Setelah beberapa waktu lalu saya seharian jelajah hutan dikaki Gunung Welirang – Arjuno, menemukan beberapa keadaan hutan yang kini mulai rusak dijamah tangan manusia. Semuanya jika ditelusuri maka bermula dari masalah ekonomi masyarakat sekitar, hutan-hutan mulai di babat untuk dijadikan lahan berkebun demi pemenuhan kebutuhan makan keluarga setiap hari. Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Disatu sisi untuk kebaikan, disisi lain mengancam kelestarian alam.
Dalam benak saya jadi teringat cerita teman saya Ayos, yang mengutip dialognya dengan pejabat pemerintahan di bidang pariwisata. Pejabat tersebut menyayangkan semakin maraknya pembangunan wahana wisata buatan di Jawa Timur semacam WBL atau Jatim Park, tentu hal ini dapat menggeser kepopuleran wisata alam yang merupakan potensi utama dari Jawa Timur. Memang ada benarnya juga yang dikatakan pejabat tadi. Selain budaya yang lebih beragam, Jawa Timur memang sesungguhnya adalah rumah bagi pencinta alam.
Hal tersebut sempat saya sampaikan ke teman saya Surya, dan dia malah berpikir sebaliknya. Menurut dia biarkan saja wahana buatan itu semakin ramai dengan pengunjung. Agar potensi wisata alam di Jawa Timur tidak semakin rusak karena semakin di eksploitasi guna memenuhi kebutuhan dan kenyamanan pengunjungnya, dia berpendapat biarlah hanya orang-orang yang tertarik dengan wisata alam yang datang untuk meng-ekplornya tanpa merusaknya. Baginya seorang traveler/petualang harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang dia kunjungi, tanpa harus memaksa lingkungannya untuk dapat menyesuaikan kebutuhan pengunjung.
Kembali soal kerusakan hutan tadi, masalah dilematis kembali terjadi disini. Seorang teman pernah bercerita bahwa dia sangat tidak setuju spot-spot wisata alam yang cukup menarik, tetapi belum di buka untuk umum kemudian akan di buka. Dia berpendapat bahwa pembukaan lokasi itu untuk umum sama saja dengan membiarkan perusakan terjadi pelan-pelan. Tetapi dia juga dihadapkan pada kenyataan, bahwa masyarakat sekitar spot wisata tadi juga membutuhkan pilihan lapangan pekerjaan. Jika tidak pembukaan lahan hutan secara liar untuk berkebun, seperti terpampang di depan saya ini menjadi pilihan utama masyarakat sekitar. Benar-benar masalah yang pelik, disatu sisi petugas perhutani sebagai penanggung jawab resmi kawasan tersebut, terlihat membiarkan saja kondisi tersebut. Jika dibiarkan maka secara pelan-pelan akan menjadi pembenaran masyarakat sekitar untuk terus membuka lahan di hutan.
Dari hal-hal diatas saya jadi berpikir, bahwa beberapa pendapat yang saling bertolak belakang tadi masing-masing mempunyai argumentasi yang sama-sama dapat dibenarkan. Tidak ada yang mutlak seratus persen benar dan juga tidak ada yang salah pula. Entahlah saya sendiri cuma bisa berkeluh kesah tanpa bisa berbuat banyak. Harapan saya cuma satu, semoga egoisme kita sebagai manusia ini menemukan jalan keluar yang terbaik bagi dirinya dan juga alamnya.