Jejalan ke Phuket Thailand kali ini bertepatan dengan Imlek atau Chinese New Year. Kumpulan foto berikut ini diambil pada hari kedua kami bermalam di Patong City. Secara tidak sengaja ketika trekking malam, kami menjumpai rombongan warga yang merayakan imlek di salah satu sudut kota Patong, mereka berpawai keluar masuk toko dan restoran untuk menjemput angpau. Cukup menarik juga, mengingat Patong city ini dihuni oleh multi etnis, sangat beragam budaya yang berkembang disini. Kita bisa melihat budaya Thai, China, India dan bahkan Timur tengah dengan sangat kentara disana.
Awalnya kami skeptis untuk dapat melihat perayaan tahun baru cina disana, mengingat refrensi yang saya baca-baca via google searching merujuk pada sebuah kesimpulan bahwa di Thailand ketika tahun baru cina justru lebih sepi, karena rata-rata orangnya pada mudik ke kampung halaman, sebagaimana ketika kita ber-lebaran disini. Tetapi malam kedua itu kami sungguh beruntung karena menjumpai dua tiga atraksi budaya khas cina di jalanan Patong. Atraksi barongsai, Liang liong diiringi musik khas cina serta letusan petasan memang cukup meriah, sehingga membuat kendaraan di jalan bergerak lambat. Membludaknya antusiasme turis asing disana akhirnya memaksa polisi lalu lintas menertibkan penonton yang meluber hingga ke tengah jalan.
Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut silahkan menikmati hasil jepretan kami waktu disana.
Overbath sebenarnya adalah istilah untuk menyebut bathub ukuran extra besar, tapi disini Overbath kami anggap sama saja dengan sebuah kolam renang karena sama-sama tempat menampung air dengan ukuran yang Jumbo juga. ahaha rada maksa sih 😀
Sekilas tentang Bromo dan Scenery indahnya, beberapa footages diambil pada dua kesempatan berbeda. Pertama sebulan sebelum acara Kasada di Bromo dimuali. Sedang satunya lagi adalah ketika puncak acara Kasada itu sendiri. Dan pada saat bertepatan dengan acara Kasada, teman-teman dari Hifatlobrain mengeksekusi ide pembuatan video tentang traveling. Video ini diberi judul Homeland, sebuah pesan pendek tetang seorang pejalan pada akhirnya akan dianggap sukses jika sudah kembali ke rumah.
Eksekusi video tersebut berangkat dari kata-kata seorang penulis asal China, “No one realizes how beautiful it is to travel until he comes home and rests his head on his old, familiar pillow.“
Hal yang tidak berbeda  dapat kita amati sebagai budaya bangsa kita Aktivitas pulang kampung atau dikenal dengan sebutan mudik selalu menjadi tradisi tahunan, baik bagi individu maupun kelompok masyarakat yang merantau untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik menjadi  momen penting dalam mempertahankan tali silaturahmi dengan kerabat dikampung, terlepas dengan embel-embel bahwa si pemudik telah benar-benar sukses di perantauannya ataupun malah sebaliknya.
Sebulan belakangan ini saya diteror oleh kerjaan  yang tak kunjung selesai, dan sekarang sudah memasuki bulan terakhir ditahun 2011. Dan saya belum berjalan-jalan sama sekali, begitu juga dengan partner Jejalan saya. Kebetulan kali ini saya terlibat dalam kerjaan yang sama dengan dia, jadi ya sama-sama memahami kesibukannya masing-masing.
Tetapi bagaimanapun kaki dan mata ini sudah kangen dengan aktivitas Jejalan tanpa di sibukkan dengan pikiran soal deadline yang semakin ketat. Ya sebenarnya awal tahun nanti (2012) kami sudah mengantongi beberapa tiket perjalanan liburan yang cukup panjang. Selama 8 hari penuh kita akan bermain-main air dipantai di dua tempat berbeda. Selain itu sebenarnya ada beberapa destinasi yang akan saya kunjungi tetapi belum benar-benar fix jadwal keberangkatannya. Ya bervariasi antara yang dekat-dekat saja dengan yang cukup jauh, baik dalam maupun luar negeri.
Jadi semoga bisa bersabar sampai hari H keberangkatannya nanti… ohh saya sudah rindu berat dengan Jejalan… Pantai, Gunung, Hutan, Sungai, Danau, Sawah… nantikan saya 🙂
Tidak sampai dua jam perjalanan santai dari arah Surabaya, kami telah memasuki daerah Lawang, Malang. Sengatan terik mentari menjelang siang yang kami rasakan disepanjang jalanan dari Surabaya, sontak berubah seketika sejuk dan adem tatkala memasuki area Kebun Teh Wonosari Lawang. Kami mengurangi laju kecepatan motor, melepas helm sambil mengemudi lebih santai menikmati perjalanan memasuki area Kebun Teh yang berada di Lereng Gunung Arjuna ini.
View Pegunungan di Kebun TehAreal Perkebunan TehPencari Kayu Bakar
Tepat pukul sebelas siang, kami memasuki areal parkir perkebunan yang konon telah eksis sejak tahun 1910 ini. Walau dulunya bekas peninggalan pekebunan jaman Belanda, semenjak Kemerdekaan perkebunan Teh Wonosari Lawang sudah diambil alih, dan saat ini dikelola oleh PTPN sekaligus dijadikan sebuah wisata alam perkebunan yg menyajikan beragam fasilitas dan berbagai jenis rekreasi.
Kami mencoba berkeliling melihat segala aktivitas pengunjung yang asyik menikmati fasilitas di areal ini. Ada kereta kelinci, mini zoo, taman bunga, play ground. Juga arena outbund yang dilengkapi dengan jogging track dan jalur trek kendaraan ATV. Sementara untuk pengunjung yang menginap, disediakan fasilitas penginapan dengan meeting room dan fasilitas kolam renang air panas. Cukup kompleks untuk areal tempat wisata perkebunan. Apalagi di dekat pabrik pengolahan teh, terdapat Koperasi swalayan wonosari yg menjual souvenir dan oleh-oleh khas, kebanyakan memang olahan daun teh. Dan di sudut koperasi disediakan area Tea Corner yang menyediakan sajian teh alami dari hasil perkebunan itu sendiri.
Memang keberadaan fasilitas pendukung itu cukup memuaskan pengunjung. Disamping mereka bisa menikmati hamparan hijaunya perkebunan teh disepanjang jalur trekking yang sebagian lintasannya sudah beraspal dan bisa dilalui mobil. Namun bagi kami, sabtu siang itu lebih menarik jika kami gunakan berkeliling sembari menyaksikan ibu-ibu setengah baya yang asyik memetik teh langsung dari perkebunan. Kami sarankan waktu paling baik berkunjung kemari adalah sabtu menjelang akhir pekan, karena jika bertepatan hari Minggu, bisa dipastikan tempat ini akan dipenuhi pengunjung, serta anda tidak akan menemukan momen para pekerja yang asyik memanen teh, karena hari Minggu segala aktivitas pengolahan teh termasuk pabrik libur.
Setelah hampir satu jam trekking membelah perkebunan, serta menyempatkan diri mengambil gambar-gambar unik dan berpose serba menarik. Mendung gelap mulai menggelayut disertai rintik hujan gerimis. Seketika para pengunjung berlarian mencari area berteduh, namun tidak dengan kami. Begitulah, kami justru semakin dalam masuk kearea perkebunan sembari memasang perlengkapan tempur yang telah kamisiapkan. Mantel hujan, sandal anti selip, serta seperangkat kamera.
Awan Tebal MenggantungÂ
Pemetik teh
[/wpcol_1half_end]
Inilah salah satu konsep Jejalan yang sedikit berbeda, dikala pengunjung lain mengutuk datangnya hujan yang mengganggu liburan mereka, kami justru berniat kemari untuk menunggu datangnya hujan. Karena salah satu daya tarik Kebun Teh yang jarang ditemui adalah keunikan kabutnya yang kerap muncu seusai hujan lebat. Karena itulah kami berkunjung tepat di musim hujan dan menjelang sore, sengaja untuk memburu kehadiran kabut yang eksotik itu.
Tak terasa berapa lama waktu telah berlalu, tetapi kami dengan sabar menanti hujan usai sembari menggigil menahan dingin ditengah perkebunan. Jalur trek mulai banjir dan disepanjang hamparan hijaunya perkebunan itu tidak ada orang lain kecuali kami berempat yang sedikit gila, mematung dengan kamera ditangan menunggu hujan reda. Namun sayangnya, walau hujan telah reda, kabut beum juga muncul. Dengan kekecewaan yang menyesakkan dada, kami melangkah gontai dengan kaki gemetar menahan dingin menuju kearah Selatan Pabrik, dimana terdapat para penjual makanan.
Berhujan-hujanan Di Kebun Teh
Boleh jadi hujan siang itu memang lebat, namun suhunya belum cukup dingin untuk mendatangkan kabut. Apa boleh buat, kamipun terpaksa mampir ke warung-warung kaki lima, sekedar menikmati makan siang menjelang sore. Banyak pilihan makanan diarea ini, mulai bakso, nasi goreng, mie, gado-gado dan masakan praktis lainnya. Dengan ditemani para pengunjung lain yang nampaknya menikmati makan dan berteduh sejak siang tadi. Tiba-tiba hujan kembali turun lebih deras lagi.
Untuk kedua kalinya para pengunjung kecewa, rencana mereka menikmati liburan sampai sore kembali terganggu. Akan tetapi, kami semakin semangat dan deg-degan menunggu hujan reda. Walau pakaian masih sedikit basah, dan mantel hujan belum kering betul, kami Pantang Surut Memburu Kabut.
Tepat pukul tiga sore hujan mulai reda, disaksikan pandangan-pandangan aneh dari para pengunjung lain, kami menghambur masuk lagi kedalam area perkebunan. Memburu kabut yang mulai turun seiring berakhirnya hujan. Sungguh pemandangan yang luar biasa, kepadatan kabut menciptakan pemandangan yang samar diarea perkebunan hijau itu. Seolah ada nuansa mistis, imajinasi kami melayang pada berbagai hal tentang keindahan, misteri, dan juga rasa penasaran. Mengingatkan kami akan tampilan film-film horror kelas Hollywood. Walau jarak pandang terbatas, kami tetap menyeruak menerobis diantara dedaunan teh, mengambil gambar-gambar yang cukup menarik untuk disajikan bagi para penikmat Jejalan.
kabut tebal membatasi visual dan jarak pandangkebun teh diselimuti kabut tebalkabut tebal di jalanan perkebunan teh lawang
memulai trekking menikmati kabut dan dingin
menikmati kesegaran udara perkebunan teh
menikmati kesegaran udara sejuk perkebunan teh
Akhir cerita, jam empat sore kami mengakhiri perburuan dan keluar dari area perkebunan. Tentunya dengan kepuasan yang luar biasa karena berhasil mendapatkan apa yang kami buru. Meskipun demikan, daya tarik keberadaan kabut di Kebun Teh masih memancing penasaran kami hingga saat ini.
Semoga dimusim hujan lain waktu, tim Jejalan bisa mendokumentasikan keunikan ini dengan lebih baik. Jejalan Yuk…!
Sudah sesuai dengan rencana sebelumnya, tengah minggu itu kami memutuskan menyambangi salah satu lokasi air terjun di kawasan prigen pasuruan. Berada sekitar 6-7 km sebelah selatan dari air terjun kakek bodo, warga sekitar menyebutnya dengan julukan Air Terjun Alap-Alap. Mengambil nama sejenis burung pemangsa yang merupakan satwa endemik di hutan penyangga ekosistem pegunungan Welirang – Arjuno.
Kendati tidak dibuka untuk umum, air terjun ini bisa dijangkau dengan trekking kurang lebih 1 jam dari area bumi perkemahan kakek bodo. Berjalan menyusuri jalur hutan yang berkelok, menembus semak belukar dan naik turun tanjakan, merupakan sensasi yang menarik bagi para penggemar trekking kelas menengah seperti saya.
Sudah lama saya tidak bersenang-senang dalam melakukan aktivitas Jejalan. Akhir-akhir ini perjalanan saya lebih diribetkan  dengan urusan teknis seperti kamera, bekal dan sebagainya. Tetapi hal tersebut tidak bisa saya hindari sih, mengingat sejak saya memutuskan untuk men-sharing kisah perjalanan dalam bentuk blog ini, maka mutlak setiap perjalanan harus di rencanakan dan dokumentasikan secara lebih matang, walaupun proses menuju matangnya sendiri, saya masih perlu belajar banyak hal.
Kondisi ini membuat saya cukup merindukan saat-saat proses Jejalan masih sekedar mengunjungi sebuah destinasi dan mencoba beradaptasi dengan segala kondisinya. Kondisi alam yang tidak bersahabat, kekurangan bekal dan peralatan tidak menyurutkan saya untuk dapat menikmati perjalan apa adanya.
Seperti yang terlihat dalam Foto-foto berikut, sebuah perjalanan saya tahun lalu ke sebuah kawasan kebun teh di Lawang. Sebuah perjalanan singkat dengan tujuan menikmati udara dingin dan pemandangan yang terbentang hijau di areal perkebunan teh. Sebuah perjalanan yang cukup menyenangkan dengan teman-teman yang asyik, sehingga cukup untuk mengeluarkan segala bentuk ekspresi kami dengan spontan, keadaan dimana saat-saat kami teringat betapa anak kecil ketika bermain bisa bebas sebebas-bebasnya, tanpa beban dan pikiran aneh-aneh, just fun.
Dan itulah yang kami lakukan saat itu, padahal tidak lama setelah kami menginjakkan kaki di sana, awan mendung dan hujan deras menghampiri. Ketika pengujung yang lain pada berebut berteduh di pondokan dan kantin-kantin disekitar Pabrik teh, kami malah mengenakan jas hujan dari motor untuk dapat terus menerobos lebatnya hujan dan tetap berkeliling menikmati kebun teh hingga puas dan senang.
Mungkin ada kalanya Jejalan kami berikut-berikutnya tetap mengedepankan dokumentasi yang ciamik, tetapi juga tidak meninggalkan prinsip-prinsip mendasar untuk tetap menikmati setiap tahapan perjalanan. 🙂
Bersatu Kita Senang-senang
Formasi Tiga Pendekar
Jurus Tangan SewuTantangan PendekarAdu Kesaktian “Let’s Fight”The BrandalsHarap Maklum Masih Kanak-kanak
Sebenarnya saya sedang tidak tahu harus menulis apa lagi, masih banyak stok foto dan cerita yang ingin saya tulis, tetapi selalu terkendala mood. Ya penyakit yang satu itu memang tidak pandang bulu, terlebih lagi tubuh lemas saya yang dihajar rutinitas tanpa henti-henti. Beberapa rutinitas memang menyenangkan, tetapi sesampainya dirumah pasti kasur seakan memangil-manggil untuk segera dihuni. Terus kalau begini maunya apa coba? bingung kan?
Sudahlah saya sendiri sedang bingung mau posting apa. Dua buah e-book yang diplanning sedang tahap finishing, artikel Bromo juga sedang mentah ditengah jalan, ndak nemu mood buat melanjutkan. Kisah refreshing di sekitar Gunung Salak, sudah terlalu lama untuk di ingat detail dan feelingnya. Tetapi anehnya kalo soal makanan kok masih ingat terus, haha sepetinya ada benarnya orang-orang di timeline twitter bilang, kalau makanan adalah pelarian utama orang yang sedang stress 🙂
Okelah mungkin saya posting foto-foto tanpa cerita saja, karena memang asal jepret dengan kamera ponsel 1.3 m pixel yang selalu setia menemani waktu sedang trip sendirian dengan KM. Dobonsolo 🙂
Matahari Terbenam di Dobonsolo 2Matahari Terbit di Dobonsolo 1Matahari Terbit di Dobonsolo 2
Kali ini saya mencoba sedikit berbagi cerita Jejalan yang tetap meng-explore keadaan air terjun Sekuti. Jika postingan cerita sebelumnya adalah tentang Sekuti atas (dapat dibaca disini), maka kali ini saya mencoba mengunjungi Sekuti dari view bawah air terjunnya. Untuk mudahnya kita sebut saja Sekuti bawah.
Setelah beberapa waktu lalu saya seharian jelajah hutan dikaki Gunung Welirang – Arjuno, menemukan beberapa keadaan hutan yang kini mulai rusak dijamah tangan manusia. Semuanya jika ditelusuri maka bermula dari masalah ekonomi masyarakat sekitar, hutan-hutan mulai di babat untuk dijadikan lahan berkebun demi pemenuhan kebutuhan makan keluarga setiap hari. Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Disatu sisi untuk kebaikan, disisi lain mengancam kelestarian alam.
Dalam benak saya jadi teringat cerita teman saya Ayos, yang mengutip dialognya dengan pejabat pemerintahan di bidang pariwisata. Pejabat tersebut menyayangkan semakin maraknya pembangunan wahana wisata buatan di Jawa Timur semacam WBL atau Jatim Park, tentu hal ini dapat menggeser kepopuleran wisata alam yang merupakan potensi utama dari Jawa Timur. Memang ada benarnya juga yang dikatakan pejabat tadi. Selain budaya yang lebih beragam, Jawa Timur memang sesungguhnya adalah rumah bagi pencinta alam.
Hal tersebut sempat saya sampaikan ke teman saya Surya, dan dia malah berpikir sebaliknya. Menurut dia biarkan saja wahana buatan itu semakin ramai dengan pengunjung. Agar potensi wisata alam di Jawa Timur tidak semakin rusak karena semakin di eksploitasi guna memenuhi kebutuhan dan kenyamanan pengunjungnya, dia berpendapat biarlah hanya orang-orang yang tertarik dengan wisata alam yang datang untuk meng-ekplornya tanpa merusaknya. Baginya seorang traveler/petualang harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang dia kunjungi, tanpa harus memaksa lingkungannya untuk dapat menyesuaikan kebutuhan pengunjung.
Kembali soal kerusakan hutan tadi, masalah dilematis kembali terjadi disini. Seorang teman pernah bercerita bahwa dia sangat tidak setuju spot-spot wisata alam yang cukup menarik, tetapi belum di buka untuk umum kemudian akan di buka. Dia berpendapat bahwa pembukaan lokasi itu untuk umum sama saja dengan membiarkan perusakan terjadi pelan-pelan. Tetapi dia juga dihadapkan pada kenyataan, bahwa masyarakat sekitar spot wisata tadi juga membutuhkan pilihan lapangan pekerjaan. Jika tidak pembukaan lahan hutan secara liar untuk berkebun, seperti terpampang di depan saya ini menjadi pilihan utama masyarakat sekitar. Benar-benar masalah yang pelik, disatu sisi petugas perhutani sebagai penanggung jawab resmi kawasan tersebut, terlihat membiarkan saja kondisi tersebut. Jika dibiarkan maka secara pelan-pelan akan menjadi pembenaran masyarakat sekitar untuk terus membuka lahan di hutan.
Dari hal-hal diatas saya jadi berpikir, bahwa beberapa pendapat yang saling bertolak belakang tadi masing-masing mempunyai argumentasi yang sama-sama dapat dibenarkan. Tidak ada yang mutlak seratus persen benar dan juga tidak ada yang salah pula. Entahlah saya sendiri cuma bisa berkeluh kesah tanpa bisa berbuat banyak. Â Harapan saya cuma satu, semoga egoisme kita sebagai manusia ini menemukan jalan keluar yang terbaik bagi dirinya dan juga alamnya.