Ttuuuuttt… handphone bung Arif rekan saya berbunyi, di seberang terdengar om Yos mengabari jika kapalnya sore ini melaut, kami diminta segera bergegas ke dermaga agar tidak kemalaman. Dalam perjalanan menuju dermaga kami mampir ke beberapa kios untuk membeli logistik tambahan agar tidak membebani awak kapal ketika menampung kami untuk pergi memancing tuna di perairan Flores.
Siang sebelumnya kami menemui beberapa orang untuk mencari kapal yang akan berlayar mecari ikan dan sesuai dengan jadwal kami. Singkatnya kami hanya mencari kapal yang hanya berlayar satu hari saja, karena itu waktu kami yang tersisa di Larantuka, karena keesokan sorenya kami harus mengejar pesawat yang akan membawa kami kembali ke Kupang. Kondisi ini menjadikan aktivitas kami sangat fleksibel, jika beruntung ada kapal yang jadwalnya sesuai, kami berangkat melaut, jika tidak kami menyiapkan pilihan ativitas lain untuk esok hari.
Jadwal kapal di Larantuka untuk berangkat melaut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketersediaan umpan yang akan mereka gunakan untuk memancing. Ada dua jenis umpan, yang pertama jika berniat memancig Tuna-handline, maka umpan yang harus dicari adalah umpan ikan dengan ukuran besar, namun jika hendak memancing Cakalang-Pole and line maka umpan yang dicari adalah umpan ikan kecil.
Hampir semua kapal nelayan yang berukuran lebih kurang 6 GT dapat beralih fungsi antara handline (pancing ulur) dan pole and line atau orang lokal menyebutnya huhate. Semua bergantung keputusan kapten kapal mau memancing ikan apa dan mendapatkan umpan jenis apa.
Yang membuat kami tertarik untuk ikut melaut barang sehari dengan nelayan di Larantuka adalah praktik penangkapan ikan mereka termasuk yang ramah lingkungan. Ketika praktik perikanan yang merusak mulai diperangi oleh ibu menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti, maka metode mencari ikan ala kebanyakan nelayan Larantuka adalah solusinya. Ketika laut sehat dan terlindungi, maka dengan motode seperti ini keberlanjutan perikanan tangkap akan terjamin. Sebaliknya juga ketika praktik perikanan tangkap yang merusak jika terus dibiarkan berlanjut, maka nelayan seperti orang-orang di Larantuka ini dapat terkena imbasnya. Saya justru khawatir, jika praktik perikanan yang merusak terus berlangsung, maka kehidupan mereka akan terancam, atau bisa jadi mereka akan turut jadi pelaku karena merasa sudah tidak ada pilihan lain untuk bisa bersaing mendapatkan ikan.
Kapal kami bergerak perlahan menuju bagan nelayan di sekitar perairan Adonara. Sekitar satu jam kami baru sampai lokasi yang dituju, membeli umpan untuk memancing tuna. Umpan akhirnya didapat, dan kapal langsung bergerak ke lokasi biasanya mereka memancing tuna.
Walaupun kondisi malam itu cukup gelap namun saya masih bisa melihat daratan dalam bentuk siluet besar diatas air dan juga jutaan titik bintang di langit yang sangat terang. Saya mengamati dan merasa jika posisi daratan bertukar antara yang kiri dan kanan. Saya mendapatkan penjelasan dari awak kapal jika mencari ikan umpan, kapal bergerak ke arah selatan menuju Adonara, namun sebenarnya lokasi mencari tuna yang hendak dituju adalah perairan utara Larantuka, jadi kita berbalik arah saat ini setelah umpan tadi di dapat.
Dalam satu jam berikutya kota Larantuka terlihat kembali dengan lampu-lampu cantiknya yang memantul dipermukaan perairan selat di depannya. Kapal kami kembali tidak untuk bersandar, namun hanya melintas untuk keluar ke perairan terbuka di laut Flores, tempat favorit tuna sirip kuning berenang bebas.
Pukul 8 malam beberapa awak kapal sudah mulai mempersiapan bahan masakan untuk kita mengisi perut malam ini. Kita makan dulu sebelum beristirahat kata salah satu awak kapal yang bertugas memasak. Mereka melanjutkan penjelasan bahwa kapal diperkirakan baru sampai lokasi memancing antara pukul 3 atau 4 pagi nanti. Satu jam berikutnya nasi sudah matang, beserta olahan ikan kue (giant trevally) yang kami dapatkan ketika memancing saat kapal berjalan tadi, sebagian di goreng, sebagian dimasak kuah asam. Awak kapal yang kesemuanya lekaki ini ternyata juga koki yang handal. Kenyang perut kami semua dengan masakan mereka. Setelah kenyang, tanpa disuruh lagi kami mengambil posisi untuk segera beristirahat dan terlelap.
Pukul 3 pagi saya terbangun, saya turun ke dek melihat kondisi sekeliling. Sebagian besar awak kapal masih tertidur pulas, hanya juru kemudi yang terlihat serius mengarahkan laju kapal ke titik lokasi memancing. Saya bergerak sempoyongan menuju bagian depan kapal. Rupanya kapal baru saja memasuki di wilayah memancing, terlihat di depan banyak lampu dari kapal lain yang sudah tiba lebih dulu. Diluar dugaan saya ternyata banyak juga sampan kecil yang hanya berisi satu orang nelayan turut berebut mendapatkan rejeki dengan mencari ikan di lokasi ini.
Kapal memutar, sembari juru kemudi kemudian mulai membangunkan kapten kapal dan dilanjutkan membangunkan awak kapal lainnya. Dalam waktu singkat mereka sudah bangun semua, ada yang membuat kopi untuk menemani memancing pagi itu, sebagian lainnya mempersiapkan umpan dan juga peralatan memancing.
Umpan telah dilempar, tali pancing mulai terulur. Setidaknya 5 tali pancing telah bersiap menerima kejutan dari bawah laut. 15 menit berlalu, umpan belum juga disambar. Setelah 20 menit satu pemancing mulai mengulur talinya, tanda ikan dibawah sana memakan umpan. Sayang tali yang sedikit kusut di tempat gulungan menghampat terulurnya tali mengikuti tarikan ikan besar, pemancing mencoba menahan sejenak tarikan ikan untuk memberi kesempatan rekannya mebetulkan kusutnya tali di gulingan tadi. Sayangnya tarikan ikan terasa sangat kuat pemancing kewalahan sehingga tali kemudian putus. Hilang sudah ikan pertama yang seharusnya didapatkan pagi itu. Memancing membutuhkan keahlian antara tarik dan ulur agar ikan tidak terlepas dari mata kail dan juga memutus tali pancing. Memancing bukan sekedar dapat dan asal tarik saja, nelayan handline di Larantuka sangat paham akan itu.
Kekecewaan akan terlepasnya ikan pertama kemudian terobati, pemancing di bagian depan berteriak tanda umpannya disambar ikan lainnya. Tarik dan ulur umpan kembali dilakukan, untuk melayani gerakan ikan dibawah sana. Selama lebih kurang 15 menit kemudian Tuna sirip kuning dengan berat berkisar 30 Kg berhasil mereka angkat ke dek kapal. Setelah memastikan ikan tersebut sudah mati, kru kapal lain segera mengambil pisau untuk mengeluarkan isi perut ikan sebelum dimasukkan ke dalam salah satu palka kapal yang bersisi es sebagai tempat menyimpan hasil tangkapan.
Sinar mentari sudah mulai menerangi langit pagi itu, ketika ikan tuna berikutnya menyampar uman pemancing bagian bekalang kapal. Perlahan pemancing bergerak ke bagian samping-depan kapal untuk memudahkan proses tarik ulur dan mengangkat ikan hasil tangkapan nantinya. Ikan tuna sirip kuning kembali terangkat ke tas dek.
Menunggu umpan lainnya dimakan ikan, saya mengamati sekeliling, kapal-kapal liannya juga melakukan kesibukan yang sama. Armada pole and line juga mulai sibuk mengangkati Cakalang satu-persatu dengan pemancing yang berjajar di bagian depan kapal. Terlihat begitu mudahnya memancing ikan Cakalang dengan metode seperti ini. Pagi itu setidaknya 3 kapal pole and line beroperasi di wilayah favorit nelayan sekitar Flores timur ini.
Untuk pertama kalinya saya melihat langsung proses bagaimana Nelayan Flores timur, khususnya Larantuka ini melakukan praktik perikanan tangkap yang ramah lingkungan, dengan memancing ikan satu-persatu. Metode ini sangat meminimalkan resiko “by catch”, yakni tertangkapnya satwa laut lainnya yang dilindungi atau ikan belum layak konsumsi ikut tertangkap. Sangat berbeda dengan trawl besar yang sekali menebar jaring, 50 ton isi laut terangkat semua tanpa bisa dipilah, tak jarang ikan kecil, hiu, penyu dan mamalia laut lainnya ikut mati sia-sia.
Saya hanya berharap praktik perikanan bertanggung jawab ini bisa dipromosikan lebih luas lagi, agar sumber daya perikanan laut kita dapat terjaga hingga anak cucu kita nantinya.
Comments
1 CommentHanif Insanwisata
Jan 7, 2017pengalaman yang menyenangkan mas. Aku jadi pengen ikut nelayan pas mancing.
Semoga mereka tetap menggunakan cara tangkap tradisional seperti ini ya biar keseimbangan laut terjaga. Dan satu yang mereka bertahan dgn cara tradisionalnya: rasa syukur.