Sebenarnya “a trip to Siem Reap” ini diniatkan untuk dijadikan ebook, tetapi apa daya terlalu banyak gangguan yang menyebabkan ebook tertunda terus, sampai pada akhirnya kami sepakat untuk dijadikan postingan biasa saja. Berhubung sudah terlanjur menulis cukup panjang, kami juga berniat untuk memecahnya menjadi beberapa bagian terpisah. Tujuannya jelas biar lebih terfokus per-bagian waktu perjalanan yang kami lakukan.
Masa Lalu Yang Melegenda, Nyaris Tergerus Perang Saudara
“Ngapain ke Kamboja…? Memangnya ada apa disana…?”, dan banyak lagi pertanyaan lain yang saya temui dari para sahabat tatkala baru saja mengunjungi Kamboja di awal tahun 2011. Memang wajar pertanyaan seperti demikian. Karena dalam mindset mereka, Kamboja adalah sebuah Negara kecil di Asia Tenggara, dan baru saja bangkit setelah perang saudara berkepanjangan beberapa dekade silam dengan korban jiwa jutaan manusia.
Akan tetapi dibalik kelamnya sejarah Negara Kerajaan dengan lambang siluet Angkor Temple itu, banyak ditemui berbagai hal unik dan menarik untuk dikisahkan. Cerita tentang keberadaan situs-situs purbakala kelas dunia di kawasan Angkor Thom. Begitu melegendanya Angkor Wat hingga dijadikan situs Cagar Budaya oleh UNESCO. Lihat saja perpaduan antara alam dan candi di Ta Prohm temple yang menjadi setting film Tomb Raider. Tentang sepenggal kisah susahnya “mendaki” kecuraman Ta Keo Temple, dan berbagai cerita tentang situs-situs Purbakala lain disana.
Hampir empat hari tim jejalan mengeksplorasi keunikan Kamboja dengan menyambangi kota Siem Reap. Menyempatkan diri menjelajah Danau Tone le sap dengan berbagai ulasan yang menarik. Menyambangi pasar tradisional dan pasar seni di Kota itu, tak lupa pula menjajal kuliner tradisional ala Khmer. Dan jangan lewatkan pula keramaian warga yang menjejali kuil diseluruh penjuru kota, pada setiap malam menjelang terang bulan.
Landing di Seam Reap International Airport
(08.30 Waktu Kamboja)
Pertama terlihat dari jendela pesawat sebelum landing, saya sempat pesimis. Pemandangan hanya didominasi hamparan sawah ladang, pohon-pohon kelapa, serta jalan raya yang masih berupa tanah berwarna kuning kecoklatan. Sepertinya saya sulit menemukan peradaban disekitar sini. Namun saya tetap senang, karena ada harapan akan banyak terjadi kejutan-kejutan yang diluar dugaan kami pada petualangan kali ini.
Begitu menjejakkan kaki setelah turun dari pesawat. Saya tidak menyangka jika Airport Siem Reap ternyata lebih megah dari yang saya duga. Atap-atap genteng lancip menjulang, khas arsitektural Khmer. Dipadu dengan tampilan kombinasi dinding batu alam dan dinding kaca. Benar-benar gaya tradisional lokal yang bernuansa modern.
Interiornya lebih heboh lagi, di area pemeriksaan paspor, serasa berada dalam lobby sebuah resort kelas wahid di Bali. Tidak terlalu luas memang, namun Lantai Granit dengan detail sambungan bergerigi terpasang demikian presisi, kolom yang difinish batu alam dengan patung-patung gajah berbahan marmer, serta gemericik air kolam memberi kesejukan didalam ruangan.
Lamunan saya tersentak ketika petugas imigrasi bandara yang seragamnya mirip pakaian pada upacara militer itu menyuruh kami kembali ke pintu lobby. Usut punya usut dan sedikit perdebatan yang penuh subyektivitas, ternyata kami wajib membeli visa masuk senilai 21 USD tanpa kecuali, termasuk sesama Negara Asean.
Benar-benar diluar dugaan, kami tidak menyangka diawal kedatangan, harus mengeluarkan biaya tak terduga semacam ini. Bahkan teman seperjalanan saya, Jeri. Sampai harus dua kali menunjukkan paspornya, berusaha meyakinkan bahwa kami turis dari Indonesia. Sesama Negara Asean. Namun mereka tak bergeming, semua turis diperlakukan sama. Akhirnya, dengan langkah gontai sembari menikmati kemegahan interior bandara, kami keluar menuju area transport lobby.
Seam Reap International Airport terletak kurang lebih 7km dari pusat kota. Berada cukup terpencil di daerah yang masih sepi, ada berbagai pilihan kendaraan yang disewakan untuk menuju pusat kota. Rental Car, Taksi, bahkan ojek motor resmi bandara yang drivernya berseragam rapi, siap mengantar kemana saja. Dengan variasi tarif yang saya rasa sedikit mahal, kami memilih membayar 7 USD untuk Taksi menuju pusat kota.
Menggunakan motor sebenarnya sedikit lebih murah (2 USD), namun karena kami ada dua orang, dan sama-sama diliputi kecemasan terpisah atau sengaja dipisahkan selama dalam perjalanan (su’udzon banget sama sopir ojeknya yaa…), kami memilih diantar taksi menuju pusat kota Seam Reap.
Notes : Sediakan pas photo berwarna berbagai ukuran. Karena dengan membawa pas photo terbaru, anda dibebaskan membayar photo Visa seharga 1 USD (mungkin saat ini turis dari Indonesia sudah dibebaskan dari membayar Visa on arrival).
Tentukan alamat tujuan yang jelas, dan jelaskan jadwal anda selama berwisata telah fix. sehingga para pengemudi taksi/ojek Bandara tidak terlalu mendikte anda tentang paket-paket perjalanan yang pada akhirnya bisa menguras waktu dan kantong anda.
Hunting Penginapan di Sivatha Street
(09.30 Waktu Kamboja)
Salah satu jalan arteri sekunder di pusat kota Seam Reap, disini kami bisa menemukan berbagai macam hotel dan guest house. Mulai dari hotel berbintang, mini motel, bahkan juga guest house yang menawarkan fasilitas lumayan komplit, tapi tarifnya tidak menguras kantong.
Driver taksi kami Mr. Pech tak pernah berhenti mengajak bicara selama 10 menit perjalanan santai dari bandara. Bahasa inggrisnya lumayan bagus dibandingkan dengan (maaf) penampilannya. Walau diberi seragam taksi bandara yang bergaya modern, pria 36 tahun ini masih tampak seperti orang-orang dalam foto dimasa muda bapak saya. Style 70-an khas, dengan rambut ikalnya disisir rapi kebelakang.
Atas saran Mr. Pech lah, kami menginap di “No Problem Hotel”. Hotel lima lantai yang termasuk bagus dibanding dengan hotel-hotel kecil disekitarnya. Kami sedikit penasaran, kira-kira berapa puluh USD tarif menginap per-malamnya. Walau ragu, kami merasa tidak ada salahnya untuk bertanya.
Karena saat itu bertepatan setelah hari Valentine, kamar-kamar standard dan deluxe sudah ter-booking. Hanya tersisa dua kamar superior double bed yang berada dilantai satu. Kami khawatir tidak menemukan kamar lagi di hotel lain (maklum musim liburan) akhirnya kamipun bertanya tarifnya.
“what… 17 USD /room/ night…?” saya kaget karena tarifnya ternyata dibawah perkiraan saya.
“it’s a problem for you…? OK… for Indonesian tourist… I give you only 15 USD” jawabnya khawatir melihat kekagetan saya.
Lho… kok malah lebih murah, mungkin dia pikir kami kaget karena kemahalan, hahaha… ya tanpa pikir panjang lagi, kami berdua langsung sepakat check in untuk satu malam. Dan siang hari yang panas dan melelahkan itu, kami habiskan untuk istirahat dalam kamar berukuran kurang lebih 5×8 meter, mandi air hangat di bath-tub, lantas beristirahat sambil berguling-guling diatas personal bed berhias sulaman gambar gajah dan ukiran khas Kamboja.
Notes : Jangan segan untuk bertanya tarif penginapan, dan beranilah menawar, karena harga penginapan bisa turun jika kita menunjukkan sikap menolak dan mencari penginapan lain.
Jika harus mencari penginapan lain, di Sivatha Street ada beberapa guesthouse low budget yang memang menjadi favorit Backpacker.
Dua Macam Mata Uang di Kamboja
Selama beberapa hari di Negara ini, kami tidak terlalu kesulitan mencari money changer. Dengan bekal mata uang USD, kami bisa bertransaksi secara normal di Negara dengan mata uang nasional Riel ini.
Lho…? Kok…?
Kamboja mengenal dua jenis mata uang yang umum digunakan dalam berbagai transaksi. Riel kamboja, dan US Dollar. Sudah menjadi hal umum disana, jika USD “dianggap” sebagai Riel pecahan besar. Anda mungkin kaget jika membayar warnet atau membeli air mineral dengan pecahan USD, sementara kembaliannya berupa pecahan Riel. Bahkan sang penjual tidak menunjukkan kesulitan menghitung kurs yang berlaku pada hari itu. Karena sudah jamak dan seolah menjadi nilai baku, jika per 1 USD adalah senilai 4000 Riel Kamboja.
Notes :
Anda tidak perlu menukar mata uang Riel, karena semua transaksi bisa menggunakan USD.
Tukarlah mata uang USD didalam negri, karena menukarkan mata uang selain USD di SiemReap nilai tukarnya terpaut jauh.
Menikmati Berkendara bersama “Tuk-Tuk”
Jika banyak orang berkata, “jangan merasa sudah pernah ke Kamboja, jika belum mampir di Angkor Wat”. Sopir kami Mr. Pech justru berpendapat lebih, “jangan mengaku pernah ke Kamboja bila belum pernah menjajal naik Tuk-Tuk”.
Tuk-Tuk…?, nama yang unik, pada awalnya anda mungkin mengira itu adalah sejenis makanan kecil, atau sebuah alat musik tradisional. Ternyata Tuk-tuk adalah sebuah kendaraan khas di Kamboja (mungkin juga Thailand), mirip dokar atau andong, namun dengan ”kuda” berupa motor.
Selain sebagai sopir taksi bandara yang berdinas setiap hari Senin sampai Kamis, Mr. Pech juga seorang pengemudi Tuk-tuk di waktu luangnya. Dengan kemampuan komunikasi bahasa Inggris yang baik, dia lebih memilih penumpang-penumpang turis asing yang kerap berkunjung di SiemReap. Anda bisa menemui ratusan Tuk-tuk berseliweran diseluruh jalan kota SiemReap, karena memang transportasi ini seolah sudah menjadi trade-mark yang “wajib” dicoba oleh semua turis.
Tarifnya memang cukup mahal, untuk “menyewa” tuk-tuk sehari penuh, pagi sampai sore, anda bisa mengeluarkan biaya hingga 20 USD. Bahkan untuk sekedar mengantar menuju bandara sejauh 7 km saja, tarifnya bisa sampai 7 USD. Dan sekali lagi, semua tarif itu baku, anda mencoba menawar, tentu ditolak. Anda cari tuk-tuk lain, tetap akan menawarkan tarif yang sama. Sepertinya disana sudah ada Paguyuban Tuk-tuk yang menyepakati tarif dan harga baku kendaraan Tuk-tuk.
Usut punya usut, wajar sebenarnya jika tarif transportasi lumayan mahal. Saya pernah sekilas menyaksikan seorang pengemudi tuk-tuk membayar sekitar 8.000 Riel untuk dua liter bensin eceran. Selain harga BBM yang mahal, penyebab lain adalah tidak adanya angkutan massal jarak pendek di Kamboja. Bus hanya tersedia antar kota atau Distrik. Taksi dan Mobil rental tarifnya terlalu mahal. Dan ojek motor dianggap kurang memenuhi standar safety. Akhirnya pilihan jatuh pada kendaraan yang masih berbau “khas” atau lokal, yaitu Tuk-tuk.
Karena itu, persiapkan uang anda. Dan mari kita susuri jalanan kamboja dengan berkendara bersama Tuk-tuk. Dokar dengan kuda dari Cyborg (kata seorang teman).
Notes : Pastikan anda melakukan deal didepan sebelum naik, kendati tarifnya baku. Ada pula sopir nakal yang menarik tarif per-kepala. Padahal tarif resmi adalah biaya sewa per-kendaraan.
Tonle Sap Lake
(15.00 waktu Kamboja)
Kendati sudah pukul 3 sore, kondisi di SiemReap serasa pukul 2 siang waktu Indonesia. Maklum, walau jam-nya sama, perbedaan disini masih lambat 60 menit. Seperti rencana semula, Mr. Pech mengantar kami menggunakan tuk-tuk-nya menuju Danau Tonle Sap, sebuah danau air tawar yang “katanya” merupakan danau terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Sepanjang jalan Mr. Pech tak henti-hentinya berceloteh tentang kondisi Kamboja seusai perang saudara lebih dari tiga dekade silam. Bahkan dia dengan antusiasnya berkali-kali menghentikan kendaraan, sembari menunjukkan sawah ladang bekas kuburan massal alias killing field yang saat ini sudah tidak ditanami lagi. Hingga tak terasa sudah 30 menit kami berjalan, terlihat sebuah sudut sungai dengan pos-pos pemberhentian kapal yang sekaligus merupakan tempat pembelian tiket.
Dengan membayar biaya 20 USD per orang, kami menuruni tangga menuju kapal-kapal kayu kecil yang akan mengantar ke tengah danau. Dengan mesin diesel yang berisik, kapal-kapal sederhana itu setidaknya sanggup mengangkut 10 hingga 15 penumpang sekali jalan. Karena kebetulan rombongan kami hanya dua orang saja, maka satu kapal kecil itupun leluasa kami kuasai sendiri. Hehehe.
Driver kami bernama Mr. Tone Youn, pria berusia 50 tahunan yang dulunya adalah pekerja lepas dan pedagang. Dibantu oleh keponakannya sebagai translater bagi para turis, mereka berdua hampir setahun ini bekerja sebagai penarik kapal sewa.
“My name is Qi, and you…? Where are you from…?” Tanya keponakan Mr. Tone Youn dengan bahasa inggris yang dilafalkan dengan cukup baik.
Melihat kemampuan berbahasa serta sikap welcome pemuda berusia 18 tahun, kami pun langsung akrab dan saling memperkenalkan diri. “My name Surya, and his name is Jeri, we are Indonesian Travellers”, jawab saya dengan volume suara keras. Maklum, segala pembicaraan yang terjadi diatas kapal harus dilakukan dengan setengah berteriak. Karena suara bising mesin diesel di buritan sudah cukup membuat kami setengah menggerutu.
“Whooaa… Indonesian…? Apa.. khabar…?” tanyanya dengan logat melayu.
“Saya belajar bahasa Indonesia sikit saja, karena saya pernah satu tahun kerja di Maleysia”, lanjutnya.
Lantas dengan tertawa gembira dia kembali bertanya, “Are you muslim…?”
Kami mengangguk. Dan Qi tersenyum semakin lebar, “Yes, saya juga muslim, we live at Kompong Muslim (mungkin maksudnya kampung muslim kali yaa..), my sure name is Muzakki, but you can call me only, Qi…”
Akhirnya, perjalanan menuju danau terasa lebih gayeng lagi. Zaki bercerita banyak tentang Danau Tonle Sap sebagai danau air tawar terbesar di kawasan Asia Tenggara. Bagaimana setiap musim hujan yang turun di bulan April – Juli, danau ini menjadi pusat berkumpulnya air dari sungai-sungai besar di kota Siemreap. Selanjutnya menjadi tempat cadangan air bersih bagi warga kota.
Semenjak beberapa tahun lalu, dilakukan proyek pelebaran saluran air yang sejajar dengan jalan raya. Dan pada hulu saluran buatan tersebut, dibangun pelabuhan mini yang menjual tiket tadi, sekaligus untuk drop-loading penumpang kapal-kapal wisata yang akan menuju tengah danau.
Sepanjang lintasan menuju danau, kami melihat banyak aktivitas masyarakat lokal yang sedang menjala ikan, membetulkan keramba, maupun membangun rumah-rumah terapung. Hampir mirip dengan kegiatan di beberapa daerah pedalaman Indonesia yang dilintasi oleh sungai-sungai besar.
Setelah perjalanan yang berlangsung selama 15 menit, pemandangan tepi sungai yang didominasi oleh tanah berlumpur warna kuning, mulai berubah menjadi sedikit bening. Qi mulai membuka cerita tentang sedikit sejarah danau ini. Yang sekitar sembilan abad lalu, danau ini menjadi arena perang antara angkatan laut kerajaan Siam(Thailand) dan Khmer(Kamboja). Dan di kota SiemReap itulah, pasukan Siam dipukul mundur oleh kerajaan Khmer. Hingga akhirnya nama daerah itu ditandai dengan sebutan SeamReap (Kalahnya Pasukan Siam).
Tujuan utama wisata perahu ini adalah berkeliling di tepi danau dan menuju ke sebuah destinasi berupa Pasar Apung di tengah danau. Disana, semua kapal berlabuh dan penumpang dipersilahkan satu jam untuk berkunjung dan mengelilingi pasar terapung. Sekedar beristirahat, membeli camilan dan jajanan lokal, serta berbelanja kerajinan warga sekitar.
Notes : Waktu berkunjung paling pas adalah pagi dan sore, jika berkunjung siang. Jangan lupa mempersiapkan penutup kepala ataupun sunblock untuk membantu mengatasi sengatan panas matahari.
Adakalanya anda bertemu anak-anak kecil yang mengemis dan melakukan atraksi tari ular di pasar terapung. Jika terpaksa harus memberi, usahakan dengan mata uang kecil atau uang lokal. Karena pada akhirnya masing-masing mereka nanti akan menyetorkan pada koordinator pengemis yang membawahi mereka. Dan orang-orang yang mempekerjakan mereka lebih menyukai mata uang USD.
Pasar Terapung Danau Tonle Sap
(16.00 Waktu Kamboja)
Menurut keterangan petugas pariwisata, Pasar terapung ini terletak ditengah danau. Padahal, sebenarnya masih sedikit di pinggir. Buktinya, pada sisi Timur dan selatan masih nampak tepi daratan yang masih masuk wilayah SiemReap. Kalaupun benar, tentunya tidak cukup waktu perjalanan 30 menit dari tepi menuju tengah danau seluas 13.000 kilometer persegi itu.
Pasar terapung ini kondisinya tidak seindah yang kami bayangkan. Berupa ponton kayu berukuran 40×60 meter persegi, dengan tong-tong besar didasarnya sebagai alat apung. Area bawahnya digunakan sebagai pasar kerajinan tradisional, restoran apung, galeri dan pos informasi wisata, serta peternakan ikan dan buaya. Sementara sebagian area atasnya berguna sebagai dek untuk menara pandang. Sederhana memang, tapi sepertinya bakal istimewa jika digarap secara serius.
Setelah turun dari kapal, para turis digiring menuju peternakan buaya ditepi ponton apung. Luasnya sekitar 60 meter persegi, dengan dasar kandang buaya yang terendam air serupa karamba. Tidak banyak memang populasinya, hanya sekitar belasan buaya muda berukuran 2 – 3 meter. Sementara peternakan ikan juga tak jauh beda, berukuran lebih kecil, pegunjung diperbolehkan memberi makan ikan jenis Patin yang berukuran agak besar.
Selanjutnya, para pengunjung bergiliran naik ke dek lantai atas Pasar. Dengan tangga kayu yang curam, usaha terbayar dengan kepuasan melihat sekeliling danau dari atas. Tidak sedikit para turis memanfaatkan spot ini untuk mengambil foto-foto narsis. Padahal bagi kami, sore hari yang masih terik diatas danau tanpa penutup kepala bukanlah kompromi yang baik. Kami dan beberapa pengunjung yang berusia lanjut segera bergegas turun kembali ke area pasar dibawah.
Pasar Apung ini menjajakan banyak produk kerajinan lokal. Mulai anyaman tas, sandal, kain sutra tenun, patung dan miniatur candi, serta kaus dan aksesoris lain. Karena bukan tipe shopaholic, kami segera berpindah posisi ke galeri dan informasi wisata yang sepertinya sepi pengunjung. Dipandu oleh Zaki, kami mengobrol banyak tentang Siemreap, sekaligus mencari informasi lokasi Masjid untuk sholat Jum’at kami besok lusa.
Area gallery itu juga memasang banyak poster dan data tentang potensi danau Tonle Sap, umumnya membeberkan sumber daya peternakan ikannya yang terhitung sangat menghasilkan. Terutama ikan-ikan hasil pembibitan dalam keramba, yang sebagian besar jenisnya hampir sama dengan yang ada di Indonesia. Cukup menarik memang, sampai-sampai kami pun jauh lebih betah berlama-lama menghabiskan waktu didalam galeri sederhana itu, dibanding harus berburu barang belanjaan diluar.
Zaki, Pemuda Penuh Semangat dalam Keterbatasan
Pertama kali melihatnya, saya pribadi mengira dia adalah anak nelayan biasa. Penampilannya bersahaja dan apa adanya, mirip dengan anak muda petani yang beraktivitas di ladang-ladang pinggiran kota SiemReap. Namun ketika dia mulai memperkenalkan diri dengan ramah serta penggunaan bahasa inggris yang lancar, prediksi saya mulai berubah. Anak muda bernama Zaki itu ternyata lebih dari seorang tour guide kelas pemula. Dari caranya membawa diri dan memulai pembicaraan dengan wisatawan. Serta tutur bahasa ketika ia menceritakan tentang banyak hal mengenai Kamboja dan SiemReap pada khususnya. Terus terang saya merasa beruntung mengunjungi Tonle Sap, dipandu oleh seorang anak muda yang demikian istimewa.
Istimewa menurut saya. Karena sebenarnya pemuda ini memiliki cita-cita yang demikian tinggi. Menjadi seorang guide profesional, berkesempatan memakai seragam tour leader yang sangat diimpikannya. Meskipun sebenarnya dia punya keterbatasan. Zaki adalah seorang pemuda dari sebuah desa pinggir kota, dengan keterbatasan fisik pula. Dia tidak bisa berakifitas normal dengan tangan kirinya, karena mengalami cacat fisik yang saya tidak pernah mencoba tanyakan penyebabnya.
Diluar segala keterbatasan itu, dia memiliki semangat hidup yang luar biasa. Sembari bekerja sebagai guide kelas teri membantu ayahnya mengantar turis di Tonle Sap, Zaki tak pernah surut menyimpan harapan bahwa kelak dia bisa menjadi seorang guide profesional. Dia berkata, di SiemReap pekerjaan sebagai guide adalah impian banyak anak muda. Selain mendatangkan pendapatan yang cukup, profesi guide dianggap mampu mengangkat derajat pribadi dan keluarga. Apalagi SiemReap termasuk kota wisata dan budaya paling populer di Kamboja serta Asia. Mungkin seperti Yogyakarta kalau di Indonesia.
Banyak momen istimewa yang tidak akan pernah lupa dari ingatan kami berdua, bagaimana tatkala dia tahu bahwa kami dari Indonesia, raut wajahnya seketika sumringah. Mencoba lebih akrab dengan mengajak sedikit percakapan bahasa Melayu, lantas dengan bangga mengatakan bahwa dia adalah penggemar berat Letto, Nidji, Wali. Beberapa band asal Indonesia yang konon sangat populer dikalangan para muda Kamboja.
Mereka seringkali mengetahui perkembangan musik di Asia melalui media Internet. Dan lagu-lagu band asal Indonesia mendapatkan tempat dihati mereka. Bahkan pada suatu kesempatan, tanpa canggung dia mengajak saya menyanyikan sebuah lagu dari Letto berjudul Ruang Rindu. Karena saya tidak begitu mengenal lagu populer saat ini, jadilah saya yang tidak begitu hapal syairnya. Terbata-bata mengikuti nyanyian Zaki yang dengan fasihnya melantunkan lirik berbahasa Indonesia diatas kapal kayu sederhana, melaju memecah riak gelombang diatas Danau Tonle sap. Kapan lagi ada momen istimewa seperti ini, bersama-sama menyanyikan lagu band Indonesia bersama seorang anak muda Kamboja.
Di akhir perjalanan, Zaki banyak bertanya tentang Indonesia. Saya pun dengan senang hati bercerita banyak hal. Apalagi saat dia mengungkapkan bahwa ada kesamaan sejarah dan kesamaan budaya antar dua negara pada masa lampau (mungkin jaman Majapahit kali ya…?). Pula dia bercerita, selain pengungsi dari Vietnam, ada pula salah satu leluhur kakek buyutnya adalah seorang pendatang dari tanah Jawa, dan tanpa bisa menyembunyikan ketertarikannya sambil berkata, “Saya ingin berkunjung ke Indonesia. Mungkin suatu saat nanti, saya yang akan menjadi wisatawan ditempat anda”.
Pertemuan dengan Zaki memberi banyak pelajaran berharga, dinegara yang belum dua dekade terkoyak perang saudara itu. Dia sangat bersemangat untuk menggapai impiannya. Walau dengan keterbatasan fisik, dan keterbatasan status sebagai warga daerah pinggiran. Tidak ada istilah “minder” ataupun sikap meminta belas kasihan dengan keadaannya. Dia sendirilah yang menempatkan dirinya agar dianggap sebanding dengan yang lain. Mungkin objek kunjungan wisata di Danau Tonle Sap kali ini terasa biasa bagi saya. Hanya keberadaan Zaki lah yang membuat segalanya terasa luar biasa. Salut untukmu “Qi”, dan kami nantikan kunjunganmu ke Indonesia.