Pukul sebelas malam saya sudah meluncur ke terminal Purabaya (Bungur AC) Surabaya, kali ini adalah trip dadakan ke Yogyakarta. Ya sebuah trip tanpa rencana yang matang sama sekali. Bahkan saya hanya packing sesaat sebelum berangkat saja. Sebuah tas daypack saya isi dengan dua buah t-shirt, sebuah kemeja, sebuah celana pendek serta tidak lupa sebuah tas kecil berisi kamera untuk ikut dimasukkan kedalamnya. Waktu itu hanya ingin menuruti kemana kaki ini akan melangkah di salah satu daerah istimewa Republik ini.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi saya masih belum mendapati bus Eka (Surabaya – Jogja) yang menjadi incaran untuk mengantarkan trip kali ini. Bersama banyak penumpang lain saya terlantar karena bus Patas ini tidak kunjung tersedia di Terminal. Beberapa tukang ojek secara persuasif menawarkan jasanya untuk langsung mengantri bus langsung dari Garasinya saja. Ya mengingat banyaknya penumpang yang bertujuan sama hendak ke Yogja pada jumat malam itu, banyak yang lebih memilih naik langsung dari garasi busnya.
Setiap kali ke Jogja saya lebih memilih bus Patas dibandingkan ekonomi. Pertimbangannya adalah lebih cepat dan nyaman untuk istirahat dalam perjalanan, selain itu jika di hitung tanpa mengambil menu makan ketika istirahat di tengah perjalanan perbandingan harga tiketnya hanya sekitar 12 ribu saja. Ya walaupun saya selalu mengambil jatah makannya sih. Lumayanlah untuk tambahan energi di perjalanan yang rata-rata menghabiskan waktu normal antara 6-7 jam ini. Dengan balutan rasa kantuk, saya memutuskan bergeser ke arah tempat tunggu bus Ekonomi. Lah… saya sempat terkejut, ternyata sama saja di lokasi tempat bus Ekonomi ini berangkat. Penumpang yang mengantri malah jauh lebih rame dan padat. Saya baru menyadari jika malam itu adalah awal weekend sebelum memasuki bulan Ramadhan. Wajar saja penumpangnya membludak. Ya mungkin beberapa hendak mudik dini untuk melaksanakan ritual ziarah ke makam kerabat yang mendahului mereka. Atau bisa jadi banyak yang memang berencana untuk meliburkan diri sebelum memulai aktivitas puasa.
Tepat setengah tiga pagi saya baru dapat naik ke bus Sumber Selamat, itupun setelah sedikit berebut dengan calon penumpang lain. Mendapatkan tempat duduk dekat jendela, maka segera saya beristirahat sejenak dengan menyandarkan kepala di kaca jendela. Yap kantuk yang menyergap segera membuat saya terlelap.
Entah waktu itu sudah sampai mana, tiba-tiba saya terbangun ketika hari sudah hampir terang, tetapi matahari belum juga menampakkan diri. Perkiraan saya sih hampir memasuki wilayah ngawi. Oke segera saya browsing destinasi via hape butut saya. Ya saya baru mencari destinasi ketika diatas bus yang melaju membawa badan saya ke Jogja. Setelah membaca secara singkat beberapa alternatif lokasi menarik, akhirnya pilihan mengerucut di sekitaran pantai Gunung Kidul. Maka saya putuskan menjelajah Pantai Wediombo, dengan pertimbangan info bahwa Wediombo memiliki garis pantai paling panjang dibandingkan pantai lain di kawasn Gunung Kidul.
Setelah fix dengan rutenya, saya melanjutkan beristirahat lagi, tetapi seringkali terbangun mendadak karena sebab kondisi jalanan yang mulai tidak rata dan juga cara mengemudi supir yang bak superhero… haha, maka istirahat diperjalananpun menjadi tidak bisa maksimal lagi.
Pukul 12 siang bus yang saya naiki baru memasuki terminal Giwangan, Yogyakarta. Setelah menyempatkan diri sarapan siang dengan Gudeg yang di jual dikantin terminal, saya melanjutkan perjalanan ke Kota Wonosari. Ya untuk menuju ke berbagai pantai di Gunung Kidul via transportasi umum, langkah pertama adalah kita harus ke Terminal Wonosari untuk berpindah kendaraan lain yang akan mengantarkan kita ke pantai tujuan. Cukup dengan membayar sejumalah uang 6.000 rupiah kita akan sampai terminal Wonosari. Pilihannya ada dua, bus besar atau bus kecil (minibus), keduanya sama saja, hanya saja bus yang agak besar relatif lebih membutuhkan waktu untuk menunggu penumpang penuh, sebelum busnya dapat berangkat.
Perjalanan dengan melintasi punggung Gunung Kidul cukup menarik, rerimbunan pohon dan kombinasi kontur tanah yang naik turun cukup menghibur mata. Dengan berjalan lambat dan menempuh perjalanan hampir satu setengah jam. Akhirnya Bus saya sampai juga di Terminal Wonosari. Setelah bertanya beberpa orang di terminal, akhirnya saya melanjutkan perjalanan dengan minibus ke arah Jepitu. Perjalanan dari Wonosari ke Jepitu di tempuh dengan waktu kira-kira satu jam lebih sedikit. Tarif yang berlaku seharusnya 6.000 rupiah juga, tetapi pak Supir meminta ongkos 10.000 rupiah. Sayapun tidak mau berdebat, karena fisik sudah cukup lelah dengan perjalanan yang terus sambung-menyambung semenjak semalam. Terlebih lagi hanya saya tinggal satu-satunya penumpang yang harus diantarkan hingga akhir tujuan.
Sebenarnya cukup kaget ketika sebelumnya penumpang lain memberitahu, bahwa bus ini adalah minibus terakhir yang berangkat menuju Jepitu. Ya mengingat Jepitu adalah desa kecil di Gunung Kidul maka tidak banyak penumpang yang menggunakan transportasi ini lagi, ketika hari mendekati malam. Dan seperti biasa ketika memutuskan untuk Jejalan, maka show must go on. Soal apakah ada transportasi balik ke Yogyakarta sore nanti?, itu diurus belakangan. Kalaupun harus menginap di pantai, saya tidak akan pernah keberatan.
Jarak pantai dari pemberhentian minibus tadi adalah 5 km. Dari info browsing dibus terdapat dua opsi untuk mencapai pantai, pertama jalan kaki kira-kira 30 menit, atau naik ojek dengan ongkos 5.000 rupiah. Dan benar saja setelah berjalan sejenak dan mencari hingga pertigaan jalan, sayapun mendapati ojek untuk mengantarkan mencapai destinasi akhir. Alhamdulillah saya tidak perlu melakukan opsi yang pertama, hehe.
Karena kedatangan saya saat itu sudah hampir sore. Pak Basri (kalau saya tidak salah ingat nama tukang ojeknya) menawari saya untuk dijemput kembali pada pukul lima. Maka beliaupun menjelaskan bahwa sudah tidak ada lagi ojek ataupun transportasi lain ketika hari sudah sore untuk kembali ke desa Jepitu.
“Kalau minibus ke arah Wonosari masih ada kan Pak?” tanya saya sebelum menjawab tawarannya.
“Haha… Masnya dari mana ya, kok sore hari baru berkunjung kesini?” beliau balik bertanya.
“Saya sih dari Surabaya Pak, dan ini langsung iseng lanjut kemari.” Jawab saya
“Ohh pantes, jadi belum pernah kemari rupanya, ya disini memang ketika sudah sore hari sudah tidak ada kendaraan umum yang beroperasi, ya karena memang tidak ada yang memakai, jadi mereka berhenti beroperasi daripada tekor setorannya… hehe.” kata beliau mencoba menjelaskan.
Sebenarnya percakapan yang terjadi diantara kami dalam bahasa jawa. Sayapun kemudian berusaha mengorek keterangan lebih jauh tentang kondisi disana. Setiba di parkiran pantai Wediombo sayapun mencoba menawarkan untuk belau bersedia untuk menjemput dan mengantarkan saya ke terminal Wonosari. Ya dengan sedikit negosiasi disepakatilah harga 50.000 rupiah untuk mengantar saya kepantai dan kemudian menjemput, sekaligus mengantarkan kembali saya ke Wonosari, yang berjarak kira-kira 40 km dari pantai ini. Lumayan jauh rupanya, haha.
Kesepakatan dengan Pak Basri membuat saya sangat lega ketika harus mengeksplorasi pantai yang masih alami ini. Alami dalam artian belum banyak di eksplorasi, hal itu terlihat masih sedikit bangunan penunjang disekitar lokasi pantai. Ketika saya mencoba memandangi sekilas kondisi pantainya, ternyata masih banyak sampah dedaunan dan ranting yang tersebar di pantai. Sekilas terlihat kotor memang, tetapi itulah tanda kalau pantai ini memang masih cukup alami. Kombinasi tanah berpasir putih diselingi batuan karang dengan variasi berbagai ukuran membuatnya unik. Anda akan kecewa jika mengharapkan kondisi pasirnya selembut seperti pantai Kuta di Bali atau the Gili’s di Lombok. Tetapi pantai ini tetap menawan mata.
Awalnya saya mencoba berjalan pelan menuju ujung timur pantai, lokasi ini sepertinya adalah penarik utama wisatawan, dengan pantai perpasinya yang paling luas, saya mendapati beberapa rombongan keluarga yang mencoba menghabiskan akhir pekannya dengan bermain pasir pantai. Beberapa berpose dan berfoto dengan riang, cukup pas dengan cuaca siang menjelang sore waktu itu. Langit cerah dengan warna birunya sembari diselingi gumpalan awan putih yang cantik jika dilihat.
Setelah cukup mengambil gambar di sisi timur, saya melanjutkan berjalan ke bagian barat pantai ini. Sesekali saya berhenti untuk mengambil gambar. Sesekali juga sekedar duduk-duduk diatas batu karang sembari menikmati angin laut selatan. Seolah mereka mencoba menyapa dengan menghantarkan salam melalui gelombang air lau yang saling berkejaran. Sebuah perasaan tenang ditengah berisiknya suara deburan ombak dipecah karang. Ya waktu itu saya benar-benar mencoba menikmati pemandangan yang ada di depan mata. Rasa lelah setelah melakukan perjalanan panjang-pun sedikit terlupakan.
Setelah puas saya berupaya menghimpun sisa tenaga untuk memanjat pohon dan menikmati pantai dari ketinggian. Haha, saya berusaha memanjat sebuah pohon besar. Puas saya menikmati keindahan pantai dari atas pohon. Kemudia saya mencoba duduk dan bersandar untuk sekedar beristirahat pada sebuah dahan. Hampir saja saya tertidur oleh bisikan dan buaian semilir angin yang masuk dari celah-celah dedaunan. Envy!
Cukup lama saya menikmati kesendirian dibagian barat pantai ini. mengingat pengunjung lebih terfokus dibagian timur saja. Mendekati tenggelamnya sang mentari merah, saya bergegas berjalan kembali ke arah parkiran, menunggu Pak Basri tukang Ojek tadi untuk datang menjemput.
Sebelumnya saya menyempatkan untuk mengisi perut dengan mie kuah di warung pinggir pantai, dan disana saja jadi cukup paham kenapa pantai yang potensial ini sepi pengunjung. Ibu penjual mie bercerita kalau tahah sepanjang pantai ini adalah tanah milik pribadi beberapa orang penduduk setempat. Berbeda dengan pantai di Gunung kidul lainnya, dimana statusnya kebanyakan adalah milik Negara atau publik, sehingga relatif mudah untuk dikembangkan.
Kendala kedua adalah suplai kebutuhan pokok semacam air bersih, padahal air adalah kebutuhan vital untuk memudahkan segala macam kegiatan serta aktivitas ekonomi. Tidak heran jika disana tidak ada penginapan untuk pengunjung yang berniat untuk bermalam. Satu-satunya cara untuk bermalam, ya kita harus siap untuk berkemah disana. Atau setidaknya bersiaplah membawa sleeping bag untuk sekedar berteduh di areal parkiran.
Diluar hal diatas, pantai ini masih layak untuk dikembangkan lagi potensinya, tetapi dengan catatan tetap mengakomodir kelestarian alamnya. Sebuah konsekuensi yang sering kali dipandang sebelah mata ketika sebuah tempat wisata mulai dieksploitasi untuk tujuan komersial.
Comments
1 Comment4 Tempat Wisata Jogja Ini Terlalu Keren Buat Dilewatin! – Hello-pet
Jul 27, 2016[…] via: http://jejalan.com […]