Festival Teluk Jailolo 2013

Sekedar kumpulan footage video ketika menikmati perjalanan gratis dari penyelenggara Festival Teluk Jailolo 2013. Tujuan pertama kesana tentunya adalah menikmati keindahan alam Halmahera Barat, ya dokumentasi ini adalah bonus 😀

Sebenarnya saya sendiri belum punya gambaran apa yang nanti bisa saya rencanakan disana, awalnya sih pengen membuat video dokumenter tentang Jailolo yang serius. Namun waktu tidaklah memungkinkan untuk melakukannya, terlebih lagi dokumenter tentu memerlukan narasumber lokal yang kompeten. Serta Gear yang cukup mumpuni. Sedangkan saya waktu itu pengennya yang ringkas2 saja, dan akhirnya cukup membawa sebuah backpack kecil.

Jadi tidak mungkin juga konsep diatas saya lakukan, akhirnya mau tidak mau, jadilah video dokumentasi perjalanan seperti biasanya, tidak terkonsep, random dan sekenanya saja, diambil sembari menikmati perjalanan yang sudah direncanakan oleh pihak panitia.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin saya angkat, Kuliner khas Jailolo atau Indonesia Timur pada umumnya. Hal yang membuat mata saya berbinar-binar ketika mengunjungi tenda gelar masakan Halmahera Barat. Aduh serasa lapar seketika :D.

Suatu hari jika ada kesempatan lagi pengen menilik mulai dari proses memasaknya, jikalau bisa lagi malah mulai dari mendapatkan bahan bakunya. Ingin sekali mendokumentasikannya dalam bentuk video pendek.

Ah iya satu hal lagi yang membuat saya kurang puas. Hanya karena kurang persiapan diri sehingga saya kemaren tidak berani turun diving, padahal Jailolo adalah tempat idaman para diver. Sehingga saya pulang tanpa membawa footages underwater Jailolo sama sekali. Ya Bolehlah penyelenggaraan tahun depan pihak panitia mengundang saya lagi untuk kesana, hahahah *ngarep :p.

Sudah ah tidak perlu berpanjang-panjang lagi, silahkan dinikmati saja video dokumentasi perjalanan saya selama mengikuti Festival Teluk Jailolo 2013 kemaren.

(Bukan) Bagian dari ber-Wisata?

IMG_9590

Debu-debu yang berterbangan bercampur asap knalpot kendaraan adalah pemandangan yang jamak terlihat disepanjang jalanan, siang itu udara kota Phnom Penh memang terasa panas. Namun entah mengapa bagi saya yang ada didalam ruangan 4×8 meter ini segalanya terasa berbeda. Lembab dan begitu dingin. Jujur saja bulu tengkuk sayapun sedikit meremang. Ini memang bukan acara uji nyali, semacam reality show atau sejenisnya. Tapi beginilah rasanya berada didalam ruang demi ruang Tuol Sleng Genocide Museum – Phnom Penh, bekas penjara interogasi dan pusat penyiksaan tawanan selama Khmer merah berkuasa. Tuol Sleng, awalnya merupakan kompleks sekolah yang lantas berubah menjadi kamp konsentrasi bagi para musuh rezim Pol Pot, juga dikenal dengan nama yang tak kalah seram, Penjara S-21.

Dengan membayar biaya masuk senilai 3USD, saya memberanikan diri menyusuri satu demi satu bangunan berlantai tiga yang berjumlah empat gedung ini. Dibeberapa ruang, terdapat ranjang besi yang sudah berkarat, tepat disebelahnya terpampang foto mayat korban penyiksaan dalam kondisi telentang diatas ranjang dengan kaki dan tangan terikat rantai. Kiranya itu adalah foto pada saat korban ditemukan kala tentara pemerintah menyerbu dan menguasai kembali bangunan ini. Agak mual juga memandang tampilan foto yang tidak layak dilihat itu, pantas saja lantai tegel dibawah ranjang senantiasa penuh bercak merah kecoklatan. “Bekas-bekas darah para tawanan dimasa lalu”, demikian pikir saya mencoba menebak.

IMG_9629

IMG_9600

Ternyata tidak cuma satu ruang, hampir puluhan ruang lain di gedung tiga lantai itu juga mempunyai fungsi sama. Yaitu sebagai Ruang penyiksaan, tentunya penyiksaan sampai mati. Cukup ngeri juga membayangkan betapa parahnya keadaan Kamboja dimasa lalu, kala rezim yang berkuasa ingin menjadikan negara yang rakyatnya murni berdiri pada sektor agraris. Semua orang yang dianggap lawan politik langsung dimusnahkan. Bahkan juga orang-orang yang berpeluang menentang kebijakan penguasa, langsung ditangkap dan dibunuh. Mereka yang dianggap vokal, mereka yang dianggap berpendidikan, dan mereka yang punya potensi atau kemampuan untuk melawan kebijakan, menyusul menjadi sasaran tembak oleh rezim penguasa. Tak heran dalam kurun waktu 1975-1979, lebih dua juta rakyat Kamboja terbunuh selama Khmer Merah bercokol. Sebagian besar adalah lawan politik, pekerja profesional, teknisi, seniman dan sastrawan, serta orang-orang yang berpendidikan. Mereka ditangkap, diculik, lantas dibunuh, termasuk juga anggota keluarga merekapun ikut jadi sasaran.

IMG_9603

Memasuki gedung kedua, kesemua ruangan dijejali oleh foto-foto para tawanan. Tua – muda, pria – wanita, termasuk anak-anak dan bayi. Mereka difoto close-up, lalu didata, setelahnya dijebloskan dalam kamp, kemungkinan besar juga dibunuh. Konon pada kurun waktu lima tahun, kamp ini pernah menampung total hampir 20.000 tawanan. Sudah bisa ditebak, kesemua itu dipastikan telah tewas, karena hanya ada tidak kurang dari tujuh orang yang berhasil selamat dari neraka Tuol Sleng.

Melihat foto demi foto wajah para tawanan, emosi saya terasa dipermainkan. Wajah-wajah itu memiliki beragam ekspresi, ada yang pasrah karena sudah tahu maut akan menjemput. Ada pula yang tersenyum karena baru pertama kali dipotret. Tenggorokan terasa tercekik kala melihat foto anak-anak dan balita, mereka masih kecil dan tidak berdosa. Wajah polos dan tatapan mata yang bening adalah ekspresi terakhir yang bisa kita saksikan sebelum mereka menemui ajal.

Seorang bule wanita disebelah saya terisak dengan berlinang air mata, “Mereka tentu seusia saya jika masih hidup”. Ujarnya setengah berbisik sembari memandang foto seorang ibu muda yang menggendong bayi mungil. Ibu muda itu diam dengan tatapan mata kosong, dia sepertinya paham jika akan segera dieksekusi oleh para algojo. Sayapun menggigit bibir meninggalkan ruangan tanpa berani mencoba menebak apa yang akan terjadi dengan si bayi mungil dalam gendongan.

IMG_9745

IMG_9679

Gedung ketiga juga tak kalah angker, saya memasuki bangunan dikelilingi oleh kawat berduri ini bersama sekelompok turis yang diantar seorang pemandu. Beberapa bule sepuh tampak mengambil nafas disela menenggak air mineral dari botol, seolah berharap menemukan jeda sejenak dari sebuah tour yang penuh kengerian dan menguras emosi. Gedung tipikal berlantai tiga ini ruang-ruangnya dipenuhi sel-sel kecil seukuran toilet bis malam. Demikian sempit, gelap, pengap, dan pastinya kotor. Entah berapa lama para tawanan itu tahan menjalani hidup didalam sel semacam ini. Namun saya memaklumi, karena sebagian besar tawanan tidak tinggal dalam sel dengan jangka waktu lama. Karena jika tidak terbunuh selama penyiksaan, pastinya mereka juga dibawa untuk dieksekusi ke Killing Field. Sebuah ladang pembantaian ribuan warga Kamboja di pinggiran kota Phnom Penh.

Saya masih terus menguntit dibelakang rombongan turis bule itu, sambil menumpang penjelasan dari tour guide yang terus mengoceh penuh semangat. Sepertinya dia sudah terlalu sering menceritakan kisah kekejaman dan kekerasan selama Pol Pot berkuasa, wajah pria empatpuluh tahunan ini tampak dingin, tegar, kaku, tanpa ekspresi. Gamblang nian dia menceritakan beragam derita para korban, kebengisan algojo, serta proses penyiksaan hingga korban meregang nyawa. Dia sepertinya jauh lebih memahami seperti apa proses menuju kematian dibanding bagaimana menjalani sebuah kehidupan.

IMG_9636

IMG_9641

Di gedung terakhir saya lebih banyak terdiam, masing-masing ruangnya menyimpan banyak hal yang juga masih berbau horor, karena alat-alat penyiksaan tersimpan baik disana. Mulai dari bak kayu tempat membenamkan para tawanan, kursi dengan alat bor tengkorak kepala, juga aneka benda tajam dan benda tumpul untuk menyiksa tawanan. Semua barang berumur tua dan usang itu terlihat mengerikan, entah berapa banyak nyawa yang melayang dari alat-alat penyiksaan ini. Perjalanan horor masih berlanjut, di ujung ruangan saya menemui lemari-lemari kaca yang menyimpan tengkorak dan tulang belulang para korban pembantaian. Dipajang begitu saja didalam rak lemari kaca, atau juga diatas meja kaca dijalur lintasan para pengunjung. Sumpah bukan pemandangan yang menarik, saya lebih memilih membayangkan akuarium berisi ikan warna warni daripada akuarium berisi tengkorak yang tempurungnya pecah akibat dihantam benda tumpul.

Sore menjelang mengakhiri perjalanan wisata saya kali ini, entah saya masih menganggapnya sebagai sebuah aktivitas wisata atau tidak. Sembari menikmati buah semangka segar saya duduk termangu melamunkan pengalaman barusan. Mungkin suatu hal yang wajar mengeluarkan 3 USD untuk menonton tayangan film horor. Tapi ini jelas bukan film horor, melainkan sebuah sejarah nyata dari kejadian dimasa silam. Lagipula sejarah bukanlah tontonan seperti film, tetapi sebuah pelajaran untuk melangkah lebih baik pada periode berikutnya. Sebuah refleksi dari kesalahan generasi terdahulu yang jangan sampai terulang kembali. Jadi, sudah siapkah kita untuk mengemas kisah sejarah sebagai bagian dari nilai jual Pariwisata. Saya hanya bisa mengedipkan mata sebagai jawabannya.

IMG_9708

IMG_9724

IMG_9729

Menanti Festival Teluk di Timur Indonesia

Tulisan ini diikutkan dalam “Jailolo, I’m Coming!” Blog Contest yang diselenggarakan oleh Wego Indonesia dan Festival Teluk Jailolo

Pejalan mana sih yang tidak tertarik mengunjungi Jailolo di Halmahera Barat ini?… Apalagi ketika Jailolo sedang punya hajat besar tahunannya. Ya Festival Teluk Jailolo 2013, festival yang diselengarakan di sebuah wilayah yang punya sejarah masa lalu yang melegenda, dikombinasikan dengan eksotisme alamnya yang memukau. Siapa sih yang tidak ingin kesana?. Sebagai pejalan yang suka mengabadikan perjalanan dengan Foto dan Video. Terbersit keinginan kuat untuk dapat mengunjungi Jailolo ketika dalam kondisi cantik dan bersolek dalam balutan sebuah Festival Teluk. Dimana masyarakatnya siap menyambut siapapun yang datang dengan kulinernya yang aduhai serta senyum warna-warninya yang ramah.

Keinginan saya juga didasarkan untuk mengenalkan Jailolo kepada masyarakat luas sekembalinya dari sana. Untuk mengenalkannya tentu saya harus berkenalan terlebih dahulu. Saya ingin mengenal warganya, sejarahnya, kulinernya serta juga alamnya dengan lebih dalam lagi. Melalui penggalian cerita, pengamatan dan pengabadian moment dalam frame kamera tentu akan membuat saya lebih bersemangat lagi menceritakan Jailolo kepada siapapun. Videography tentu menjadi andalan saya ketika nanti bercerita.

Jailolo layak mendapatkan perhatian masyarakat luas, sebagai wilayah yang bersejarah bagi bangsa ini, sudah waktunya Jailolo diangkat dan diperkenalkan lagi, bukan hanya sebagai object yang diceritakan dalam buku-buku sejarah, tentang kekayaannya rempah-rempahnya yang membuat bangsa Eropa datang kemari. Lebih dari itu, ini tentang tentang budaya dan kearifan lokal yang tidak pernah pudar, cerita nyata tentang The Treasure of Golden Spice Islands.

Yang dapat dilakukan untuk mempromosikan Jailolo agar mendapat perhatian wisatwan adalah dengan melakukan Integrated Marketing Communication, apa itu? secara sederhana adalah melakukan aktivitas promosi yang menyeluruh dan terintegrasi satu dengan lainnya. Hal yang paling sederhana adalah dengan menyeragamkan pesan yang ingin disampaikan. Cara-cara yang dapat dilakukan masih tetap sama baik melalui media-media konvensional (offline), maupun media online yang dewasa ini menjadi kemudahan wisatawan menggali informasi. Hanya dengan seragamnya pesan yang ingin disampaikan maka akan memaksimalkan gaungnya. Cara ini sangat efektif untuk menarik perhatian audience lebih banyak.

Namun ada beberapa hal berikut ini menurut saya juga harus diperhatikan ketika membuat rencana promosi yang terintegrasi.

Foto yang Informatif tentang Jailolo, hal unik apa yang dapat ditawarkan kepada wisatwan agar tertarik berkunjung dan menikmati langsung eksotisme yang ditawarkan melalui foto tersebut. Entah sepenggal keindahan alam, sesendok kezatnya kuliner khas Halmahera dan berwarananya alam bawah laut Halmahera. Hal ini wajib disebarkan keluar sebagai identitas kuat Jailolo.

Membuat Video Promosi, data dari studi Google 2012 tentang wisata dan video, ternyata banyak traveler sekarang memperhatikan video sebelum mengunjungi sebuah destinasi. Dengan maksimalkan keunggulan persuasif Video dalam bercerita. Maka perlu dibuat video berseri tentang masing-masing keunikan yang bisa didapatkan wisatawan jika berkunjung ke Jailolo. Entah seri kuliner, seri wisata bawah laut, ataupun seri budaya setempat.

travel-video

Kontinuitas Promosi, ini hal simple tapi penting namun sering terlupakan. Umumnya promosi sebuah destinasi hanya sekali dan besar ketika ada semacam event atau festival. Kemudian promosi meredup seiring selesainya Event tersebut selesai dilaksanakan. Hal itu yang harus di hindari oleh dinas pariwisata Halmahera Barat, diusahakan walaupun tidak banyak tetapi update informasi ataupun promosi wisata harus dilakukan terus. Terutama update untuk di Media Sosial yang adopsinya semakin meluas disaat ini. Promosi model ini akan efektif jika melibatkan interaksi dua arah. Baik untuk bertukar informasi atau menjadi moderator jika ada pertanyaan tentang Jailolo. Jika tidak akan sama saja dengan model komunikasi di media konvensional.

Sinergi antara promosi dengan kesiapan di lapangan. Kadang kala ini bisa menjadi bumerang jika terlewatkan, bagaimana mungkin kita melakukan sebuah promosi yang bertolak belakang dengan kemampuan lapangan mengantisipasi dampak promosi itu sendiri. Semisal daya tampung lokasi, sarana prasarana penunjang yang memprihatinkan. Jika hal ini sampai terjadi, yang ada adalah testimoni buruk Jailolo akan menyebar, tentu ini tidak pernah di inginkan ketika kita berusaha membangun citra baik untuk pariwisata di Halmahera.

Demikianlah kira-kira yang dapat saya utarakan berkaitan dengan keinginan merasakan secara langsung Festival Teluk Jailolo 2013 yang segara diselenggarakan pada tanggal 16-18 Mei esok.

Selebrasi Pelepasan Penyu

Kali ini saya mencoba melist-kan twit dari bung @ngelantour, yang kalau meminjam istilah gaul saat ini adalah galau, ya dia galau dengan kondisi aktivitas konservasi yang lebih banyak selebrasinya daripada hakikat konservasinya sendiri. Kali ini dia galau tentang konservasi anak penyu atau tukik.

Yang cukup menyedihkan adalah terkadang pelepasan ini dilakukan pada siang hari karena akan dikunjungi seorang pejabat. Hanya demi menyambut pejabat, waktu pelepasannya-pun digeser waktunya dari yang seharusnya malam hari menjadi siang hari. Menyedihkan memang, kenapa tidak pejabatnya saja yang datang dimalam hari?.

tukik anak penyu

Untuk jelasnya kenapa harus malam silahkan simak runtutan twit berikut ini:

Kisah #tukik si anak penyu yg tak pernah mengenal ayah ibunya

Brur n Zus, sejak dulu, anak penyu alias #tukik ditakdirkan menetas pd MALAM hari, merayap susah payah keluar dr lubang sarangnya

#tukik berlari2 kecil berlomba menuju ke arah laut yg pd malam hari menjadi lebih terang drpd daratan. Ia bs nyasar jk ada cahaya di darat

Para #tukik akan berenang2 disekitar perairan hingga beberapa hari utk mengenali pantai, pasir n air tmptnya dilahirkan sblm merantau

Para #tukik yg tak pernah mengenal ayah ibunya itu, jika berhasil mjalani seleksi alam, #tukik betina akan bertelur di pantai kelahirannya

So Brur n Zus, janganlah bangga melepas #tukik pd siang hari krn itu menyalahi kodratNya

Para #tukik yg sekian lama ditampung dlm kolam buatan manusia, lalu tiba2 dilepas ke laut bebas pd siang hari akan kaget, stress, bingung

Melepas #tukik siang hari, utk sebuah selebrasi, publikasi atau keriaan wisata, bukan hakiki konservasi penyu, sang perantau samudera

by Suer (@Ngelantour)

Silahkan download PDF Panduan Konservasi Penyu dari WWF berikut:

http://awsassets.wwf.or.id/downloads/panduanpenyu.pdf

Patong, Kota Pantai yang penuh “Pesona” Phuket, Part 3

Air hangat yang mengalir dari shower kamar mandi hotel, cukup memanjakan tubuh saya yang serasa letih akibat penerbangan beruntun menuju Phuket. Rasa lelah seketika lenyap setelah mandi dan sejenak beristirahat sore, berganti menjadi semangat tatkala melihat mentari sore dari jendela hotel di lantai empat. Kilauan sinar emasnya terpancar begitu indah di langit yang cerah. Apalagi pantai Patong posisinya menghadap ke arah Barat, sepertinya kami harus segera bergegas untuk mendapatkan tempat yang bagus guna mendokumentasikan Pesona Senja di pantai Patong. Dan bisa ditebak, hari pertama berada di Phuket ini kami dipaksa untuk berlari berkejaran dengan matahari yang akan tenggelam.

Pantai Patong senantiasa ramai dikala senja, maklum tempat ini mirip sekali dengan pantai Kuta Bali. Sama-sama berpasir putih, sama-sama menghadap ke Barat, pula menjanjikan view sunset yang romantis. Dikepung dua semenanjung indah di sisi Utara dan Selatannya, dengan gemerlap lampu vila di kejauhan seakan kompak menyambut malam. Hanya saja ombak disini tidak seganas di pantai Kuta, mengingat pantai Patong sejatinya merupakan teluk yang cukup lebar.

phuket-8

Kami termasuk beruntung mendapatkan pemandangan senja dengan cuaca cerah di pantai ini, dimana tenggelamnya mentari menampakkan sisi eksotisnya, dan keberadaan beberapa pasangan yang bercengkrama menghabiskan senja, menambah sisi romantisnya. Ditambah para pengunjung yang meramaikan senja dengan menyalakan kembang api, turut memperkuat sisi fantastisnya. Pantai patong memang penuh dengan pesona.

phuket-9

Tidak hanya itu saja, menjelang malam kami terus melangkahkan kaki menyusuri jalan raya nan ramai disepanjang tepian pantai, lantas memasuki area Bangla Road. Salah satu kawasan kota Patong yang paling mem” Pesona” disetiap malam harinya. Suasana yang beda segera menyapa, jalan raya yang satu ini tertutup untuk kendaraan bermotor, hanya ribuan pejalan kaki saja berlalu lalang dengan wajah ceria, dan sedikit bergoyang ataupun manggut-manggut mengikuti suara dentuman alunan musik di kejauhan.

Seperti yang kami sampaikan sebelumnya, petualangan jejalan kali ini memang sedikit berbeda. Malam itu kami menjadi saksi eksistensi keberadaan “Thailand Third Gender”. Hebohnya suasana kehidupan malam ala Bangla Road yang tersohor itu memang bukan isapan jempol belaka. Sepanjang area Bangla Road dipenuhi oleh Night Club yang penuh dengan gemerlap lampu berkilauan. Hingar bingar musik dengan irama menghentak, membuat kami merasa menjadi bagian dari ribuan pengunjung yang memadati Bangla Road.

phuket-7

Hampir semua Night Club bersaing menampilkan acara yang atraktif, mulai dari mendesain lighting serba gemerlap, menyetel musik dengan volume super besar, bahkan menampilkan penari seksi diatas meja tamu area depan hanya dengan pembatas kaca transparan. Atau juga memasang televisi layar datar ukuran jumbo yang menyiarkan secara live Sepakbola Liga Eropa. Para tamu yang duduk di masing-masing meja, kiranya cukup menikmati suasana malam yang penuh gempita itu.

Di beberapa titik jalan Bangla Road, kami juga menemui beberapa LadyBoy (sebutan untuk Waria disana) yang beraksi dengan kostum-kostum unik. Menggunakan pakaian seperti pada karnaval di Brazil yang masih berbau seksi, atau kostum penuh kreasi dan aneka warna ala JFC Jember. Mereka berdandan cantik dan all-out menghibur para turis yang berlalu lalang di Bangla Road. Meski dari face-nya terlihat jelas mereka adalah LadyBoy, tapi kamuflase make up yang lembut membuat mereka terlihat lebih Cantik dan Anggun. Bahkan dua teman cewek yang kebetulan travelling bareng bersama kami waktu itu, Dita dan Tika sampai sempat minder. “waduh, kayaknya kami kalah cantik dengan mereka deh mas…!!”, celetuk Dita sembari membetulkan sanggul rambutnya.

phuket-10

Sesekali kamipun mencoba foto bersama para LadyBoy itu, tentunya dengan menyertakan beberapa lembar Thai Baht sebagai ucapan terima kasih. Belum puas berfoto bersama, kami lantas mendokumentasikan aktivitas para pria “cantik” ini. Mereka dengan sabar dan penuh senyum, melayani para turis yang berpose foto bersama mereka. Wow, dalam hitungan kami, 5 menit saja mereka sudah mengantongi banyak lembaran THB hasil berfoto bersama, hebat…!!

phuket-6

phuket-5

phuket-4

phuket-2

Menguji Nyali di Lawang Sewu

Lawang Sewu
Lawang Sewu

Sejak sehari sebelumnya, saya sudah terkagum-kagum dengan sosok bangunan di ujung Bundaran jalan Pemuda Semarang itu. Terletak di sudut jalan, dua tower kembarnya menjadi aksen gedung kuno berlantai dua yang dibangun tahun 1904 pada masa pemerintahan Belanda. Itulah bangunan Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappijj, eks Gedung Kantor pusat perkeretaapian jaman dulu. Yang mana saat ini lebih dikenal dengan Gedung Lawang Sewu.

Kebetulan pada sore hari itu, seusai menikmati kuliner bandeng khas Semarang sebagai menu makan siang. Saya coba menyempatkan diri mengunjungi salah satu bangunan bersejarah yang menjadi ikon kota Semarang. Hmm… saya sudah menduga, pasti anda berpikir saya hendak memacu adrenalin ala peserta uji nyali di televisi itu kan..??. Hahaha, sedikit ada benarnya juga, sesekali kegiatan jejalan bertema mistis tentu tak kalah seru bukan..??

Continue reading “Menguji Nyali di Lawang Sewu”

Jejalan Aceh

Mengawali postingan di tahun baru 2013. Maka jejalan menampilkan catatan visual untuk perjalanan akhir tahun 2012 yang menyenangkan, bertemu banyak kawan baru serta destinasi-detinasi yang menawan. Dan tentu saja kopi istimewa yang selalu tersedia menambah semangat untuk menjelajah Propinsi paling barat di Indonesia ini.

Diawali menghabiskan hari di pantai Lampuuk, pantai yang luas memanjang, dengan pasir putihnya dan deburan ombak air laut yang  bersih dan jernih. Sebuah tempat dengan pemandangan matahari tenggelam yang memanjakan mata. Posisi pantai yang tepat menghadap ke barat, membuat matahari terlihat tenggelam sempurna di ujung cakrawala Samudra Hindia.

Perjalanan kemudian berlanjut random, mulai dari destinasi populer hingga menerobos daerah dengan kondisi jalan desa yang berlumpur akibat genangan air sisa hujan. Jangan ditanya, tentu saja konturnya menjadi sangat tidak beraturan. Hal ini diperparah oleh hujan yang sesekali masih datang menyapa dan memaksa kami untuk berteduh. Untung saja saya berada di Ibukota-nya kopi Indonesia (bahkan mungkin dunia). Sehingga setiap kali kami berhenti entah karena lelah, lapar atau hujan, maka akan selalu ada warung kopi kopi Aceh yang bisa disinggahi.

Sempat pula saya menyebrang hingga ke Pulau Weh. Melalui pelabuhan Sabang saya sempat menuju tempat bernama Iboih, sebuah tempat yang sudah sangat tersohor di kalangan para pecinta laut. Waktu sehari yang tersedia rasanya tidak cukup untuk menjelajah Iboih. Butuh waktu yang lebih panjang untuk dapat menikmati terumbu karang dan keaneka ragaman biota laut yang menjadi andalan wisata bahari Iboih. Jangan datang sendirian, saya sarankan datang kesana bersama kawan, tempat yang menyenangkan untuk melakukan aktivitas berkelompok. Kecuali Anda memang berniat menyendiri disana.

Kuliner Aceh juga cukup menggelitik lidah.  Mie Aceh plus Udang menjadi santapan yang memanjakan indra pengecap saya. Kari kambing-pun demikian, dengan bumbu yang kuat, dan tekstur daging kambing yang khas, masakan ini ‘wajib’ dicoba bagi orang yang berkunjung ke Banda Aceh.

Untuk selebihnya silahkan melihat sendiri video dokumentasi perjalan saya diatas. Sebuah perjalanan singkat yang menyenangkan. Sebuah tempat yang akan membuat anda  ingin kembali kesana lagi.

Sengaja Dibuat Nyasar ke Biro Perjalanan – Phuket, Part 2

Banyak pilihan kendaraan yang anda temui di pintu keluar Phuket Airport. Rata-rata didominasi oleh kendaraan minibus dengan tujuan Phuket Town dan Patong. Cukup mengeluarkan uang senilai 150THB, anda akan menikmati perjalanan ala mobil Travel ber-AC selama satu jam menuju penginapan yang sudah anda pesan sebelumnya.

Penjemput di Bandara

Eits, jangan kaget jika ditengah perjalanan sebelum persimpangan yang memisahkan kota tujuan Phuket dan Patong, minibus akan berhenti sejenak di kantor biro-biro travel yang akan menawarkan paket perjalanan wisata kepada semua penumpang. Ya anda harap maklum jika kru Minibus tadi bekerjasama dengan biro Travel, mengajak mampir para penumpang untuk ditawari paket-paket tour. Kadang cara menawarkan mereka agak terasa pantang menyerah, bahkan bila anda menolakpun, mereka masih sempat-sempatnya juga mendata alamat hotel dan berapa lama anda stay disana.

Saya sendiripun juga sedikit risih tatkala diberondong beragam pertanyaan dan seribu rayuan tentang paket tour yang menarik. Jika bukan karena mbak petugasnya yang secantik Pan Pan Udomsilp aktris belia Thailand itu, mungkin saya sudah mengalihkan pandangan kearah brosur yang bertebaran dengan foto-foto alam yang menggoda mata. Ujungnya saya menolak segala segala tawaran paket tour itu. Karena tarifnya diluar standar yang saya dapatkan dari info di dunia maya. Dan minibus kamipun beranjak meninggalkan parkiran Biro Travel diiringi senyum manis sedikit kecewa mbak “Pan Pan Udomsilp” tadi.

Tepat menjelang senja, kota Patong segera menyapa. Gegap gempita aktivitas Minggu sore dengan jalanan yang dipenuhi lalu lalang manusia, membuat kami serasa memasuki suasana pesta. Warna-warni dan ragam bangunan dikiri kanan jalan, resto, pub, market, gallery, distro, dan kaki lima, memenuhi keriuhan pusat kota Patong. Apalagi tatkala mendekati Jungceylon Market, salah satu pusat perbelanjaan modern di kota Patong.

Tanpa terasa kami akhirnya sampai di penginapan Boonyathoon Mansion, sebuah penginapan ala apartemen yang letaknya dipuncak bukit agak jauh dari pantai dan Pusat kota. Meski sedikit menyesal karena memilih hotel dengan tarif diatas perkiraan Budget, namun cukup puas dengan segala kelengkapan serba wah yang ditawarkan kamar seharga 800THB per malam ini. Kamipun segera merebahkan tubuh yang lelah, beristirahat sejenak sembari memenuhi kepala dengan beragam planning jejalan yang akan kami mulai petang nanti.

Canai Mamak – Kuala Lumpur di Banda Aceh

Malam itu Adun sahabat baru saya di Banda Aceh berencana mengajak melihat pertandingan bola antara Persiraja Banda Aceh melawan kesebelasan dari negeri tetangga, Selangor FC – Malaysia. Oh okey, saya menyanggupi untuk menemaninya ke stadion. Karena jika di ingat-ingat lagi, terakhir adalah sewaktu SMA saya menonton dua kesebelasan beradu teknik menguasai bola secara langsung di stadion. Dan itu sudah lama sekali.

Dari desa Lampuuk di Aceh Besar kami berboncengan menuju Stadion di Kota Banda Aceh. Jarak yang harus kami tempuh kira-kira 17 kilometer untuk mencapai Stadion tersebut. Ditengah perjalanan menuju Stadion saya dikontak Ferzya, seorang teman yang sudah saya kenal terlebih dahulu sewaktu di Jogja. Dia menanyakan posisi kami dimana? Saya-pun menjawab bahwa sedang dalam perjalanan menuju Stadion di Kota, dan dia-pun berpesan untuk menghubungi jika sudah berada di Kota.

Sejenak saya  dan Adun minggir di tepi jalan dan berdiskusi tentang rencana menonton bolanya. Karena saya di hari tersebut juga baru tiba di Banda Aceh melalui penerbangan langsung dari Jakarta, maka diputuskan Adun akan mengantar saya ke tempat Ferzya, dan dia sendiri akan melanjutkan menonton bola ke stadion. Adun tidak ingin melewatkan pertandingan saat itu, jarang-jarang dan dia juga sudah janjian bersama teman-teman yang lain untuk datang menyaksikan pertandingan tersebut.

Maka tidak lama kami sampai di tempat Ferzya. Terlihat tempatnya sepi, kami malah hanya bertemu Meutia (entah benar atau tidak saya menuliskan namanya), sepupu yang tinggal serumah sengan Ferzya. Dan rupanya orang yang ditunggu juga masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.  Sebenarnya saat itu saya merasa tidak enak juga dengan Adun, karena saya tahu tidak lama lagi kick-off pertandingan bola sudah dimulai. Tetapi dia tetap bersedia menemani hingga si empu-nya rumah datang. Sembari menunggu saya membaca beberapa brosur tentang wisata  di Aceh, sementara Adun dan Meutia terlihat bercanda, ah rupanya mereka cukup kenal akrab.

Tak lama orang yang ditunggu akhirnya datang. Adun bergegas ke stadion, dan saya menunggu tuan rumah bersiap mengantarkan saya menikmati kota Banda Aceh malam itu, dan tentunya berwisata kuliner di tempat yang mereka rekomendasikan.

Singkat cerita kami sudah sampai di kedai Canai Mamak, Jalan Teuku Umar No. 51 Setui, Banda Aceh. Oh oke… ini memang bukan kuliner khas Aceh, karena setahu saya canai adalah makanan khas negeri jiran. Dari cerita yang beredar ternyata pemilik kedai dulu konon pernah berkerja di Malaysia,  sebelum akhirnya membuka kedai di Banda Aceh dengan mengadopsi makanan khas dari sana.

Saya-pun memesan canai isi srikaya, Meutia canai kering atau apa saya lupa nama menunya, sedang si Ferzya lebih memilih menu lain, selain berbagai macam varian roti canai yang menjadi andalan di kedai tersebut.

Canai Mamak selai Srikaya

Canai Kering

Makanan-pun akhirnya tersaji di meja, yang datang pertama kali adalah pesanan saya, disusul pesanan Meuti dan kemudian punya Ferzya. Pesanan saya datang lebih cepat karena ‘sepertinya’ makanan tipe ini lebih mudah dibuat stock terlebih dahulu, Sebelum di hidangkan per-porsi kepada pembeli. Untuk pesanan punya Meutia harus sedikit diracik sebentar sebelum siap diantarkan. Sedangkan Punya Ferzya memang harus menunggu cukup lama karena harus dimasak terlebih dahulu dari bahan-bahan mentah.

Dari segi rasa saya suka dengan canai isi srikaya ini, enak. Selai srikaya yang ada di dalamnya saya suka, teksturnya halus dengan rasa yang khas. Rotinya cukup empuk untuk dipotong dengan sendok sebelum akhirnya di kunyah dalam mulut. Manis dan baunya juga harum, cukup menggugah selera.

Tetapi entahlah saya rasa satu porsi roti canai (5 potong roti canai ukuran sedang) ini menurut saya terlalu banyak, untuk ukuran perut saya. Rasanya yang manis akan terasa semakin manis di dalam mulut jika kita mencoba mengunyahnya cukup lama. Sebuah fenomena yang lazim dari makanan berbahan utama karbohidrat ketika bertemu dengan enzim yang terdapat di air liur. Siapa sih yang tidak mencoba menikmati makanan enak dengan mengunyahnya perlahan. Terlebih lagi waktu itu kami menikmatinya sambil mengobrol santai. Efeknya adalah ketika potongan ke-3 roti ini sudah masuk dalam perut, rasa kenyang sudah menghampiri saya. Sudah tidak sanggup rasanya menghabiskan dua potong tersisa.

Disaat rasa kenyang sudah cukup, eh ternyata saya diminta juga merasakan canai yang dipesan oleh Meutia. Sekilas terlihat seperti potongan kulit roti yang ditaburi Gula. canai tersebut memang disajikan dengan taburan gula pasir, saya mencoba mencicipinya sedikit. Cukup renyah dan enak rasanya, tetapi rasa kenyang membuat saya berhenti pada potongan pertama saja.

Setelah dirasa cukup kami melanjutkan berkeliling kota. Bak tour guide handal Ferzya dan Mutia menjelaskan beberapa sudut kota yang dianggap menarik hehe. Hingga pada saatnya kami bergegas kembali ke rumah. Apalagi si Adun sepertinya juga sudah selesai menonton bola di Stadion dan kembali menjemput saya untuk mengantarkan beristirahat di penginapan.

Dengan perut kenyang saya cepat terlelap begitu tiba di penginapan. Menjelang pukul 3 pagi saya terbangun karena alarm, waktunya untuk memulai aktivitas memotet malam. Sayangnya awan mendung dan ahh lagi-lagi perut yang kekenyangan yang tidak bisa membuat saya bertahan lama di luar kamar. Tetapi untungnya makan malam waktu itu bukan hanya perut saja yang terasa kenyang, sehingga tidur saya lebih terlelap lagi seusai bereksperimen ala kadarnya dengan foto-foto malam. hehe.

View malam Lampuuk dari Joel's bungalow

Ayo Berlayar Bersama Candola

Hari minggu itu (16 desember 2012), kami dari Jejalan berencana mencoba tawaran berlayar gratis dari AyoBerlayar, sebuah akun resmi program berlayar milik PB Porlasi. Dengan menaiki Candola, sebuah nama kapal layar kecil bertiang tunggal, kami mengarungi teluk Jakarta untuk sampai ke pulau Onrust. Untuk cerita lengkap berikut banyak pengetahuan baru seputar dunia berlayar yang kami dapatkan saat itu, tunggu di free e-Magazine Jejalan volume 2 ya. Jika tidak ada halangan akan kami luncurkan pada pertengahan Januari. Sementara itu silakan menikmati video pendek berlayar hasil dokumentasi kami diatas.