Debu-debu yang berterbangan bercampur asap knalpot kendaraan adalah pemandangan yang jamak terlihat disepanjang jalanan, siang itu udara kota Phnom Penh memang terasa panas. Namun entah mengapa bagi saya yang ada didalam ruangan 4×8 meter ini segalanya terasa berbeda. Lembab dan begitu dingin. Jujur saja bulu tengkuk sayapun sedikit meremang. Ini memang bukan acara uji nyali, semacam reality show atau sejenisnya. Tapi beginilah rasanya berada didalam ruang demi ruang Tuol Sleng Genocide Museum – Phnom Penh, bekas penjara interogasi dan pusat penyiksaan tawanan selama Khmer merah berkuasa. Tuol Sleng, awalnya merupakan kompleks sekolah yang lantas berubah menjadi kamp konsentrasi bagi para musuh rezim Pol Pot, juga dikenal dengan nama yang tak kalah seram, Penjara S-21.
Dengan membayar biaya masuk senilai 3USD, saya memberanikan diri menyusuri satu demi satu bangunan berlantai tiga yang berjumlah empat gedung ini. Dibeberapa ruang, terdapat ranjang besi yang sudah berkarat, tepat disebelahnya terpampang foto mayat korban penyiksaan dalam kondisi telentang diatas ranjang dengan kaki dan tangan terikat rantai. Kiranya itu adalah foto pada saat korban ditemukan kala tentara pemerintah menyerbu dan menguasai kembali bangunan ini. Agak mual juga memandang tampilan foto yang tidak layak dilihat itu, pantas saja lantai tegel dibawah ranjang senantiasa penuh bercak merah kecoklatan. “Bekas-bekas darah para tawanan dimasa lalu”, demikian pikir saya mencoba menebak.
Ternyata tidak cuma satu ruang, hampir puluhan ruang lain di gedung tiga lantai itu juga mempunyai fungsi sama. Yaitu sebagai Ruang penyiksaan, tentunya penyiksaan sampai mati. Cukup ngeri juga membayangkan betapa parahnya keadaan Kamboja dimasa lalu, kala rezim yang berkuasa ingin menjadikan negara yang rakyatnya murni berdiri pada sektor agraris. Semua orang yang dianggap lawan politik langsung dimusnahkan. Bahkan juga orang-orang yang berpeluang menentang kebijakan penguasa, langsung ditangkap dan dibunuh. Mereka yang dianggap vokal, mereka yang dianggap berpendidikan, dan mereka yang punya potensi atau kemampuan untuk melawan kebijakan, menyusul menjadi sasaran tembak oleh rezim penguasa. Tak heran dalam kurun waktu 1975-1979, lebih dua juta rakyat Kamboja terbunuh selama Khmer Merah bercokol. Sebagian besar adalah lawan politik, pekerja profesional, teknisi, seniman dan sastrawan, serta orang-orang yang berpendidikan. Mereka ditangkap, diculik, lantas dibunuh, termasuk juga anggota keluarga merekapun ikut jadi sasaran.
Memasuki gedung kedua, kesemua ruangan dijejali oleh foto-foto para tawanan. Tua – muda, pria – wanita, termasuk anak-anak dan bayi. Mereka difoto close-up, lalu didata, setelahnya dijebloskan dalam kamp, kemungkinan besar juga dibunuh. Konon pada kurun waktu lima tahun, kamp ini pernah menampung total hampir 20.000 tawanan. Sudah bisa ditebak, kesemua itu dipastikan telah tewas, karena hanya ada tidak kurang dari tujuh orang yang berhasil selamat dari neraka Tuol Sleng.
Melihat foto demi foto wajah para tawanan, emosi saya terasa dipermainkan. Wajah-wajah itu memiliki beragam ekspresi, ada yang pasrah karena sudah tahu maut akan menjemput. Ada pula yang tersenyum karena baru pertama kali dipotret. Tenggorokan terasa tercekik kala melihat foto anak-anak dan balita, mereka masih kecil dan tidak berdosa. Wajah polos dan tatapan mata yang bening adalah ekspresi terakhir yang bisa kita saksikan sebelum mereka menemui ajal.
Seorang bule wanita disebelah saya terisak dengan berlinang air mata, “Mereka tentu seusia saya jika masih hidup”. Ujarnya setengah berbisik sembari memandang foto seorang ibu muda yang menggendong bayi mungil. Ibu muda itu diam dengan tatapan mata kosong, dia sepertinya paham jika akan segera dieksekusi oleh para algojo. Sayapun menggigit bibir meninggalkan ruangan tanpa berani mencoba menebak apa yang akan terjadi dengan si bayi mungil dalam gendongan.
Gedung ketiga juga tak kalah angker, saya memasuki bangunan dikelilingi oleh kawat berduri ini bersama sekelompok turis yang diantar seorang pemandu. Beberapa bule sepuh tampak mengambil nafas disela menenggak air mineral dari botol, seolah berharap menemukan jeda sejenak dari sebuah tour yang penuh kengerian dan menguras emosi. Gedung tipikal berlantai tiga ini ruang-ruangnya dipenuhi sel-sel kecil seukuran toilet bis malam. Demikian sempit, gelap, pengap, dan pastinya kotor. Entah berapa lama para tawanan itu tahan menjalani hidup didalam sel semacam ini. Namun saya memaklumi, karena sebagian besar tawanan tidak tinggal dalam sel dengan jangka waktu lama. Karena jika tidak terbunuh selama penyiksaan, pastinya mereka juga dibawa untuk dieksekusi ke Killing Field. Sebuah ladang pembantaian ribuan warga Kamboja di pinggiran kota Phnom Penh.
Saya masih terus menguntit dibelakang rombongan turis bule itu, sambil menumpang penjelasan dari tour guide yang terus mengoceh penuh semangat. Sepertinya dia sudah terlalu sering menceritakan kisah kekejaman dan kekerasan selama Pol Pot berkuasa, wajah pria empatpuluh tahunan ini tampak dingin, tegar, kaku, tanpa ekspresi. Gamblang nian dia menceritakan beragam derita para korban, kebengisan algojo, serta proses penyiksaan hingga korban meregang nyawa. Dia sepertinya jauh lebih memahami seperti apa proses menuju kematian dibanding bagaimana menjalani sebuah kehidupan.
Di gedung terakhir saya lebih banyak terdiam, masing-masing ruangnya menyimpan banyak hal yang juga masih berbau horor, karena alat-alat penyiksaan tersimpan baik disana. Mulai dari bak kayu tempat membenamkan para tawanan, kursi dengan alat bor tengkorak kepala, juga aneka benda tajam dan benda tumpul untuk menyiksa tawanan. Semua barang berumur tua dan usang itu terlihat mengerikan, entah berapa banyak nyawa yang melayang dari alat-alat penyiksaan ini. Perjalanan horor masih berlanjut, di ujung ruangan saya menemui lemari-lemari kaca yang menyimpan tengkorak dan tulang belulang para korban pembantaian. Dipajang begitu saja didalam rak lemari kaca, atau juga diatas meja kaca dijalur lintasan para pengunjung. Sumpah bukan pemandangan yang menarik, saya lebih memilih membayangkan akuarium berisi ikan warna warni daripada akuarium berisi tengkorak yang tempurungnya pecah akibat dihantam benda tumpul.
Sore menjelang mengakhiri perjalanan wisata saya kali ini, entah saya masih menganggapnya sebagai sebuah aktivitas wisata atau tidak. Sembari menikmati buah semangka segar saya duduk termangu melamunkan pengalaman barusan. Mungkin suatu hal yang wajar mengeluarkan 3 USD untuk menonton tayangan film horor. Tapi ini jelas bukan film horor, melainkan sebuah sejarah nyata dari kejadian dimasa silam. Lagipula sejarah bukanlah tontonan seperti film, tetapi sebuah pelajaran untuk melangkah lebih baik pada periode berikutnya. Sebuah refleksi dari kesalahan generasi terdahulu yang jangan sampai terulang kembali. Jadi, sudah siapkah kita untuk mengemas kisah sejarah sebagai bagian dari nilai jual Pariwisata. Saya hanya bisa mengedipkan mata sebagai jawabannya.
Comments
1 CommentCumiMzToro
Jul 2, 2013Terkesima ama foto deretan pintu2 penjara trus ada co yg lagi ngintip …… hmmmm ngintip apaan yaa itu #ngacooo