Mengunjungi Noon and Night Market dan Pub Street
Hari itu, kami sengaja memutuskan pindah dari hotel pertama. Sebelumnya kami memang sempat trekking disekitar Sivatha Street, dan menemukan penginapan lain yang tarifnya jauh lebih bersahabat di kantong. Sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter, dengan kamar mandi dalam seharga 5 USD. Tarif Naga GuestHouse ini benar-benar membuat kami seketika merubah anggaran keuangan. Hehehe, dengan adanya sisa beberapa USD dari kelebihan uang penginapan, kami memutuskan untuk mencoba berbelanja beberapa pernak-pernik khas Kamboja.
Noon Night Market ini berada persis didepan Angkor Night market. Bedanya, pasar ini terletak di sepanjang jalan aspal yang menghubungkan kuliner jalanan di Pithnou Street dengan lokasi Angkor Night Market. Dan pebedaan lain, tentu saja Noon Night Market buka setiap hari, mulai pagi hingga malam, sementara Angkor Night market hanya beroperasi mulai sore sampai tengah malam.
Dibanding Night Market, pasar ini menawarkan pelayanan yang lebih beragam. Selain menjajakan produk khas tradisional Kamboja, disini anda juga menemukan layanan body massage and spa, manicure pedicure, fish therapy. Tidak banyak yang bisa kami lakukan disini, hanya sekedar membeli beberapa potong T-Shirt bergambar Angkor Temple dengan harga 3,5 USD. Tentunya kualitas kainnya masih kalah jauh dengan produk yang ada di Indonesia.
Sementara disisi Timur Noon Night Market, setelah melewati perempatan. Anda akan melalui area Pub Street. Sesuai dengan namanya, dikiri kanan jalan berdiri pub-pub yang dipenuhi dengan bule. Hampir mirip dengan suasana di Legian Bali. Bedanya, di Pub Street anda bisa menemukan banyak Tuk-Tuk diparkir didepan pub, memberikan pemandangan yang unik dan khas.
Sama seperti di Pithnou Street, disini menu-menu minuman dan cocktail ditulis menggunakan kapur warna-warni diatas papan tulis hitam berukuran kecil, serta papan tulis warna hitam itupun kadang disandarkan sekenanya saja didepan masing-masing pub. Jadi teringat pada Bazar Agustusan di kampung saya saja. Hahaha.
Jelajah Kota SiemReap di Pagi Hari
Seperti halnya negara-negara Asia Tenggara lain, aktivitas warga kota dimulai semenjak fajar menyingsing. Pukul 06.00 pagi waktu setempat, tatkala jalanan masih setengah gelap. Saya menyempatkan diri “cangkruk” diatas atap penginapan, sedikit berbagi tempat dengan beberapa jemuran yang masih setengah basah, hehehe.
Dengan kamera yang berkemampuan zoom lumayan, sejenak saya mengambil gambar dan video aktivitas warga kota yang berlalu lalang dengan sepeda kayuh, maupun sepeda motor. Juga ada beberapa ibu-ibu setengah baya yang memakai caping seperti akan berangkat ke sawah ladang. Puas mengabadikan momen-momen unik itu, saya segera beranjak mandi karena jadwal pagi ini adalah menjelajah dan melihat aktivitas pagi warga di SiemReap.
SiemReap adalah kota yang relatif nyaman, penduduknya cukup ramah dan seolah menyadari bahwa kota ini adalah salah satu favorit wisatawan, karena keberadaan Angkor Wat tentunya. Pula kemudahan memperoleh informasi serta fasilitas juga menjadi salah satu nilai plus kota ini. Menikmati jalan pagi berkeliling kota adalah salah satu hal yang menarik.
Selain dikenal memiliki disiplin waktu, warga kota juga termasuk memiliki disiplin berlalu lintas. Beberapa persimpangan terlihat kendaraan antri teratur menunggu lampu merah, dengan acuan mengemudi di sebelah kanan jalan, para pengendara sepeda kayuh masih tampak nyaman menikmati perjalanan. Termasuk juga para pejalan kaki yang sepertinya dimanja dengan keberadaan pedestrian disepanjang jalan raya. Trotoar jalan yang lebar dan bersih, serta beberapa ornamen lampu jalan yang berdesain klasik. Pejalan kaki juga tidak perlu berpanas ria karena pepohonan di sepanjang pedestrian rata-rata berumur puluhan tahun dan cukup rindang.
Tak sampai dua jam berjalan kaki, kami mulai berencana mencari sarapan. Beberapa minimarket yang kami sambangi sepertinya tidak menyediakan menu sarapan yang memuaskan. Sukar mencari jajanan roti ataupun makanan berbobot lainnya. Hanya tersedia beberapa biscuit dengan harga yang selangit. Maka pandangan kamipun langsung tertuju pada sebuah restoran cepat saji, KFC (maaf sebut merek) yang berada sekitar persimpangan Sivatha Street.
Meski sedikit bingung dengan menu Ayam dan Nasi nya, karena ternyata seporsi Chicken and Rice ditambah dengan potongan mentimun (seperti nasi goreng di Surabaya saja). Setidaknya kami menemukan saus sambal dan tomat yang familier seperti di Indonesia, bahkan dengan label Halal di kemasannya.
Sholat Jum’at Bersama Warga Muslim Lokal di Neak Mah Mosque
(12.30 waktu Kamboja)
Kami yakin tidak salah dalam membaca peta, namun entah kenapa sudah 30 menit lebih berputar-putar, belum juga menemukan masjidnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Ditengah keputusasaan itu, tahu-tahu melintas sebuah motor dari belakang kami. Ditumpangi oleh dua lelaki lokal dengan memakai kemeja dan salah satunya bahkan memakai sarung. Masih tercium semerbak wewangian walau keduanya telah melintas jauh didepan kami.
Tidak salah lagi, dari penampilan mereka berdua, mirip dengan warga muslim yang hendak ke masjid. Dengan setengah berlari dan tanpa ragu lagi, kamipun membuntuti mereka. Benar juga, tidak lebih dari lima menit, sembari terengah-engah mengikuti motor yang hanya meninggalkan jejak dijalanan tanah kering berdebu itu, sayup-sayup kami mendengar suara adzan berkumandang. Syukurlah, menara An Neak Mah Mosque mulai terlihat sekitar 400 meter didepan kami.
Beruntung waktu sholat ternyata masih lama, dzuhur di SeamReap baru dimulai menjelang pukul 12.30 siang. Walau sempat putus asa karena mengira bakal ketinggalan shalat Jumat, ternyata kami masih sempat menikmati berwudhu dan mendengarkan khotbah Jumat di Masjid yang mampu menampung sekitar 300 jamaah ini.
Sholat jumat di An Neak Mah Mosque (Masjid An Nikmah), rasanya tidak jauh berbeda dengan sholat Jumat di masjid-masjid di kota kecil Indonesia. Banyak jamaah-nya yang mengenakan baju koko dipadu sarung serta penutup kepala mirip kopiah, dengan berbagai ragam rajutan dan warna putih dominan. Sebagian pria tua juga tampak mengenakan sorban, sedangkan beberapa remaja tampak nyaman dengan kemeja dan celana panjang. Atmosfer sholat Jumat kali ini, tak jauh beda dengan suasana sholat jumat di Masjid pelosok desa di tanah Jawa, hanya saja kami tidak begitu memahami isi khutbah yang disampaikan dengan bahasa Khmer.
[wpcol_1half id=”” class=”” style=””][/wpcol_1half] [wpcol_1half_end id=”” class=”” style=””][/wpcol_1half_end]
Pukul 13.00 sholat jumat telah usai, kami masih menyempatkan waktu mengambil gambar beberapa sudut masjid. Beberapa pria setengah baya juga mendekati kami, sembari mencoba bercakap-cakap dengan bahasa Melayu berlogat Malaysia. Mungkin kami dikira turis dari negeri jiran. Tentunya mereka sedikit kaget ketika tahu jika kami dari Indonesia, pastinya kaget bercampur gembira. Karena mereka cukup antusias dengan mengajukan beberapa pertanyaan tentang Indonesia yang merupakan Negara dengan jumlah muslim terbesar.
Tak lupa mereka menyampaikan beberapa informasi menarik. Di sekitar Neak Mah Mosque, merupakan kawasan kampung muslim. Sudah jamak bila seusai sholat jumat disini, beberapa warga membuka rumahnya sembari berjualan bermacam jenis makanan muslim. Karena setiap Jumat, NeakMah Mosque dikunjungi banyak turis lokal dan manca yang kebetulan transit atau sengaja berwisata di kota SeamReap, menyempatkan untuk Sholat Jumat disana. Karena itulah, warga membuka peluang bisnis kecil-kecilan dengan menjual aneka kuliner berkategori halal.
Benar juga, sepanjang perjalanan balik ke hotel, tidak sedikit rumah di kisaran 100 meter dari area masjid terlihat menjual beberapa jenis makanan. Ada nasi goreng telur, nasi sayur telur, kue basah, serta minuman mirip dawet atau cao yang kesemuanya dikemas dalam wadah plastik bermacam bentuk. Harganya juga bervariasi, namun cukup murah dengan kisaran 3000 Riel hingga 6000 Riel (Rp. 7.500,- hingga Rp. 15.000,-). Karena masih merasa kenyang, dan terburu hendak mengambil gambar beberapa sudut kota, kami bergegas kembali menuju hotel. Membawa seabrek pengalaman yang unik, bisa bertemu dan bercakap-cakap dengan warga komunitas muslim di Kamboja.
Serunya Berbelanja di Old Market (Psaar Chaa)
(16.00 waktu Kamboja)
Walau sudah pukul empat sore, keadaan di pusat kota masih cukup terik. Tujuan kami kali ini adalah menuntaskan senja dengan berjalan-jalan menghabiskan area kota tua SiemReap. Karena sudah beberapa hari tinggal, kami berencana mengunjungi pasar tradisional sekaligus berburu barang atau pernak-pernik khas Kamboja. Sasaran kami adalah Old Market yang Legendaris.
Terletak disepanjang aliran sungai, Old Market yang dalam bahasa lokalnya Psaar Chaa adalah salah satu pasar tradisional yang konon sudah eksis sejak berabad-abad lalu. Bentuk arsitekturalnya sudah berubah jauh dari masa lalu, namun kekuatan tradisionalnya masih jelas kentara. Seperti halnya pasar-pasar di Indonesia, area dalam merupakan pusat jual beli bahan pokok sandang pangan. Layaknya pasar basah, anda bisa menemui penjual sembako, ikan dan daging segar, pula penjual buah dan sayur yang buka setengah hari saja. Disambung dengan para penjual kain dan pakaian yang buka sampai sore.
Sementara area muka pasar, didominasi para penjual kerajinan dan pernak-pernik khas yang mengelilingi keempat penjuru sisi pasar. Dengan tampilan seperti itu, kesan kumuh bagian dalam pasar seolah terkamuflase oleh kesan tampilan sebuah Pasar Seni Kerajinan atau Pasar Seni Budaya. Tak heran sepanjang area sisi depan pasar didominasi oleh para turis yang asyik berburu barang-barang seperti patung, kain sutra, tas dan dompet, T-Shirt maupun pakaian batik lokal, serta pernak pernik tradisional seperti kalung, gelang, gantungan kunci dan hiasan dinding. Meskipun bukan shophaholic, kami masih sempat membeli beberapa barang souvenir khas. Sekedar buah tangan, dan yang pasti bisa berinteraksi dengan beberapa penjual di Pasar Lama ini.
Beberapa ibu-ibu penjual berusia setengah baya, sibuk menawarkan barang dagangannya pada setiap turis yang melintas. Jika sang turis tertarik dan melakukan transaksi, ganti anaknya si penjual yang turun tangan. Karena remaja-remaja tanggung inilah yang mahir berbahasa Inggris maupun Thailand, sehingga transaksi bisa berjalan lancar.
Namun jika anda kurang beruntung, bisa jadi si remaja bahasa asingnya masih nanggung, atau malah si empunya sendirilah yang bertransaksi dengan bahasa tarzan. Jika sudah demikian, maka nikmatilah percakapan unik ini, karena berhasil tidaknya jual beli, tergantung dari besaran angka dan isyarat yang anda ketik diatas kalkulator. Yaa…, sebuah kalkulator yang menjadi media tawar menawar antara penjual dan pembeli. Dan jangan pernah meremehkan benda elektronik kecil ini, karena dengan sebuah kakulator saya berhasil melakukan tiga transaksi berbeda yang kesemuanya menggunakan bahasa tarzan, hasilnya membawa pulang sepasang sandal Rajut dan beberapa potong sarung bantal bersulam sutra dengan gambar gajah.
Menghabiskan Senja Menyantap Mie Goreng di Tepi Old Market Bridge
(17.00 waktu Kamboja)
Menjelang petang hari, kami masih menyempatkan waktu melihat-lihat dan menikmati aktivitas warga di salah satu sudut kota SiemReap. Setelah satu jam menghabiskan waktu berkeliling di Old Market, kami bersantai sejenak sembari beristirahat melepas lelah.
Sekilas pandangan mengarah pada sosok penjual makanan dengan gerobak dorong, yang asyik melayani para pembeli senja itu. Ternyata dia adalah seorang penjual mie goreng lokal, mirip mie “tek-tek” di Jawa. Terlihat beberapa pembeli asyik menikmati mie buatannya dengan lahap, sebagian lagi tampak membawa pulang beberapa bungkus mie dalam kemasan kotak sterofom. Walau masih belum lapar, tapi aroma makanan pinggir jalan ini membuat kami bersungut-sungut dan menelan air ludah. Tanpa ba-bi-bu lagi, mie “tek-tek” dua porsi langsung kami pesan, dengan tambahan telur mata sapi setengah matang tentunya.
[wpcol_1half id=”” class=”” style=””][/wpcol_1half][wpcol_1half_end id=”” class=”” style=””] [/wpcol_1half_end]
Segera bapak penjual mie itu menunjukkan kepiawaiannya memotong sayur, melumat bawang, serta mamasak mie diatas wajan datar yang mirip penggorengan martabak, aroma sedapnya membius indra penciuman kami. Tak berapa lama mie itu telah matang dan disajikan diatas kotak sterofom tipis dengan siraman saus thailand diatasnya. Tentunya dengan menebus Mie seharga 1 USD per porsinya.
Dikala yang lain menikmati mie dengan duduk-duduk diatas trotoar, kami justru menyeberang jalan menuju pedestrian tepi sungai. Memilih tempat duduk beton yang banyak tersedia disepanjang pedestrian, diterangi lampu taman model klasik lokal dengan cahayanya yang temaram, memantul diatas permukaan sungai dengan riak gelombang kecil. Yang pasti, posisi duduk kami tepat mengarah pada pemandangan Old Market Bridge yang legendaris itu. Dengan disuguhi lalu lalang kendaraan diatas jembatan menjelang senja, serta beberapa kilatan lampu blitz para turis yang mengabadikan pose mereka diatas Old Market Bridge.
Benar-benar senja yang istimewa, air sungai didepan Old Market memang tidak bening-bening sangat, tapi setidaknya cukup bersih dan nyaman bagi para pengunjung yang menghabiskan waktu disepanjang pedestrian tepi sungai itu. Termasuk kami berdua yang asyik menikmati kelezatan mie lokal dengan sepasang sumpit bambu, sembari tak henti-hentinya melayangkan pandangan pada aktivitas warga di sekitar pasar dan jembatan.
Beberapa pria setengah baya dengan handuk kecil dilehernya, asyik beristirahat setelah jogging dan berolahraga menjelang senja. Muda mudi kamboja juga terlihat lalu lalang menikmati keramaian dan suasana senja. Ditambah lagi malam itu adalah malam bulan purnama yang paling ditunggu, dengan fenomena super moon yang jauh lebih terang dan ukuran bulan terlihat lebih besar dari purnama-purnama sebelumnya. Hhmmm.., sesaat saya sampai berkhayal, pada setiap bulan purnama saya akan segera terbang ke Kamboja untuk menuju Old Market Bridge. Dengan seporsi mie goreng lokal lagi tentunya, hahaha.
Meriahnya Ritual Terang Bulan
(18.00 Waktu Kamboja)
Senja nyaris berganti malam, kota Siam Reap masih juga belum kehilangan nuansa magisnya. Saat itu memang bertepatan dengan fenomena super moon, yang mana ukuran bulan jauh lebih besar dari biasanya. Beruntunglah kami bisa menjadi sebagian dari turis yang berkesempatan menikmati momen tersebut. Memuaskan diri memandangi keelokan sang bulan, dari tepian sungai legendaris yang membelah kota Siam Reap.
Sayup-sayup dari kejauhan kami mendengar suara ansambel alat musik yang ditabuh bertalu-talu. Seperti suara gamelan namun dengan irama yang berbeda. Bergegas kami berdua berjalan menyusuri jalanan kota, menuju kearah asal muasal suara itu. Bunyi tetabuhan itu semakin terdengar jelas, mulailah kami temui satu dua rombongan warga lokal yang bergegas pula berjalan menuju ke arah yang sama. Kamipun semakin bersemangat mengikuti mereka.
Oohh… rupanya mereka menuju ke sebuah Pagoda di pusat kota. Ternyata di malam terang bulan itu, warga lokal berduyun-duyun menuju Pagoda dan Kuil diseluruh penjuru kota, untuk melaksanakan ritual memanjatkan doa disana. Kami benar-benar beruntung bisa menyaksikan aktivitas rohani warga lokal kota Siem Reap yang mayoritas menganut ajaran Budha itu.
Hampir seluruh warga kota datang ke tempat ibadah untuk memanjatkan doa. Tua muda, besar kecil, laki perempuan, semuanya berpakaian rapi bergantian memasuki Pagoda menjelang malam tiba, tidak sedikit juga yang datang bersama rombongan keluarga, membawa pula kakek atau nenek mereka yang sepuh. Bahkan para remaja dengan busana yang sedikit gaul juga datang kesana meramaikan malam terang bulan itu.
Mereka semua membawa berbagai jenis barang bawaan, baik berupa bunga, kuncup teratai, juga makanan pula buah-buahan, yang diserahkan di Pagoda. Mungkin semacam ritual pemberian dana/makanan kepada para Bhiksu, sebagai upaya umat dalam usaha untuk berderma dan melakukan kebajikan. Pantas saja di luar pagoda banyak kami temui warga yang membuka stan dadakan, menjual berbagai bahan keperluan ritual tadi.
“May Peace Prevail on Earth”, demikian bunyi sebuah tulisan di tiang kayu teras depan Pagoda. Diiringi oleh bau wangi dupa. Berpadu dengan gumpalan asap ribuan batang hio dari meja abu yang memenuhi udara malam. Menyatu bersama terang sinar bulan purnama di langit yang cerah. Gabungan keempatnya menciptakan aura magis yang luar biasa.
Belum satu jam kami mengabadikan momen-momen unik ini, keramaian warga yang datang semakin menjadi-jadi. Suara musik dari dalam Pagoda semakin nyaring dengan tempo bertambah naik penuh semangat. Bunyi-bunyian yang didominasi alat musik semacam gambang timbal, gambang bambu, dan kendang itu seakan berpadu dengan gemerlap terangnya lampu-lampu hias di Pagoda, menciptakan sebuah nuansa ala Festival di malam Terang Bulan itu. Sebuah Festival yang mana seluruh warga kota hadir didalamnya.
Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi ketenangan masyarakat dalam beribadah. Satu demi satu warga yang selesai berdoa, menancapkan batang-batang hio ditempat yang telah tersedia. Dan beberapa bhiksu menyambut penghormatan mereka dengan sikap santun yang bersahaja. Sayapun benar-benar turut larut dalam suasana religius penuh kekeluargaan warga kota di malam itu.
Akhir Yang Menegangkan
(07.00 Waktu Kamboja)
Mentari belum sepenuhnya muncul di pagi itu, hawa dingin terasa mengiringi keadaan yang masih gelap diluar penginapan. Namun saya justru mendengar suara-suara aktivitas percakapan di lantai bawah. Tidak seperti biasanya, pagi-pagi buta itu orang-orang sudah stand-by dihadapan televisi. Hampir semua warga lokal mengkonsentrasikan diri didepan layar kaca. Rasa penasaran menunda agenda packing saya, dan sayapun turun kebawah melibatkan diri menonton bersama mereka.
Dari bahasa yang tidak saya pahami, beberapa petinggi militer Kamboja dengan seragam lapangan tampak sibuk diwawancara oleh media. Raut muka warga disekeliling saya membayangkan ketegangan luar biasa. Yaaa… dinihari itu (19 Februari 2011), terjadi kontak tembak antara aparat Kamboja dan Thailand di perbatasan. Belasan tentara dari kedua belah pihak, gugur diwilayah sengketa sekitar kuil Preah Vihear, yang ditetapkan UNESCO sebagai cagar budaya milik Kamboja.
Dengan diliputi kecemasan yang luar biasa, segera saya melanjutkan packing untuk secepatnya meninggalkan Kamboja. Syukurlah segalanya berlangsung baik saja, perjalanan tuk-tuk yang mengantar saya menuju Airport Siem Reap tiba tepat waktu. Dan para petugas imigrasi senantiasa menampakkan senyum di awal pagi. Kendati televisi di Aiport juga menayangkan berita tentang kontak senjata di perbatasan, kami masih bisa menenangkan diri sampai pesawat tiba.
Akhirnya, pesawat perlahan lepas landas dari Airport Siem Reap, ada rasa berat meninggalkan negara yang unik ini. Di awal, saya memandang Kamboja sebagai negara kecil yang baru bangkit dari kehancuran perang saudara. Namun empat hari disana, anggapan itu telah berubah.
Banyak hal yang saya temui tentang Kamboja, mulai dari keagungan peradaban bangsa Khmer dimasa lalu. Keramahan lokal sebagai pencerminan sebuah kota Budaya. Dan tentunya, potret buram tentang sejarah dimasa lalu. Kini Kamboja telah berbenah, peninggalan kejamnya rezim Khmer Merah, menjadi sepenggal renungan yang tak akan terulang.
Dan dari sejarah masa lalu itulah saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yakni Sebuah Nilai Tentang Kemanusiaan.