Singapura, Pembuka Coldplay Tour Asia

31 Maret 2017 mungkin merupakan hari yang tidak dilupakan oleh penggemar grup musik Coldplay di Asia, khususnya fans dari Singapura. Karena pada hari itu, grup musik asal Inggris ini memulai rangkaian tur Asia mereka bertajuk A Head Full of Dream Tour yang rencananya berlangsung hingga pertengahan April di Tokyo. Beberapa tempat bakal disinggahi Chris Martin dkk, diantaranya Singapura, Manila, Bangkok, Taipei, Seoul, dan Tokyo. Sebelum mereka melanjutkan menggebrak eropa pada bulan Juni dan Juli.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam jadwal mereka, sehingga saya dan beberapa teman dengan senang hati menyeberang ke negara tetangga untuk menyaksikan aksi pelantun lagu Yellow ini. Yaa… dengan senang hati lah, karena bagi saya. Tujuan mampir ke Singapura tentu bukan hanya nonton aksi panggung mereka, tapi pastinya juga ber-jejalan ria.

Akhirnya, setelah melalui persaingan berburu tiket yang “tentu saja” berujung kegagalan. Pada dua minggu menjelang hari H, saya dan seorang kawan akhirnya mendapat lungsuran tiket return dari beberapa kenalan. Hmm… walau menebusnya dengan harga sedikit lebih mahal, tidak apalah. Karena beberapa orang bahkan rela menebus tiket return yang berharga dua tiga kali lipat. Mungkin itulah buah dari kesabaran orang-orang seperti kami. hehehe.

Singapore International Stadium kabarnya sudah dipenuhi pengunjung sejak jam duabelas siang waktu setempat. Kendati gelaran acara akan dimulai pukul tujuh malam, antusias fans yang cukup membludak membuat area luar stadion berkapasitas limapuluh ribu orang itu semakin crowded. Saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di area Nicoll Highway, justru berangkat pukul empat sore, maklum Stasiun MRT Nicoll hanya tiga menit saja dengan Stasiun MRT Stadium. Jadi inilah keuntungan menginap lebih dekat dengan tempat konser.

Setelah sempat berbelanja di mall Kallang Wave yang masih bagian dari stadion, menjelang sore diiringi gerimis yang tak kunjung henti, kami mulai memasuki area plaza terbuka di lantai tiga. Dan… bum… ribuan calon penonton menyesaki antrian didepan gerbang yang ada. Tua Muda, Besar Kecil, wajah-wajah asia maupun bule, meramaikan suasana. Sebagian besar memakai kaos dan atribut bergambar Coldplay maupun logo geometris penuh warna pelangi, khas album terbaru mereka. Beberapa lagi juga terlihat memakai T-Shirt seragam dengan tagar AHFOD serta sablon jadwal tour dunia Coldplay yang terpampang di punggungnya.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Usut punya usut, ternyata disekitar plaza terdapat beberapa tenda official merchandise yang menjual Shirt serta pernak-pernik Coldplay selama konser berlangsung. Mengingat antrian sudah terlalu padat, dan kami juga harus mencari gate masuk yang sesuai dengan tiket. Maka tanpa tergoda belanja merchandise, kami ikut larut dalam barisan antrian masuk dalam stadion.

No Photography, No Videography, and selfie stick allowed. Dan itu benar-benar diterapkan petugas, semua tas diperiksa walaupun satu dua kamera mirrorless lolos dari pemeriksaan. Setidaknya himbauan yang tertera di tiket cukup membuat penonton enggan berencana membawa alat-alat yang pada nantinya bisa mengganggu kenyamanan penonton lain selama konser.

Whooaa… Akhirnya kami masuk kedalam stadion yang megah dengan penutup atap modern itu, sebagai arsitek saya dan kawan jejalan kali ini tentu saja termangu melihat barisan struktur atap serba high tech ini. Akan tetapi sudahlah, fokus ke konser, kita bahas itu lain kali, hehehe. Tempat duduk saya berada di baris tengah sedikit mendekati view panggung. Ini adalah titik paling sempurna bagi saya, karena bisa menyaksikan keramaian dibawah dan diatas saya. Walau jarak pandang ke panggung masih cukup jauh, tapi aksi Jhony Buckland dkk bisa terlihat jelas dari tiga layar super raksasa dibelakang mereka.

Dibuka aksi penyanyi muda Jess Kent, pengunjung terus memenuhi area dalam stadion, baik yang berdiri disekeliling panggung maupun tempat duduk. Suasana semakin gelap diluar stadion, dan pengunjung mulai asik bergoyang menikmati lagu-lagu pembuka. Sementara saya asyik memasang wristband di pergelangan tangan yang mana nantinya bisa menyala mengikuti permainan cahaya panggung, karena didalamnya terdapat perangkat elektronik yang dilengkapi sensor.

Tepat pukul 19.30 lampu stadion dimatikan, penonton sontak bergemuruh karena tiba-tiba wristband kami memancarkan cahaya merah seragam. Lautan manusia dibawah berubah menjadi lautan cahaya merah bak gemerlap plankton di lautan malam. Belum selesai kekagetan penonton, lampu laser panggung langsung menyorot bersahutan diiringi kemunculan para personel Coldplay membawakan lagu A head full of dream. Gebrakan yang istimewa, sebagian penonton masih bingung dan sibuk mengabadikan momen-momen permainan laser panggung dan ribuan cahaya wristband penonton lain hingga tak terasa lagu pertama telah usai dinyanyikan.

Tiba-tiba semua gelap, hanya ada bunyi gitar akustik yang Guy Beryman yang lembut mengalun, penonton terdiam menunggu… dan mendadak semua lampu wristband menyala kuning, stadion dipenuhi lautan cahaya warna kuning, penonton berteriak histeris karena mereka tahu bahwa ini adalah waktu melantunkan lagu Yellow, lagu yang turut mempopulerkan Coldplay di eranya. Bersamaan dengan itu pula alunan gitar berubah menghentak dengan distorsi khas lagu Yellow, kembang api menyala dibelakang panggung. Penonton semakin histeris dan stadion bergemuruh dengan nyanyian kami.

Berturut-turut kemudian, The scientist, Birds membuat para penonton riuh dengan bergoyang dan bernyanyi bersama. Hingga mereka kembali terdiam ketika lampu stadion meredup dan hanya terdengar alunan piano merdu dari kegelapan. “Paradise….” Demikian celetuk seorang penonton dibelakang saya, dan tetiba saja musik single Paradise mengalun khas, disertai warna merah dan biru menyala bersama di masing-masing wristband. Warna Pelangi untuk lagu Paradise seolah mengantar kami bernyanyi dalam mimpi indah.

Disusul kemudian dengan lagu beberapa lagu lain, diantaranya Clocks, Hmyn For The Weekend, dan Fix You yang sekali lagi Chris Martin membiarkan penonton bernyanyi dan dia yang mengiringi musiknya. Hingga akhirnya permainan laser dan wristband kembali menggila pada lagu Viva La Vida. Termasuk saya tak henti tertawa melihat rekan disebelah yang bergoyang heboh pada saat lagu Adventure of a lifetime dilantunkan. Suasana konser malam itu benar-benar istimewa. Aksi panggung, Background latar, permainan cahaya dan sound System, serta antusias pengunjung dengan aksi warna-warni wristband benar-benar patut mendapat acungan jempol. Atap stadion yang tertutup pun tak luput jadi sorotan permainan laser warna-warni yang menarik selama konser.

Ditengah acara, personil Coldplay sempat menghilang tatkala cahaya dimatikan, ternyata mereka berpindah tempat di panggung kecil yang lebih dekat dengan kerumunan penonton, tentu saja dengan pengamanan ekstra. Beberapa lagu akustik sempat dinyanyikan, diantaranya Don’t Panic yang mengalun lembut membius para penonton larut dalam suasana.

Dan seusai lagu Something Just Like This yang dipenuhi permainan videographic super keren di layar panggung utama. Aksi Coldplay kembali menggila di lagu A sky full of stars. Cahaya Laser dan Wristband menyala bersahutan, Chris Martin bahkan sempat berlari disepanjang panggung dengan disertai ledakan kembang api disusul taburan kertas warna-warni dan balon dari atap stadion. Hanya ada satu kata, luar biasa…

Histeris para penonton yang menjadi-jadi akhirnya ditutup dengan lagu Up & Up. Hingga lampu stadion dinyalakan, dan para personel Coldplay memberi salam perpisahan didepan panggung, para penonton sepertinya masih belum bisa move on. Teriakan “one more time” dari beberapa titik stadion masih terdengar. Namun semuanya telah berakhir bagi kami malam itu. Akhir bagi kami, namun awal bagi runtutan konser A Head Full Of Dream Coldplay 2017.

Clark Quay Singapura Dengan Sepenggal Senja Yang Romantis

Saya terpaku memandang sekeliling yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dengan beragam gaya. Mulai arsitektur modern, klasik, hingga high tech berdiri disepanjang tepian sungai Singapore River. Mentari sudah beranjak pergi, namun gelap masih belum kunjung tiba, sehingga kami berdua masih berkesempatan mengagumi masing-masing wujud bangunan disepanjang pedestrian Clark Quay Singapura. Apalagi saya yang masih terbius dengan perpaduan istimewa antara Sungai, Pedestrian, Landscape, dan jajaran arsitektur yang ada disana.

Tepukan ringan Siska di pundak saya kembali menyadarkan lamunan itu, “ayo ke sebelah sana, sunset dari atas jembatan jauh lebih menarik” tukasnya sembari memberi isyarat untuk menyiapkan kamera. Kami berdua melangkah ringan menuju Malacca Bridge, jembatan klasik yang menghubungkan area Riverside dengan kawasan kuliner Clark Quay Sentral yang berarsitektur high-tech.

suasana clark quay sebelum senja

Sore itu saya dan sahabat sengaja mengunjungi kawasan Clark Quay di tepi sepanjang Sungai Singapura. Setelah seharian penuh mengantar memenuhi hasrat belanjanya di Chinatown dan Orchard Road, sahabat saya yang satu ini berjanji mentraktir makan malam di tempat yang istimewa. Apalagi dia sudah paham jika saya suka melancong sambil menikmati senja di tepian sungai kota-kota besar, pilihannya untuk menghabiskan hari terakhir kunjungan di Singapura dengan menyambangi tempat ini adalah rekomendasi yang tepat. Sembari duduk-duduk di tepi railing pagar Malacca Bridge yang legendaris, kami berdua menikmati lalu lalang wisatawan menunggu hingga senja tiba di sebelah Barat.

Malacca Bridge memang tempat paling strategis, membujur dari sisi Utara ke Selatan, turis bisa leluasa memandang di kedua sisi jembatan yang demikian terbuka berupa sungai tanpa halangan apapun. Disisi Timur berupa gedung-gedung modern, dengan secuil plaza terbuka berupa wahana Reverse Bungee berukuran raksasa yang mampu melontarkan dua pasang manusia didalam kerangkeng mungilnya. Sesekali terdengar pekikan dan jerit ngeri bercampur senang tiap kali kami melihat bola besi transparan itu melenting puluhan meter ke udara, disertai kilatan cahaya blitz kamera ribuan turis yang mengabadikan momen disekitarnya. Namun kembali kami mengarahkan pandangan ke sisi Barat Jembatan, dimana deretan gedung Riverside Point yang cantik mulai menyalakan lampunya menyambut petang.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Kebetulan waktu itu langit Singapura benar-benar cerah, semburat warna jingga keunguan memenuhi langit senja. Jajaran gedung pencakar langit nan cantik berbaris disepanjang tepian sungai hingga ujung mata memandang. Lampu-lampunya yang mulai nyala berkilauan memantul laksana lukisan dipermukaan sungai Singapura yang tenang. Lalu lalang perahu kecil berhias lampu gemerlap semakin menambah daya tarik tempat ini, suasana romantis makin terasa tatkala beberapa pasangan muda-mudi asyik berselfie ria dengan latar sunset ditepi Malacca Bridge.

Sangat singkat, kurang dari sepuluh menit kami menikmati atraksi senja disni, namun ini adalah salah satu sepuluh menit terlama dalam hidup saya. Keindahan suasana senja ala Clark Quay tak patut untuk dilewatkan para traveler yang berkunjung ke Singapura. Kombinasi sunset, sungai dan keberadaan beragam arsitektur menarik adalah mahakarya yang memukau.

Rasa haus dan lapar membuat kami teringat untuk segera menuju Clark Quay Sentral di sebelah Utara. Area plaza terbuka dengan pedestrian berupa granit tile tertata unik, dengan dominasi struktur pipa besi membentuk payung-payung kanopi raksasa. Bahan tenda transparan diperkuat kabel-kabel baja sebagai penutup atapnya menambah kesan hightech dan modern, apalagi permainan tata cahaya yang demikian spektakuler semakin memberi kesan warna warni gemerlap yang serba berkelas.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Aneka pilihan menu tersedia disana, walaupun bagi saya range harga yang ditawarkan lumayan diatas rata-rata. Namun menjajal menikmati suasana makan malam ditepi Sungai Singapura adalah pengalaman spesial yang harus dicoba. Dua porsi Seafood Noodle, Minuman Sari buah dan Cocktail adalah pilihan yang kooperatif bagi saya dan sahabat untuk menghabiskan malam panjang kami di Clark Quay.

Lantunan Doa Di Depan Istana Phnom Penh

Ribuan warga masih terus memadati halaman luar Istana Royal Palace Phnom Penh Kamboja (Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea). Bahkan jalan raya Samdech Sothearos Boulevard yang tepat berada didepan pintu masuk Istana juga ditutup penuh sore itu. Dengan penjagaan petugas bersenjata lengkap, ritual pembacaan doa berlangsung seharian didepan Royal Palace. Area steril membentang sepanjang Samdech Sothearos Boulevard, hingga Royal Palace Park yang mirip alun-alun itupun sepi dari pengunjung. Kami dan ribuan warga hanya bisa berjejal memenuhi jalan raya Sisowath Quay diseberang yang berbatasan langsung dengan Tonle Sap River disisi Timur.

Lantunan doa dari ribuan bhiksu dan pemuka agama mengalun khidmat seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk Barat, tepat dibelakang Royal Palace. Siluet bangunan berarsitektur Khmer klasik dan penuh ornamen itu semakin cantik menjelang malam dengan ribuan lampu yang menghiasinya. Sementara tepat ditengah bangunan, terpampang foto Raja Norodom Sihanouk berukuran raksasa dengan diterangi lampu sorot.

[one-half-first]biksu di depan istana kamboja[/one-half-first]
[one-half]biksu dan istana kamboja[/one-half]

doa di depan istana kamboja

Itulah sedikit gambaran tepat empat tahun yang lalu, di awal tahun 2013, tatkala kami berkesempatan menyaksikan rangkaian ritual penghormatan terakhir pada mendiang Raja Kamboja Norodom Sihanouk, yang digelar di pusat kota Phnom Penh. Sebelum jenazah diarak menuju krematorium pada tanggal 1 Februari hingga dikremasi pada 4 Februari lalu, warga dan para simpatisan beliau dipersilahkan turut mendoakan langsung didepan Istana Royal Palace.

Begitu matahari benar-benar terbenam, rangkaian doa yang dipimpin oleh para pemuka agama berakhir sudah. Ratusan bhiksu ini satu demi satu meninggalkan tempat prosesi, berganti dengan ribuan warga yang serempak berbondong memasuki alun-alun didepan Royal palace hingga mendekati gerbang depan istana. Ratusan lilin sudah disiapkan disepanjang jalan raya Samdech Sothearos Boulevard, juga tikar-tikar terpal tersedia bagi mereka yang ingin berdoa. Kami turut bergabung dengan arus ribuan warga yang hadir, kapan lagi bisa melibatkan diri untuk menyaksikan prosesi doa pamakaman seorang Raja besar di Kamboja.

Batang demi batang hio dinyalakan diatas api lilin, asap ribuan hio memenuhi udara malam. Bau dupa semerbak memenuhi udara, diiringi sayup-sayup alunan doa yang mengalun dari dalam istana, para warga semakin larut dalam khidmat doa yang mereka panjatkan untuk sang Raja tercinta. Sesekali kepak sayap puluhan merpati jinak yang menghuni istana sempat mengganggu kami dikala asyik mengabadikan momen dalam kamera. Namun tetap tidak mengurangi kekhusyukan para warga dalam lantunan doanya.

turis ikut berdoa

[one-half-first]warga kamboja berdoa[/one-half-first]
[one-half]warga kamboja berdoa[/one-half]

Hingga menjelang malam antusiasme ribuan warga yang berdatangan masih belum berhenti juga, bergantian memanjatkan doa didepan istana sembari sesekali menatap haru pada poster besar Sang Raja yang terpajang disana. Tempat hio sudah nyaris penuh, pintu masuk Royal Palace juga telah disesaki ribuan batang kuncup teratai pemberian para warga. Mungkin sampai tengah malam pun warga yang berdatangan mengikuti prosesi tidak akan berhenti, demikian pikir saya sembari memandangi batre kamera yang sudah mulai menipis. Dengan diterangi sorot lampu istana Royal Palace dan benderang ratusan lilin, kami bergegas meninggalkan Samdech Sothearos Boulevard. Selamat jalan Raja Sihanouk…!, rakyat Kamboja selalu mengenangmu…!

img_0244

Menyisir Rute Pantai Bali Selatan

Pada awalnya tujuan saya ke Bali hanya sekedar transit sekitar dua hari, serta menjemput seorang partner jejalan untuk berpetualang ke destinasi selanjutnya. Akan tetapi entah kenapa mendadak dia punya ide sedikit nekat. Di waktu singkat yang harusnya kami gunakan untuk beristirahat itu, dia justru mengajak saya sehari penuh menjelajah pantai-pantai disekitar Bali Selatan. “Packing semuanya malam ini, besok kita seharian keliling pantai”, demikian celotehnya.

Serasa perintah komandan pada bawahan, saya tak kuasa menolak, lagipula mampir ke Bali tanpa ke pantai memang serasa ada yang kurang. Akhirnya pada esok pagi kami berdua langsung menyewa motor dan memulai petualangan singkat, Menyisir Rute Pantai Bali Selatan. Bisa jadi rekan-rekan pejalan cukup familiar dengan beberapa lokasi berikut, namun tidak ada salahnya mencoba urutan rute perjalanan singkat kami menjelajah pantai-pantai yang sudah terdeteksi didalam radar.

Pantai Balangan, Bak Bilabong Hijau Dibawah Tebing

Pantai Balangan

Keluar dari hotel di kawasan Kuta, kami memacu motor menuju kearah Selatan. Seusai melewati Bandara dan kawasan Jimbaran, sampailah di perempatan yang menuju kearah pantai Balangan. Trek jalan memang cukup rumit dan berkelok-kelok, akan tetapi kami berdua cukup mengikuti jalur aspal utama hingga akhirnya sampai menuju lokasi.

View pantai berpasir putih terhampar dihadapan mata, disisi sebelah kiri terdapat tenda-tenda berwarna putih untuk para wisatawan yang mencoba menikmati pantai sambil tiduran diatas kursi malas. Sementara sisi sebelah kanan, air laut berwarna biru kehijauan dengan ombaknya yg lebih tenang justru lebih menarik minat kami. Berenang dan bermain air laut yang bening bak billabong adalah pilihan yang tidak boleh dilewatkan.

Dreamland, Dengan Aneka Spot Populer

Dreamland beach

Tujuan berikutnya adalah pantai dreamland, pasirnya yang putih lembut, dan viewnya yang menghadap ke barat adalah pilihan menkmati sunset yang cukup ideal. Bosan dengan bermain-main air laut, coba mendaki bukit di sisi utara adalah alternatif lain, sekedar mendapatkan tampilan yang sedikit berbeda dari ketinggian. Para pecinta selfie dan suka eksis, bakal menemukan banyak spot foto yang mainstream disini. Jadi, yang ke Dreamland jangan pernah melupakan tongsismu yah. Hehehe

Pantai Padang-padang, Sedikit Petualangan Menyisir Celah Karang

[one-half-first]pantai-padang-padang-1[/one-half-first]
[one-half]pantai-padang-padang-2[/one-half]

 

Pantai ini sebenarnya sudah terlihat jelas dari atas jembatan Labuan Sait, akan tetapi jangkaunnya masih cukup jauh menuruni karang dibawah. Perjalanan disela-sela tepian celah karang sempit dan gelap, dengan undak-undakan buatan menyuguhkan petualangan singkat bak memasuki gua. Tetapi semua terbayar lunas dengan kecantikan pantai berpasir putih, dengan batu-batu karangnya yang dipenuhi rumput.

BluePoint Uluwatu, Beragam Pilihan Viewpoint dari Kafe dan Resto

Blue Point Uluwatu

Petualangan menuruni hampir dua ratus anak tangga memang cukup menguras tenaga, tetapi banyaknya pilihan Kafe dan Resto dengan view menjanjikan dari atas karang, sudah cukup mengobati rasa lelah kami berdua selama perjalanan. Disebelah kiri viewpoint terdapat tangga menuju hamparan pasir pantai Uluwatu. Birunya laut bergradasi ke hijau tosca memang cukup memancing minat untuk terjun dan bermain-main air disana.

GreenBowl, Privat dan Tersembunyi dibawah bukit Karang

Green Bowl

Tiga Ratus Sebelas anak tangga. Itulah hitungan kami berdua tatkala turun menyusuri jalan setapak menuju pantai ini. Tersembunyi jauh dibawah bukit karang, melewati semak belukar dan jalan setapak yang kadang ditemui kera-kera liar, adalah perjuangan yang cukup melelahkan. Green Bowl menyuguhkan view yang istimewa, diapit bukit di kiri dan kanan, hamparan pasir putihnya serasa pantai privat yang hanya dikunjungi turis secara terbatas.

Pantai Pandawa, Pantai Populer Favorit Setting FTV

Pandawa beach

Tulisan “Pantai Pandawa” berwarna putih besar terpampang diatas bukit karang yang sudah “terbelah” ditembus jalan aspal. Jangkauan pantai ini memang sangat mudah dengan akses jalur yang berkelok-kelok hingga ke area parkir bawah. Beragam tenda dan bangunan permanen berjajar disepanjang pantai, aneka permainan air semacam perahu kayak dan pelampung disewakan disana. Mass tourism memang kental terasa di pantai yang juga populer sebagai setting Sinetron FTV ini, namun perjalanan dengan view pantai dari jalanan aspal diatas jalur karang adalah momen yang patut untuk diabadikan.

Tujuh Pantai Di Lombok Yang Sayang Dilewatkan

Mendengar kata Pulau Lombok, sebagian traveler akan langsung berpikir pada keindahan alam pegunungan Rinjani dan pantai-pantai disekelilingnya. Yaa, Lombok dan jajaran pantai indah yang tersembunyi adalah impian bagi banyak pejalan dari dalam dan luar negeri. Baik pantai yang landai, maupun dengan perbukitan yang curam dan terjal. Pada postingan singkat kali ini, kami akan deskripsikan tujuh pantai Lombok yang sayang untuk dilewatkan, tentunya beserta sekelumit kisah versi kru jejalan.

Gili Trawangan, favorit pecinta island hopping

DSC00161

Kita mulai dari kawasan Lombok Barat dengan Trio Gili nya. Dari ketiga pulau yang ada (Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan) barangkali Gili Trawangan adalah salah satu destinasi yang patut dicoba. Tidak ada seorangpun yang bisa menolak keistimewaan pulau kecil berpasir putih, dengan fasilitas lengkap semacam hotel, vila, resto, night club, namun bebas dari kendaraan bermotor. Tentunya mengitari pulau dengan perahu bakal menjadi aktivitas yang tidak akan membosankan.

Pula berkeliling menggunakan andong cidomo atau sepeda angin, adalah pilihan tepat selain menghabiskan waktu bercengkrama dengan kemolekan pantai sepanjang hari, dan menikmati gempita night club dimalam hari. View sunrise yang fenomenal disetiap pagi, sekaligus sunset dengan latar Gunung Agung pulau Bali dikala senja adalah penawaran yang istimewa dari Gili Trawangan.

Senggigi, view sunset yang terkenal sejak dulu

senggigi sunset

Dari sekian banyak pantai Lombok yang “ngehits” di postingan social media saat ini, pantai Senggigi jarang sekali muncul. Hal ini bisa dimaklumi mengingat destinasi ini merupakan kawasan wisata jadul yang sekarang identik dengan area hunian hotel dan resort. Akan tetapi kendati sudah mulai ramai dan penuh sesak dengan mass tourism yang memadati, kecantikan view sunset dari pantai senggigi tidak pernah lekang dimakan waktu.

Tanjung Aan, Butiran pasir bak merica, dengan ombak yang ramah

tanjung aan

Sebagai salah satu destinasi populer di Lombok Tengah, Tanjung Aan menjadi incaran para pejalan mengingat pantainya yang memiliki ombak tenang karena keberadaan bukit di kiri kanannya. Para pecinta pantai yang malas untuk berbasah ria, menikmati keunikan butiran pasir bulat bak merica, dan ombak kecil yang menyapa mata kaki adalah suatu relaksasi menyenangkan dikala liburan.

Bukit Merese, setting favorit videoklip lagu

bukit merese

Tepat disebelah Barat Tanjung Aan, terdapat bukit menjorok ke laut. Kontur perbukitan yang berlayer dengan tebing-tebing curam di kiri kanan adalah salah satu view yang menarik bagi pecinta adventure khas pantai. Dimusim hujan, hamparan rumput hijau bak permadani berbukit-bukit adalah racikan alami yang nikmat dipandang. Sebaliknya ketika kemarau, tanah gersang kecoklatan dengan warna biru laut disekelilingnya merupakan tampilan landscape yang tak kalah istimewa.

Pecinta musik tanah air mungkin sudah tidak asing dengan perpaduan pantai berbukit-bukit ini. Sudah dua buah lagu dari penyanyi populer tanah air menjadikan tempat ini sebagai setting video klipnya.

Pantai Seger, Legenda Putri Mandalika

pantai seger

Lokasinya tak jauh dari Pantai Kuta dan Tanjung Aan, Pantai Seger dengan garis pantai yang lurus dan berpasir putih senantiasa menjadi suguhan yang luar biasa. Ritual Tahunan warga lokal berburu cacing laut (Bau Nyale) kerap diadakan di pantai ini. Mitos bahwa Nyale (Cacing Laut) adalah reinkarnasi Putri Mandalika menjadi kisah Legenda yang turun-temurun. Diluar kepercayaan lokal tersebut, pantai Seger memang menyajikan tampilan alam yang mungkin tidak kalah cantik dengan paras sang Putri.

Pink Beach, diapit dua bukit dengan pemandangan memanjakan mata

pink-beach-lombok

Beralih ke Lombok Timur terdapat Pantai Pink yang juga dikenal dengan pantai Tangsi. Menjadi populer beberapa waktu terakhir mengingat betapa fenomenal nama yang disandangnya. Yaa… sebuah pantai dengan pasir berwarna Pink Kemerahan. Memang ke alami an tempat dan habitat terumbu karang yang sehat, membuat pasir pantai yang basah oleh air laut terlihat berwarna pink kemerahan dibawah cahaya matahari.

Diapit oleh dua bukit di kedua sisinya, tempat ini memiliki garis pantai yang landai dengan hamparan vegetasi sebagai peneduh. Menyeruput kelapa muda yang banyak dijual di warung tepi pantai sembari menikmati sajian pasir pantai berwarna pink yang memanjakan mata, adalah salah satu alasan mengapa Pink Beach tidak boleh dilewatkan.

Tanjung Ringgit, sajian spektakuler di ujung Lombok

tanjung ringgit lombok

Dibalik bukit yang berada disisi Pink Beach, terdapat destinasi yang tak kalah menarik. Tempatnya tersembunyi di ketinggian bukit, dengan jalur akses yang cukup susah dijangkau. Inilah Tanjung Ringgit, ujung paling Selatan-Timur Pulau Lombok. Agak kurang pas memang jika disebut pantai, mengingat tempat ini dominan berupa tanjung dengan sisi-sisi yang curam. Gemuruh ombak lautan dengan warna biru pekat, adalah sajian spektakuler dari ketinggian.

tanjung ringgit

Nuansa Gado-Gado Ala Kampong Glam

Mentari baru saja menampakkan sinarnya, semburat cahaya keemasan memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit yang mendominasi Singapura. Langkah kaki saya berjalan berpadu dengan hentakan musik yang mengalun dari headset handphone kesayangan. Irama lagu Gurindam 12 besutan Jogja HipHop Foundation membawa saya berkeliling Kampong Glam, salah satu kawasan heritage di Singapura dengan Sultan Mosque sebagai ikonnya. Dan kebetulan juga menjadi setting video klip lagu HipHop penyemangat pagi saya seusai shalat subuh di Sultan Mosque.

Masih ingat sehari sebelumnya berdebat dengan partner jejalan karena bingung memilih penginapan di hari ketiga kedatangan. Saya bersikeras memilih di Aliwal Street, sementara dia kepingin stay di kawasan Bugis karena jangkauan jalan kaki ke stasiun MRT lebih dekat, akhirnya mau tidak mau kami harus berpisah (sedih juga). Kendati penginapan saya lokasinya memang sedikit nanggung, jauh dari Stasiun Bugis dan Rochor, agak jauh pula dari Stasiun Nicoll Highway. Tapi setidaknya saya cukup puas karena bisa berjalan-jalan setiap pagi menyusuri lorong demi lorong Kampong Glam dengan bangunan khas nya, mirip seperti adegan dalam video klip HipHop favorit saya. Hahaha.

Kawasan dominan oleh Kafe-kafe dengan kuliner khas Melayu dan Timur Tengah

 

Okelah, tidak perlu berpanjang lebar tentang lagu HipHop, dan tidak perlu pula sedih karena harus berpisah dengan partner jejalan saya yang manis. Ada banyak hal menarik yang bisa ditemui di kawasan Kampong Glam ini, dan saya cukup nyaman dengan nuansa “gado-gado” nya.

Ditilik dari sejarah, area ini memang didominasi oleh warga keturunan Bugis dan Arab, serta suku Jawa. Juga terdapat beberapa keluarga keturunan Banjar, Cina dan India. Oleh karena itu jangan heran dengan identitas jalan di kawasan Kampong Glam, nama-nama seperti Arab Street, Baghdad Street, Haji Lane, Kandahar Street, juga Bussorah street akan kita temui disana.

[one-half-first]Sudut Bussorah Street[/one-half-first]
[one-half]Sunrise Sultan Mosque dari perempatan Arab Street[/one-half]

Dari segi kuliner juga terdapat perpaduan yang unik, banyak kafe dan resto di sepanjang Busorrah Street yang tertata rapi dan glamor, menyajikan aneka pilihan makanan Halal. Daftar menu semacam Kebab Turki, Martabak, Mie Goreng, Nasi Briyani, dan beberapa kuliner lain, kadangkala berpadu dengan menu familiar semacam Nasi Rawon dan Nasi Soto. Bagi saya yang orang Jawa, hal ini adalah sesuatu yang cukup menarik. Dengan komunitas multi etnis, akan ditemui juga ragam kuliner yang “gado-gado” (walau saya belum menemukan menu gado-gado tulen disana).

View Bussorah Street dari Sultan Mosque dengan latar  gedung Pencakar Langit modern

Kawasan Kampong Glam diapit oleh jalan besar dengan nama-nama asing seperti Ophir Road, Victoria Street, dan Nicoll Highway. Disepanjang jalan itulah sebagian besar berupa bangunan gedung pencakar langit yang berarsitektur modern. Cukup berbeda dengan kawasan Kampong Glam yang masih bertahan dengan desain kawasan perumahan dominan berlantai dua, serta keberadaan Masjid Sultan sebagai Vocal Point ditengah-tengahnya.

Lebih detail lagi berbicara keberadaan Busorrah Street. Selain Muscat Street, jalan inilah yang posisinya paling strategis dan berhadapan langsung dengan Sultan Mosque di ujung sebelah Barat. Juga merupakan satu-satunya jalan yang tidak diaspal, pula diberi penghalang temporer bagi kendaraan bermotor untuk bisa masuk kedalam kawasan. Tentu saja demikian, mengingat disinilah satu-satunya area yang arsitekturalnya masih dipertahankan dan kondisinya hampir mirip dengan foto lawasnya yang diambil pada tahun 1910.

Jalan ini juga kerap menjadi jujugan para traveler untuk menikmati sajian kuliner, serta tentunya berfoto dengan latar arsitektural klasik. View paling mainstream adalah Busorrah street sisi Barat, yang mana dipenuhi oleh lampu jalan model kuno, jajaran pohon palem yang tumbuh rapi di area rumput segar, serta diakhiri dengan keberadaan Sultan Mosque berkubah keemasan di ujung jalan. Tentunya dengan tampilan warna warni bangunan kaya ornamen disepanjang sisi lorong jalan.

Warna krem terang, hijau muda, putih dengan aksen ukiran emas, adalah warna yang paling banyak ditemui disini. Atap genteng rumah makan (kadang juga sekaligus penginapan), dilengkapi pula dengan listplank kayu yang diukir serta identik dengan arsitektur tempo dulu. Lantai dua bangunan menjorok sekaligus sebagai atap teras depan, jajaran kursi dan lampu kuno juga banyak ditemui disini. Menambah nuansa klasik dan perkuatan identitas kawasan heritage diantara kepungan arsitektur pencakar langit modern.

Dominasi ornamen terasa kental menghias tampilan tampak bangunan disepanjang jalan. Detail-detail ukiran dekoratif gaya campuran Eropa dan Timur Tengah menjadi favorit untuk mengisi bidang-bidang di lantai dua bangunan. Bentuk kusen dan daun jendela model klasik berbahan kayu, menjadi semakin manis dengan pilihan warna-warna yang senada dengan bangunan. Sesekali warna kusen dan jendela sedikit kontras dengan cat bangunan, akan tetapi hal itu justru menambah semarak kawasan yang memang dihuni oleh multi etnis itu.

Permainan dekoratif juga terasa pada area sepanjang jalan. Pedestrian didepan bangunan ditata sedemikian rupa. Pilihan perkerasan non aspal dilabur warna merah terakota, berpadu dengan lantai abu-abu serta ornamen geometri bermotif Islami di beberapa titik, merupakan sebuah aksentuasi landscape yang menarik. Pula keberadaan area penghijauan rumput sebagai media perletakan lampu jalan dan pohon palem menambah manis warna-warni dan segar pemandangan di kawasan ini.

salah satu view Bussorah Street dengan latar Sultan Mosque

Pagi itu saya cukup puas mengapresiasi Busorrah Street dari sisi Arsitektural. Keberadaannya sebagai area heritage diantara kepungan pencakar langit, serasa oase segar ditengah belantara batu beton dan kaca bangunan modern.

Lumayan lama saya asyik mendokumentasikan suasana Heritage Kampong Glam dengan kamera ponsel, tak terasa jam sudah menunjuk angka delapan. Astaga, saya hampir lupa untuk menjemput partner di Bugis, mengingat siang ini sudah berjanji hendak menyambangi Orchid Garden di kawasan Konservasi Bootanical Garden . Segera saya mengakhiri jalan-jalan pagi ditempat ini, karena jika wanita sudah berencana mengunjungi taman bunga, terlambat sedikit saja bakal ditinggal duluan. Hahaha.

Nasi Balap Puyung Lombok

Citarasa Khas Para Pecinta Pedas

“Yang membuat saya selalu rindu adalah suwiran daging ayam super nikmat, dan plecing kangkung pedasnya”,

Begitulah komentar saya ketika kami memutuskan untuk mampir ke salah satu rumah makan di jalan utama menuju bandara Lombok Praya waktu itu. Sebagian orang mungkin berujar “belum ke Lombok kalau tidak sekaligus mencicip Nasi Puyung”. Namun menurut kami, sudah menjadi keharusan untuk mencicip sensasi kuliner yang memang memiliki citarasa pedas khas ini.

Beruntunglah bagi mereka para penggemar rasa pedas, apalagi menjelang jam makan siang tiba, dan disaat tubuh mulai letih setelah menjelajah beberapa pantai. Dengan perut kosong menahan lapar yang menggelora, serta deraan terik matahari dan hempasan angin panas pantai, pandangan mata kami serasa gelap tatkala memasuki rumah makan. Mungkin efek silau hamparan pasir putih di pantai sebelumnya yang membuat ruangan rumah makan itu terasa kurang cahaya, atau bisa jadi rasa lapar dan lelah kami mengakibatkan tulisan di buku menu serasa kabur, hahaha.

Seporsi Menu Nasi Puyung Komplit

Tapi kami pasrah saja tatkala rekan kami memilihkan menu standar Nasi Puyung dan Plecing Kangkung yang memang sudah menjadi menu andalan di rumah makan ini. Mungkin saja dia sudah tahu, bahwa kami sudah lelah dan benar-benar kelaparan, sehingga pesanan kami tidak perlu menunggu waktu lama untuk muncul dan tertata rapi memenuhi meja. “Nyaamm… Waktunya berpesta” demikian komentar partner jejalan disebelah.

Tampilan menu ini memang sederhana, nasi putih dengan lauk ayam kampung goreng, serta suwiran daging ayam diolah kaya bumbu sedikit pedas. Ada pula tambahan sayuran tumis, dan taburan udang kering serta kacang kedelai. Sementara Plecing kangkung terlihat lebih menarik dengan siraman sambal segar dan kacang tanah goreng menghias tampilan diatasnya. Kendati terlihat biasa saja, namun terasa istimewa tatkala kami menyantapnya.

Seporsi Plecing Kangkung Pedas

Tekstur khas ayam kampung yang dagingnya sedikit liat, berpadu dengan pedasnya plecing kangkung yang segar, membuat mulut kami tidak berhenti mengunyah. Apalagi rasa khas suwiran daging ayam yang gurih, asin, pedas, manis, serta tekstur kacang kedelai goreng. Benar-benar perpaduan unik dan khas yang membuat saya ketagihan. Obrolan dan bahasan tentang keindahan pantai-pantai Lombok yang tadinya meramaikan suasana, sontak hening dan sepi karena hanya terdengar suara berkecap dari mulut-mulut yang dipenuhi kunyahan makanan, diselingi dengan helaan nafas dari mulut karena rasa pedas yang demikian hebat.

“Wah, makan siang yang demikian istimewa”, demikian pikir saya. Konon dulu Nasi Puyung juga dikenal dengan Nasi Balap Puyung, karena para penjualnya saling balapan untuk menjajakan dagangannya. Tapi episode kali ini, justru kami berempat yang saling balapan untuk menghabiskan makanan dipiring masing-masing. Hehehe.

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa Apa di benak anda ketika mendengar kata “sketsa”. Sebuah gambar diatas kertas, semacam ide atau gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya dan tindakan, atau mungkin terbayang pada salah satu acara televisi swasta yang pernah tayang beberapa tahun lalu. Hehehe. Kali ini saya bercerita tentang sketsa dalam arti harfiahnya, yakni karya seni yang tertuang diatas kertas sebagai gambaran dokumentasi suatu tempat, peristiwa, atau kegiatan.

Kebetulan hari libur panjang awal bulan lalu saya tidak mengagendakan traveling. Karena pada weekend itu saya kedatangan tamu-tamu istimewa dari Surabaya dan Jogja. Yaa, hobby sebagai travel sketcher tentu tidak jauh dengan kawan-kawan yang memiliki kesukaan sama bukan. Oleh karena itulah para sahabat penggiat urbansketch dan beberapa komunitas lain mengontak saya untuk berkegiatan di Pasuruan. Wah, senang rasanya kota Pasuruan dikunjungi orang-orang keren, dan sebagai tuan rumah yang baik, tentu saja saya memberi sambutan yang spesial buat mereka, termasuk siap untuk beradu skill sketsa diatas kertas.

IMG_9963 (Salah Satu Bangunan Kuno di Pasuruan)

Memulai aktivitas pagi di sekitar Klenteng kota Pasuruan, saya menyambut kawan-kawan urbansketch dengan membahas rute sketsa di sekitar Pasuruan. Kebetulan pada gathering kali ini turut pula beberapa teman dari komunitas Heritage/Pecinta Sejarah dan Urban Selfie. Maka target kami tentu saja mengunjungi spot-spot bangunan tua yang ada di sekitar pusat kota, dan kami memulai rute dari area sepanjang Stasiun berlanjut ke perempatan Gedong Woloe.

Salah satu bangunan yang cukup menarik minat kami adalah rumah kuno di sudut perempatan Gedong Woloe. Karya arsitektur lawas yang tepat berada diseberang SMAN 1 Pasuruan ini menjadi aksentuasi dengan bentuk tower menjulang di salah satu sisinya. Berbekal izin dan sambutan baik dari empunya rumah, kami kembali ngemper diatas trotoar, beraksi menggores pensil dan menyapu warna diatas kertas. Satu jam waktu yang cukup untuk menyelesaikan karya kami.

IMG_9972 (Hasil Karya Sketsa)

Rute berlanjut menuju Jl. Hasanuddin, tepatnya gedung Yayasan Pancasila dengan halaman depannya yang cukup luas, view sketsa semakin leluasa. Sambutan dari adik-adik Sekolah Dasar awalnya agak menghambat aktivitas kami, syukurnya saya dan kawan-kawan sudah terbiasa dengan hal ini. Justru kami semakin appresiatif dan mengajak mereka untuk larut dalam kegiatan, sekaligus mengenalkan hobby menggambar dan mengedukasi mereka dengan beberapa tips sketsa singkat.

Usai menyelesaikan karya kami, destinasi berikutnya adalah Rumah Singa yang juga masih di sekitaran Jl. Hasanuddin. Sayangnya kami tidak mendapat izin lebih leluasa untuk melakukan aktivitas disekitar destinasi populer ini. Maklum karena alasan privasi pribadi dari empunya rumah, akhirnya kami sepakat mendokumentasikan dari seberang jalan. Tak terasa hari semakin sore, setelah beristirahat dan makan siang sembari berjalan santai disekitar alun-alun kota Pasuruan.

Rute puncak kami adalah gedung Yayasan Kejuruan Untung Surapati atau lebih dikenal dengan sebutan Gedung Harmoni. Kebetulan kami disambut baik dan dipersilahkan berkegiatan di halaman gedung yang letaknya persis berhadapan dengan Taman Kota ini. Rasa letih dan lelah setelah terforsir seharian, kembali berkurang dan berganti dengan semangat untuk menyelesaikan karya sketsa kami sebelum senja. Gedung ini masih dipergunakan sebagai bangunan fasilitas pendidikan. Halaman depannya kerap dipakai berkegiatan outdoor siswa sekolah. Kebetulan sore itu masih ada kegiatan olahraga dan senam siswa sebelum jam sekolah berakhir. Maka kami betul-betul memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya.

Sementara kami fokus dengan pensil dan cat air, kawan-kawan dari penggiat Heritage/Sejarah dan Urban Selfie asyik bergelut dengan kamera mereka masing-masing. Tema Bangunan Tua kali ini benar-benar menjadi benang merah untuk kami berkolaborasi. “Taadaaa….” Hampir dua jam berjuang, kami menyelesaikan karya. Dan seperti biasanya, menjelang akhir kegiatan kami kerap berfoto bersama, sekaligus mengikutsertakan karya masing-masing dengan latar bangunan yang menjadi obyek sketsa.

IMG_9978 (Hasil Karya Sketsa)

 

Akhirnya hari itu kami sukses membingkai beberapa sudut Kota Tua Pasuruan dalam Sketsa, antusiasme teman-teman dari Surabaya dan Jogja adalah kepuasan tersendiri bagi saya sebagai warga Pasuruan. Sembari tentunya senantiasa menanti kolaborasi selanjutnya dari UrbanSketch, UrbanSelfie, dan HeritageTraveler untuk berkarya dan berkegiatan positif di lain waktu.

IMG_9991 (Foto Bersama)

 

Why We Love Plaosan

Candi Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin juga Kalasan, kiranya sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Ketiganya cukup terkenal dan acapkali muncul menjadi icon promosi daerah Klaten, Jogja, dan Jawa Tengah. Apalagi Prambanan dan Ratu Boko, keduanya menjadi Taman Wisata Candi yang dikelola dengan serius sebagai aset wisata internasional. Namun pada kesempatan kali ini saya tidak berkisah tentang ketiga candi tersebut, karena ada beberapa peninggalan cagar budaya lain yang tidak kalah keren, dan mungkin sudah kesekian kalinya menjadi artikel di Jejalan.

Yaa, kembali saya bercerita tentang Candi Plaosan di Klaten yang mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya bagi para kru Jejalan. Terletak kurang lebih empat kilometer disebelah Timur kompleks Candi Prambanan, Candi Plaosan bisa ditemui berdiri dengan gagah ditengah hamparan lahan persawahan yang lapang. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dan teman-teman menyambangi Candi yang diperkirakan dibangun pada abad 9 Masehi ini. Bahkan pada kesempatan kali ini saya sudah berkunjung dua kali dalam sebulan.

IMG_9709 sawah

Ibarat sebuah oase di padang pasir yang terik dan gersang, sosok Candi Plaosan adalah sebuah arsitektur kuno yang berdiri megah ditengah sawah lapang. Warna hitam kelabu batu-batu yang menyusunnya adalah pemandangan kontras bagi hamparan permadani hijau lahan persawahan disekelilingnya. Saya menyebutnya aksentuasi, dan inilah daya tarik pertama mengapa kami belum bisa move on dari Plaosan.

DSC00266

Lokasinya yang jauh dari jalan raya utama bukanlah kekurangan, justru jalan aspal pedesaan yang menjadi penghubung Candi ke jalan raya arteri adalah nilai lebih yang membuat tempat ini jauh dari bising dan polusi udara. Cobalah bayangkan ketika pagi buta, sembari menghirup udara segar pedesaan, memandang lansekap hijau persawahan, telinga dipenuhi suara gemericik aliran air sungai dan kicauan aneka burung, disambut senyum ramah bapak ibu petani yang berangkat kesawah dengan sepeda kayuhnya, disusul terbitnya mentari di ufuk Timur yang menciptakan siluet Candi di tengah lahan persawahan. Hanya satu kata, istimewa.

DSC00274

plaosan jejalan sunrise 7

Bagi pemburu sunrise ataupun sunset, Plaosan menawarkan sensasi berbeda. Terbitnya mentari dengan latar belakang candi, dan aktivitas petani di sawah adalah sebuah kisah yang bisa diabadikan dalam kamera. Sementara tenggelamnya matahari dengan siluet candi juga merupakan pemandangan yang tak kalah spektakuler. Apalagi bagi mereka yang menyukai berburu Milky Way, area terbuka persawahan di sekitar Plaosan adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Momen Sunrise dan Sunset yang khas, inilah daya tarik kedua Candi Plaosan.

[one-half-first]plaosan right[/one-half-first]
[one-half]plaosan left[/one-half]

Tempat ini memang belum dikelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, tidak ada ticketing khusus dengan tarif yang mengikat. Kendati pengunjung hanya diminta iuran sukarela untuk biaya perawatan candi, namun fasilitas macam Kamar Mandi dengan air bersih sudah bisa dipergunakan disini. Murah, dan juga jam kunjungan yang fleksibel adalah alasan ketiga mengapa candi Plaosan cukup menarik. Kami pernah datang bukan pada jam kunjungan resmi, tepatnya pukul enam pagi, justru dipersilahkan memasuki kompleks candi serta diiringi oleh senyum ramah bapak petugas pos jaga dipintu gerbang, betapa menyenangkan.

Candi Plaosan memang masih berupa reruntuhan, akan tetapi merupakan kompleks percandian dengan skala yang cukup besar dan terawat dengan baik. Dua candi utamanya yang berada di Utara jalan desa adalah icon utama, sementara beberapa candi kecil di Selatan juga tidak boleh dilewatkan. Dibanding dengan Cagar Budaya lain yang sudah cukup ramai, Plaosan bisa jadi alternatif menikmati jejalan tanpa harus dipusingkan dengan potensi padatnya pengunjung. Karena itu, bagi para traveller yang sudah bosan dengan destinasi terlalu mainstream, sepatutnya harus mencoba mlipir kemari. That’s why we love Plaosan.

Melenggang di kawasan Kota Tua Semarang

Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.

Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.

Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Gedung Marabunta dengan icon semutnya
Gedung Marabunta dengan icon semutnya
 Semarang Art Gallery
 tangga menuju lt.2 galery

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.

Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.

Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

interior galery
interior galery

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.

Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.

Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.

Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.

Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.

teman jejalan
teman jejalan