Singapura, Pembuka Coldplay Tour Asia

31 Maret 2017 mungkin merupakan hari yang tidak dilupakan oleh penggemar grup musik Coldplay di Asia, khususnya fans dari Singapura. Karena pada hari itu, grup musik asal Inggris ini memulai rangkaian tur Asia mereka bertajuk A Head Full of Dream Tour yang rencananya berlangsung hingga pertengahan April di Tokyo. Beberapa tempat bakal disinggahi Chris Martin dkk, diantaranya Singapura, Manila, Bangkok, Taipei, Seoul, dan Tokyo. Sebelum mereka melanjutkan menggebrak eropa pada bulan Juni dan Juli.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam jadwal mereka, sehingga saya dan beberapa teman dengan senang hati menyeberang ke negara tetangga untuk menyaksikan aksi pelantun lagu Yellow ini. Yaa… dengan senang hati lah, karena bagi saya. Tujuan mampir ke Singapura tentu bukan hanya nonton aksi panggung mereka, tapi pastinya juga ber-jejalan ria.

Akhirnya, setelah melalui persaingan berburu tiket yang “tentu saja” berujung kegagalan. Pada dua minggu menjelang hari H, saya dan seorang kawan akhirnya mendapat lungsuran tiket return dari beberapa kenalan. Hmm… walau menebusnya dengan harga sedikit lebih mahal, tidak apalah. Karena beberapa orang bahkan rela menebus tiket return yang berharga dua tiga kali lipat. Mungkin itulah buah dari kesabaran orang-orang seperti kami. hehehe.

Singapore International Stadium kabarnya sudah dipenuhi pengunjung sejak jam duabelas siang waktu setempat. Kendati gelaran acara akan dimulai pukul tujuh malam, antusias fans yang cukup membludak membuat area luar stadion berkapasitas limapuluh ribu orang itu semakin crowded. Saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di area Nicoll Highway, justru berangkat pukul empat sore, maklum Stasiun MRT Nicoll hanya tiga menit saja dengan Stasiun MRT Stadium. Jadi inilah keuntungan menginap lebih dekat dengan tempat konser.

Setelah sempat berbelanja di mall Kallang Wave yang masih bagian dari stadion, menjelang sore diiringi gerimis yang tak kunjung henti, kami mulai memasuki area plaza terbuka di lantai tiga. Dan… bum… ribuan calon penonton menyesaki antrian didepan gerbang yang ada. Tua Muda, Besar Kecil, wajah-wajah asia maupun bule, meramaikan suasana. Sebagian besar memakai kaos dan atribut bergambar Coldplay maupun logo geometris penuh warna pelangi, khas album terbaru mereka. Beberapa lagi juga terlihat memakai T-Shirt seragam dengan tagar AHFOD serta sablon jadwal tour dunia Coldplay yang terpampang di punggungnya.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Usut punya usut, ternyata disekitar plaza terdapat beberapa tenda official merchandise yang menjual Shirt serta pernak-pernik Coldplay selama konser berlangsung. Mengingat antrian sudah terlalu padat, dan kami juga harus mencari gate masuk yang sesuai dengan tiket. Maka tanpa tergoda belanja merchandise, kami ikut larut dalam barisan antrian masuk dalam stadion.

No Photography, No Videography, and selfie stick allowed. Dan itu benar-benar diterapkan petugas, semua tas diperiksa walaupun satu dua kamera mirrorless lolos dari pemeriksaan. Setidaknya himbauan yang tertera di tiket cukup membuat penonton enggan berencana membawa alat-alat yang pada nantinya bisa mengganggu kenyamanan penonton lain selama konser.

Whooaa… Akhirnya kami masuk kedalam stadion yang megah dengan penutup atap modern itu, sebagai arsitek saya dan kawan jejalan kali ini tentu saja termangu melihat barisan struktur atap serba high tech ini. Akan tetapi sudahlah, fokus ke konser, kita bahas itu lain kali, hehehe. Tempat duduk saya berada di baris tengah sedikit mendekati view panggung. Ini adalah titik paling sempurna bagi saya, karena bisa menyaksikan keramaian dibawah dan diatas saya. Walau jarak pandang ke panggung masih cukup jauh, tapi aksi Jhony Buckland dkk bisa terlihat jelas dari tiga layar super raksasa dibelakang mereka.

Dibuka aksi penyanyi muda Jess Kent, pengunjung terus memenuhi area dalam stadion, baik yang berdiri disekeliling panggung maupun tempat duduk. Suasana semakin gelap diluar stadion, dan pengunjung mulai asik bergoyang menikmati lagu-lagu pembuka. Sementara saya asyik memasang wristband di pergelangan tangan yang mana nantinya bisa menyala mengikuti permainan cahaya panggung, karena didalamnya terdapat perangkat elektronik yang dilengkapi sensor.

Tepat pukul 19.30 lampu stadion dimatikan, penonton sontak bergemuruh karena tiba-tiba wristband kami memancarkan cahaya merah seragam. Lautan manusia dibawah berubah menjadi lautan cahaya merah bak gemerlap plankton di lautan malam. Belum selesai kekagetan penonton, lampu laser panggung langsung menyorot bersahutan diiringi kemunculan para personel Coldplay membawakan lagu A head full of dream. Gebrakan yang istimewa, sebagian penonton masih bingung dan sibuk mengabadikan momen-momen permainan laser panggung dan ribuan cahaya wristband penonton lain hingga tak terasa lagu pertama telah usai dinyanyikan.

Tiba-tiba semua gelap, hanya ada bunyi gitar akustik yang Guy Beryman yang lembut mengalun, penonton terdiam menunggu… dan mendadak semua lampu wristband menyala kuning, stadion dipenuhi lautan cahaya warna kuning, penonton berteriak histeris karena mereka tahu bahwa ini adalah waktu melantunkan lagu Yellow, lagu yang turut mempopulerkan Coldplay di eranya. Bersamaan dengan itu pula alunan gitar berubah menghentak dengan distorsi khas lagu Yellow, kembang api menyala dibelakang panggung. Penonton semakin histeris dan stadion bergemuruh dengan nyanyian kami.

Berturut-turut kemudian, The scientist, Birds membuat para penonton riuh dengan bergoyang dan bernyanyi bersama. Hingga mereka kembali terdiam ketika lampu stadion meredup dan hanya terdengar alunan piano merdu dari kegelapan. “Paradise….” Demikian celetuk seorang penonton dibelakang saya, dan tetiba saja musik single Paradise mengalun khas, disertai warna merah dan biru menyala bersama di masing-masing wristband. Warna Pelangi untuk lagu Paradise seolah mengantar kami bernyanyi dalam mimpi indah.

Disusul kemudian dengan lagu beberapa lagu lain, diantaranya Clocks, Hmyn For The Weekend, dan Fix You yang sekali lagi Chris Martin membiarkan penonton bernyanyi dan dia yang mengiringi musiknya. Hingga akhirnya permainan laser dan wristband kembali menggila pada lagu Viva La Vida. Termasuk saya tak henti tertawa melihat rekan disebelah yang bergoyang heboh pada saat lagu Adventure of a lifetime dilantunkan. Suasana konser malam itu benar-benar istimewa. Aksi panggung, Background latar, permainan cahaya dan sound System, serta antusias pengunjung dengan aksi warna-warni wristband benar-benar patut mendapat acungan jempol. Atap stadion yang tertutup pun tak luput jadi sorotan permainan laser warna-warni yang menarik selama konser.

Ditengah acara, personil Coldplay sempat menghilang tatkala cahaya dimatikan, ternyata mereka berpindah tempat di panggung kecil yang lebih dekat dengan kerumunan penonton, tentu saja dengan pengamanan ekstra. Beberapa lagu akustik sempat dinyanyikan, diantaranya Don’t Panic yang mengalun lembut membius para penonton larut dalam suasana.

Dan seusai lagu Something Just Like This yang dipenuhi permainan videographic super keren di layar panggung utama. Aksi Coldplay kembali menggila di lagu A sky full of stars. Cahaya Laser dan Wristband menyala bersahutan, Chris Martin bahkan sempat berlari disepanjang panggung dengan disertai ledakan kembang api disusul taburan kertas warna-warni dan balon dari atap stadion. Hanya ada satu kata, luar biasa…

Histeris para penonton yang menjadi-jadi akhirnya ditutup dengan lagu Up & Up. Hingga lampu stadion dinyalakan, dan para personel Coldplay memberi salam perpisahan didepan panggung, para penonton sepertinya masih belum bisa move on. Teriakan “one more time” dari beberapa titik stadion masih terdengar. Namun semuanya telah berakhir bagi kami malam itu. Akhir bagi kami, namun awal bagi runtutan konser A Head Full Of Dream Coldplay 2017.

Cerita Tuna Dari Larantuka

Ttuuuuttt… handphone bung Arif rekan saya berbunyi, di seberang terdengar om Yos mengabari jika kapalnya sore ini melaut, kami diminta segera bergegas ke dermaga agar tidak kemalaman. Dalam perjalanan menuju dermaga kami mampir ke beberapa kios untuk membeli logistik tambahan agar tidak membebani awak kapal ketika menampung kami untuk pergi memancing tuna di perairan Flores.

Siang sebelumnya kami menemui beberapa orang untuk mencari kapal yang akan berlayar mecari ikan dan sesuai dengan jadwal kami. Singkatnya kami hanya mencari kapal yang hanya berlayar satu hari saja, karena itu waktu kami yang tersisa di Larantuka, karena keesokan sorenya kami harus mengejar pesawat yang akan membawa kami kembali ke Kupang. Kondisi ini menjadikan aktivitas kami sangat fleksibel, jika beruntung ada kapal yang jadwalnya sesuai, kami berangkat melaut, jika tidak kami menyiapkan pilihan ativitas lain untuk esok hari.

Jadwal kapal di Larantuka untuk berangkat melaut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketersediaan umpan yang akan mereka gunakan untuk memancing. Ada dua jenis umpan, yang pertama jika berniat memancig Tuna-handline, maka umpan yang harus dicari adalah umpan ikan dengan ukuran besar, namun jika hendak memancing Cakalang-Pole and line maka umpan yang dicari adalah umpan ikan kecil.

Hampir semua kapal nelayan yang berukuran lebih kurang 6 GT dapat beralih fungsi antara handline (pancing ulur) dan pole and line atau orang lokal menyebutnya huhate. Semua bergantung keputusan kapten kapal mau memancing ikan apa dan mendapatkan umpan jenis apa.

dsc00092

Yang membuat kami tertarik untuk ikut melaut barang sehari dengan nelayan di Larantuka adalah praktik penangkapan ikan mereka termasuk yang ramah lingkungan. Ketika praktik perikanan yang merusak mulai diperangi oleh ibu menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti, maka metode mencari ikan ala kebanyakan nelayan Larantuka adalah solusinya. Ketika laut sehat dan terlindungi, maka dengan motode seperti ini keberlanjutan perikanan tangkap akan terjamin. Sebaliknya juga ketika praktik perikanan tangkap yang merusak jika terus dibiarkan berlanjut, maka nelayan seperti orang-orang di Larantuka ini dapat terkena imbasnya. Saya justru khawatir, jika praktik perikanan yang merusak terus berlangsung, maka kehidupan mereka akan terancam, atau bisa jadi mereka akan turut jadi pelaku karena merasa sudah tidak ada pilihan lain untuk bisa bersaing mendapatkan ikan.

Kapal kami bergerak perlahan menuju bagan nelayan di sekitar perairan Adonara. Sekitar satu jam kami baru sampai lokasi yang dituju, membeli umpan untuk memancing tuna. Umpan akhirnya didapat, dan kapal langsung bergerak ke lokasi biasanya mereka memancing tuna.

Walaupun kondisi malam itu cukup gelap namun saya masih bisa melihat daratan dalam bentuk siluet besar diatas air dan juga jutaan titik bintang di langit yang sangat terang. Saya mengamati dan merasa jika posisi daratan bertukar antara yang kiri dan kanan. Saya mendapatkan penjelasan dari awak kapal jika mencari ikan umpan, kapal bergerak ke arah selatan menuju Adonara, namun sebenarnya lokasi mencari tuna yang hendak dituju adalah perairan utara Larantuka, jadi kita berbalik arah saat ini setelah umpan tadi di dapat.

Dalam satu jam berikutya kota Larantuka terlihat kembali dengan lampu-lampu cantiknya yang memantul dipermukaan perairan selat di depannya. Kapal kami kembali tidak untuk bersandar, namun hanya melintas untuk keluar ke perairan terbuka di laut Flores, tempat favorit tuna sirip kuning berenang bebas.

Pukul 8 malam beberapa awak kapal sudah mulai mempersiapan bahan masakan untuk kita mengisi perut malam ini. Kita makan dulu sebelum beristirahat kata salah satu awak kapal yang bertugas memasak. Mereka melanjutkan penjelasan bahwa kapal diperkirakan baru sampai lokasi memancing antara pukul 3 atau 4 pagi nanti. Satu jam berikutnya nasi sudah matang, beserta olahan ikan kue (giant trevally) yang kami dapatkan ketika memancing saat kapal berjalan tadi, sebagian di goreng, sebagian dimasak kuah asam. Awak kapal yang kesemuanya lekaki ini ternyata juga koki yang handal. Kenyang perut kami semua dengan masakan mereka. Setelah kenyang, tanpa disuruh lagi kami mengambil posisi untuk segera beristirahat dan terlelap.

Pukul 3 pagi saya terbangun, saya turun ke dek melihat kondisi sekeliling. Sebagian besar awak kapal masih tertidur pulas, hanya juru kemudi yang terlihat serius mengarahkan laju kapal ke titik lokasi memancing. Saya bergerak sempoyongan menuju bagian depan kapal. Rupanya kapal baru saja memasuki di wilayah memancing, terlihat di depan banyak lampu dari kapal lain yang sudah tiba lebih dulu. Diluar dugaan saya ternyata banyak juga sampan kecil yang hanya berisi satu orang nelayan turut berebut mendapatkan rejeki dengan mencari ikan di lokasi ini.

Kapal memutar, sembari juru kemudi kemudian mulai membangunkan kapten kapal dan dilanjutkan membangunkan awak kapal lainnya. Dalam waktu singkat mereka sudah bangun semua, ada yang membuat kopi untuk menemani memancing pagi itu, sebagian lainnya mempersiapkan umpan dan juga peralatan memancing.

nelayan larantuka memancing

Umpan telah dilempar, tali pancing mulai terulur. Setidaknya 5 tali pancing telah bersiap menerima kejutan dari bawah laut. 15 menit berlalu, umpan belum juga disambar. Setelah 20 menit satu pemancing mulai mengulur talinya, tanda ikan dibawah sana memakan umpan. Sayang tali yang sedikit kusut di tempat gulungan menghampat terulurnya tali mengikuti tarikan ikan besar, pemancing mencoba menahan sejenak tarikan ikan untuk memberi kesempatan rekannya mebetulkan kusutnya tali di gulingan tadi. Sayangnya tarikan ikan terasa sangat kuat pemancing kewalahan sehingga tali kemudian putus. Hilang sudah ikan pertama yang seharusnya didapatkan pagi itu. Memancing membutuhkan keahlian antara tarik dan ulur agar ikan tidak terlepas dari mata kail dan juga memutus tali pancing. Memancing bukan sekedar dapat dan asal tarik saja, nelayan handline di Larantuka sangat paham akan itu.

dsc00367

Kekecewaan akan terlepasnya ikan pertama kemudian terobati, pemancing di bagian depan berteriak tanda umpannya disambar ikan lainnya. Tarik dan ulur umpan kembali dilakukan, untuk melayani gerakan ikan dibawah sana. Selama lebih kurang 15 menit kemudian Tuna sirip kuning dengan berat berkisar 30 Kg berhasil mereka angkat ke dek kapal. Setelah memastikan ikan tersebut sudah mati, kru kapal lain segera mengambil pisau untuk mengeluarkan isi perut ikan sebelum dimasukkan ke dalam salah satu palka kapal yang bersisi es sebagai tempat menyimpan hasil tangkapan.

Sinar mentari sudah mulai menerangi langit pagi itu, ketika ikan tuna berikutnya menyampar uman pemancing bagian bekalang kapal. Perlahan pemancing bergerak ke bagian samping-depan kapal untuk memudahkan proses tarik ulur dan mengangkat ikan hasil tangkapan nantinya. Ikan tuna sirip kuning kembali terangkat ke tas dek.

dsc00373

dsc00405

Menunggu umpan lainnya dimakan ikan, saya mengamati sekeliling, kapal-kapal liannya juga melakukan kesibukan yang sama. Armada pole and line juga mulai sibuk mengangkati Cakalang satu-persatu dengan pemancing yang berjajar di bagian depan kapal. Terlihat begitu mudahnya memancing ikan Cakalang dengan metode seperti ini. Pagi itu setidaknya 3 kapal pole and line beroperasi di wilayah favorit nelayan sekitar Flores timur ini.

nelayan pole and line

Untuk pertama kalinya saya melihat langsung proses bagaimana Nelayan Flores timur, khususnya Larantuka ini melakukan praktik perikanan tangkap yang ramah lingkungan, dengan memancing ikan satu-persatu. Metode ini sangat meminimalkan resiko “by catch”, yakni tertangkapnya satwa laut lainnya yang dilindungi atau ikan belum layak konsumsi ikut tertangkap. Sangat berbeda dengan trawl besar yang sekali menebar jaring, 50 ton isi laut terangkat semua tanpa bisa dipilah, tak jarang ikan kecil, hiu, penyu dan mamalia laut lainnya ikut mati sia-sia.

Saya hanya berharap praktik perikanan bertanggung jawab ini bisa dipromosikan lebih luas lagi, agar sumber daya perikanan laut kita dapat terjaga hingga anak cucu kita nantinya.

nelayan larantuka dan tuna
yellow fin larantuka
]tuna larantuka

dsc00155

Dua Benang Air Di Kaki Rinjani

Benang Stokel dan benang Kelambu, merupakan dua air terjun yang cukup poluler di Lombok. Keduanya berada berada di kaki gunung Rinjani, yang hanya dipisahkan dengan jarak lebih kurang 2 kilometer dari gerbang masuk kawasan wisata. Jika hendak ke air terjun benang Stokel, pengunjung cukup melakukan trekking sekitar 300 meter dari arah kiri pintu masuk, sedangkan menuju ke benang Kelambu, tinggal berjalan lurus mengikuti jalur dengan jarak tempuh sekitar 1500 meter.

Benang Stokel memang paling mudah dijangkau karena jaraknya relatif lebih dekat, cukup mempersiapkan alas kaki yang nyaman dan anti selip jika berencana mengunjunginya, terlebih jika musim hujan tiba. Begitu juga dengan benang Kelambu, jaraknya yang lumayan jauh dengan jalur trekking  berkombinasi naik turun akan merepotkan, apabila alas kaki kita tidak nyaman. Saya sempat melihat beberapa wisatawan yang pada akhirnya kesulitan berjalan ketika mengenakan alas kaki dengan hak tinggi (High Heels).

Satu hal lagi, demi keamanan bawaan dan benda berharga, anda sebaiknya membawa tas kedap air. Tidak hanya soal hujan yang kerap turun mendadak di tempat seperti lereng gunung, namun juga soal percikan air terjun acapkali menerpa cukup deras dari ketinggian.

Pilihan pertama saya untuk memulai trekking kala itu tentu saja menuju lokasi air terjun benang Stokel, yang dalam bahasa lokal artinya seikat benang. Trek yang relatif ringan dan dukungan cuaca masih cerah, hampir tidak ada kesulitan sama sekali untuk mencapainya. Sesampai di lokasi kita bisa melihat terdapat dua air terjun yang berdampingan, dimana terdapat kolam tampungan air terjun di bagian bawahnya. Beberapa pengunjung terlihat asyik mandi dan menikmati guyuran kesejukan air terjun di kaki gunung Rinjani ini.

air-terjun-benang-stokel-4

[one-half-first]air-terjun-benang-stokel-1[/one-half-first]
[one-half]air-terjun-benang-stokel-2[/one-half]

Tidak jauh di bawah air terjun benang Stokel terdapat satu air terjun dengan kolam yang cukup dalam. Seorang pemandu perjalanan sempat menantang tamunya untuk melompat dari tebing atas hingga terjun ke kolam di bawahnya. Abang pemandu perjalanan akhirnya mempraktikkan untuk meyakinkan tamunya bahwa kolam sangat dalam sehingga aman jika kita meloncat dari ketinggian yang cukup lumayan ini. Setelah melompat akhirnya mereka berjalan menyusuri sungai sebentar, mencari tebing sedikit landai yang mengantar mereka naik kembali ke lokasi awal.

air-terjun-benang-kelambu-jalur-treking

Destinasi selanjutnya tentu saja benang Kelambu. Butuh stamina yang cukup untuk mencapai Air terjun ini. Hal yang diluar prediksi sewaktu saya ke sana adalah, hampir saja handphone dan dompet saya basah karena hujan yang turun mendadak. Beruntung sebelum turun ke bawah air terjun saya sempat mengantongi dua bungkus plastik tempat makanan ringan yang sudah habis dan dibuang begitu saja di jalan oleh pengunjung. Yakin bahwa dompet dan handphone saya aman dari air, sayapun memutuskan trekking sekalian berhujan-hujanan saja, karena memang sudah sangat mustahil menghindari air hujan dalam kondisi ditengah jalur treking seperti ini. Tiada tempat berteduh jika sudah memastikan turun menuju ke lokasi air terjun, tempat-tempat strategis seperti di bawah pohon yang rindang pun, sudah penuh dengan pengunjung lain.air-terjun-benang-kelambu-dari-atas

air-terjun-benang-kelambu-2

[one-half-first]air-terjun-benang-kelambu-tangga-turunan[/one-half-first]
[one-half]air-terjun-benang-kelambu-1[/one-half]

Di bawah rintik hujan yang lebat saya menyempatkan mengamati air terjun Benang Kelambu. Namun tak lama saya memutuskan segera naik karena saya merasa terlalu beresiko berteduh dibawah tebing-tebing curam dalam kondisi hujan lebat seperti ini, apalagi jika berada dibawah sekitar air terjun. Mengambil tidakan berhati-hati tentu adalah prioritas yang saya utamakan, mengingat saya bukan orang lokal yang pastinya belum tahu kondisi dan tingkat keamanan disini.

air-terjun-benang-kelambu-hujan

Hujan semakin lebat dengan suara guntur terdengar dengan intensitas semakin sering. Saya memutuskan menyudahi kunjungan dengan berjalan balik ke arah motor sewaan saya terparkir. Kembali menyusuri medan naik turun sejauh 1500 meter untuk mencapai gerbang masuk bukan hal yang singkat. Lagipula, berjalan sendirian ditengah hujan di kaki Rinjani cukup dingin juga rupanya. Jangan dibayangkan jalurnya murni hutan di lereng gunung, jalur ke air terjun tadi merupakan kombinasi hutan dan kebun warga sekitar, yang mana kebanyakan berupa kebun pisang. Ah sepertinya saya harus cari penjual kopi dan pisang goreng ketika sudah sampai sekitar parkiran motor, demikian pikir saya selama menyusuri jalur menembus dinginnya hujan.

Baru Tapi Lama Di Stasiun Priok Jakarta

Jika kamu penyuka bangunan kuno dan bersejarah di sekitaran Jakarta, tentu tidak akan pernah melewatkan stasiun Jakarta Kota. Stasiun ini juga dikenal dengan nama stasiun Beos,  kependekan dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur). Berdiri sejak zaman Belanda, stasiun ini masih beroperasi hingga sekarang, yang mana melayani rute kereta lokal jarak menengah hingga kereta jarak pendek commuter line. Secara personal jika berada di stasiun ini selalu memancing imajinasi saya akan kisah-kisah masa lampau yang telah dilewati oleh bangunan ini. Mengingat bentuk bangunan yang khas arsitektur peninggalan Belanda.

Jika ada waktu luang, saya sering berkunjung ke stasiun ini dengan menaiki kereta listrik (commuter line). Entah untuk singgah ke beberapa bangunan dengan nuansa yang sama di sekitarnya, atau hanya sekedar duduk mengamati hiruk pikuk manusia yang transit di stasiun ini.

Mengamati ekspresi muka dan gerak ratusan manusia. Melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan moda angkutan masal bebasis re, kadangkala cukup menggugah banyak pemikiran tentang hidup. Stasiun seperti halnya Terminal, secara umum selalu menjadi salah satu tempat istimewa, semacam laboratorium hidup buat saya. Tempat mengamati aktivitas manusia yang selalu terulang semenjak zaman dahulu. Ketika detik berubah menjadi jam, hari, bulan hingga tahun, dan terus berganti, aktivitas manusia untuk berpindah tempat (traveling) tidak pernah berhenti. Selalu ada jutaan alasan untuk setiap individu kenapa mereka melakukannya sejak dahulu kala. Aktivitas yang sama tuanya dengan usia manusia. Stasiun adalah tempat yang tidak terpisahkan yang dengan aktivitas traveling manusia modern. Jutaan bentuk perpisahan dan perjumpaan terjadi di sini, kenangan akan orang, tempat dan juga rasa bercampur dalam setiap waktu.

kereta-commuter-line-jurusan-stasiun-priok

Suatu waktu ketika berjalan di sekitar stasiun Jakarta Kota saya melihat ada commuter line melintas keluar dari stasiun, di depannya tertulis jurusan “Tanjung Priok”. Penasaran dengan hal itu, saya pun berencana menaiki kereta tersebut nantinya. Informasi yang saya dapatkan kereta pemberangkatan terakhir baru akan berangkat jam 5 sore, sekitar 2 jam lagi. Cukup lama saya menunggu di stasiun Jakarta kota, dan kembali saya menghabiskan waktu mengamati manusia dengan beragam kegiatannya di dalam stasiun ini.

Ketika hampir pukul 5 sore, satu rangkaian kereta yang ditunggu datang menuju jalur 10 untuk berhenti. Saya pun bergegas menghampirinya dan memutuskan untuk masuk ke salah satu gerbongnya. Saya duduk di bangku yang tersusun memanjang, tersebar menempel di dinding kanan dan kiri gerbong. Tidak lama berselang kereta listrik ini bergerak. Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk kereta ini sampai tujuan akhir stasiun Tanjung Priok, diantaranya kereta hanya berhenti sejenak untuk menaik-turunkan penumpang di stasiun Kampung Bandan dan Ancol.

Begitu turun dari commuter line kepala saya tidak henti-hentinya menengok ke atas, mengamati arsitektur stasiun Tanjung Priok ini. Imajinasi saya pun bergerak serasa berada di dunia masa lampau di Eropa, setidaknya seperti yang saya pernah lihat di tayangan televisi dan film. Bayangan akan kemegahan stasiun Jakarta Kota langsung mengecil jika dibandingkan dengan stasiun ini.

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta-view-ke-dalam

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta-2

Saya berjalan di sebelah gerbong kereta listrik modern yang baru saja saya naiki, menuju ujung luar kubah melengkung yang berfungsi melindungi kereta dan penumpangnya dari air hujan dan sengatan terik mentari. Perlahan saya berjalan mengamati arsitektur bangunan, sembari sesekali mencoba memotret dengan kamera ponsel yang saya bawa. Seperti juga stasiun Jakarta Kota, stasiun Tanjung Priok rupanya juga bertipe terminus  (perjalanan awal/akhir), atau stasiun yang tidak memiliki jalur lanjutan lagi, tidak banyak jumlah stasiun yang seperti ini di Indonesia.

Kubah stasiun Tanjung Priok yang sangatlah besar, kaca balok tersebar di bagian atas kanan-kiri atap, memberi  jalan bagi sinar yang berasal dari luar bangunan untuk sedikit menerangi bagian dalam. Kebetulan ketika itu hari sudah hampir menjelang malam. Pencahayaan kurang bersahabat dengan kamera handphone, setidaknya noise sedikit terasa di hasil akhir foto saya. Untungnya cahaya dari kaca di kanan kiri atap bangunan tadi sedikit membantu menerangi struktur didalam bangunan.

stasiun-tanjung-priok-rumah-sinyal

[one-half-first]stasiun-tanjung-priok-struktur-kubah[/one-half-first]
[one-half]stasiun-tanjung-priok-struktur-kubah-2[/one-half]

Saya melanjutkan berjalan ini hingga ujung stasiun, kemudian menyusuri susunan batu yang berjajar dengan pola melengkung di taman bagian luar bangunan. Tiada hentinya saya kagum, begitu besar dan megahnya bangunan stasiun ini. Jantung saya kembali berdegup, imajinasi kembali berkembang hingga ke mana-mana. Menghubungkan berbagai literasi cerita zaman kolonial yang pernah saya baca, hingga kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, tentang bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat sekitar di waktu itu.

Tidak banyak tempat yang sering membuat saya merasakan sensasi seperti ini, dan disini jelas salah satunya. Satu saran buat Anda yang sedang membaca blog ini dan belum  pernah ke tempat ini, saya rekomendasikan setidaknya sekali saja berkunjung kemari.

stasiun-tanjung-priok-rumah-kereta

Dari cerita petugas, stasiun ini selain untuk “memandikan” kereta jarak jauh, sekarang hanya melayani rute commuter line dari dan ke stasiun Jakarta Kota, itu pun dengan jadwal yang bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak, namun itu sarana transportasi umum terbaik untuk orang kebanyakan yang hendak berkunjung ke sini.  Adapun opsi lainnya adalah Busway dengan tujuan terminal akhir Tanjung Priok, yang tepat berada di seberang jalan depan stasiun.

Saya sedikit berpikir ketika melihat kereta dengan desain modern yang aktif melayani rute dua bangunan stasiun jadul (jaman dahulu) ini. Kombinasi kontras yang unik antara desain jadul dan desain baru yang kekinian. Sempat terlintas kembali bayangan seandainya desain kereta yang beroperasi di hanya 4 stasiun ini menyesuaikan dengan gambaran kereta zaman dahulu sebagaimana ikon stasiun awal dan akhir kereta tersebut beroperasi. Itu hanya sekedar bayangan ideal menurut saya. Namun tidak ada yang salah juga sih dengan kawin silang desain seperti ini, karena keduanya memang dua objek yang berbeda. Desain adalah masalah selera yang berbeda satu orang dengan orang lainnya. Beberapa desain benda mengikuti perkembangan zaman yang berbeda yang penuh dengan pertimbangannya masing-masing ketika dibuat. Tidak terikat satu dengan lainnya. Begitu juga dengan desain kereta dan juga bangunan stasiun ini.

stasiun-tanjung-priok-2

[one-half-first]stasiun-tanjung-priok-lorong-kantor[/one-half-first]
[one-half]stasiun-tanjung-priok-1[/one-half]

stasiun-tanjung-priok-3

Saya menyempatkan keluar berkeliling melihat bagian depan bangunan stasiun ini. Kondisi bangunannya cukup terawat, sangat cocok untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata pelengkap selain kunjungan di kawasan Kota Tua Jakarta dan pelabuhan Sunda Kelapa yang sudah sangat populer.

Ada beberapa cerita “legenda” yang sebenarnya ingin saya gali lebih lanjut. Kawan saya pernah bercerita bahwa stasiun Tanjung Priok dan pelabuan Tanjung Priok zaman dahulu memiliki keterikatan desain sebagai satu kawasan. Konon ada lorong bawah tanah yang menghubungkan kedua lokasi kunci transportasi di zaman ketika Jakarta masih bernama Batavia ini. Katanya terdapat sebuah hotel bawah tanah di antara keduanya. Entahlah hingga saat ini saya masih belum pernah melihatnya secara langsung.

 

Pesona Lain Dari Kawasan Coban Rondo

Coban Rondo memang terkenal dengan wisata Air terjunnya, coban adalah bahasa jawa untuk Air terjun, atau orang Jawa barat menyebutnya Curug. Namun sebenarnya banyak aktivitas lain yang dapat kita nikmati di kawasan ini selain kawasan air terjunnya, mulai dari bermain petak umpet di taman Labirin, memanah, berkemah, hingga air berkuda, atau hanya sekedar untuk menikmati segelas kopi dipagi hari ketika menanti sang mentari terbit dari arah timur, diatas kota Malang dan Batu.

coban rondo taman labirin

sunrise coban rondo

daun cokelat dancok coban rondo

Salah satu saran tempat yang nyaman buat duduk-duduk santai di sini adalah DANCOK: Daun Cokelat (Cafe, Trail & Jeep Station). Lokasi ini tepat di seberang jalan taman labirin. Masih rimbunnya pepohonan disekelilingnya menjadikannya cukup sejuk, karena sinar mentari tersaring oleh daun-daun hijau yang memanjakan mata sekaligus menyegarkan paru-paru kita. Tempat ini cocok untuk mengamati kota batu jauh di kaki bukit.

Selain segarnya udara, kicau burung adalah hal yang dapat kita nikmati di kawasan ini. Tempat yang sebenarnya tidaklah terlalu jauh dari gunung Banyak, lokasi wisata yang terkenal dengan wisata paralayangnya. Mungkin hanya dibutuhkan sekitar 15-20 menit berkendara dari gunung Banyak ke lokasi ini. Hanya perlu menyeberang di perbukitan sebelah selatan gunung Banyak.

Sudut peninapan Palawi Risorsis

pt risorsis

[one-half-first]palawi risorsis 4[/one-half-first]
[one-half]PT. Palawi Risorsis 4[/one-half]

pt risorsis 2

Sebuah tempat alternatif bagi wisatawan yang berkunjung ke Malang atau Batu. Saran saya malah sebaiknya Anda mencoba menginap di sini setidaknya sehari, dengan bangun dipagi hari Anda dapat berjalan santai menikmati segar dan dinginnya udara yang semakin langka akhir-akhir ini. Dingin sejuk yang tidak terlalu menusuk menurut saya, pas sekali untuk suasana liburan keluarga Anda.

Yakin tidak ingin mencobanya berkunjung kemari?. Atau setidaknya lain waktu sempatkan kemari 🙂

Sekedar catatan, semua foto di postingan ini menggunakan camera dari Xiaomi Mi 4i, selama setahun ini saya cukup puas mengabadikan perjalanan saya dengan kamera dari smartphone ini.

coban rondo tree 2

coban rondo tree 1

dancok daun cokelat coban rondo 5

daun cokelat coban rondo 3

daun cokelat coban rondo 2

daun cokelat coban rondo 1

 

Melenggang di kawasan Kota Tua Semarang

Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.

Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.

Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Gedung Marabunta dengan icon semutnya
Gedung Marabunta dengan icon semutnya
 Semarang Art Gallery
 tangga menuju lt.2 galery

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.

Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.

Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

interior galery
interior galery

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.

Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.

Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.

Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.

Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.

teman jejalan
teman jejalan