tujuan kami berdua adalah Candi Belahan, sebuah situs Purbakala di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di dusun Belahan Jowo, desa Wonosunyo, kecamatan Gempol, Pasuruan. Yang mana oleh warga sekitar lebih dikenal dengan sebutan Candi Tetek, tetek adalah sebutan untuk payudara dalam bahasa jawa. Petirtaan ini adalah sebuah pemandian bersejarah dari abad ke 11, di masa kerajaan Airlangga. Konon tempat ini terkenal sebagai tempat pertapaan prabu Airlangga, selain itu ada cerita juga tempat ini sebagai lokasi pemandian untuk selir-selirnya. Sebagai penanda maka dibangunalah dua buah patung yang mengalirkan air dari payudaranya.
Tidak mudah akses menuju kesana, dari pertigaan Pom Bensin Pelem, menuju ke arah barat dan berjarak kurang lebih berjarak 10 km dari jalan utama. Perjalanan 30 menit menyusuri perkampungan penduduk, diselingi dengan hamparan bukit dan persawahan di jalur aspal yang tidak begitu bagus. Pula motor-motor kecil kami harus bersaing dengan truk-truk pengangkut tanah dan pasir yang berukuran raksasa.
Debu dan deru asap monster-monster otomotif itu memang sangat mengganggu, namun efeknya justru kami akhirnya mendapatkan spot-spot penambangan pasir batu di kiri kanan jalan yang menampilkan view spektakuler. Belum lagi mendekati lokasi Situs Purbakala, terhampar pemandangan sawah hijau dengan landscape terasering khas pegunungan.
Tiba di lokasi kami disambut hamparan pohon-pohon tinggi menjulang, suara kicauan burung, berisik serangga, dan gemericik air pancuran. Berbentuk kolam pemandian persegi empat, dengan pasokan air dari sebuah sumber kecil. Diperkirakan dibangun pada masa Raja Airlangga. Dinding sebelah barat belakang mengepras lereng gunung penanggungan dengan bentuk relung-relung yang dahulunya berisi arca perwujudan Airlangga sebagai dewa Wishnu. Jujur, ada rasa sedikit kecewa menyaksikan sosok Candi Tetek yang legendaris itu, ternyata kondisinya tidak seperti yang kami bayangkan. Berbahan dari batu bata, dengan permukaan yang sebagian sudah ditumbuhi lumut.
Sembari berdiskusi dengan warga lokal, kami cukup lama meluangkan waktu berteduh dibawah pendopo sederhana dalam kompleks candi seluas kurang lebih 120 meter persegi itu. Menyempatkan menyaksikan aktifitas penduduk sekitar yang memanfaatkan petirtaan candi sebagai sarana kebutuhan air bersih. Mulai mencuci, mandi, sekedar membasuh muka, atau bahkan mengambil langsung air dari pancuran untuk kebutuhan air minum.
[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]
[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]
Tidak sedikit pula warga dari luar kota berkunjung untuk sekedar rekreasi, studi, atau juga wisata religi. Sebagian juga percaya jika air dari tempat ini membawa berkah, kesembuhan, dan juga berkhasiat. Bahkan pada malam-malam tertentu menurut penanggalan jawa, sering ditemui orang yang berkunjung dengan keperluan khusus. Tak heran kami juga menemukan beberapa sisa sesajen dan bekas bakaran dupa.
Mungkin sekarang candi Sumber Tetek mungkin sudah tak sebagus, atau sesakral pada masanya dulu. Namun setidaknya, eksistensinya masih bisa memberikan manfaat bagi penduduk sekitar, menjadi sebuah tanda keberadaan sebuah sejarah pada eranya. Dan yang paling penting, terlepas dari segala mitos dan kepercayaan tentang mistis tempat ini. Saya berharap, suatu saat nanti akan membuat replika Candi Tetek skala kecil untuk hiasan pancuran kolam air didepan rumah, hehe.