Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar kata “Nasi Belut”…? Unik, aneh, asing, atau bahkan ada yang menolak membayangkan bentuk masakannya.Bagi sebagian orang memang Belut masih dianggap binatang yang jarang dikonsumsi. “Geli”, demikian komentar mereka yang tidak suka makanan dengan embel-embel kata “belut”. Akan tetapi, jika si Belut sudah dimasak dan berubah dari bentuk aslinya, saya rasa anggapan mereka bisa berubah.
Dari sekian banyak tempat yang menjajakan nasi belut, ada satu warung kecil nan mungil (kalau anda sepakat dan merasa layak menamakannya sebagai warung) di utara jalan raya Bangil – Pasuruan, tepatnya didepan Pom Bensin Kraton, yang menurut saya mampu memuaskan lidah para penikmat kuliner.

Jangan berkecil hati jika anda melihat tempatnya yang mirip dengan bangunan darurat pengungsi tsunami aceh, hanya berupa bilik 6×4 meter, dengan partisi semi permanen dari kayu2, beratap seng. Berkamuflase dengan pohon peneduh tepi jalan raya. Tak salah rasanya bila anda berpikir, besok atau lusa “warung” sederhana bercat putih kapur ini akan lenyap diobrak oleh Pol PP atau bahkan ambruk dengan sendirinya karena diterpa hujan angin.
Warung buka setiap hari mulai pukul 14.30 – 16.00. Ya…, benar, tidak lebih dari dua jam, karena masakan berbakul-bakul nasi, dan dua panci besar lauk belut akan habis dalam waktu singkat. Mungkin anda tidak percaya, tapi saya sudah membuktikan. Jauh-jauh perjalanan menuju lokasi, hanya disuguhi bakul dan panci kosong, serta segerombolan penikmat kuliner yang terkapar dengan perut bak ibu hamil, terengah-engah kekenyangan didalam warung.
Akhirnya, hari itu saya sempatkan datang lebih awal. Pukul 2 siang saya sudah stand by di lokasi. Hitung-hitung berkesempatan menyaksikan empunya warung mengolah Nasi belut. Dan ternyata saya tidak sendirian, pintu warung masih belum dibuka, sudah banyak pemburu-pemburu nasi belut lain yang berdatangan, terutama para pelanggan. Saya tahu, tempat duduk didalam warung hanya bisa untuk empatbelas orang, tapi diluar sudah menunggu enambelas orang termasuk saya. Sekali lagi, ini kondisinya warung masih belum buka.
Tigapuluh menit kemudian, si empunya membuka pintu warung, kami berebut masuk laksana gerombolan pemudik berebut angkutan. Ruangan dalam warung seketika menyapa, bangku-bangku kayu usang yang kokoh, meja penjual dengan rak kaca yang dipenuhi bakul nasi mengepulkan uap panas, serta panci-panci besar belut mentah yang masih berendam bumbu.
Atap seng membuat kondisi ruangan jadi panas, apalagi di ujung ruangan, ibu setengah tua, sang empunya warung masih asyik menggoreng belut dengan wajan raksasa dan api dari potongan balok kayu-kayu bakar seukuran tiang telepon. Anda bisa rasakan sendiri panasnya ruangan itu.
Belum lagi bapak-bapak yang tidak sabar menunggu mulai menyalakan rokok, ditambah dengan asap kayu bakar, ruangan mulai dipenuhi asap. Atap seng yang dipenuhi lubang-lubang bekas berkarat, membuat cahaya masuk kedalam serta menciptakan sorot-sorot cahaya ajaib ditengah ruangan yang penuh asap.
“Sreeenngg…”, bunyi senampan belut mentah yang masuk kedalam wajan penggorengan mengejutkan lamunan saya. Seketika bau gurih menyeruak kedalam ruangan, beradu dengan bau khas uap nasi yang masih panas. Belut-belut mentah itu menari-nari dalam kolam wajan berisi cairan minyak mendidih, bau bumbu-bumbu mukjizatnya membius penciuman kami, para pembeli yang secara tidak sadar kompak satu komando melongok ke pojok ruangan, memastikan bahwa makanan akan segera matang.
Dalam satu porsi nasi belut, disuguhkan pula potongan-potongan daun kubis yang sudah matang dikukus, dan juga irisan mentimun. Potongan-potongan lauk belut itu tampak mempesona lidah, ditata diatas hamparan nasi panas, disiram bumbu sambal kacang khas masakan pecel belut.
Tanpa tunggu lama lagi, masakan yang masih setengah panas itu langsung saya santap dengan lahap. Tak peduli walau mulut dan lidah sedikit menderita terkena makanan panas, yang penting segalanya terbayar oleh kenikmatan menyantap nasi belut dikala hangat-hangat panas.
Belut-belut ini dimasak sedemikian rupa sehingga teksturnya terasa pas di mulut. Tidak digoreng terlalu kering, hingga saya pun dengan mudah melolosi daging dari duri belut, semudah melepas kertas penutup stiker. Belum lagi, rasa asin dan gurihnya belut, menciptakan chemistry sensasional ketika bertemu sambal kacang yang tidak begitu pedas. Dan jangan lupa, bagi penggmar citarasa pedas, dimeja masing-masing pembeli, juga disediakan sambal tomat yang rasanya juga khas, dan cukup mantab pula jika anda nikmati bersama sambal kacang yang tidak terlalu pedas tadi.
Tanpa terasa sepiring nasi belut sudah tandas dalam sekejap, menyisakan remah-remah butiran bumbu kacang yang terselip disela-sela gigi. Beberapa pembeli lain masih menyempatkan diri menyalakan rokok, menambah asap dalam ruangan. Dan beberapa lagi masih sanggup menambah satu porsi nasi belut lagi,benar-benar ingin memuaskan diri, seakan menikmati nasi belut kali ini adalah sebuah kesempatan langka, yang hanya terjadi sekali seumur hidup.
Segelas teh hangat, dengan cita rasa kekuatan aroma khas teh wangi, mengakhiri petualangan kuliner saya kali ini. Tidak ada nafsu untuk menambah porsi lagi (walau ingin), bagi saya nasi belut spesial seperti ini, harus bisa dinikmati kembali di lain waktu. Toh, harga per porsinya tidak mahal-mahal amat. Ditambah segelas teh hangat, anda tidak sampai mengeluarkan biaya seharga dua liter bensin.
Comments
7 CommentsMr WordPress
Jun 12, 2011Hi, this is a comment.
To delete a comment, just log in and view the post's comments. There you will have the option to edit or delete them.
Anonymous
Jun 12, 2011yummy *test komen 😀
atengkampret
Jun 14, 2011wooh,gelem aku lik ikii..cuk! #luwee
Rizky Adidharma
Aug 17, 2011Walah aku kok yo moco iki pas posoan 🙁
Anonymous
Aug 17, 2011haha… makasih telah berkunjung. tp ancen wenak belut iki ky :p
Amiraeya
Feb 19, 2012Thanks artikel2 kulinernya.. mengobati rindu masakan khas Jatim yg tiada tandingannya..
Suryadi R Wijaya
Mar 6, 2012terima kasih, semoga kuliner2 lokal bisa tetap eksis dan lestari.