“Selamat pagi Phnom Penh…!! Selamat datang di Choueng Ek killing Fields…!! Saya bersumpah, ini bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi” demikian sambut Mr. Map, driver tuk-tuk (becak motor) yang kami sewa pagi hari itu. Setelah 30 menit perjalanan dari pusat kota Phnom Penh yang penuh debu dan asap kendaraan, sampailah kami didepan pintu gerbang ladang pembantaian yang konon sudah mengubur hampir 9000 korban itu. Pantas saja Mr. Map sampai berkata bahwa ini bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi, dan saya cuma mengiyakan tatkala ia memilih menunggu di area parkiran yang agak jauh sembari memesan minuman dingin.
Memasuki gerbang, saya membayar tiket masuk senilai 5 USD. Termasuk selembar brosur rute dan panduan memasuki killing fields, serta mini audio personal lengkap dengan headset yang berisi tentang beragam kisah mengenai tempat ini. Agak berbeda dengan Mr. Map yang tetap tersenyum ramah tadi, petugas di loket masuk terkesan garang dengan seragam dan sikapnya yang sedikit mengintimidasi. “dilarang merokok, dilarang bicara dengan suara keras, pakailah pakaian yang sopan, ini adalah tempat yang penuh kedukaan” demikian dia bicara kepada kami dengan bahasa Inggris yang kaku dan terkesan lucu.
Saya memulai perjalanan menyusuri tempat itu sambil menempelkan headphone serta memutar rekaman. Alhasil saya baru tahu, bahwa tempat ini dahulunya adalah sebuah kompleks pemakaman Cina. Sayangnya tidak ada opsi bahasa Indonesia dalam rekaman ini, sehingga format bahasa Inggris adalah pilihan yang paling mudah dipahami. (kalau anda mau, ada pilihan bahasa Rusia dan Prancis. Hahaha)
Namun dasar saya termasuk bandel, bukannya tetap memasang headphone diposisinya. Alih-alih justru melepas piranti suara itu dan mematikan rekaman MP3 yang berkisah tentang tempat ini. Barulah saya benar-benar merasakan suasana sesungguhnya disini. Semua turis tetap sibuk dengan suara rekaman yang memenuhi indera pendengarannya, tapi saya justru sumringah menikmati suara angin, gemerisik daun dan heningnya lalu lalang para turis yang seolah membisu. Yaaa… sejatinya tempat ini sungguh asri. Hijau tanaman dan rindangnya pepohonan teduh, diseling kicau burung menyambut pagi. Terbayang tempat yang menyenangkan dan penuh nuansa kedamaian.
Sembari memejamkan mata, mendongakkan kepala, menghirup dalam-dalam udara segar pagi di bekas kompleks pemakaman ini, mendadak suasana damai di benak pun berubah. Kaki saya tersaruk sesuatu, terlihat seperti potongan tulang manusia bercampur dengan sobekan kain yang berserakan. Dibiarkan saja disana, didekat jalur lintasan jalan setapak, teronggok dan hanya ditandai dengan papan kecil yang telah kusam.
“Perhatikan langkahmu, Kau sedang berjalan diatas hamparan kuburan massal”, kiranya demikian bunyi papan kayu yang tulisannya sudah memburam itu. Saya menelan ludah, menoleh ke segala arah karena keasyikan dalam menikmati suasana tadi berimbas pada kekurang waspadaan terhadap sekitar. Dan jauh dibelakang sana, partner jejalan saya berseru tanpa suara, sekedar memberi kode dengan jarinya agar memasang kembali headphone di kepala.
“Dasar tolol…!!”, saya memaki diri sendiri. Ternyata dalam rekaman itu terdapat peringatan dan petunjuk arah kemana kita harus melangkah. Agar supaya tidak “masuk” kedalam area ladang pembantaian, serta mengikuti runtutan alur cerita tanpa terlewatkan. Sambil mendengarkan audio yang kini terpasang rapi di telinga, saya berjalan dalam diam. Mencoba merenung dan memahami peristiwa yang terjadi lebih dari tiga dekade silam.
Jalan setapak masih belum sepenuhnya aman. Potongan tulang yang sudah pecah, mengering, bahkan berlumut tampak bercampur dengan pasir dan tersamar dedaunan. Sementara dibeberapa tempat, sisa-sisa potongan tulang yang bisa dibersihkan namun tanpa mampu diidentifikasi, disimpan dalam kotak kaca. Sekali lagi, benar apa kata Mr. Map tadi, “bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi”.
Pada salah satu titik berupa bekas lubang berpagar bambu beratap rumbia. Saya berhenti sejenak, disini adalah salah satu lokasi kuburan dengan jumlah korban terbanyak. 450 jenasah ditemukan disini pada saat penggalian, sebagian besar tidak dapat diidentifikasi. Beberapa meter tak jauh dari tempat ini, bangunan yang kurang lebih sama juga menyimpan 166 korban yang kesemuanya ditemukan tanpa kepala. Beberapa tangkai bunga dan pita pemberian para pengunjung masih terhampar rapi disekeliling pagar bambunya. Para turis juga terdiam tanpa peduli saya berjalan disela mereka yang diam mematung mendengarkan rekaman audio. Mereka tidak ingin sekalipun terganggu konsentrasinya agar tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini.
Kala Khmer Merah berkuasa, Choueng Ek adalah salah satu tempat eksekusi para tawanan yang dianggap lawan dari rezim penguasa. Mereka yang sebelumnya diculik, ditawan, dan ditangkap dibeberapa tempat, dipindahkan kemari dengan diangkut truk pada malam hari. Sesampainya disini, mereka dibantai tanpa belas kasihan. Tua, muda, pria, wanita, bahkan anak-anak dan bayi tanpa kecuali. Puluhan lubang kuburan massal dapat kita temui dengan mudah, terkadang mereka tidak sekedar dikubur, adakalanya ditumpuk didalam satu lubang begitu saja.
Salah satu isi rekaman audio yang bikin saya merinding adalah pengakuan beberapa orang algojo. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, nyawa manusia lebih murah dibanding sebutir peluru. Tidak semua korban di eksekusi dengan cara yang wajar, dihantam balok kayu dan dipenggal adalah cara paling murah dan efektif kala itu. Karena perlu anda ketahui sekali lagi, peluru adalah barang mahal.
Dengan bahasa asli mereka bersaksi dalam rekaman, diiring suara translator yang menggunakan bahasa Inggris. Saya mendengarkan dengan cermat, setengah tidak percaya dengan kesaksian betapa dinginnya mereka mengeksekusi, kiranya agak tidak layak jika diceritakan dalam tulisan kali ini. Ditengah kesaksian itu, saya coba mengecilkan volume audio, dua wanita bule disebelah juga sedang mendengarkan kisah yang sama. Dan sudah bisa ditebak, headphone dia lepas, terdengar suaranya mulai terisak. Teman disebelahnya ikut menggigit bibir menahan emosi, jari-jari mereka bergerak mengganti audio ke setelan selanjutnya, tidak kuasa mendengar salah satu bagian dari kisah yang teramat memilukan itu.
Langkah saya terhenti dihadapan sebuah pohon besar yang cukup menyita perhatian, dimana dulu menjadi tempat pembantaian bayi dan anak-anak. Sempat terpikir jikalau batang-batang pohon kekar itu adalah tempat menggantung anak-anak tak berdosa. Namun anggapan saya salah besar, pohon tua berjuluk “Killing Tree” itu adalah saksi bisu tatkala tubuh-tubuh mungil tak berdaya dilempar dan dihantamkan ke pokok batangnya yang kokoh. Yaa, dihempaskan begitu saja ke batangnya. Jauh lebih mengerikan dari apa yang saya perkirakan sebelumnya.
Kami para pengunjung, berhenti sejenak disekeliling pohon tua yang sampai saat ini berdiri dengan tegarnya. Beberapa turis bule menggantungkan pita duka cita disana, hening suasana sesaaat. Hanya mereka yang kuat hati saja mampu bertahan dan berdiri lebih lama disini, sebagian turis wanita lebih memilih meninggalkan lokasi dengan berlinang airmata. Merasa tidak nyaman untuk melanjutkan pengalaman “tour” kejam ini lebih jauh, sayapun mengalah mengikuti para pengunjung menuju titik terakhir didekat pintu keluar, yang menjadi ikon Choueng Ek killing Fields.
Sebuah bangunan ramping menjulang dengan atap khas arsitektur Khmer, dikelilingi pagar rendah sekaligus sebagai media tanam bunga. Beberapa pengunjung termenung seperti sedang memanjatkan doa, lantas menyalakan batang-batang hio dan menancapkannya ditempat yang tersedia. Diantara bau asap dupa hio, saya melepas alas kaki menaiki beberapa anak tangga menuju kedalam monumen itu.
Sejatinya, bagian dalam monumen ini tersusun atas tujuh belas tingkat rak, dan perlu diketahui ketujuhbelas tingkat itu tersusun dari ribuan tengkorak korban pembantaian. Dengan kata lain, ini adalah monumen yang disusun dari tengkorak dan tulang manusia. Agak mengerikan memang, namun ini benar-benar nyata, pengunjung diperbolehkan masuk dan melihat isi monumen dari dekat. Tentunya dengan perasaan respek serta hormat kepada para korban, dan syarat lainnya adalah, hanya bagi mereka yang cukup bernyali.
Benar-benar bukan hal yang mengasyikkan berada dalam ruangan sempit yang berisi ribuan tengkorak manusia, orang normal seperti saya tentu enggan berlama-lama disana. Sembari menyempatkan menengok museum kecil yang menyimpan alat-alat pembunuhan dan memutar video dokumenter, saya ingin lekas-lekas mengakhiri kunjungan ditempat ini.
Headphone saya lepas, brosur panduan masuk kedalam kantong jaket. Dengan masih penuh rasa penasaran dan tanda tanya besar akan beragam hal, saya berlalu menuju pintu keluar yang menjadi satu dengan pintu masuk. Jelas terlihat wajah-wajah suram dan suara tangis tersedu dari mereka yang berbarengan dengan saya menuju pintu keluar. Sementara muka-muka cerah dan ekspresi sumringah justru terlihat dari para turis yang hendak masuk dan berpapasan dengan kami di pintu tadi.
Yaa… pemandangan yang sangat kontras antara mereka yang baru masuk dan kita yang hendak keluar. Tapi dalam hati saya berpikir, diawal saya datang kemari tanpa tahu apa-apa, begitu keluar saya mendapatkan pelajaran yang tak kalah penting, yakni sebuah nilai tentang Kemanusiaan.
Agak sulit memahami apa yang terjadi di Kamboja pada masa itu. namun tragedi kemanusiaan ini hanyalah tinggal kisah sejarah yang takkan berulang. Dan bagi kami yang berkunjung kesana… hal ini adalah pelajaran teramat penting agar supaya tidak terjadi kembali di masa depan.