Lantunan Doa Di Depan Istana Phnom Penh

Ribuan warga masih terus memadati halaman luar Istana Royal Palace Phnom Penh Kamboja (Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea). Bahkan jalan raya Samdech Sothearos Boulevard yang tepat berada didepan pintu masuk Istana juga ditutup penuh sore itu. Dengan penjagaan petugas bersenjata lengkap, ritual pembacaan doa berlangsung seharian didepan Royal Palace. Area steril membentang sepanjang Samdech Sothearos Boulevard, hingga Royal Palace Park yang mirip alun-alun itupun sepi dari pengunjung. Kami dan ribuan warga hanya bisa berjejal memenuhi jalan raya Sisowath Quay diseberang yang berbatasan langsung dengan Tonle Sap River disisi Timur.

Lantunan doa dari ribuan bhiksu dan pemuka agama mengalun khidmat seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk Barat, tepat dibelakang Royal Palace. Siluet bangunan berarsitektur Khmer klasik dan penuh ornamen itu semakin cantik menjelang malam dengan ribuan lampu yang menghiasinya. Sementara tepat ditengah bangunan, terpampang foto Raja Norodom Sihanouk berukuran raksasa dengan diterangi lampu sorot.

[one-half-first]biksu di depan istana kamboja[/one-half-first]
[one-half]biksu dan istana kamboja[/one-half]

doa di depan istana kamboja

Itulah sedikit gambaran tepat empat tahun yang lalu, di awal tahun 2013, tatkala kami berkesempatan menyaksikan rangkaian ritual penghormatan terakhir pada mendiang Raja Kamboja Norodom Sihanouk, yang digelar di pusat kota Phnom Penh. Sebelum jenazah diarak menuju krematorium pada tanggal 1 Februari hingga dikremasi pada 4 Februari lalu, warga dan para simpatisan beliau dipersilahkan turut mendoakan langsung didepan Istana Royal Palace.

Begitu matahari benar-benar terbenam, rangkaian doa yang dipimpin oleh para pemuka agama berakhir sudah. Ratusan bhiksu ini satu demi satu meninggalkan tempat prosesi, berganti dengan ribuan warga yang serempak berbondong memasuki alun-alun didepan Royal palace hingga mendekati gerbang depan istana. Ratusan lilin sudah disiapkan disepanjang jalan raya Samdech Sothearos Boulevard, juga tikar-tikar terpal tersedia bagi mereka yang ingin berdoa. Kami turut bergabung dengan arus ribuan warga yang hadir, kapan lagi bisa melibatkan diri untuk menyaksikan prosesi doa pamakaman seorang Raja besar di Kamboja.

Batang demi batang hio dinyalakan diatas api lilin, asap ribuan hio memenuhi udara malam. Bau dupa semerbak memenuhi udara, diiringi sayup-sayup alunan doa yang mengalun dari dalam istana, para warga semakin larut dalam khidmat doa yang mereka panjatkan untuk sang Raja tercinta. Sesekali kepak sayap puluhan merpati jinak yang menghuni istana sempat mengganggu kami dikala asyik mengabadikan momen dalam kamera. Namun tetap tidak mengurangi kekhusyukan para warga dalam lantunan doanya.

turis ikut berdoa

[one-half-first]warga kamboja berdoa[/one-half-first]
[one-half]warga kamboja berdoa[/one-half]

Hingga menjelang malam antusiasme ribuan warga yang berdatangan masih belum berhenti juga, bergantian memanjatkan doa didepan istana sembari sesekali menatap haru pada poster besar Sang Raja yang terpajang disana. Tempat hio sudah nyaris penuh, pintu masuk Royal Palace juga telah disesaki ribuan batang kuncup teratai pemberian para warga. Mungkin sampai tengah malam pun warga yang berdatangan mengikuti prosesi tidak akan berhenti, demikian pikir saya sembari memandangi batre kamera yang sudah mulai menipis. Dengan diterangi sorot lampu istana Royal Palace dan benderang ratusan lilin, kami bergegas meninggalkan Samdech Sothearos Boulevard. Selamat jalan Raja Sihanouk…!, rakyat Kamboja selalu mengenangmu…!

img_0244

Tatkala Kelamnya Sejarah Dijadikan Obyek Wisata

“Selamat pagi Phnom Penh…!! Selamat datang di Choueng Ek killing Fields…!! Saya bersumpah, ini bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi” demikian sambut Mr. Map, driver tuk-tuk (becak motor) yang kami sewa pagi hari itu. Setelah 30 menit perjalanan dari pusat kota Phnom Penh yang penuh debu dan asap kendaraan, sampailah kami didepan pintu gerbang ladang pembantaian yang konon sudah mengubur hampir 9000 korban itu. Pantas saja Mr. Map sampai berkata bahwa ini bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi, dan saya cuma mengiyakan tatkala ia memilih menunggu di area parkiran yang agak jauh sembari memesan minuman dingin.

Memasuki gerbang, saya membayar tiket masuk senilai 5 USD. Termasuk selembar brosur rute dan panduan memasuki killing fields, serta mini audio personal lengkap dengan headset yang berisi tentang beragam kisah mengenai tempat ini. Agak berbeda dengan Mr. Map yang tetap tersenyum ramah tadi, petugas di loket masuk terkesan garang dengan seragam dan sikapnya yang sedikit mengintimidasi. “dilarang merokok, dilarang bicara dengan suara keras, pakailah pakaian yang sopan, ini adalah tempat yang penuh kedukaan” demikian dia bicara kepada kami dengan bahasa Inggris yang kaku dan terkesan lucu.

Saya memulai perjalanan menyusuri tempat itu sambil menempelkan headphone serta  memutar rekaman. Alhasil saya baru tahu, bahwa tempat ini dahulunya adalah sebuah kompleks pemakaman Cina. Sayangnya tidak ada opsi bahasa Indonesia dalam rekaman ini, sehingga format bahasa Inggris adalah pilihan yang paling mudah dipahami. (kalau anda mau, ada pilihan bahasa Rusia dan Prancis. Hahaha)

DSC_2959

IMG_9450

Namun dasar saya termasuk bandel, bukannya tetap memasang headphone diposisinya. Alih-alih justru melepas piranti suara itu dan mematikan rekaman MP3 yang berkisah tentang tempat ini. Barulah saya benar-benar merasakan suasana sesungguhnya disini. Semua turis tetap sibuk dengan suara rekaman yang memenuhi indera pendengarannya, tapi saya justru sumringah menikmati suara angin, gemerisik daun dan heningnya lalu lalang para turis yang seolah membisu. Yaaa… sejatinya tempat ini sungguh asri. Hijau tanaman dan rindangnya pepohonan teduh, diseling kicau burung menyambut pagi. Terbayang tempat yang menyenangkan dan penuh nuansa kedamaian.

Sembari memejamkan mata, mendongakkan kepala, menghirup dalam-dalam udara segar pagi di bekas kompleks pemakaman ini, mendadak suasana damai di benak pun berubah. Kaki saya tersaruk sesuatu, terlihat seperti potongan tulang manusia bercampur dengan sobekan kain yang berserakan. Dibiarkan saja disana, didekat jalur lintasan jalan setapak, teronggok dan hanya ditandai dengan papan kecil yang telah kusam.

IMG_3854

“Perhatikan langkahmu, Kau sedang berjalan diatas hamparan kuburan massal”, kiranya demikian bunyi papan kayu yang tulisannya sudah memburam itu. Saya menelan ludah, menoleh ke segala arah karena keasyikan dalam menikmati suasana tadi berimbas pada kekurang waspadaan terhadap sekitar. Dan jauh dibelakang sana, partner jejalan saya berseru tanpa suara, sekedar memberi kode dengan jarinya agar memasang kembali headphone di kepala.

“Dasar tolol…!!”, saya memaki diri sendiri. Ternyata dalam rekaman itu terdapat peringatan dan petunjuk arah kemana kita harus melangkah. Agar supaya tidak “masuk” kedalam area ladang pembantaian, serta mengikuti runtutan alur cerita tanpa terlewatkan. Sambil mendengarkan audio yang kini terpasang rapi di telinga, saya berjalan dalam diam. Mencoba merenung dan memahami peristiwa yang terjadi lebih dari tiga dekade silam.

IMG_9469

Jalan setapak masih belum sepenuhnya aman. Potongan tulang yang sudah pecah, mengering, bahkan berlumut tampak bercampur dengan pasir dan tersamar dedaunan. Sementara dibeberapa tempat, sisa-sisa potongan tulang yang bisa dibersihkan namun tanpa mampu diidentifikasi, disimpan dalam kotak kaca. Sekali lagi, benar apa kata Mr. Map tadi, “bukan tempat yang pas untuk mengawali pagi”.

Pada salah satu titik berupa bekas lubang berpagar bambu beratap rumbia. Saya berhenti sejenak, disini adalah salah satu lokasi kuburan dengan jumlah korban terbanyak. 450 jenasah ditemukan disini pada saat penggalian, sebagian besar tidak dapat diidentifikasi. Beberapa meter tak jauh dari tempat ini, bangunan yang kurang lebih sama juga menyimpan 166 korban yang kesemuanya ditemukan tanpa kepala. Beberapa tangkai bunga dan pita pemberian para pengunjung masih terhampar rapi disekeliling pagar bambunya. Para turis juga terdiam tanpa peduli saya berjalan disela mereka yang diam mematung mendengarkan rekaman audio. Mereka tidak ingin sekalipun terganggu konsentrasinya agar tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini.

 

DSC_2935Kala Khmer Merah berkuasa, Choueng Ek adalah salah satu tempat eksekusi para tawanan yang dianggap lawan dari rezim penguasa. Mereka yang sebelumnya diculik, ditawan, dan ditangkap dibeberapa tempat, dipindahkan kemari dengan diangkut truk pada malam hari. Sesampainya disini, mereka dibantai tanpa belas kasihan. Tua, muda, pria, wanita, bahkan anak-anak dan bayi tanpa kecuali. Puluhan lubang kuburan massal dapat kita temui dengan mudah, terkadang mereka tidak sekedar dikubur, adakalanya ditumpuk didalam satu lubang begitu saja.

Salah satu isi rekaman audio yang bikin saya merinding adalah pengakuan beberapa orang algojo. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, nyawa manusia lebih murah dibanding sebutir peluru. Tidak semua korban di eksekusi dengan cara yang wajar, dihantam balok kayu dan dipenggal adalah cara paling murah dan efektif kala itu. Karena perlu anda ketahui sekali lagi, peluru adalah barang mahal.

Dengan bahasa asli mereka bersaksi dalam rekaman, diiring suara translator yang menggunakan bahasa Inggris. Saya mendengarkan dengan cermat, setengah tidak percaya dengan kesaksian betapa dinginnya mereka mengeksekusi, kiranya agak tidak layak jika diceritakan dalam tulisan kali ini. Ditengah kesaksian itu, saya coba mengecilkan volume audio, dua wanita bule disebelah juga sedang mendengarkan kisah yang sama. Dan sudah bisa ditebak, headphone dia lepas, terdengar suaranya mulai terisak. Teman disebelahnya ikut menggigit bibir menahan emosi, jari-jari mereka  bergerak mengganti audio ke setelan selanjutnya, tidak kuasa mendengar salah satu bagian dari kisah yang teramat memilukan itu.

Langkah saya terhenti dihadapan sebuah pohon besar yang cukup menyita perhatian, dimana dulu menjadi tempat pembantaian bayi dan anak-anak. Sempat terpikir jikalau batang-batang pohon kekar itu adalah tempat menggantung anak-anak tak berdosa. Namun anggapan saya salah besar, pohon tua berjuluk “Killing Tree” itu adalah saksi bisu tatkala tubuh-tubuh mungil tak berdaya dilempar dan dihantamkan ke pokok batangnya yang kokoh. Yaa, dihempaskan begitu saja ke batangnya. Jauh lebih mengerikan dari apa yang saya perkirakan sebelumnya.

IMG_3849

IMG_9513

 

Kami para pengunjung, berhenti sejenak disekeliling pohon tua yang sampai saat ini berdiri dengan tegarnya. Beberapa turis bule menggantungkan pita duka cita disana, hening suasana sesaaat. Hanya mereka yang kuat hati saja mampu bertahan dan berdiri lebih lama disini, sebagian turis  wanita lebih memilih meninggalkan lokasi dengan berlinang airmata. Merasa tidak nyaman untuk melanjutkan pengalaman “tour” kejam ini lebih jauh, sayapun mengalah mengikuti para pengunjung menuju titik terakhir didekat pintu keluar, yang menjadi ikon Choueng Ek killing Fields.

Sebuah bangunan ramping menjulang dengan atap khas arsitektur Khmer, dikelilingi pagar rendah sekaligus sebagai media tanam bunga. Beberapa pengunjung termenung seperti sedang memanjatkan doa, lantas menyalakan batang-batang hio dan menancapkannya ditempat yang tersedia. Diantara bau asap dupa hio, saya melepas alas kaki menaiki beberapa anak tangga menuju kedalam monumen itu.

IMG_9562

IMG_9546

Sejatinya, bagian dalam monumen ini tersusun atas tujuh belas tingkat rak, dan perlu diketahui ketujuhbelas tingkat itu tersusun dari ribuan tengkorak korban pembantaian. Dengan kata lain, ini adalah monumen yang disusun dari tengkorak dan tulang manusia. Agak mengerikan memang, namun ini benar-benar nyata, pengunjung diperbolehkan masuk dan melihat isi monumen dari dekat. Tentunya dengan perasaan respek serta hormat kepada para korban, dan syarat lainnya adalah, hanya bagi mereka yang cukup bernyali.

Benar-benar bukan hal yang mengasyikkan berada dalam ruangan sempit yang berisi ribuan tengkorak manusia, orang normal seperti saya tentu enggan berlama-lama disana. Sembari menyempatkan menengok museum kecil yang menyimpan alat-alat pembunuhan dan memutar video dokumenter, saya ingin lekas-lekas mengakhiri kunjungan ditempat ini.

Headphone saya lepas, brosur panduan masuk kedalam kantong jaket. Dengan masih penuh rasa penasaran dan tanda tanya besar akan beragam hal, saya berlalu menuju pintu keluar yang menjadi satu dengan pintu masuk. Jelas terlihat wajah-wajah suram dan suara tangis tersedu dari mereka yang berbarengan dengan saya menuju pintu keluar. Sementara muka-muka cerah dan ekspresi sumringah justru terlihat dari para turis yang hendak masuk dan berpapasan dengan kami di pintu tadi.

Yaa… pemandangan yang sangat kontras antara mereka yang baru masuk dan kita yang hendak keluar. Tapi dalam hati saya berpikir, diawal saya datang kemari tanpa tahu apa-apa, begitu keluar saya mendapatkan pelajaran yang tak kalah penting, yakni sebuah nilai tentang Kemanusiaan.

Agak sulit memahami apa yang terjadi di Kamboja pada masa itu. namun tragedi kemanusiaan ini hanyalah tinggal kisah sejarah yang takkan berulang. Dan bagi kami yang berkunjung kesana… hal ini adalah pelajaran teramat penting agar supaya tidak terjadi kembali di masa depan.

(Bukan) Bagian dari ber-Wisata?

IMG_9590

Debu-debu yang berterbangan bercampur asap knalpot kendaraan adalah pemandangan yang jamak terlihat disepanjang jalanan, siang itu udara kota Phnom Penh memang terasa panas. Namun entah mengapa bagi saya yang ada didalam ruangan 4×8 meter ini segalanya terasa berbeda. Lembab dan begitu dingin. Jujur saja bulu tengkuk sayapun sedikit meremang. Ini memang bukan acara uji nyali, semacam reality show atau sejenisnya. Tapi beginilah rasanya berada didalam ruang demi ruang Tuol Sleng Genocide Museum – Phnom Penh, bekas penjara interogasi dan pusat penyiksaan tawanan selama Khmer merah berkuasa. Tuol Sleng, awalnya merupakan kompleks sekolah yang lantas berubah menjadi kamp konsentrasi bagi para musuh rezim Pol Pot, juga dikenal dengan nama yang tak kalah seram, Penjara S-21.

Dengan membayar biaya masuk senilai 3USD, saya memberanikan diri menyusuri satu demi satu bangunan berlantai tiga yang berjumlah empat gedung ini. Dibeberapa ruang, terdapat ranjang besi yang sudah berkarat, tepat disebelahnya terpampang foto mayat korban penyiksaan dalam kondisi telentang diatas ranjang dengan kaki dan tangan terikat rantai. Kiranya itu adalah foto pada saat korban ditemukan kala tentara pemerintah menyerbu dan menguasai kembali bangunan ini. Agak mual juga memandang tampilan foto yang tidak layak dilihat itu, pantas saja lantai tegel dibawah ranjang senantiasa penuh bercak merah kecoklatan. “Bekas-bekas darah para tawanan dimasa lalu”, demikian pikir saya mencoba menebak.

IMG_9629

IMG_9600

Ternyata tidak cuma satu ruang, hampir puluhan ruang lain di gedung tiga lantai itu juga mempunyai fungsi sama. Yaitu sebagai Ruang penyiksaan, tentunya penyiksaan sampai mati. Cukup ngeri juga membayangkan betapa parahnya keadaan Kamboja dimasa lalu, kala rezim yang berkuasa ingin menjadikan negara yang rakyatnya murni berdiri pada sektor agraris. Semua orang yang dianggap lawan politik langsung dimusnahkan. Bahkan juga orang-orang yang berpeluang menentang kebijakan penguasa, langsung ditangkap dan dibunuh. Mereka yang dianggap vokal, mereka yang dianggap berpendidikan, dan mereka yang punya potensi atau kemampuan untuk melawan kebijakan, menyusul menjadi sasaran tembak oleh rezim penguasa. Tak heran dalam kurun waktu 1975-1979, lebih dua juta rakyat Kamboja terbunuh selama Khmer Merah bercokol. Sebagian besar adalah lawan politik, pekerja profesional, teknisi, seniman dan sastrawan, serta orang-orang yang berpendidikan. Mereka ditangkap, diculik, lantas dibunuh, termasuk juga anggota keluarga merekapun ikut jadi sasaran.

IMG_9603

Memasuki gedung kedua, kesemua ruangan dijejali oleh foto-foto para tawanan. Tua – muda, pria – wanita, termasuk anak-anak dan bayi. Mereka difoto close-up, lalu didata, setelahnya dijebloskan dalam kamp, kemungkinan besar juga dibunuh. Konon pada kurun waktu lima tahun, kamp ini pernah menampung total hampir 20.000 tawanan. Sudah bisa ditebak, kesemua itu dipastikan telah tewas, karena hanya ada tidak kurang dari tujuh orang yang berhasil selamat dari neraka Tuol Sleng.

Melihat foto demi foto wajah para tawanan, emosi saya terasa dipermainkan. Wajah-wajah itu memiliki beragam ekspresi, ada yang pasrah karena sudah tahu maut akan menjemput. Ada pula yang tersenyum karena baru pertama kali dipotret. Tenggorokan terasa tercekik kala melihat foto anak-anak dan balita, mereka masih kecil dan tidak berdosa. Wajah polos dan tatapan mata yang bening adalah ekspresi terakhir yang bisa kita saksikan sebelum mereka menemui ajal.

Seorang bule wanita disebelah saya terisak dengan berlinang air mata, “Mereka tentu seusia saya jika masih hidup”. Ujarnya setengah berbisik sembari memandang foto seorang ibu muda yang menggendong bayi mungil. Ibu muda itu diam dengan tatapan mata kosong, dia sepertinya paham jika akan segera dieksekusi oleh para algojo. Sayapun menggigit bibir meninggalkan ruangan tanpa berani mencoba menebak apa yang akan terjadi dengan si bayi mungil dalam gendongan.

IMG_9745

IMG_9679

Gedung ketiga juga tak kalah angker, saya memasuki bangunan dikelilingi oleh kawat berduri ini bersama sekelompok turis yang diantar seorang pemandu. Beberapa bule sepuh tampak mengambil nafas disela menenggak air mineral dari botol, seolah berharap menemukan jeda sejenak dari sebuah tour yang penuh kengerian dan menguras emosi. Gedung tipikal berlantai tiga ini ruang-ruangnya dipenuhi sel-sel kecil seukuran toilet bis malam. Demikian sempit, gelap, pengap, dan pastinya kotor. Entah berapa lama para tawanan itu tahan menjalani hidup didalam sel semacam ini. Namun saya memaklumi, karena sebagian besar tawanan tidak tinggal dalam sel dengan jangka waktu lama. Karena jika tidak terbunuh selama penyiksaan, pastinya mereka juga dibawa untuk dieksekusi ke Killing Field. Sebuah ladang pembantaian ribuan warga Kamboja di pinggiran kota Phnom Penh.

Saya masih terus menguntit dibelakang rombongan turis bule itu, sambil menumpang penjelasan dari tour guide yang terus mengoceh penuh semangat. Sepertinya dia sudah terlalu sering menceritakan kisah kekejaman dan kekerasan selama Pol Pot berkuasa, wajah pria empatpuluh tahunan ini tampak dingin, tegar, kaku, tanpa ekspresi. Gamblang nian dia menceritakan beragam derita para korban, kebengisan algojo, serta proses penyiksaan hingga korban meregang nyawa. Dia sepertinya jauh lebih memahami seperti apa proses menuju kematian dibanding bagaimana menjalani sebuah kehidupan.

IMG_9636

IMG_9641

Di gedung terakhir saya lebih banyak terdiam, masing-masing ruangnya menyimpan banyak hal yang juga masih berbau horor, karena alat-alat penyiksaan tersimpan baik disana. Mulai dari bak kayu tempat membenamkan para tawanan, kursi dengan alat bor tengkorak kepala, juga aneka benda tajam dan benda tumpul untuk menyiksa tawanan. Semua barang berumur tua dan usang itu terlihat mengerikan, entah berapa banyak nyawa yang melayang dari alat-alat penyiksaan ini. Perjalanan horor masih berlanjut, di ujung ruangan saya menemui lemari-lemari kaca yang menyimpan tengkorak dan tulang belulang para korban pembantaian. Dipajang begitu saja didalam rak lemari kaca, atau juga diatas meja kaca dijalur lintasan para pengunjung. Sumpah bukan pemandangan yang menarik, saya lebih memilih membayangkan akuarium berisi ikan warna warni daripada akuarium berisi tengkorak yang tempurungnya pecah akibat dihantam benda tumpul.

Sore menjelang mengakhiri perjalanan wisata saya kali ini, entah saya masih menganggapnya sebagai sebuah aktivitas wisata atau tidak. Sembari menikmati buah semangka segar saya duduk termangu melamunkan pengalaman barusan. Mungkin suatu hal yang wajar mengeluarkan 3 USD untuk menonton tayangan film horor. Tapi ini jelas bukan film horor, melainkan sebuah sejarah nyata dari kejadian dimasa silam. Lagipula sejarah bukanlah tontonan seperti film, tetapi sebuah pelajaran untuk melangkah lebih baik pada periode berikutnya. Sebuah refleksi dari kesalahan generasi terdahulu yang jangan sampai terulang kembali. Jadi, sudah siapkah kita untuk mengemas kisah sejarah sebagai bagian dari nilai jual Pariwisata. Saya hanya bisa mengedipkan mata sebagai jawabannya.

IMG_9708

IMG_9724

IMG_9729