Pendekar-Pendekar Candi Jawi

Purnama bersinar terang sekali malam itu, ponsel butut saya terus berdering tanpa henti akibat sms beruntun teman-teman yang sudah berangkat ke Jogja, mengikuti rangkaian momen Waisak di Candi Borobudur akhir pekan lalu. Yaa, seolah “mengkhianati” mereka karena saya mendadak membatalkan rencana pada hari H keberangkatan. Tak heran caci maki dan ungkapan kejengkelan (tentunya dalam bentuk candaan) dari teman-teman memenuhi draft sms di ponsel saya hari ini. Namun mereka maklum, saya tidak bisa berangkat karena terbentur padatnya kesibukan kerja, serta bermacam agenda acara keluarga. Saya benar-benar beruntung memiliki teman-teman yang mau menyadari kesibukan saya.

Kembali ponsel saya berdering, dengan sedikit malas saya mencoba membaca deretan tulisan yang tertera diatas layar. “Astaga…!!, saya baru sadar kalau Jumat malam ini ada acara Festival Purnama yang rutin diadakan di Candi Jawi Prigen. Beruntung tadi ada Yuliana, seorang partner jejalan dari Prigen yang mengingatkan saya via sms, beberapa menit sebelum acara dimulai. Karena perjalanan dari rumah ke Candi Jawi tidak memakan waktu lama, saya bergegas memacu motor butut dengan lampunya yang redup, menyusuri jalanan malam terang benderang karena cahaya Purnama, bukan karena cahaya lampu motor saya.

IMG_4641

Tepat pukul 19.30, area Candi Jawi sudah dipadati pengunjung, beberapa pemuda Karang Taruna disekitar sudah mempersiapkan area parkir untuk kendaraan pengunjung. Sayapun tidak perlu ribet lagi dimana menaruh motor, dan lantas bergegas memasuki kompleks Candi yang telah bersolek dengan puluhan batang nyala lilin disekeliling undak-undakannya.

Baru saja mengambil satu dua gambar sosok Candi Jawi yang gemerlap malam ini, saya dikejutkan oleh senyum manis yuk Yuliana yang muncul dihadapan saya bersama beberapa kawannya dari Prigen. Wah, saya langsung bertegur sapa sekaligus memberi ucapan selamat padanya. Karena dia hari ini sedang bersuka cita mengingat baru saja menerima pengumuman kelulusan di SMA-nya. Saya sempatkan mengobrol sejenak, mengisi waktu sebelum acara dimulai, dia dan kawan-kawannya bercerita banyak akan tema acara malam ini. Maklum saja, yuk Yuliana ini juga salah satu Duta Wisata Kabupaten Pasuruan, jadi sekalian saya iseng-iseng curi dengar tentang acara yang akan digelar.

Tak perlu menunggu lama, lampu sorot disekeliling panggung mulai dinyalakan. Acara Pementasan Festival Bulan Purnama bertajuk Pencak Kembangan dari Padhepokan Singo Yudho kali ini, sudah dimulai dengan suara tetabuhan kendang dan gong yang bertalu-talu nyaring. Ditambah penampilan pembawa acara dengan seragam khas Pendekar yang mulai memperkenalkan satu demi satu tokoh-tokoh yang akan tampil malam ini.

Mendadak saya teringat akan kisah dalam komik cerita silat (Cersil) jaman dulu, entah itu Cersil Wiro sableng, atau pula Cersil karya Kho Ping Hoo. Kisah para pendekar dunia persilatan yang berlaga diatas panggung, sekedar untuk mengadu ilmu dan mengukur kepandaian, demi menambah wawasan dan pengalaman di dunia persilatan. Aahh… saya berkhayal terlalu tinggi, nyaris saja saya melewatkan momen penampilan pembuka pada malam ini, kalau saja si Yuliana tidak menepuk pundak saya agar tersadar dari lamunan.

Dimulai dari acara perkenalan tentang jurus khas Padhepokan Singo Yudho oleh seorang pesilat senior, dilanjutkan dengan jurus kembangan Lawe Setugel, bapak paruh baya ini bersilat dengan mantap. Gerakan-gerakannya bertenaga, diiringi suara kendang, tambur dan gong yang cukup padu. Lalu langsung disusul oleh penampilan seorang pendekar putri yang masih belia. Memperagakan jurus Ronce Melati, pesilat remaja ini menunjukkan jurus-jurus silat yang lincah, anggun, namun penuh tenaga. Applaus para penonton bergemuruh diakhir penampilannya.

IMG_4823

IMG_4695

IMG_4791

IMG_4774

Saya semakin terbius dengan penampilan demi penampilan para pesilat yang unjuk kebolehan diatas panggung, tidak menyangka bahwa di era modern saat ini ternyata masih banyak para “Pendekar” silat yang masih eksis dengan jurus-jurus dahsyat nan melegenda. “Hmm, malam ini saya merasa menjadi bagian dari dunia persilatan…”, demikian pikir saya.

Berikutnya adalah penampilan yang layak ditunggu, pertandingan duel antara dua pemuda menggunakan jurus-jurus silat khas Padhepokan. Para penonton semakin merapat mendekati panggung, dan bunyi tetabuhan semakin nyaring dengan tempo yang bertambah cepat. Kiranya malam ini sang purnama akan menjadi saksi adu kepandaian antara dua pendekar muda diatas panggung.

Tidak seperti adegan tinju, atau tarung bebas yang kita saksikan di televisi, pertandingan ini cukup seru dan menarik untuk ditonton, dua pendekar bersilat dengan padu dan menampilkan gerakan-gerakan dinamis. Kendati terkesan ada unsur urutan jurus atau gerakan yang sudah diatur sebelumnya, namun pukulan dan tangkisan yang yang terjadi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh tenaga. Wah, mengingatkan saya akan pertarungan ala tontonan Ketoprak jaman kecil dulu.

Belum puas bertarung dengan tangan kosong, mereka bergantian mengambil senjata, mulai dari pedang, toya besi, clurit dan trisula. Pembawa acara berkali-kali mengingatkan penonton untuk menjaga jarak dengan panggung, karena senjata yang digunakan adalah senjata sungguhan. Waahh… malam semakin riuh, alunan tetabuhan yang berpadu dengan riuh tepuk tangan penonton, kini semakin bertambah dengan suara nyaring denting senjata beradu. Para pendekar bersilat dengan tempo yang cepat, senjata mereka seolah berubah menjadi kilatan cahaya yang terpantul akibat lampu sorot panggung. Sampai akhirnya pertarungan diakhiri dengan manis, kedua pendekar muda bertempur dengan imbang. Masing-masing berhasil merebut senjata lawan dan membuangnya keluar panggung. Applaus penonton kembali bergemuruh.

IMG_4938

IMG_4957

Sosok terakhir yang tampil adalah seorang pemuda yang memperagakan jurus Kembangan Satriyo Sungkem, dengan pakaian ala Pendekar khas Pasuruan, pemuda ini menampilkan gerakan-gerakan yang memukau. Pukulan-pukulan tangannya sambung menyambung diiringi dengan langkah kaki yang mantap hingga membuat alas panggung agak sedikit bergetar. Penonton terbius oleh rangkaian jurus yang diperagakan dengan sangat sempurna dan nyaris tanpa cela. Hingga sang pendekar muda mengakhiri gerakan dengan sungkem memberi hormat, penonton pun masih termangu samapai lupa memberi applaus untuknya.

Sebagai penutup acara, disajikan tarian khas Barongan dan Bantengan. Barongan gak mirip dengan atraksi barongsai, namun dengan bentuk kostum yang lebih sederhana dan bertema lokal. Begitu pula dengan atraksi Bantengan, mirip dengan Barongsai tapi menggunakan kostum Banteng, pula diakhir acara para pemain kadang tampil penuh semangat hingga kadangkala ada yang setengah kesurupan. Wah, sedikit diluar perkiraan memang, salah satu penari Bantengan bahkan harus menggelinding keluar panggung, dan baru berhasil disadarkan kembali setelah hampir setengah jam “menggila” di halaman Candi Jawi.

Benar-benar acara yang cukup seru, syukurnya tidak ada pengunjung yang terluka akibat mengamuknya penari Bantengan tadi. Dan rangkaian Festival Purnama di Candi Jawi pun berakhir dengan semarak, setidaknya saya juga punya oleh-oleh cerita pengganti untuk teman-teman yang malam ini sudah memastikan diri meliput prosesi Waisak di Candi Borobudur. Hehehe

IMG_4999

IMG_5002

IMG_5008

Tari Jawi

“Cetar.. Membahana..” meminjam ungkapan yang lagi ngetrend saat ini, pertunjukan kembang api yang sederhana disekeliling panggung itu mendapat applaus meriah dari para penonton, terutama bagi mereka yang masih kanak-kanak. Memadati area sekeliling kompleks Candi Jawi – Pasuruan, mereka tidak sabar menunggu penampilan yang akan tersaji dalam acara Gebyar Suro menyambut pergantian tahun itu.

Lalu lintas didepan kompleks candi sempat macet sesaat kala pertunjukan kembang api tadi membuka pagelaran Jumat malam itu. Diawali dengan tarian SekarSari, dimana tiga penari putri berbalut pakaian tradisonal tampil membius penonton dengan gerakan anggun gemulai. Penampilan perdana dari rangkaian pertunjukan yang digelar Padhepokan Seni Saraswati ini, mulai menarik minat beberapa pengguna jalan untuk berhenti sejenak dan menyaksikan kemeriahan acara di Candi Jawi.

Peserta Tari di Candi Jawi, tari bali
Peserta Tari di Candi Jawi asal Bali

Menyusul kemudian penampilan tari Jaipong yang khas dengan irama dan ketukan yang sedikit menghentak. Suasana Candi Jawi sedikit lebih meriah dengan lantunan musik Jaipong yang khas itu. Apalagi selanjutnya disusul pula dengan tari Jaipong pasangan muda-mudi yang tak kalah seru. Sepasang penari itu demikian piawai menarikan gerakan yang melambat dan mendadak cepat sesuai dengan tempo musik Jaipong.

Puas dihibur tarian khas tanah Sunda ini, beberapa penari belia asal Bali mulai turun memeriahkan suasana. Suara tetabuhan khas Pulau Dewata dari tarian Cilinaya yang mereka bawakan, sontak membuat Candi Jawi malam itu seakan bernuansa Bali. Para penonton dan undangan yang sebagian besar adalah komunitas tari dari Malang dan Bali ini semakin memberi applaus yang tak kalah meriah.

Penampilan tak kalah menarik adalah salah satu tari Bali yang dibawakan seorang bocah kecil, talenta cilik seusia siswi Sekolah Dasar ini adalah penderita disabilitas (tuna rungu dan tuna wicara) yang sebenarnya cukup berbakat. Dipandu seorang instruktur didepan panggung, gadis cilik ini mulai mengikuti gerakan lambaian tangan dan jentikan jari sang pelatih didepannya.

Sungguh luar biasa, kode dan aba-aba dari instruktur dapat diterjemahkan dengan sempurna olehnya. Si gadis kecil menari seirama dengan alunan musik tradisonal Bali pengiring Tari, yang sebenarnya sama sekali tidak mampu didengarnya. Dia percaya penuh dengan aba-aba dari instruktur, dan ketepatan gerakan tubuh terhadap irama musik itu membuat saya lupa bahwa dia sebenarnya seorang gadis dengan keterbatasan fisik.

Peserta Tari Candi Jawi
Peserta Tari Candi Jawi
Peserta Tari Candi Jawi
Peserta Tari Candi Jawi

Pertunjukan tari yang sangat menguras emosi penonton, awalnya mereka merasa iba dengan kekurangan yang dimiliki si bocah. Namun kini justru rasa salut dan tatapan mata penuh keterkaguman, serta tiada henti memberi applaus tatkala pertunjukan itu telah berakhir. Sayapun sampai nyaris melempar kamera dari pegangan, hanya karena refleks ingin memberi tepuk tangan dipenghujung penampilan. Bahkan ibu-ibu dibelakang saya juga bertepuk tangan dengan pelupuk mata berkaca-kaca, kagum bercampur haru.

Menjelang akhir acara, penampilan Tari Sintren Topeng Tayub yang kreatif dan penuh humor membuat para penonton tersenyum puas. Dengan mengikuti alunan musik yang temponya naik turun, penari tunggal ini menyesuaikan gerakan serta menyempatkan berganti-ganti topeng mengikuti karakter musik yang pas dengan karakter Topengnya. Hahaha, sayapun ikut tertawa dalam hati menyaksikan beberapa karakter Topeng Tradisional yang dipakainya, ternyata cukup lucu dan menggambarkan kondisi sosial masyarakat sehari-hari. Dan acara Gebyar Suro itupun, ditutup dengan sambutan yang cukup meriah dari para penonton yang ikut naik keatas panggung untuk menari bersama sang pemakai Topeng.

Candi Jawi dan Kemeriahan Malam Bulan Purnama

… Jaranan, jaranan jarane jaran Teji,

Sing nunggang ndoro Bei,

Sing ngiring para Mantri,

Jlek jlek nung, jlek jlek nung…

Syair lagu jaranan yang populer dimasa kecil saya itu terus membahana mengiringi malam. Alunan gamelan dan tetabuhan lain juga berkumandang di area kompleks Candi Jawi, salah satu lokasi wisata sejarah yang terletak di jalan raya Pandaan – Prigen, Pasuruan. Tidak seperti biasanya, malam itu Candi Jawi bersolek, puluhan batang lilin menghias diseluruh sudutnya. Serta sorot lampu spotlight menyinari sisi depannya. Pintu gerbang kompleks candi pun dibuka nonstop dari pagi sampai petang hari, dan momen itu dimanfaatkan beberapa pengunjung untuk menyesaki tepian panggung yang disusun didepan candi menghadap jalan raya.

Kebetulan hari Sabtu malam itu bertepatan dengan malam Purnama. Dan sudah menjadi agenda rutin Dinas terkait, diselenggarakan pentas seni budaya dengan setting kompleks Candi Jawi. Kebetulan malam itu menampilkan tarian kreasi baru bertema Jaranan, yang para penarinya berasal dari sanggar seni disekitar Prigen Pasuruan.

Acara dimulai semenjak pukul 19.00 dengan dibuka penampilan beberapa penari putri. Dengan kostum biru dan kuning mencolok, serta riasan khas penari jaran kepang, mereka menari gemulai dibawah terang sinar bulan. Walau tarian yang ditampilkan terlihat sederhana, namun antusiasme warga yang menghadiri acara cukup banyak, tepian panggung penuh sesak oleh penonton yang didominasi ibu-ibu dan anak-anak kecil.

Suasana Candi Jawi
Suasana Candi Jawi di Malam Pagelaran
Jaranan Candi Jawi
Pemain Wanita Menari Berdua
Jaranan Candi Jawi
Pemain Jaranan Beraksi

Selanjutnya giliran tampil sekelompok penari putra yang mengenakan setelan biru. Masih dengan tema tarian yang sama, para penari putra ini tampil lebih trengginas lagi diatas panggung. Dibanding sebelumnya, gerakan mereka terlihat lebih rancak dan bertenaga. Hentakan-hentakan cambuk meledak memecah udara malam mengagetkan para penonton cilik yang segera beringsut mundur menjaga jarak dari tepi panggung. Kuda lumping tunggangan mereka seakan bergerak liar mengikuti alunan musik gamelan yang temponya semakin cepat dan penuh semangat.

Tak pelak lagi, penampilan tari jaranan kali ini langsung membius seluruh penonton yang hadir. Bahkan beberapa pengguna jalan sempat menghentikan kendaraan untuk sekedar menengok kearah keramaian di Candi Jawi. Beberapa muda-mudi yang berencana menghabiskan malam minggu justru memarkir motornya berdesakan didepan pagar kompleks Candi. Sesekali mereka mengarahkan kamera telepon selulernya mendokumentasikan momen-momen unik ini. “jarang-jarang malam minggu ada hiburan yang beginian mas, mending kami weekend sambil nonton ginian daripada sekedar makan-makan di café dan resto seperti biasanya”, komentar seorang remaja putri dari Sidoarjo yang kebetulan mampir menghabiskan malam minggu bersama pasangannya di Pandaan.

Dipenghujung acara, tari jaranan kembali dibawakan oleh sekelompok bocah kanak-kanak yang lucu dan menggemaskan. Para penonton terutama yang ibu-ibu, terus memberi tepuk tangan tiap kali bocah-bocah usia Taman Kanak-kanak itu bergerak rancak mengikuti irama musik gamelan. Kendati terlihat seperti baru belajar, bocah-bocah itu tetap all-out berkonsentrasi menampilkan seluruh rangkaian gerakan tari hingga usai. Betul-betul semangat yang patut diapresiasi. Setidaknya mereka lebih menguasai gerakan khas tari Jaranan, daripada Gangnam Style yang lagi populer saat ini, demikian pikir saya sembari tersenyum simpul.

Peserta Jaranan Anak-anak
Peserta Jaranan Anak-anak
Aksi Jaranan Peserta Cilik
Aksi Jaranan Peserta Cilik

Menjelang pukul 21.00 acara tari jaranan usai ditampilkan, giliran beberapa MC yang mengisi acara dengan banyolan berbalut ala ludruk. Dengan pakaian tradisional, mereka menyampaikan pesan-pesan akan pentingnya menggelar kesenian khas budaya lokal. Apalagi jika itu diselenggarakan di tempat yang punya nilai sejarah dan budaya seperti Candi Jawi. Tentunya akan menambah nilai lebih sekaligus edukasi bagi para generasi muda, ujar mereka sembari menutup acara.

Petualangan Ke Air Terjun Alap-alap

Sumber Alap-alap
Air Terjun Alap-alap

Sudah sesuai dengan rencana sebelumnya, tengah minggu itu kami memutuskan menyambangi salah satu lokasi air terjun di kawasan prigen pasuruan. Berada sekitar 6-7 km sebelah selatan dari air terjun kakek bodo, warga sekitar menyebutnya dengan julukan Air Terjun Alap-Alap. Mengambil nama sejenis burung pemangsa yang merupakan satwa endemik di hutan penyangga ekosistem pegunungan Welirang – Arjuno.

Kendati tidak dibuka untuk umum, air terjun ini bisa dijangkau dengan trekking kurang lebih 1 jam dari area bumi perkemahan kakek bodo. Berjalan menyusuri jalur hutan yang berkelok, menembus semak belukar dan naik turun tanjakan, merupakan sensasi yang menarik bagi para penggemar trekking kelas menengah seperti saya.

Continue reading “Petualangan Ke Air Terjun Alap-alap”

Air Terjun Sekuti Part 2

Kali ini saya mencoba sedikit berbagi cerita Jejalan yang tetap meng-explore keadaan air terjun Sekuti. Jika postingan cerita sebelumnya adalah tentang Sekuti atas (dapat dibaca disini), maka kali ini saya mencoba mengunjungi Sekuti dari view bawah air terjunnya. Untuk mudahnya kita sebut saja Sekuti bawah.

Air Terjun Sekuti Tretes Prigen
Air Terjun Sekuti Bawah Dari Kejauhan

Continue reading “Air Terjun Sekuti Part 2”

Air Terjun Sekuti Part 1

Ini adalah dokumentasi hasil jejalan iseng kami ke air terjun Sekuti (Atas), sebuah tempat terbuka di bagian atas air terjun Sekuti. Pemandangan yang ditawarkan di lokasi inilah yang menjadikan tempat itu sebagai lokasi favorit saya untuk menghilang dari rutinitas.

Air Terjun Sekuti dari kejauhan
Air Terjun Sekuti

Waktu saat itu tepat menunjukkan jam tiga sore hari. Setelah berputar-putar mencari lokasi parkir yang paling aman untuk si motor kesayangan saya. Cukup sulit memang menemukan tempat parkir untuk kesana, hingga akhirnya saya menemukan sebuah lokasi parkir liar yang dikelola oleh masyarakat sekitar, itupun tukang parkirnya mengasih peringatan untuk kembali sebelum jam lima sore. Walah waktu kami berkunjung pun sangat terbatas saat itu.

Continue reading “Air Terjun Sekuti Part 1”