Jejalan ArtJog 2012

ArtJog adalah gelaran seni rupa tahunan Yogyakarta. Bertempat di Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani no 1 Yogyakarta. Tahun ini karya yang ditampilkan sebanyak 224 dari 155 orang perupa, baik dari dalam maupun luar negeri.

Malam minggu waktu itu selepas trip singkat ke Gunung Kidul, saya menyempatkan diri mengikuti ajakan teman lama untuk melihat pembukaan ArtJog. Saya memang tidak mengikuti dari awal pembukaannya yang kira2 dimulai sejak pukul tujuh malam, mengingat saya baru meluncur dari terminal Wonosari – Gunung Kidul sekitar pukul enam sore lebih. Pukul delapan malam lebih saya baru sampai di lokasi pembukaan ArtJog 2012 ini. Begitu menginjakkan kaki dipelataran Taman budaya, saya melihat anyaman bambu utuh didepan gedung, seketika kesan awal yang saya tangkap adalah pameran seni kali ini akan keren.

Tidak lama dipelataran Taman budaya itu juga saya bertemu teman yang sudah menanti. Kemudian teman saya mengajak masuk kedalam lagi untuk menyaksikan Orkes ‘Sinten Remen’ pimpinan musikus Djaduk Ferianto. Sembari berdesakan bersama penonton lain kami menikmati musik-musik plesetan yang berisi kritik sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat. Cukup menarik dan menghibur, beberapa liriknya menjadi bahan ger-ger-an penonton malam itu.

artjog7

Tak lama berselang, teman yang juga menampung saya bermalam di kosannya itu, mengajak bergeser masuk ke dalam gedung. Kali ini untuk menikmati melihat karya-karya perupa yang ada di dalam gedung. Berbagai karya lukis, patung, foto, seni installasi, videoart serta multimedia memenuhi sudut-sudut ruangan di di gedung Taman Budaya tersebut. Beberapa yang menarik perhatian saya adalah ketika sebuah ruangan diset warna hitam kelam dan di atasnya disusun gumpalan awan yang terbuat dari kapas, kemudian diberi benang-benang turun ke lantai menyerupai hujan, serta divariasi dengan tembakan cahaya projector ke belakang layar, jika kita mencoba berjalan melewati ruangan dengan suasana dreamy tersebut, seketika banyak imajinasi yang  muncul memenuhi kepala. Keren!.

artjog3

Beberapa karya seni menarik lainnya adalah beberapa buah baju digantung, kemudian dibagian tangannya yang berbentuk kaki kuda, turun menapak hingga ke lantai, sedangkan si pemakai baju adalah beberapa orang manusia asli, kombinasi yang unik menurut saya. Sebenarnya banyak sekali interpretasi yang muncul dibalik karya seni yang ditampilkan disana, beberpa berbicara tentang kritik akan keadaan, beberapa lainnya merupakan karya absurd, dimana saya pribadi tidak dapat mencari gagasan dibalik terbentuknya karya tersebut. Ya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, beberapa perupa terkadang cuma menuruti egoisme yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Tak perlu karya harus bermakna menurut orang lain, yang jelas kepuasan berkarya dalam beraktualisasi diri lebih diutamakan.

Malam itu saya menyusuri karya satu persatu sambil sedikit berdesakan dengan pengunjung yang lain, beberapa karya cuma saya lihat sekilas, sedang beberapa lainnya mampu menarik saya untuk tinggal lebih lama  dan menikmatinya hingga puas. Kira-kira selama 40 menit kemudian saya memutuskan keluar, memberi ruang untuk penonton lainnya. Ya mengingat banyaknya peminat pameran malam itu, penonton tidak dapat masuk langsung masuk dalam ke gallery, melainkan harus mengikuti pengaturan petugas serta panitia pameran.

artjog5

artjog4

Kondisi gallery akan sangat berbeda di waktu malam pembukaan dengan hari biasa. Waktu malam pembukaan kondisi penontonnya berjubel dan sesak, sehingga saya kurang nyaman untuk menikmati karya-karya yang ada. Maka pada hari minggu siang saya kembali mengunjunginya lagi, untuk sekedar menikmati beberapa karya dengan lebih nyaman. Tapi kali ini seorang teman yang merupakan editor majalah travel digital asal Jogja yang menemani saya.

Mengingat pameran ini masih berlangsung hingga tanggal 28 Juli 2012. Jika tidak ada halangan saya sarankan Anda untuk menikmati dan mengapresiasi langsung karya-karya perupa disana.  Atau sebelumnya anda juga bisa  mengunjungi situs resmi ArtJog untuk mengunduh Guide Book-nya terlebih dahulu.

artjog8

artjog2

artjog1

Jember Fashion Carnaval 2012

“Pertunjukan Kelas Dunia dari Kota TERBINA (Tertib, Bersih, Indah dan Aman)”

Adalah seorang Dynand Fariz yang sukses membawakan sebuah karnaval kelas dunia di kota tempat dirinya berasal. Ya Jember adalah sebuah kota kabupaten kecil di Jawa Timur  bagian selatan, di kota ini seorang Dynand Faris tumbuh dan berkembang, sebelum akhirnya sukses merintis karir didunia seni dan fashion. Beliau berhasil menjadikan Jember sebagai tempat untuk menyelenggarakan sebuah karnaval tahunan yang mampu menyedot perhatian wisatawan luas, baik domestik maupun internasional.

Hari minggu kemaren (8 Juli 2012), saya menyempatkan diri untuk melihat langsung gelaran karnaval fashion ke 11 ini, yang mengusung tema “EXTREMAGINATION”. Agar lebih leluasa dalam pengambilan dokumentasi acara, jauh-jauh hari saya sudah diberi tahu teman untuk mendaftarkan diri sebagai fotografer di website resmi panitia. Ya dengan mendaftarkan diri maka diwaktu pelaksanaan acara kita akan medapatkan Id card photografer. Dengan adanya Id card ini, akan memudahkan kita memasuki area utama karnaval ketika sudah berlangsung, termasuk juga kemudahan mengambil gambar di area persiapan rias dan make-up peserta sebelum acara dimulai.

Karena baru pertama kali ini saya berkunjung ke kota, tentu butuh guide lokal nan handal, untuk menjelajah kota dalam waktu kunjungan yang singkat. Pilihan saya jatuh pada sahabat lain, Arman Dhani seorang fresh graduate wartawan dari media lokal yang kerap dijuluki sebagai ‘sing nduwe Jember’ (yang punya Jember), oleh teman-temannya. Dengan ditampung di Istananya yang mewah dengan puluhan kamar (baca: kost-kostan), maka terhindarlah saya dari serangan udara dingin kota Jember dikala malam menjelang.

Tetapi sejujurnya saya bingung, sebenarnya saya itu ditampung di Istana atau di Perpustakaan sih? dari sudut kesudut ruangan isinya tumpukan buku, yang saya yakin 90% diantaranya belum pernah saya baca, hehe. Ya saya maklum, Dhani adalah seorang kawan yang gemar mengkoleksi buku. Dirumanya terenyata ada dua kamar penuh dengan buku ketika saya mencoba bertanya lebih jauh tentang buku koleksinya.

Reputasinya Dhani sebagai mantan wartawan lokal tak perlu diragukan lagi, orang ini kenalannya banyak, hampir disetiap tempat yang kami kunjungi banyak bertegur sapa dengan temannya. Belum lagi si Dhani hapal jalan-jalan dan sejarah sebuah bangunan tua di sudut-sudut kota Jember, benar-benar membantu saya untuk dapat mengenali dengan cepat seluk beluk kota tempat festival fashion ini  berlangsung.

Kembali ke acara Karnavalnya sendiri, acara yang di kukuhkan sebagai karnaval terbesar ke-4 dunia setelah Mardi Grass New Orleans, Rio De Jeneiro dan Fastnatch koln Jerman ini, baru dimulai sekitar pukul 12.30 minggu siang. Acara berlangsung cukup meriah, dengan mengusung tema EXTREMAGINATION, perserta dikelompokkan dalam beberapa grup dengan konsep kostum yang sama. Parade kostum yang extrem dan unik mengiasi delivile dengan jarak tempuh sekitar 3,5 KM tersebut. Setiap rombongan peserta dengan kostum satu konsep melintas di ikuti dengan sebuah mobil pick-up full dengan sound system memutar jenis musik yang menunjang dan  menghidupkan konsep kostum yang baru saja melintas di jalan. Memang ini adalah sebuah gelaran acara yang mampu membuat kota kecil Jember menjadi berwarna dan lebih semarak sehingga menarik minat wisatawan.

JFC

Hanya sedikit yang menurut saya kurang sreg dari acara ini tetapi masih dapat dimaklumi adalah konsep acara yang terpaku pada pakem fotografi. Baik pemahaman dari sudut peserta hingga panitia. Tetapi di sini saya cukup maklum, mengingat id undangan yang tersedia adalah fotografer, walaupun sebenarnya waktu acara kemaren, saya lebih menekankan untuk mengambil video. Yang bikin kurang sreg buat videografer adalah, peserta yang sering berpose patung sehingga kurang ekspresif untuk diambil dalam format video, hanya beberapa peserta yang terlihat cukup dinamis dengan berpose dan bergerak sesuai tema kostumnya. Mungkin akan sangat berbeda dengan official videografer,  mereka lebih leluasa melintasi dan bergerak diantara peserta sehingga bisa mendapatkan sudut-sudut pengambilan gambar yang lebih menarik dan variatif.

Diluar hal tersebut sih, acaranya tetap menarik untuk dinikmati, ya semoga tahun depan ada id khusus untuk videografer, dan tentunya dengan kewenangan yang lebih fleksible. Ya tentunya dengan verifikasi khusus agar hanya benar-benar orang yang berkepentingan dengan dokumentasi video yang bisa mendapatkannya.

Petirtaan Belahan, Candi Tetek

Sabtu pagi itu, saya sedang asyik berbelanja kebutuhan aquarium di pasar ikan. Maklum, selain suka travelling, saya sedari kecil adalah seorang penggemar ikan hias. Walau sudah menemukan apa yang dicari, namun saya masih menyempatkan diri melihat beberapa pernak-pernik aquarium dan kolam hias di pasar pagi yang ramai itu.

Sejenak tatapan mata saya tertumbuk pada beberapa benda replika kecil untuk kolam, seperti kincir air, patung kodok, patung ikan koi, dan yang paling menarik adalah patung replika ”manneken pis” yang legendaris itu. Yaaa betul, menneken pis yang selama ini kita kenal dengan tampilan patung bocah kecil nan lucu, dengan pose sedang pipis yang mana airnya terus-menerus keluar dan menjadi pancuran kolam. Sangat menarik memang, namun belum terlalu menarik bagi saya untuk membeli replika patung yang asalnya dari kota Brussels ini.

Segera saya mengangkat telpon dan mengontak Jeri, salah satu partner di jejalan. Tidak ada hubungannya dengan Pasar Ikan atau penggemar ikan hias tentunya, namun saya janjikan sebuah petualangan wisata yang menarik sebagai imbas terinspirasi dari manneken piss tadi. Hahaha, boleh jadi anda berpikir kalau kami akan berangkat ke Brussels. Karena demikian menggebunya, tepat pukul Sembilan pagi saya dan Jeri sudah bertemu di sekitar perempatan Gempol. Sembari menikmati beberapa butir Klepon di pagi hari, kami berdua melibas jalan raya Gempol – Pandaan dengan motor.

gunung-penanggungan-sawah

Tujuan kami berdua adalah  Candi Belahan, sebuah situs Purbakala di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di dusun Belahan Jowo, desa Wonosunyo, kecamatan Gempol, Pasuruan. Yang mana oleh warga sekitar lebih dikenal dengan sebutan Candi Tetek, tetek adalah sebutan untuk payudara dalam bahasa jawa. Petirtaan ini adalah sebuah pemandian bersejarah dari abad ke 11, di masa kerajaan Airlangga. Konon tempat ini terkenal sebagai tempat pertapaan prabu Airlangga, selain itu ada cerita juga tempat ini sebagai lokasi pemandian untuk selir-selirnya. Sebagai penanda maka dibangunalah dua buah patung yang mengalirkan air dari payudaranya.

Tidak mudah akses menuju kesana, dari pertigaan Pom Bensin Pelem, menuju ke arah barat dan berjarak kurang lebih berjarak 10 km dari jalan utama. Perjalanan 30 menit menyusuri perkampungan penduduk, diselingi dengan hamparan bukit dan persawahan di jalur aspal yang tidak begitu bagus. Pula motor-motor kecil kami harus bersaing dengan truk-truk pengangkut tanah dan pasir yang berukuran raksasa.

candi-tetek-bermotor-ke-penanggungan

candi-tetek-penanggungan

Debu dan deru asap monster-monster otomotif itu memang sangat mengganggu, namun efeknya justru kami akhirnya mendapatkan spot-spot penambangan pasir batu di kiri kanan jalan yang menampilkan view spektakuler. Belum lagi mendekati lokasi Situs Purbakala, terhampar pemandangan sawah hijau dengan landscape terasering khas pegunungan.

pertanian-lereng-gunung-penanggungan

Tiba di lokasi kami disambut hamparan pohon-pohon tinggi menjulang, suara kicauan burung, berisik serangga, dan gemericik air pancuran. Berbentuk kolam pemandian persegi empat, dengan pasokan air dari sebuah sumber kecil. Diperkirakan dibangun pada masa Raja Airlangga. Dinding sebelah barat belakang mengepras lereng gunung penanggungan dengan bentuk relung-relung yang dahulunya berisi arca perwujudan Airlangga sebagai dewa Wishnu. Jujur, ada rasa sedikit kecewa menyaksikan sosok Candi Tetek yang legendaris itu, ternyata kondisinya tidak seperti yang kami bayangkan. Berbahan dari batu bata, dengan permukaan yang sebagian sudah ditumbuhi lumut.

Sembari berdiskusi dengan warga lokal, kami cukup lama meluangkan waktu berteduh dibawah pendopo sederhana dalam kompleks candi seluas kurang lebih 120 meter persegi itu. Menyempatkan menyaksikan aktifitas penduduk sekitar yang memanfaatkan petirtaan candi sebagai sarana kebutuhan air bersih. Mulai mencuci, mandi, sekedar membasuh muka, atau bahkan mengambil langsung air dari pancuran untuk kebutuhan air minum.

candi-tetek

[one-half-first]candi-tetek-1[/one-half-first]
[one-half]candi-tetek-2[/one-half]

[one-half-first]candi-tetek-3[/one-half-first]
[one-half]candi-tetek-4[/one-half]

Tidak sedikit pula warga dari luar kota berkunjung untuk sekedar rekreasi, studi, atau juga wisata religi. Sebagian juga percaya jika air dari tempat ini membawa berkah, kesembuhan, dan juga berkhasiat. Bahkan pada malam-malam tertentu menurut penanggalan jawa, sering ditemui orang yang berkunjung dengan keperluan khusus. Tak heran kami juga menemukan beberapa sisa sesajen dan bekas bakaran dupa.

Mungkin sekarang candi Sumber Tetek mungkin sudah tak sebagus, atau sesakral pada masanya dulu. Namun setidaknya, eksistensinya masih bisa memberikan manfaat bagi penduduk sekitar, menjadi sebuah tanda keberadaan sebuah sejarah pada eranya. Dan yang paling penting, terlepas dari segala mitos dan kepercayaan tentang mistis tempat ini. Saya berharap, suatu saat nanti akan membuat replika Candi Tetek skala kecil untuk hiasan pancuran kolam air didepan rumah, hehe.

candi-tetek-belahan

Ruins of Plaosan

Sebuah video dokumentasi pendek Jejalan kami di Candi Plaosan, sebuah kompleks candi yang menurut saya cukup menawan. Kondisi candi ini boleh dibilang “relatif” lebih alami dibandingkan dengan kondisi candi Prambanan.

Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Candi Prambanan sebenarnya menjadi alternatif yang sangat menarik untuk dikunjungi. Jika badan Anda cukup bugar, candi ini bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki, lokasinya cukup dekat, hanya beberapa kilometer dari candi Prambanan. Ya, seperti yang saya lakukan bersama dua orang teman pagi itu. Dengan udara yang masih sejuk dan sinar mentari yang belum terlalu menyengat, kami berjalan kaki sambil menikmati areal persawahan yang menghijau di kanan-kiri jalan menuju Plaosan, cukup menyenangkan menurut saya.

Saya tidak akan bercerita panjang, sebenarnya Plaosan sendiri sudah pernah ditulis oleh teman saya, yang dikunjungi-nya kira-kira setahun yang lalu. Silahkan Anda baca saja sendiri di sini. Jadi boleh dibilang video ini menyertai kunjungan kami setelah kesekian kalinya.

Selamat menikmati.

plaosan-ruin-7

Waisak 2012 di Borobudur

Di atas adalah video pendek hasil dokumentasi Jejalan saya ketika mengikuti prosesi upacara keagamaan hari Trisuci Waisak di Candi Borobudur tahun 2012.

Sebenarnya saya tidak punya rencana pasti untuk datang pada acara Waisak di Borobudur kali ini, hanya sebatas keinginan saja, karena ada beberapa deadline yang menuntut harus saya selesaikan terlebih dahulu. Tetapi begitu mendekati hari acaranya dilaksanakan, saya memutuskan berangkat dengan mengajak dua orng sahabat Jejalan saya, Astoto dan Soer. Mereka sudah sudah terbiasa dengan trip dadakan dan tanpa plan yang sering saya lakukan. Dan merekapun menyanggupi ajakan saya untuk menemani hingga ke Jogja. Dikemudian hari Soer mengajak Rizky, seorang teman lain yang rupanya  ikut tertarik Jejalan bersama kami.

Hari Jumat malam kami tetapkan untuk berangkat. Ketika mendekati jam keberangkatan, ternyata saya masih berkutat dengan kerjaan yang ada, dan jauh dari kata selesai. Akan tetapi ketika Soer dan Rizky mengabari bahwa posisi mereka sudah berada di terminal Purabaya (Bungur AC), saya-pun memutuskan meninggalkan pekerjaan tersebut. Sedangkan Astoto yang masih berkutat dengan deadline lainnya, yang lebih tergolong urgent, memutuskan tetap tinggal di Surabaya dan merencanakan menyusul saya langsung ke Borobudur – Magelang, tepat pada hari pelaksanaan Festival berlangsung.

Maka jadilah kami bertiga yang berangkat pada malam itu, plan awal kami adalah Jejalan Jogja pada hari sabtu dan pada hari minggunya kita harus berpisah. Rizky dan Soer yang melanjutkan Jejalan Jogja dan saya lanjut ke  Borobudur di Magelang sendirian. Seharusnya hari minggu pagi Astoto langsung menyusul saya kesana, maka saya-pun berencana berangkat terlebih dahulu dengan harapan tidak ketinggalan mengikuti prosesi acara Waisak disana. Menjelang siang Astoto mengabari bahwa dia ketiduran, sayapun dapat memaklumi kondisinya, apalagi setelah dia berkutat dengan deadline sehari sebelumnya. Maka terpaksalah saya memtuskan ke Borobudur sendirian. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Di luar rencana, Tino seorang sahabat sekaligus Illustrator handal di Gameloft Jogja bersedia menemani saya. Tidak hanya itu diapun ternyata mengajak seorang teman kantornya untuk turut serta.  Dengan dibonceng Tino berangkatlah saya ke Magelang. Sedangkan temannya mengendarai motornya sendirian.

Sesampai di lokasi, saya dan tino berpisah dan hunting foto secara mandiri. Saya kembali bergerak ke candi Mendut untuk menilik prosesi kirab umat Budha menuju candi Borobudur, sekaligus menemui Irma seorang fotografer cewe asal Jember yang mendadak ikut menyusul ke Borobudur, dengan ditemani mas Bayu dari InfoBackpaker jadilah kami bertiga bergerak mendokumentasikan ritual waisak tahunan ini bersama-sama.

Kirab Biksu

IMG 7220

Menuju Candi Agung

Dua orang biksu muda didepan candi Borobudur

Hujan yang membawa hawa dingin-pun sempat turun disaat pawai dari Candi Mendut hampir berakhir di Candi Borobudur, tetapi hal tersebut tidak pernah mengendorkan semangat umat Budha untuk tetap setia mengikuti prosesi Waisak ini. Watu itu saya dan Irma memutuskan berteduh dahulu disebuah rumah penduduk demi mengamankan camera yang kami bawa. Cukup lama saya berteduh, disana saya jadi mengetahui bahwa hampir disetiap acara Waisak, pasti disertai turunnya hujan. Ya seperti sebuah mitos tentang hujan di malam tahun baru China. Ketika hujannya berubah menjadi gerimis kecil,  maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalan menuju Candi Borobudur. Cuaca yang masih belum terlalu bersahabat tersebut ternyata tidak menyurutkan banyak fotografer dan turis yang ikut memadati pelataran Candi Borobudur. Ya Suasana waisak saat itu rame  dan padat sekali.

Ketika menjelang malam selain hujan air dari langit, hujan flash dari kamera fotografer yang saya rasa cukup mengganggu juga tidak menghalangi para Biksu dan umat Budha yang lainnya untuk tetap menjalankan prosesi selanjutnya. Saya tidak perlu menjelaskan secara detail makna masing-masing prosesi yang sedang berlangsung waktu itu. Maklum waktu itu saya tidak lebih hanya sebagai seorang turis. Pesan saya buat turis lainnya yang menyaksikan upacara keagamaan tidak hanya Waisak ini saja, hendaknya cukup tahu etika. Semisal jangan menyalakan blitz kamera jika tidak benar-benar butuh dan memang di ijinkan atau jangan memasuki area-area yang sekiranya dapat mengganggu jalannya ibadah. Berlaku sopan akan lebih baik. Kadar toleransi umat beragama kita akan terlihat disini.

Mengenai toleransi, ada hal yang cukup menarik yang sempat saya amati di sebuah tenda di dekat pintu timur Candi Borobudur. Seorang Biksu senior memberikan kuliah umumnya dihadapan Biksu-biksu junior berikut orang umum tentang ajaran sang Budha,  di penghujung kuliah tersebut ada sesi tanya jawab antara Biksu Senior dan Biksu Junior, berikut juga dengan masyarakat umum yang waktu itu turut serta mengikuti kuliah tersebut. Ada sebuah sesi dimana beberapa Mahasiswa jurusan Ilmu perbandingan agama dari IAIN (saya lupa tepatnya IAIN mana) menanyakan tentang beberpa ajaran Budha. Bukan soal debat kolot soal prinsip beragama, tetapi sekedar diskusi dan tanya jawab yang santun . itulah yang saya maksudkan dari kata menarik diatas, disela-sela upacara besar ke-agamaan seperti saat itu, pemuka agama budha dengan arif dan bijaksana mau terbuka dan berdiskusi dengan pengunjungnya, walaupun itu dari agama lain. Indah rasanya menyaksikan toleransi antar umat beragama yang saling terjadi saat itu.

waisak-borobudur-1

waisak-borobudur-2

waisak-borobudur

Selepas acara tersebut para biksu bergerak menuju pintu utara candi Borobudur untuk mengikuti kelanjutan acara waisak dengan melakukan meditasi bersama-sama puluhan biksu lainnya di altar utama. Cukup lama acara meditasi berlangsung, ketika waktu mendekati tengah malam prosesi Phradaksina-pun dilakukan, yakni mengelilingi candi Pelataran candi Borobudur sebanyak 3 kali dengan membawa lilin. Setelah itu acara pelepasan lampion harapan mulai dilakukan.

Ratusan lampion berisi pesan dan harapan-pun diterbangkan ke langit yang mulai cerah dengan sinar bulan Purnama, Lampion terbang pada puncak acara Waisak di Borobudur saat itu menjadi penutup yang istimewa.

waisak-borobudur-3

waisak-borobudur-8

waisak-borobudur-6

waisak-borobudur-9

waisak-borobudur-4

Kicauan Merdu di Prambanan

Suasana lomba burung

Parkir selatan area candi Prambanan cukup ramai di Minggu pagi itu. Kendaraan bermotor dengan plat nomor dari beragam Karesidenan, terparkir rapi diatas hamparan rumput hijau kompleks percandian yang katanya merupakan Candi tercantik di Indonesia ini. Keramaian itu tidak seberapa dibandingkan dengan aktivitas pengunjung yang ada didepan gerbang masuk Parkir Selatan. Ratusan warga terlihat memenuhi beberapa lapangan dan stan yang ada, sebagian besar dari mereka menenteng sangkar burung yang masih ditutup kelambu. Sebuah pemandangan yang tak biasa di tempat seperti Prambanan ini.

Memang para Kicaumania (sebutan untuk komunitas pecinta burung berkicau) sedang sibuk mengikuti pehelatan akbar. Lomba Burung Berkicau Kelas Nasional Piala Raja yang selalu ditunggu-tunggu para penggila Burung Berkicau seantero Nusantara. Kebetulan Piala Raja yang diselenggarakan setiap tahun seringkali bertempat di kompleks Candi Prambanan. Tak heran, ribuan pecinta burung tumplek-blek jadi satu disana. Mulai dari peserta lomba, para penjual sangkar, penjual pakan dan kelengkapan memelihara burung, serta para penggemar burung yang sekedar menonton atau membeli barang-barang yang dijual di setiap stan yang ada.

Continue reading “Kicauan Merdu di Prambanan”

Chinese New Year at Patong – Phuket

 

Jejalan ke Phuket Thailand kali ini bertepatan dengan Imlek atau Chinese New Year. Kumpulan foto berikut ini diambil pada hari kedua kami bermalam di Patong City. Secara tidak sengaja ketika trekking malam, kami menjumpai rombongan warga yang merayakan imlek di salah satu sudut kota Patong, mereka berpawai keluar masuk toko dan restoran untuk menjemput angpau. Cukup menarik juga, mengingat Patong city ini dihuni oleh multi etnis, sangat beragam budaya yang berkembang disini. Kita bisa melihat budaya Thai, China, India dan bahkan Timur tengah dengan sangat kentara disana.

Awalnya kami skeptis untuk dapat melihat perayaan tahun baru cina disana, mengingat refrensi yang saya baca-baca via google searching merujuk pada sebuah kesimpulan bahwa di Thailand ketika tahun baru cina justru lebih sepi, karena rata-rata orangnya pada mudik ke kampung halaman, sebagaimana ketika kita ber-lebaran disini. Tetapi malam kedua itu kami sungguh beruntung karena menjumpai dua tiga atraksi budaya khas cina di jalanan Patong. Atraksi barongsai, Liang liong diiringi musik khas cina serta letusan petasan memang cukup meriah, sehingga membuat kendaraan di jalan bergerak lambat. Membludaknya antusiasme turis asing disana akhirnya memaksa polisi lalu lintas menertibkan penonton yang meluber hingga ke tengah jalan.

Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut silahkan menikmati hasil jepretan kami waktu disana.

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Chinese New Year at Patong - Phuket

Candi Plaosan

Pagi buta itu, saya melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal yang membelah persawahan hijau menuju ke candi Plaosan. Walau masih belum jam buka untuk pengunjung, saya memaksakan diri untuk diizinkan memasuki kompleks candi. Dengan sedikit basa-basi memperkenalkan diri sebagai kru Website Jejalan.com (yes sekalian promosi maksudnya). Tetapi nada memelas sayalah yang pada akhirnya meluluhkan bapak petugas untuk mempersilahkan masuk kedalam kompleks candi Plaosan. Hehe…

plaosan-ruin-8

“Candi Plaosan Dibangun pada abad 9 Masehi oleh Rakai Pikatan, Candi Plaosan Lor  terdiri atas dua candi utama, 58 candi Perwara, dan seratus lebih stupa. Kondisi candi utama dan belasan candi perwara masih utuh, namun yang lain sudah berupa reruntuhan”

Jarum jam belum menunjuk angka 7 pagi, kompleks candi masih sepi dari pengunjung. Hanya ada saya seorang diri di dalam area candi seluas sekitar 6 ha itu. Suara kicauan burung yang sangat ramai menyambut terbitnya mentari benar-benar kombinasi suasana yang sangat luarbiasa. “Mungkin harusnya mister Richard Gere memilih Plaosan sebagai tempat wisata religinya”, gurau saya dalam hati.

Dengan berbekal dua kamera dan sebuah tripod, saya mulai membidik spot-spot menarik disekitar candi. Kebetulan cuaca pagi sangat cerah sehingga memudahkan saya untuk mengabadikan scenes demi scenes kondisi candi Plaosan dengan lebih mudah.

[one-half-first]plaosan-ruin-6[/one-half-first]
[one-half]plaosan-ruin-5[/one-half]

plaosan-ruin-4

Hampir dua jam saya meng-eksplorasi candi Plaosan, sudah waktunya kompleks dibuka untuk umum. Beberapa pengunjung mulai datang dan berpose disekitar candi utama, nampaknya mereka para turis domestik yang sedang menikmati olahraga di minggu pagi. Terlihat empat buah sepeda fixie diparkir didekat pos jaga, menarik juga aktivitas mereka, berolahraga dan diakhiri dengan wisata menyambangi situs purbakala.

Dalam benak saya “Menarik! Mungkin suatu saat bisa mencoba aktivitas seperti mereka”

Akhirnya, tripod saya panggul, dua kamera saya masukkan dalam ransel. Sembari berpamitan pada bapak petugas yang berbaik hati mengizinkan saya masuk kompleks di pagi buta, saya bersiap melanjutkan jejalan ke arah Candi Prambanan.

plaosan-ruin-2

[one-half-first]plaosan-ruin-3[/one-half-first]
[one-half]plaosan-ruin-10[/one-half]

plaosan-ruin-11