Tujuh Pantai Di Lombok Yang Sayang Dilewatkan

Mendengar kata Pulau Lombok, sebagian traveler akan langsung berpikir pada keindahan alam pegunungan Rinjani dan pantai-pantai disekelilingnya. Yaa, Lombok dan jajaran pantai indah yang tersembunyi adalah impian bagi banyak pejalan dari dalam dan luar negeri. Baik pantai yang landai, maupun dengan perbukitan yang curam dan terjal. Pada postingan singkat kali ini, kami akan deskripsikan tujuh pantai Lombok yang sayang untuk dilewatkan, tentunya beserta sekelumit kisah versi kru jejalan.

Gili Trawangan, favorit pecinta island hopping

DSC00161

Kita mulai dari kawasan Lombok Barat dengan Trio Gili nya. Dari ketiga pulau yang ada (Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan) barangkali Gili Trawangan adalah salah satu destinasi yang patut dicoba. Tidak ada seorangpun yang bisa menolak keistimewaan pulau kecil berpasir putih, dengan fasilitas lengkap semacam hotel, vila, resto, night club, namun bebas dari kendaraan bermotor. Tentunya mengitari pulau dengan perahu bakal menjadi aktivitas yang tidak akan membosankan.

Pula berkeliling menggunakan andong cidomo atau sepeda angin, adalah pilihan tepat selain menghabiskan waktu bercengkrama dengan kemolekan pantai sepanjang hari, dan menikmati gempita night club dimalam hari. View sunrise yang fenomenal disetiap pagi, sekaligus sunset dengan latar Gunung Agung pulau Bali dikala senja adalah penawaran yang istimewa dari Gili Trawangan.

Senggigi, view sunset yang terkenal sejak dulu

senggigi sunset

Dari sekian banyak pantai Lombok yang “ngehits” di postingan social media saat ini, pantai Senggigi jarang sekali muncul. Hal ini bisa dimaklumi mengingat destinasi ini merupakan kawasan wisata jadul yang sekarang identik dengan area hunian hotel dan resort. Akan tetapi kendati sudah mulai ramai dan penuh sesak dengan mass tourism yang memadati, kecantikan view sunset dari pantai senggigi tidak pernah lekang dimakan waktu.

Tanjung Aan, Butiran pasir bak merica, dengan ombak yang ramah

tanjung aan

Sebagai salah satu destinasi populer di Lombok Tengah, Tanjung Aan menjadi incaran para pejalan mengingat pantainya yang memiliki ombak tenang karena keberadaan bukit di kiri kanannya. Para pecinta pantai yang malas untuk berbasah ria, menikmati keunikan butiran pasir bulat bak merica, dan ombak kecil yang menyapa mata kaki adalah suatu relaksasi menyenangkan dikala liburan.

Bukit Merese, setting favorit videoklip lagu

bukit merese

Tepat disebelah Barat Tanjung Aan, terdapat bukit menjorok ke laut. Kontur perbukitan yang berlayer dengan tebing-tebing curam di kiri kanan adalah salah satu view yang menarik bagi pecinta adventure khas pantai. Dimusim hujan, hamparan rumput hijau bak permadani berbukit-bukit adalah racikan alami yang nikmat dipandang. Sebaliknya ketika kemarau, tanah gersang kecoklatan dengan warna biru laut disekelilingnya merupakan tampilan landscape yang tak kalah istimewa.

Pecinta musik tanah air mungkin sudah tidak asing dengan perpaduan pantai berbukit-bukit ini. Sudah dua buah lagu dari penyanyi populer tanah air menjadikan tempat ini sebagai setting video klipnya.

Pantai Seger, Legenda Putri Mandalika

pantai seger

Lokasinya tak jauh dari Pantai Kuta dan Tanjung Aan, Pantai Seger dengan garis pantai yang lurus dan berpasir putih senantiasa menjadi suguhan yang luar biasa. Ritual Tahunan warga lokal berburu cacing laut (Bau Nyale) kerap diadakan di pantai ini. Mitos bahwa Nyale (Cacing Laut) adalah reinkarnasi Putri Mandalika menjadi kisah Legenda yang turun-temurun. Diluar kepercayaan lokal tersebut, pantai Seger memang menyajikan tampilan alam yang mungkin tidak kalah cantik dengan paras sang Putri.

Pink Beach, diapit dua bukit dengan pemandangan memanjakan mata

pink-beach-lombok

Beralih ke Lombok Timur terdapat Pantai Pink yang juga dikenal dengan pantai Tangsi. Menjadi populer beberapa waktu terakhir mengingat betapa fenomenal nama yang disandangnya. Yaa… sebuah pantai dengan pasir berwarna Pink Kemerahan. Memang ke alami an tempat dan habitat terumbu karang yang sehat, membuat pasir pantai yang basah oleh air laut terlihat berwarna pink kemerahan dibawah cahaya matahari.

Diapit oleh dua bukit di kedua sisinya, tempat ini memiliki garis pantai yang landai dengan hamparan vegetasi sebagai peneduh. Menyeruput kelapa muda yang banyak dijual di warung tepi pantai sembari menikmati sajian pasir pantai berwarna pink yang memanjakan mata, adalah salah satu alasan mengapa Pink Beach tidak boleh dilewatkan.

Tanjung Ringgit, sajian spektakuler di ujung Lombok

tanjung ringgit lombok

Dibalik bukit yang berada disisi Pink Beach, terdapat destinasi yang tak kalah menarik. Tempatnya tersembunyi di ketinggian bukit, dengan jalur akses yang cukup susah dijangkau. Inilah Tanjung Ringgit, ujung paling Selatan-Timur Pulau Lombok. Agak kurang pas memang jika disebut pantai, mengingat tempat ini dominan berupa tanjung dengan sisi-sisi yang curam. Gemuruh ombak lautan dengan warna biru pekat, adalah sajian spektakuler dari ketinggian.

tanjung ringgit

Nuansa Gado-Gado Ala Kampong Glam

Mentari baru saja menampakkan sinarnya, semburat cahaya keemasan memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit yang mendominasi Singapura. Langkah kaki saya berjalan berpadu dengan hentakan musik yang mengalun dari headset handphone kesayangan. Irama lagu Gurindam 12 besutan Jogja HipHop Foundation membawa saya berkeliling Kampong Glam, salah satu kawasan heritage di Singapura dengan Sultan Mosque sebagai ikonnya. Dan kebetulan juga menjadi setting video klip lagu HipHop penyemangat pagi saya seusai shalat subuh di Sultan Mosque.

Masih ingat sehari sebelumnya berdebat dengan partner jejalan karena bingung memilih penginapan di hari ketiga kedatangan. Saya bersikeras memilih di Aliwal Street, sementara dia kepingin stay di kawasan Bugis karena jangkauan jalan kaki ke stasiun MRT lebih dekat, akhirnya mau tidak mau kami harus berpisah (sedih juga). Kendati penginapan saya lokasinya memang sedikit nanggung, jauh dari Stasiun Bugis dan Rochor, agak jauh pula dari Stasiun Nicoll Highway. Tapi setidaknya saya cukup puas karena bisa berjalan-jalan setiap pagi menyusuri lorong demi lorong Kampong Glam dengan bangunan khas nya, mirip seperti adegan dalam video klip HipHop favorit saya. Hahaha.

Kawasan dominan oleh Kafe-kafe dengan kuliner khas Melayu dan Timur Tengah

 

Okelah, tidak perlu berpanjang lebar tentang lagu HipHop, dan tidak perlu pula sedih karena harus berpisah dengan partner jejalan saya yang manis. Ada banyak hal menarik yang bisa ditemui di kawasan Kampong Glam ini, dan saya cukup nyaman dengan nuansa “gado-gado” nya.

Ditilik dari sejarah, area ini memang didominasi oleh warga keturunan Bugis dan Arab, serta suku Jawa. Juga terdapat beberapa keluarga keturunan Banjar, Cina dan India. Oleh karena itu jangan heran dengan identitas jalan di kawasan Kampong Glam, nama-nama seperti Arab Street, Baghdad Street, Haji Lane, Kandahar Street, juga Bussorah street akan kita temui disana.

[one-half-first]Sudut Bussorah Street[/one-half-first]
[one-half]Sunrise Sultan Mosque dari perempatan Arab Street[/one-half]

Dari segi kuliner juga terdapat perpaduan yang unik, banyak kafe dan resto di sepanjang Busorrah Street yang tertata rapi dan glamor, menyajikan aneka pilihan makanan Halal. Daftar menu semacam Kebab Turki, Martabak, Mie Goreng, Nasi Briyani, dan beberapa kuliner lain, kadangkala berpadu dengan menu familiar semacam Nasi Rawon dan Nasi Soto. Bagi saya yang orang Jawa, hal ini adalah sesuatu yang cukup menarik. Dengan komunitas multi etnis, akan ditemui juga ragam kuliner yang “gado-gado” (walau saya belum menemukan menu gado-gado tulen disana).

View Bussorah Street dari Sultan Mosque dengan latar  gedung Pencakar Langit modern

Kawasan Kampong Glam diapit oleh jalan besar dengan nama-nama asing seperti Ophir Road, Victoria Street, dan Nicoll Highway. Disepanjang jalan itulah sebagian besar berupa bangunan gedung pencakar langit yang berarsitektur modern. Cukup berbeda dengan kawasan Kampong Glam yang masih bertahan dengan desain kawasan perumahan dominan berlantai dua, serta keberadaan Masjid Sultan sebagai Vocal Point ditengah-tengahnya.

Lebih detail lagi berbicara keberadaan Busorrah Street. Selain Muscat Street, jalan inilah yang posisinya paling strategis dan berhadapan langsung dengan Sultan Mosque di ujung sebelah Barat. Juga merupakan satu-satunya jalan yang tidak diaspal, pula diberi penghalang temporer bagi kendaraan bermotor untuk bisa masuk kedalam kawasan. Tentu saja demikian, mengingat disinilah satu-satunya area yang arsitekturalnya masih dipertahankan dan kondisinya hampir mirip dengan foto lawasnya yang diambil pada tahun 1910.

Jalan ini juga kerap menjadi jujugan para traveler untuk menikmati sajian kuliner, serta tentunya berfoto dengan latar arsitektural klasik. View paling mainstream adalah Busorrah street sisi Barat, yang mana dipenuhi oleh lampu jalan model kuno, jajaran pohon palem yang tumbuh rapi di area rumput segar, serta diakhiri dengan keberadaan Sultan Mosque berkubah keemasan di ujung jalan. Tentunya dengan tampilan warna warni bangunan kaya ornamen disepanjang sisi lorong jalan.

Warna krem terang, hijau muda, putih dengan aksen ukiran emas, adalah warna yang paling banyak ditemui disini. Atap genteng rumah makan (kadang juga sekaligus penginapan), dilengkapi pula dengan listplank kayu yang diukir serta identik dengan arsitektur tempo dulu. Lantai dua bangunan menjorok sekaligus sebagai atap teras depan, jajaran kursi dan lampu kuno juga banyak ditemui disini. Menambah nuansa klasik dan perkuatan identitas kawasan heritage diantara kepungan arsitektur pencakar langit modern.

Dominasi ornamen terasa kental menghias tampilan tampak bangunan disepanjang jalan. Detail-detail ukiran dekoratif gaya campuran Eropa dan Timur Tengah menjadi favorit untuk mengisi bidang-bidang di lantai dua bangunan. Bentuk kusen dan daun jendela model klasik berbahan kayu, menjadi semakin manis dengan pilihan warna-warna yang senada dengan bangunan. Sesekali warna kusen dan jendela sedikit kontras dengan cat bangunan, akan tetapi hal itu justru menambah semarak kawasan yang memang dihuni oleh multi etnis itu.

Permainan dekoratif juga terasa pada area sepanjang jalan. Pedestrian didepan bangunan ditata sedemikian rupa. Pilihan perkerasan non aspal dilabur warna merah terakota, berpadu dengan lantai abu-abu serta ornamen geometri bermotif Islami di beberapa titik, merupakan sebuah aksentuasi landscape yang menarik. Pula keberadaan area penghijauan rumput sebagai media perletakan lampu jalan dan pohon palem menambah manis warna-warni dan segar pemandangan di kawasan ini.

salah satu view Bussorah Street dengan latar Sultan Mosque

Pagi itu saya cukup puas mengapresiasi Busorrah Street dari sisi Arsitektural. Keberadaannya sebagai area heritage diantara kepungan pencakar langit, serasa oase segar ditengah belantara batu beton dan kaca bangunan modern.

Lumayan lama saya asyik mendokumentasikan suasana Heritage Kampong Glam dengan kamera ponsel, tak terasa jam sudah menunjuk angka delapan. Astaga, saya hampir lupa untuk menjemput partner di Bugis, mengingat siang ini sudah berjanji hendak menyambangi Orchid Garden di kawasan Konservasi Bootanical Garden . Segera saya mengakhiri jalan-jalan pagi ditempat ini, karena jika wanita sudah berencana mengunjungi taman bunga, terlambat sedikit saja bakal ditinggal duluan. Hahaha.

Nasi Balap Puyung Lombok

Citarasa Khas Para Pecinta Pedas

“Yang membuat saya selalu rindu adalah suwiran daging ayam super nikmat, dan plecing kangkung pedasnya”,

Begitulah komentar saya ketika kami memutuskan untuk mampir ke salah satu rumah makan di jalan utama menuju bandara Lombok Praya waktu itu. Sebagian orang mungkin berujar “belum ke Lombok kalau tidak sekaligus mencicip Nasi Puyung”. Namun menurut kami, sudah menjadi keharusan untuk mencicip sensasi kuliner yang memang memiliki citarasa pedas khas ini.

Beruntunglah bagi mereka para penggemar rasa pedas, apalagi menjelang jam makan siang tiba, dan disaat tubuh mulai letih setelah menjelajah beberapa pantai. Dengan perut kosong menahan lapar yang menggelora, serta deraan terik matahari dan hempasan angin panas pantai, pandangan mata kami serasa gelap tatkala memasuki rumah makan. Mungkin efek silau hamparan pasir putih di pantai sebelumnya yang membuat ruangan rumah makan itu terasa kurang cahaya, atau bisa jadi rasa lapar dan lelah kami mengakibatkan tulisan di buku menu serasa kabur, hahaha.

Seporsi Menu Nasi Puyung Komplit

Tapi kami pasrah saja tatkala rekan kami memilihkan menu standar Nasi Puyung dan Plecing Kangkung yang memang sudah menjadi menu andalan di rumah makan ini. Mungkin saja dia sudah tahu, bahwa kami sudah lelah dan benar-benar kelaparan, sehingga pesanan kami tidak perlu menunggu waktu lama untuk muncul dan tertata rapi memenuhi meja. “Nyaamm… Waktunya berpesta” demikian komentar partner jejalan disebelah.

Tampilan menu ini memang sederhana, nasi putih dengan lauk ayam kampung goreng, serta suwiran daging ayam diolah kaya bumbu sedikit pedas. Ada pula tambahan sayuran tumis, dan taburan udang kering serta kacang kedelai. Sementara Plecing kangkung terlihat lebih menarik dengan siraman sambal segar dan kacang tanah goreng menghias tampilan diatasnya. Kendati terlihat biasa saja, namun terasa istimewa tatkala kami menyantapnya.

Seporsi Plecing Kangkung Pedas

Tekstur khas ayam kampung yang dagingnya sedikit liat, berpadu dengan pedasnya plecing kangkung yang segar, membuat mulut kami tidak berhenti mengunyah. Apalagi rasa khas suwiran daging ayam yang gurih, asin, pedas, manis, serta tekstur kacang kedelai goreng. Benar-benar perpaduan unik dan khas yang membuat saya ketagihan. Obrolan dan bahasan tentang keindahan pantai-pantai Lombok yang tadinya meramaikan suasana, sontak hening dan sepi karena hanya terdengar suara berkecap dari mulut-mulut yang dipenuhi kunyahan makanan, diselingi dengan helaan nafas dari mulut karena rasa pedas yang demikian hebat.

“Wah, makan siang yang demikian istimewa”, demikian pikir saya. Konon dulu Nasi Puyung juga dikenal dengan Nasi Balap Puyung, karena para penjualnya saling balapan untuk menjajakan dagangannya. Tapi episode kali ini, justru kami berempat yang saling balapan untuk menghabiskan makanan dipiring masing-masing. Hehehe.

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa

Pasuruan Lama Dalam Bingkai Sketsa Apa di benak anda ketika mendengar kata “sketsa”. Sebuah gambar diatas kertas, semacam ide atau gagasan yang dituangkan dalam bentuk karya dan tindakan, atau mungkin terbayang pada salah satu acara televisi swasta yang pernah tayang beberapa tahun lalu. Hehehe. Kali ini saya bercerita tentang sketsa dalam arti harfiahnya, yakni karya seni yang tertuang diatas kertas sebagai gambaran dokumentasi suatu tempat, peristiwa, atau kegiatan.

Kebetulan hari libur panjang awal bulan lalu saya tidak mengagendakan traveling. Karena pada weekend itu saya kedatangan tamu-tamu istimewa dari Surabaya dan Jogja. Yaa, hobby sebagai travel sketcher tentu tidak jauh dengan kawan-kawan yang memiliki kesukaan sama bukan. Oleh karena itulah para sahabat penggiat urbansketch dan beberapa komunitas lain mengontak saya untuk berkegiatan di Pasuruan. Wah, senang rasanya kota Pasuruan dikunjungi orang-orang keren, dan sebagai tuan rumah yang baik, tentu saja saya memberi sambutan yang spesial buat mereka, termasuk siap untuk beradu skill sketsa diatas kertas.

IMG_9963 (Salah Satu Bangunan Kuno di Pasuruan)

Memulai aktivitas pagi di sekitar Klenteng kota Pasuruan, saya menyambut kawan-kawan urbansketch dengan membahas rute sketsa di sekitar Pasuruan. Kebetulan pada gathering kali ini turut pula beberapa teman dari komunitas Heritage/Pecinta Sejarah dan Urban Selfie. Maka target kami tentu saja mengunjungi spot-spot bangunan tua yang ada di sekitar pusat kota, dan kami memulai rute dari area sepanjang Stasiun berlanjut ke perempatan Gedong Woloe.

Salah satu bangunan yang cukup menarik minat kami adalah rumah kuno di sudut perempatan Gedong Woloe. Karya arsitektur lawas yang tepat berada diseberang SMAN 1 Pasuruan ini menjadi aksentuasi dengan bentuk tower menjulang di salah satu sisinya. Berbekal izin dan sambutan baik dari empunya rumah, kami kembali ngemper diatas trotoar, beraksi menggores pensil dan menyapu warna diatas kertas. Satu jam waktu yang cukup untuk menyelesaikan karya kami.

IMG_9972 (Hasil Karya Sketsa)

Rute berlanjut menuju Jl. Hasanuddin, tepatnya gedung Yayasan Pancasila dengan halaman depannya yang cukup luas, view sketsa semakin leluasa. Sambutan dari adik-adik Sekolah Dasar awalnya agak menghambat aktivitas kami, syukurnya saya dan kawan-kawan sudah terbiasa dengan hal ini. Justru kami semakin appresiatif dan mengajak mereka untuk larut dalam kegiatan, sekaligus mengenalkan hobby menggambar dan mengedukasi mereka dengan beberapa tips sketsa singkat.

Usai menyelesaikan karya kami, destinasi berikutnya adalah Rumah Singa yang juga masih di sekitaran Jl. Hasanuddin. Sayangnya kami tidak mendapat izin lebih leluasa untuk melakukan aktivitas disekitar destinasi populer ini. Maklum karena alasan privasi pribadi dari empunya rumah, akhirnya kami sepakat mendokumentasikan dari seberang jalan. Tak terasa hari semakin sore, setelah beristirahat dan makan siang sembari berjalan santai disekitar alun-alun kota Pasuruan.

Rute puncak kami adalah gedung Yayasan Kejuruan Untung Surapati atau lebih dikenal dengan sebutan Gedung Harmoni. Kebetulan kami disambut baik dan dipersilahkan berkegiatan di halaman gedung yang letaknya persis berhadapan dengan Taman Kota ini. Rasa letih dan lelah setelah terforsir seharian, kembali berkurang dan berganti dengan semangat untuk menyelesaikan karya sketsa kami sebelum senja. Gedung ini masih dipergunakan sebagai bangunan fasilitas pendidikan. Halaman depannya kerap dipakai berkegiatan outdoor siswa sekolah. Kebetulan sore itu masih ada kegiatan olahraga dan senam siswa sebelum jam sekolah berakhir. Maka kami betul-betul memanfaatkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan karya.

Sementara kami fokus dengan pensil dan cat air, kawan-kawan dari penggiat Heritage/Sejarah dan Urban Selfie asyik bergelut dengan kamera mereka masing-masing. Tema Bangunan Tua kali ini benar-benar menjadi benang merah untuk kami berkolaborasi. “Taadaaa….” Hampir dua jam berjuang, kami menyelesaikan karya. Dan seperti biasanya, menjelang akhir kegiatan kami kerap berfoto bersama, sekaligus mengikutsertakan karya masing-masing dengan latar bangunan yang menjadi obyek sketsa.

IMG_9978 (Hasil Karya Sketsa)

 

Akhirnya hari itu kami sukses membingkai beberapa sudut Kota Tua Pasuruan dalam Sketsa, antusiasme teman-teman dari Surabaya dan Jogja adalah kepuasan tersendiri bagi saya sebagai warga Pasuruan. Sembari tentunya senantiasa menanti kolaborasi selanjutnya dari UrbanSketch, UrbanSelfie, dan HeritageTraveler untuk berkarya dan berkegiatan positif di lain waktu.

IMG_9991 (Foto Bersama)

 

Ayunan dan Gili Trawangan

Pagi itu, suasana Tahun baru sangat terasa di Gili Trawangan, satu diantara tiga pulau kecil destinasi primadona para turis tatkala berkunjung ke Lombok. Kendati hingar bingar perayaan mungkin sudah lewat sedari tadi malam, namun sisa-sisa kemeriahan masih terasa. Keramaian pengunjung dari dalam dan luar negeri terlihat memenuhi jalanan dan café-café disepanjang tepi pantai Gili Trawangan. Kami memaklumi karena kebetulan libur awal tahun kali ini jatuh pada hari Jum’at, “If weekend start from Friday, you will find long weekend”, demikian celetuk partner saya sembari menyeruput es krim Gili Gelato yang banyak ditemui disekitar pusat keramaian menuju pantai.

Saya hanya tersenyum, walau pernah berkunjung ke Lombok, namun baru kali ini menginjakkan kaki di Gili Trawangan. Ditengah lamunan sepanjang langkah kaki menuju penginapan yang sudah kami pesan, saya bertekad sore nanti akan menjajal berkeliling dengan sepeda kayuh yang banyak disewakan di pulau ini.

IMG_20160101_170405_HDR

Sepeda kayuh, dan cidomo (kereta kuda tradisional) adalah alat transportasi yang lazim ditemui. Bebas polusi dan asap kendaraan adalah salah satu “kemewahan” (demikian saya menyebutnya) yang ditawarkan tempat ini. Para wisatawan bebas menikmati keindahan pantai khas Lombok, tanpa harus terganggu berisik mesin maupun polusi kendaraan. Dan hal inilah yang memang kami rasakan sore itu ketika bersepeda santai disepanjang pantai menjelajah semua sudut pulau.

Kira-kira butuh hampir satu jam untuk menyudahi berkeliling dengan sepeda, namun kenyataannya kami berdua menghabiskan lebih banyak waktu. Entah berapa kali berhenti, menyandarkan sepeda ke pepohonan, berlari sambil melepas alas kaki, membiarkan telapak merasakan kelembutan pasir putih pantai, kesegaran air laut yang sebening Kristal, dan memanjakan mata dengan pemandangan gradasi warna hijau biru air laut berhias buih ombak kecil yang cukup ramah menyapa mata kaki. Kami memulai hari di awal tahun dengan sangat menyenangkan.

 

IMG_20160102_183822_HDR

Sepeda, pantai, dan senja, adalah kombinasi istimewa yang memenuhi jepretan kamera saya sore ini. Namun ada satu lagi yang kiranya tak bisa dilewatkan, yakni ayunan. Entah siapa yang memulai membuat alat bersantai ini dan membangunnya di atas permukaan air pantai, namun kami menemukan banyak sekali ayunan disepanjang keliling garis pantai. Mulanya hanya sekedar obyek foto sculpture bagi saya, sebuah aksentuasi diantara dominasi keindahan alam pantai Lombok. Akan tetapi lain halnya dengan partner jejalan saya kali ini, nalurinya sebagai traveler cewek tentu menasbihkan ayunan adalah obyek “berfoto” yang sangat menyenangkan. Jadilah akhirnya senja kali ini dihabiskan untuk menikmati sunset disekitar ayunan pantai Gili Trawangan.

IMG_20160101_172524_HDR

Sculpture, aksentuasi, unik, artistik, dan mungkin juga romantis. Cukup banyak pilihan kata untuk menggambarkan keberadaan ayunan kayu dengan tali tambang sederhana itu. Beberapa ayunan milik villa atau hotel, didesain lebih menarik, safety, dan juga penuh nuansa etnik, ditempatkan di pantai depan hotel atau villa yang langsung menghadap ke laut.

Menjelang senja tiba, karya seni sederhana ini sontak ramai dan menjadi point of view para turis. Bergantian mereka berfoto dengan latar matahari tenggelam, berpose sendiri maupun bersama pasangan, mencoba mengambil kesempatan menyelami sisi romantisme diantara semburat lembayung jingga di ufuk Barat. Karena Gili Trawangan selalu menjanjikan lukisan alam senja yang istimewa, walau tidak setiap hari anda selalu bisa berada disana.

Berakhir Pekan Di Pantai Selatan

Debur ombak semakin jelas terdengar menghantam batu karang di pagi buta itu. Gemuruhnya seakan berlomba dengan hempasan angin laut yang menggoyang tenda kami, berisik kain penutup tenda inilah yang sejak tadi malam membuat sering terjaga. Bagi saya yang terbiasa camping di gunung dengan segala suasana sepi dan dingin suhu udara, coba menjajal menginap ditepi pantai adalah sesuatu yang baru. Saya belum beradaptasi dengan segala berisik ombak dan terpaan angin pantai yang terus menderu diluar tenda.

Akan tetapi semua suara yang semalam penuh menggema di telinga, seketika itu juga lenyap tatkala saya terbangun dan menyibak kain penutup pintu tenda. View sunrise pagi dengan setting ala pantai terpampang jelas seolah terbingkai pintu tenda yang memang sengaja kami tempatkan langsung menghadap ke laut. Jarang-jarang saya bisa menemukan pemandangan seperti ini, apalagi menyaksikannya disaat kali pertama membuka mata terbangun dari tidur. Hanya ada satu kata, Istimewa…

 

Sembari membenahi dan membersihkan sisa arang kayu bakar didepan tenda bekas api unggun semalam, saya tidak melewatkan kesempatan emas ini untuk sejenak menikmati terbitnya fajar dan mengabadikannya dengan kamera. “Selamat pagi anak pantai…!!” demikian sapa saya, menggoda teman-teman yang juga mulai terbangun dan ikut terperangah menyaksikan pemandangan pagi itu.

Yaa… itulah sambutan pagi paling menyenangkan yang kami alami weekend kemarin, disaat saya dan beberapa teman sengaja mengagendakan traveling ala Camping di tepi pantai. Hanya berbekal rencana dadakan ala “just pack and go”, saya dan Arin, traveller sekaligus adik kelas di kampus dulu, sepakat mengajak teman kami masing-masing untuk berpiknik ria dan ngecamp ala anak pantai.

Pilihan lokasi camping kami jatuh ke pantai Bolu-bolu di Malang Selatan. Sebenarnya cukup banyak pantai indah di sepanjang Malang Selatan, namun untuk berakhir pekan kali ini sengaja kami memilih pantai Bolu-bolu bukan tanpa alasan. Disamping pemandangannya yang lumayan indah, pantai ini juga relatif sepi dan diperbolehkan mendirikan tenda untuk menginap.

Jangkauan lokasinya cukup sulit memang, belum terdapat jalur darat yang representatif untuk menuju kemari, salah satu solusi adalah harus memutar menyeberangi perbukitan menggunakan perahu motor dari pantai Lenggoksono. Namun hal itu terbayar lunas dengan menikmati pantai yang masih cukup alami, berair bening, berpasir putih dan menjanjikan pemandangan eloknya laut di sebelah Timur, dan pastinya suara ombak khas laut selatan yang bergemuruh sepanjang hari. Hehehe.

Tidak banyak aktivitas yang bisa kami lakukan mengisi akhir pekan di tepi pantai, berburu foto, memasak menu instan dengan peralatan camping sederhana, berbagi cerita dan pengalaman sambil makan bersama, serta menikmati buah kelapa muda yang dipetik langsung dari pohonnya. Pantai ini memang tidak terlalu luas, kiri kanan dan belakang terkepung oleh bukit-bukit terjal, dan lautan dengan ombak besar membentang didepan. “Mirip tempat pengasingan yang terisolasi” gurau saya, “pengasingan yang menyenangkan tentunya”.

IMG_0271

 

Tatkala mulai jenuh, kami juga bisa mampir ke pantai Banyu Anjlok disebelah. Yang juga menjanjikan pemandangan air terjun dari perbukitan yang aliran airnya jatuh langsung ke laut. Walaupun debit airnya tidak terlalu besar, akan tetapi keunikan air terjun ditepi pantai adalah suatu sensasi tersendiri bagi para penggemar selfie yang ramai berpose ria dengan tongsisnya, berfoto dengan latar belakang air terjun banyu anjlok.

Namun bagi saya, Arin, dan para partner jejalan kali ini. Tiada aktivitas yang lebih menyenangkan selain tiduran didalam tenda, menikmati semilir angin, dan memandangi birunya air laut ditepian pantai. Karena bermalas-malasan di pantai ini, adalah salah satu cara bersantai menikmati akhir pekan yang paling menyenangkan.

IMG_0492 siluet

IMG_0411 api unggun

Romantisme Bawah Laut

Romantis, kira-kira itu yang terpikir dengan kegiatan baru yang saya coba sebulan terakhir ini. Scuba Diving membawa saya menemukan dunia yang terasa baru. Landscape yang begitu berbeda dengan dunia darat, satwa yang berbeda bentuk dan perilakunya pun begitu. Hal baru yang mengasyikkan, birunya lautan menyejukkan mata, membuat seolah banyak hal diluar sana terlupakan sejenak.

Aktivitas bawah air ini masih membuat saya terus dan terus takjub dengan segala hal yang diciptakan olehnya. Pertanyaannya kenapa saya baru mengenal dunia ini, dunia bawah air. Romantisme yang mengagungkan pencipta atas segala ciptaan-Nya.

Kemudian pertanyaan lain muncul juga, seperti apa sih orang-orang yang menyukai dengan dunia bernafas dengan mulut dan berkacamata besar dan repotnya menggendong tabung dipunggung mereka. Apakah merasakan hal yang sama, atau malah biasa saja?.

deepdeeplove2

deepdeeplove3

Why We Love Plaosan

Candi Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin juga Kalasan, kiranya sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Ketiganya cukup terkenal dan acapkali muncul menjadi icon promosi daerah Klaten, Jogja, dan Jawa Tengah. Apalagi Prambanan dan Ratu Boko, keduanya menjadi Taman Wisata Candi yang dikelola dengan serius sebagai aset wisata internasional. Namun pada kesempatan kali ini saya tidak berkisah tentang ketiga candi tersebut, karena ada beberapa peninggalan cagar budaya lain yang tidak kalah keren, dan mungkin sudah kesekian kalinya menjadi artikel di Jejalan.

Yaa, kembali saya bercerita tentang Candi Plaosan di Klaten yang mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya bagi para kru Jejalan. Terletak kurang lebih empat kilometer disebelah Timur kompleks Candi Prambanan, Candi Plaosan bisa ditemui berdiri dengan gagah ditengah hamparan lahan persawahan yang lapang. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dan teman-teman menyambangi Candi yang diperkirakan dibangun pada abad 9 Masehi ini. Bahkan pada kesempatan kali ini saya sudah berkunjung dua kali dalam sebulan.

IMG_9709 sawah

Ibarat sebuah oase di padang pasir yang terik dan gersang, sosok Candi Plaosan adalah sebuah arsitektur kuno yang berdiri megah ditengah sawah lapang. Warna hitam kelabu batu-batu yang menyusunnya adalah pemandangan kontras bagi hamparan permadani hijau lahan persawahan disekelilingnya. Saya menyebutnya aksentuasi, dan inilah daya tarik pertama mengapa kami belum bisa move on dari Plaosan.

DSC00266

Lokasinya yang jauh dari jalan raya utama bukanlah kekurangan, justru jalan aspal pedesaan yang menjadi penghubung Candi ke jalan raya arteri adalah nilai lebih yang membuat tempat ini jauh dari bising dan polusi udara. Cobalah bayangkan ketika pagi buta, sembari menghirup udara segar pedesaan, memandang lansekap hijau persawahan, telinga dipenuhi suara gemericik aliran air sungai dan kicauan aneka burung, disambut senyum ramah bapak ibu petani yang berangkat kesawah dengan sepeda kayuhnya, disusul terbitnya mentari di ufuk Timur yang menciptakan siluet Candi di tengah lahan persawahan. Hanya satu kata, istimewa.

DSC00274

plaosan jejalan sunrise 7

Bagi pemburu sunrise ataupun sunset, Plaosan menawarkan sensasi berbeda. Terbitnya mentari dengan latar belakang candi, dan aktivitas petani di sawah adalah sebuah kisah yang bisa diabadikan dalam kamera. Sementara tenggelamnya matahari dengan siluet candi juga merupakan pemandangan yang tak kalah spektakuler. Apalagi bagi mereka yang menyukai berburu Milky Way, area terbuka persawahan di sekitar Plaosan adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Momen Sunrise dan Sunset yang khas, inilah daya tarik kedua Candi Plaosan.

[one-half-first]plaosan right[/one-half-first]
[one-half]plaosan left[/one-half]

Tempat ini memang belum dikelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, tidak ada ticketing khusus dengan tarif yang mengikat. Kendati pengunjung hanya diminta iuran sukarela untuk biaya perawatan candi, namun fasilitas macam Kamar Mandi dengan air bersih sudah bisa dipergunakan disini. Murah, dan juga jam kunjungan yang fleksibel adalah alasan ketiga mengapa candi Plaosan cukup menarik. Kami pernah datang bukan pada jam kunjungan resmi, tepatnya pukul enam pagi, justru dipersilahkan memasuki kompleks candi serta diiringi oleh senyum ramah bapak petugas pos jaga dipintu gerbang, betapa menyenangkan.

Candi Plaosan memang masih berupa reruntuhan, akan tetapi merupakan kompleks percandian dengan skala yang cukup besar dan terawat dengan baik. Dua candi utamanya yang berada di Utara jalan desa adalah icon utama, sementara beberapa candi kecil di Selatan juga tidak boleh dilewatkan. Dibanding dengan Cagar Budaya lain yang sudah cukup ramai, Plaosan bisa jadi alternatif menikmati jejalan tanpa harus dipusingkan dengan potensi padatnya pengunjung. Karena itu, bagi para traveller yang sudah bosan dengan destinasi terlalu mainstream, sepatutnya harus mencoba mlipir kemari. That’s why we love Plaosan.

Melenggang di kawasan Kota Tua Semarang

Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.

Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.

Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Gedung Marabunta dengan icon semutnya
Gedung Marabunta dengan icon semutnya
 Semarang Art Gallery
 tangga menuju lt.2 galery

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.

Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.

Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

interior galery
interior galery

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.

Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.

Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.

Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.

Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.

teman jejalan
teman jejalan

Gemerlap Lampion Pasar Gede Solo

“Masih belum nyala…!!” demikian komentar teman saya sembari menengok jam ditangannya. Sudah hampir pukul 18.00, dan kami semua tetap sabar menanti berbaur dengan para pengunjung lain. Yaa, menjelang Imlek seperti saat ini, sekitar Pasar Gede Solo selalu dihias dengan ribuan lampion khas berwarna merah menyambut datangnya Tahun Baru Cina. Momen paling dinanti tentu saja kala menjelang malam, saat masing-masing lampion mulai nyala dan memancarkan cahaya cantik dari balik kertas pembungkusnya.

Kebetulan hari itu baru saja berlangsung acara Grebeg Sudiro, sebuah panggung masih terlihat mulai dibersihkan dekorasinya. Tepian jalan raya masih tampak sampah berserakan bekas makanan para penonton pawai Grebeg yang berlangsung siang harinya. Sambil menyaksikan perjuangan para petugas kebersihan bertempur melawan sampah, kami sejenak berjalan menuju Klenteng Tien Kok Sie Pasar Gede yang hanya beberapa langkah dari pusat keramaian.

IMG_7533

IMG_7534

IMG_7535

Klenteng kecil ini terlihat mulai bersolek, lampion lampion cantik bergantungan di langit-langit. Selendang dan pita warna merah menyala menghiasi pagar depan dan kedua patung di pintu masuk. Cahaya lilin dan kertas hias membuat suasana Klenteng semakin berkilau. Kami dan pengunjung mulai sibuk mengambil gambar dan juga sedikit berpose narsis disana.

Suasana yang semakin gelap, dan beberapa kendaraan yang mulai menyalakan lampunya sekaligus mengingatkan kami kalau saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Satu demi satu lampion di depan Pasar Gede mulai menyala. Wah, suasana berubah menjadi meriah, bahkan jalan raya sejenak menjadi macet akibat ulah para pengunjung yang asyik mengabadikan nyala lampion hingga mengganggu pengguna jalan.

IMG_7540

IMG_7345

IMG_7346

IMG_7563

Sepanjang jalan didepan Pasar Gede memang dipenuhi oleh ribuan bola cahaya berwarna merah. Lampion-lampion itu seolah menjadi elemen dekoratif sekaligus penghias taman dan jalan raya. Ada yang ditata memanjang melintang maupun membujur dengan jalan. Disusun melingkar bertumpuk-tumpuk diatas sculpture menara jam Pasar Gede. Beberapa menggantung di sepanjang bangunan, berbaris melintang diatas sungai, bahkan disusun rapat laksana tirai raksasa didekat jembatan sungai, sungguh sangat meriah sekali.

Saya dan kawan-kawan segera larut dalam suasana semarak petang itu, kami berfoto bersama, gantian berpose, berusaha mengabadikan momen-momen spesial dibawah gemerlap terang lampion. Sebuah momen travelling yang menyenangkan, menikmati akhir pekan dengan jejalan diatas aspal jalan Pasar Gede Solo dengan bermandikan cahaya lampion Imlek. Semoga Imlek tahun depan kami bisa menikmatinya lagi.