Sejak sehari sebelumnya, saya sudah terkagum-kagum dengan sosok bangunan di ujung Bundaran jalan Pemuda Semarang itu. Terletak di sudut jalan, dua tower kembarnya menjadi aksen gedung kuno berlantai dua yang dibangun tahun 1904 pada masa pemerintahan Belanda. Itulah bangunan Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappijj, eks Gedung Kantor pusat perkeretaapian jaman dulu. Yang mana saat ini lebih dikenal dengan Gedung Lawang Sewu.
Kebetulan pada sore hari itu, seusai menikmati kuliner bandeng khas Semarang sebagai menu makan siang. Saya coba menyempatkan diri mengunjungi salah satu bangunan bersejarah yang menjadi ikon kota Semarang. Hmm… saya sudah menduga, pasti anda berpikir saya hendak memacu adrenalin ala peserta uji nyali di televisi itu kan..??. Hahaha, sedikit ada benarnya juga, sesekali kegiatan jejalan bertema mistis tentu tak kalah seru bukan..??
Matahari tidak terlalu menyengat kala saya memasuki halaman depan Bangunan Cagar Budaya ini. Dengan sosok monumen lokomotif kuno yang terpajang didepannya, pengunjung setidaknya bisa tersadar. Bahwa sejatinya Lawang Sewu adalah gedung yang erat kaitannya dengan sejarah perkeretaapian di Indonesia, bukan dikenal sebagai bangunan kuno berbau horror seperti yang populer di media televisi.
Dengan membeli tiket di sudut ruang lobby depan, saya diantar berkeliling oleh guide bersama rombongan yang terdiri atas 7-8 orang. Rasa kagum seketika muncul dibenak saya tatkala menyusuri lorong demi lorong, selasar dan masing-masing ruang bangunan yang dalam masa renovasi ini. Detail dan ornamen demikian kental menyiratkan Arsitektur gaya Art Deco, gaya hias bangunan yang populer pada era Perang Dunia I. Kaca-kaca lebar dengan dekorasi dan permainan warna, serta pola detail pada lantai dan border yang memenuhi langit-langit ruangan. Benar-benar menyiratkan keanggunan dan semangat modern pada eranya.
Keterkaguman saya pada arsitektural bangunan membuat saya nyaris tidak peduli dengan cerita dari mas-mas yang memandu rombongan kami. Hanya sedikit yang saya tangkap, nama Lawang Sewu adalah julukan warga sekitar, karena menganggap banyaknya jumlah jendela besar dan lebar pada bangunan sebagai pintu. Lantas disebutlah sebagai lawang Sewu atau Seribu Pintu, padahal mungkin jumlahnya tidak sampai sebanyak itu.
Puas berkeliling di dua lantai Gedung Lawang Sewu, kami beristirahat sejenak di area halaman belakang bangunan. Saat itulah pemandu kami mulai membuka cerita mistis tempat ini dan tentu saja, kisah “penampakan” yang populer di salah satu stasiun tivi swasta itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, dan dia menantang siapa saja diantara rombongan yang berani, menyusuri lorong gelap bawah tanah tempat peserta uji nyali pada waktu itu.
Hahaha, sepertinya kali ini saya satu rombongan dengan orang-orang yang penuh nyali. Tidak ada yang menolak, semua bersemangat turun ke lorong bawah tanah yang dulunya sempat menjadi penjara para pejuang pada masa penjajahan Jepang. Dengan membayar biaya sewa sepatu boot, kami berbasah ria masuk kebawah lorong yang konon selalu digenangi air hingga diatas mata kaki ini.
Gelap, pengap, dan bau lumut yang tidak nyaman segara menyergap saya dan teman-teman satu rombongan. Rasanya seperti masuk kedalam gorong-gorong yang panjang dan tak berujung, didepan sana lampu senter kami hanya menyorot tikungan-tikungan gelap yang dindingnya dihias cahaya samar dari pantulan sinar lampu senter kami diatas air. Suara kami menggema lirih didalam lorong, hanya terdengar suara gemericik air yang tersaruk oleh sepatu boot kami. Tentunya tersaruk dengan langkah perlahan, karena takut menimbulkan berisik yang bisa membangunkan para penghuni lorong. (mulai berkhayal ini).
Walau sudah memegang penerangan senter, kami senantiasa melangkah perlahan melalui lorong demi lorong, mendengarkan dengan cermat dan seksama keterangan dari pemandu. Saya tidak peduli dengan cerita-cerita mistis darinya, yang ada dipikiran saya hanyalah betapa menderita mereka-mereka yang dulu ditawan disini. Setiap hari bercengkrama dengan kegelapan, dan kaki selalu basah oleh air, sangat menyiksa.
Tidak lama kami berada didalam lorong, karena tidak semua ruangan bisa dijangkau dan aman untuk disusuri. Hampir duapuluh menit kami memutar keliling ruangan bawah tanah itu dan muncul kembali ditempat awal kami masuk tadi. Fuhh… saya lega bisa menghirup udara segar kembali, hari sudah hampir gelap. Saya harus bergegas meninggalkan tempat ini, bukan karena takut hantu tentunya. Akan tetapi baru sadar, kalau malam ini ada janji ditraktir makan Mie Godhog Jowo dengan beberapa teman lama. Hahaha.
Comments
2 CommentsPenting, Panas, Perlu dan Seruu
Apr 27, 2013takut ah… lihat dari gambarnya saja sudah merinding.. 🙂
Cumi_MzToro
Aug 11, 2013Bolak balik ke semarang tp belum sempet ke lawang sewu, penasaran banget ama cerita mistis nya. Temen gw perna di liatin orang bule lewat di lorong bawah 🙂