Canai Mamak – Kuala Lumpur di Banda Aceh

Malam itu Adun sahabat baru saya di Banda Aceh berencana mengajak melihat pertandingan bola antara Persiraja Banda Aceh melawan kesebelasan dari negeri tetangga, Selangor FC – Malaysia. Oh okey, saya menyanggupi untuk menemaninya ke stadion. Karena jika di ingat-ingat lagi, terakhir adalah sewaktu SMA saya menonton dua kesebelasan beradu teknik menguasai bola secara langsung di stadion. Dan itu sudah lama sekali.

Dari desa Lampuuk di Aceh Besar kami berboncengan menuju Stadion di Kota Banda Aceh. Jarak yang harus kami tempuh kira-kira 17 kilometer untuk mencapai Stadion tersebut. Ditengah perjalanan menuju Stadion saya dikontak Ferzya, seorang teman yang sudah saya kenal terlebih dahulu sewaktu di Jogja. Dia menanyakan posisi kami dimana? Saya-pun menjawab bahwa sedang dalam perjalanan menuju Stadion di Kota, dan dia-pun berpesan untuk menghubungi jika sudah berada di Kota.

Sejenak saya  dan Adun minggir di tepi jalan dan berdiskusi tentang rencana menonton bolanya. Karena saya di hari tersebut juga baru tiba di Banda Aceh melalui penerbangan langsung dari Jakarta, maka diputuskan Adun akan mengantar saya ke tempat Ferzya, dan dia sendiri akan melanjutkan menonton bola ke stadion. Adun tidak ingin melewatkan pertandingan saat itu, jarang-jarang dan dia juga sudah janjian bersama teman-teman yang lain untuk datang menyaksikan pertandingan tersebut.

Maka tidak lama kami sampai di tempat Ferzya. Terlihat tempatnya sepi, kami malah hanya bertemu Meutia (entah benar atau tidak saya menuliskan namanya), sepupu yang tinggal serumah sengan Ferzya. Dan rupanya orang yang ditunggu juga masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.  Sebenarnya saat itu saya merasa tidak enak juga dengan Adun, karena saya tahu tidak lama lagi kick-off pertandingan bola sudah dimulai. Tetapi dia tetap bersedia menemani hingga si empu-nya rumah datang. Sembari menunggu saya membaca beberapa brosur tentang wisata  di Aceh, sementara Adun dan Meutia terlihat bercanda, ah rupanya mereka cukup kenal akrab.

Tak lama orang yang ditunggu akhirnya datang. Adun bergegas ke stadion, dan saya menunggu tuan rumah bersiap mengantarkan saya menikmati kota Banda Aceh malam itu, dan tentunya berwisata kuliner di tempat yang mereka rekomendasikan.

Singkat cerita kami sudah sampai di kedai Canai Mamak, Jalan Teuku Umar No. 51 Setui, Banda Aceh. Oh oke… ini memang bukan kuliner khas Aceh, karena setahu saya canai adalah makanan khas negeri jiran. Dari cerita yang beredar ternyata pemilik kedai dulu konon pernah berkerja di Malaysia,  sebelum akhirnya membuka kedai di Banda Aceh dengan mengadopsi makanan khas dari sana.

Saya-pun memesan canai isi srikaya, Meutia canai kering atau apa saya lupa nama menunya, sedang si Ferzya lebih memilih menu lain, selain berbagai macam varian roti canai yang menjadi andalan di kedai tersebut.

Canai Mamak selai Srikaya

Canai Kering

Makanan-pun akhirnya tersaji di meja, yang datang pertama kali adalah pesanan saya, disusul pesanan Meuti dan kemudian punya Ferzya. Pesanan saya datang lebih cepat karena ‘sepertinya’ makanan tipe ini lebih mudah dibuat stock terlebih dahulu, Sebelum di hidangkan per-porsi kepada pembeli. Untuk pesanan punya Meutia harus sedikit diracik sebentar sebelum siap diantarkan. Sedangkan Punya Ferzya memang harus menunggu cukup lama karena harus dimasak terlebih dahulu dari bahan-bahan mentah.

Dari segi rasa saya suka dengan canai isi srikaya ini, enak. Selai srikaya yang ada di dalamnya saya suka, teksturnya halus dengan rasa yang khas. Rotinya cukup empuk untuk dipotong dengan sendok sebelum akhirnya di kunyah dalam mulut. Manis dan baunya juga harum, cukup menggugah selera.

Tetapi entahlah saya rasa satu porsi roti canai (5 potong roti canai ukuran sedang) ini menurut saya terlalu banyak, untuk ukuran perut saya. Rasanya yang manis akan terasa semakin manis di dalam mulut jika kita mencoba mengunyahnya cukup lama. Sebuah fenomena yang lazim dari makanan berbahan utama karbohidrat ketika bertemu dengan enzim yang terdapat di air liur. Siapa sih yang tidak mencoba menikmati makanan enak dengan mengunyahnya perlahan. Terlebih lagi waktu itu kami menikmatinya sambil mengobrol santai. Efeknya adalah ketika potongan ke-3 roti ini sudah masuk dalam perut, rasa kenyang sudah menghampiri saya. Sudah tidak sanggup rasanya menghabiskan dua potong tersisa.

Disaat rasa kenyang sudah cukup, eh ternyata saya diminta juga merasakan canai yang dipesan oleh Meutia. Sekilas terlihat seperti potongan kulit roti yang ditaburi Gula. canai tersebut memang disajikan dengan taburan gula pasir, saya mencoba mencicipinya sedikit. Cukup renyah dan enak rasanya, tetapi rasa kenyang membuat saya berhenti pada potongan pertama saja.

Setelah dirasa cukup kami melanjutkan berkeliling kota. Bak tour guide handal Ferzya dan Mutia menjelaskan beberapa sudut kota yang dianggap menarik hehe. Hingga pada saatnya kami bergegas kembali ke rumah. Apalagi si Adun sepertinya juga sudah selesai menonton bola di Stadion dan kembali menjemput saya untuk mengantarkan beristirahat di penginapan.

Dengan perut kenyang saya cepat terlelap begitu tiba di penginapan. Menjelang pukul 3 pagi saya terbangun karena alarm, waktunya untuk memulai aktivitas memotet malam. Sayangnya awan mendung dan ahh lagi-lagi perut yang kekenyangan yang tidak bisa membuat saya bertahan lama di luar kamar. Tetapi untungnya makan malam waktu itu bukan hanya perut saja yang terasa kenyang, sehingga tidur saya lebih terlelap lagi seusai bereksperimen ala kadarnya dengan foto-foto malam. hehe.

View malam Lampuuk dari Joel's bungalow

Lontong Kupang Kraton Pasuruan

Sajian Meriah, Harganya Murah

Dari beragam kuliner yang menggunakan olahan berbahan dasar petis, seperti Rujak Cingur, Lontong Balap, Tahu Campur, maupun Lontong Lodeh. Ada satu khasanah kuliner yang tak kalah unik, yakni Lontong Kupang. Mungkin nama menu ini terdengar sedikit asing di telinga orang luar Jawa Timur. Namun bagi penggemar makanan di Jawa Timur khususnya Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan, Lontong Kupang adalah menu yang tak boleh dilewatkan.

Kata “Kupang”  identik dengan hewan laut sejenis kerang atau juga sebagian menyebut siput laut, berukuran sebesar kacang kedelai dan bercangkang tipis. Kumpulan hewan inilah yang menjadi bahan dasar olahan Kupang, dipisahkan dari cangkangnya lantas direbus hingga matang.

Kebetulan siang hari itu, seusai jejalan disekitar Pasuruan. Kami menyempatkan diri berburu Lontong Kupang khas Kraton. Salah satu kuliner lokal yang mudah ditemui disepanjang jalan raya Bangil – Pasuruan. Tentunya favorit saya adalah beberapa depot yang berada  di Sentra Kuliner pertigaan Kraton – Pasuruan.

kupang-bu-ning

lontong-kupang-kraton

 

Seporsi Lontong Kupang Kraton disajikan dengan bumbu meliputi gula, cabe, sedikit petis dan kucuran air jeruk nipis. Semua bahan diaduk diatas masing-masing piring. Dengan ditambah beberapa potong cabai bagi yang suka pedas. Setelah semuanya dicampur diatas piring, beberapa potong lontong ditambahkan diatasnya. Terakhir disiram dengan rebusan kupang dan kuah panas yang baunya… “hhmmm”… Sungguh menggoda selera.

Sebelum meng”eksekusi” seporsi makanan ini, saya sempatkan menjumput sepotong Lentho dan beberapa tusuk sate kerang. Tanpa permisi kedua jenis makanan ini langsung “nyemplung” dalam luberan kuah Lontong Kupang dipiring saya. Waahh, tampilan makanan ini semakin meriah saja.

Lentho adalah gorengan dari parutan ketela pohon, atau ada juga yang dicampur dengan butiran kacang beras. Sedangkan sate kerang adalah biji-biji kerang kaya bumbu yang dirangkai jadi satu ditusuk batangan lidi. Kedua macam makanan ini seolah sudah menjadi “sobat karib” yang selalu menemani seporsi Lontong Kupang.

Aroma rasa Lontong Kupang semakin istimewa dengan taburan bawang goreng diatasnya. Dan tatkala sesendok pertama saya coba, seketika sensasi gurih khas rasa kupang, berpadu dengan rasa manis, asin dan asem, mengiringi pedas yang menyengat dari cabai yang dicampur didalam bumbunya. “Wuuaahh…”, seketika itu juga sesuap demi sesuap sajian Lontong Kupang masuk kedalam mulut rakus saya. Terus mengunyah dengan sesekali meneguk segelas es Kelapa Muda, mendorong makanan nikmat ini kedalam tenggorokan. Benar-benar makan siang yang menggila, demikian pikir saya.

sate-kerang

Bagi anda yang pertama kali menjajal kuliner ini, ada baiknya memesan Es Kelapa Muda sebagai minuman pendamping. Memang sebagian besar depot Lontong Kupang senantiasa menyediakan menu Es Kelapa Muda. Bukan tanpa alasan, karena memang es Kelapa Muda adalah penawar mujarab bagi para konsumen yang tidak tahan atau alergi dengan olahan Lontong Kupang.

Tidak sampai memakan waktu lama, seporsi Lontong Kupang tandas kedalam perut saya. Piring seketika kosong dan nyaris licin tidak menyisakan kuah atau apapun. Sembari asyik menikmati es kelapa muda, mulut saya masih juga menyempatkan mengunyah sate kerang dan lentho yang tersedia diatas meja. Hehehe, anda tak perlu khawatir jika ingin menambah porsi lagi. Karena makanan Lontong Kupang bukanlah jenis kuliner yang menguras kantong.

A Trip to Siem Reap [part 2]

Angkor Night Market

angkor night market

Walau masih merasa lelah seusai berpanas ria di Danau Tonle Sap, dan merasa sedikit JetLag akibat flight beruntun. Malam itu kami masih menyempatkan diri mencoba menikmati suasana malam di kota SiemReap. Ada banyak spot-spot menarik yang layak dikunjungi pada malam hari. Dan pilihan kami kali ini jatuh pada Angkor Night Market. Sesuai dengan namanya, pasar ini buka setiap sore hingga tengah malam.

Angkor Night Market terletak di area Pusat Kota SiamReap, tepatnya di sebelah utara-barat kawasan Old Market yang legendaris. Menempati area yang berbentuk persegi panjang dengan akses masuk satu-satunya dari arah Timur, Pasar Malam ini didesain sedemikian rupa sehingga tampil demikian gemerlap namun masih bernuansa aroma lokal.

Continue reading “A Trip to Siem Reap [part 2]”

Lalapan Sambal Pasar Badung

Bikin Puas, Pecinta Pedas

Kala cakrawala senja benar-benar menggelap di ufuk Barat, aktivitas kami memburu sunset berakhir sudah. Semua kamera dan perlengkapannya segera dikemas, tak lupa membasuh kaki tripod yang tadinya sempat berendam dengan air laut. Sembari memeriksa hasil gambar dan video, kami merebahkan tubuh yang lelah diatas jok mobil. Rasa lapar datang menyerbu mengiring kepenatan kami berkejaran dengan matahari. “Waktunya menjajal kuliner khas Bali”, demikian celetukan teman-teman dalam mobil.

Mungkin tak banyak masakan Bali yang pernah saya coba, hanya Sate Lilit, ayam betutu, atau mungkin juga kuliner khas semacam Bebek Bengil Ubud dan Ikan Bakar Jimbaran, hahaha. “Khusus untuk malam ini, saya ingin sesuatu yang lain dari biasanya”, pikir saya. Atas saran Satriyo, sahabat sekaligus kontributor kami yang sudah mengenal Bali. Malam ini kami mencoba beburu kuliner di area Pasar Badung. Bukan menu khas Bali memang, namun sambal lalapan ini konon sudah eksis beberapa tahun yang lalu.

Continue reading “Lalapan Sambal Pasar Badung”

Jejalan Bali 2012

Pulau Dewata, Primadona Wisata Dunia

Setiap kali singgah di Airport beberapa negara Asia, senantiasa saya sempatkan untuk mengunjungi gerai bukunya. Selalu ada yang sama, buku dan majalah tentang destinasi wisata memenuhi rak-rak disana. tetapi saya tidak pernah ingat, entah berapa banyak dari buku dan majalah itu yang bercerita tentang Bali. Pulau Dewata yang satu ini seakan tak pernah henti menebar pesona keindahan alam dan keunikan budayanya.

Belum lagi eksistensi Bali sebagai salah satu tujuan wisata terbaik dunia yang wajib dikunjungi, reputasi The island of God ini semakin tersohor. Dipenuhi oleh alam yang sangat indah, perpaduan antara pegunungan dan pantai-pantai nan elok. Didukung oleh keramahan warga yang senantiasa mempertahankan kelestarian seni dan budaya. Serta kekuatan “mystic of Bali” yang disimbolkan dari berbagai festival atau ritual tradisi dan kepercayaan. Bali memang tidak akan pernah habis untuk dieksplorasi.

Continue reading “Jejalan Bali 2012”

Gethuk Lindri

Tekstur Lembut, Kenyangkan Perut

“…Gethuk, asale saka tela… Mata ngantuk, iku tandane opo…?” (…gethuk, asalnya dari ketela… Mata mengantuk, itu tandanya apa…?)
Demikian sebuah penggalan lirik lagu campursari yang populer pada eranya. Walau dari syairnya jelas menyebut nama jajanan “Gethuk”, tapi yang pasti tidak ada kaitan samasekali dengan mata mengantuk (hanya akhiran kata yang lafalnya sama), apalagi kalau sampai menganggap Gethuk adalah obatnya mata mengantuk. Hehehe.

Apa yang dinyanyikan dalam syair isi lagu tersebut ada benarnya. Sebagai salah satu jajanan tradisional tempo dulu, Gethuk memang berbahan dasar dari ketela. Salah satu jenis umbi-umbian yang sebenarnya mengandung banyak gizi serta manfaat, dan pada intinya termasuk bahan makanan yang bisa mengenyangkan. Apalagi setelah diolah menjadi kue gethuk. Bergizi, mengenyangkan, dan rasanya lebih lezat.

kue getuk lindri
Kue Gethuk Lindri

Bagi saya, penjual gethuk dengan rombong sepeda kayuhnya adalah momen spesial yang layak dinanti. Apalagi sore hari menjelang berbuka puasa seperti saat ini. Tentunya beberapa potong kue Gethuk dengan warna-warni menarik diantara taburan kelapa parut, menjadi sebuah tampilan yang layak untuk menjadi makanan pembuka saya petang nanti.

Pembuatan kue gethuk sebenarnya sederhana dan cukup mudah. Setelah dikupas dan dibersihkan, ketela direbus hingga matang. Selanjutnya ketela tadi ditumbuk hingga benar-benar halus. Adakalanya sebagian orang menggunakan gilingan untuk menghaluskan ketela. Karena itulah disebagian tempat, kue ini kerap disebut gethuk Lindri, (lindri = dibuat dengan cara digiling/dilindri).

Setelah ketela dihaluskan, kemudian diberi gula dan garam secukupnya hingga terasa manis sesuai keinginan. Untuk lebih menarik biasanya sebagian orang menambahkan pewarna makanan. Lantas, barulah adonan gethuk diiris, dicetak atau dibentuk seperti untaian benang dengan cara dimasukkan gilingan daging. Gethuk pun siap disajikan dengan disertai taburan kelapa parut.

Dengan harga relatif murah, 500,- rupiah per-potong. Saya bisa menikmati potongan demi potongan kue gethuk sebesar genggaman itu. Rasanya demikian mantab, teksturnya lembut di mulut, rasanya manis ringan tidak membuat eneg. Dan yang pasti, cukup tiga atau empat potong saja sudah sanggup mengganjal rasa lapar saya. Nyaamm…, saya hampir melupakan nasi rawon diatas meja sebagai menu berbuka puasa saya yang utama. Kue Gethuk memang benar-benar istimewa.

Rawon Sate Komoh Pasuruan

BikinNgiler, (sekaligus) Bikin Klenger

Siapa yang tidak mengenal nasi rawon, masakan dengan kuah berwarna hitam ini sudah familier di lidah pecinta kuliner lokal. Nasi rawon bisa dinikmati kapan saja, untuk sarapan pagi, makan siang, makan malam, bahkan juga kerap disajikan pada acara hajatan. Idealnya nasi rawon dilengkapi lauk tempe goreng atau daging empal. Tapi bagaimana jika nasi rawon disajikan bersama lauk berupa sate.

Yaa…, nasi rawon dengan lauk Sate Komoh (sate bumbu kuning) yang dagingnya berukuran monster. Setiap berada di kota Pasuruan, saya jarang melewatkan Kuliner yang satu ini.

Rawon sate memang sudah lama menjadi kuliner khas kota Pasuruan. Tampilannya yang unik, cukup membuat penasaran bagi yang pertamakali mencobanya. Seporsi nasi rawon disajikan bersama dengan seonggok sate daging berukuran jumbo. Aroma kuah panas rawon yang berpadu dengan bau sate komoh, cukup menggugah selera. Dipadu dengan sambal pedas diatas taburan kecambah, serta sambal merah menyala dari bumbu bali yang ditambahkan disampingnya. Walau sudah berulangkali menikmati, sayapun tetap ngiler dibuatnya.

Dibanding dengan rawon lain, kuah Rawon Pasuruan terlihat lebih bening. Namun rasanya tidak kalah menyengat, karena sebenarnya rawon merupakan masakan yang kaya bumbu. Kekhasan rawon Pasuruan semakin terasa tatkala rawon bercampur dengan sambal dan bumbu bali. Terlebih lagi saat dinikmati bersama dengan sate komoh, bumbu sate yang bercampur dengan rawon, menciptakan citarasa tersendiri.

Rawon Sate Komoh (2)

Tampilan sate komoh memang cukup dominan dalam seporsi nasi rawon. Walau berisi tiga tusuk daging saja, namun ukuran Sate komoh yang sebesar kepalan tangan itu, cukup menyita perhatian. Daging sate yang berukuran jumbo itupun terasa empuk dan lunak, karena sebelum dipanggang ala sate. Daging-daging tersebut sudah dimasak dalam rendaman bumbu dan rempah-rempah.

Akhirnya, rawon sate pun tuntas saya habiskan. Butuh waktu sejenak mengambil nafas karena seporsi rawon Sate cukup membuat saya klenger. Apalagi saya bukan termasuk orang berporsi makan besar. Namun sudah cukup membuktikan, sensasi rasa dan keunikan Rawon Sate Pasuruan, memang pantas untuk dicoba.

Makan Siang Bareng Pak Bondan

Dulu ini adalah acara rutin yang diadakan oleh detik.com sebagai bagian dari aktivitas divisi berita kuliner, yakni detikfood. Saya masih ingat betul ketika tahun lalu masih bekerja pada divisi marketing & promosi detikcom. Acara ini salah satu acara yang bikin saya cukup senang bekerja disana, sebagian orang dalam divisi ini harus meng-organize acara, yang pada akhirnya juga harus ikut mengawal ke lokasi acara makan siang detikfood ini, termasuk saya juga. Kebagian jatah makan siang gratis siapa sih yang ga mau, di tempat-tempat pilihan lagi. hehe. Sosok Pak Bondan Winarno yang terkenal dengan acara wisata kulinernya ini memang sosok yang cukup dekat dengan detikfood terlebih lagi detik.com-nya. Ya jelaslah lha wong dia salah satu komisaris-nya detik.com, haha.

salah satu menu makan siang
Salah Satu Menu Makan Siang Bareng Pak Bondan

 

Aneka Menu Makan Siang Bareng Pak Bondan
Aneka Menu Makan Siang Bareng Pak Bondan

Kembali ke format acara yang ber-title “Makan Siang Bareng Pak Bondan”, ini adalah acara undangan makan siang gratis di tempat-tempat yang cukup punya nama dan ciri khas dalam dunia kuliner Indonesia khususnya Jakarta. Tidak semua orang dapat ikut pada acara langsungnya sih. Sifat acaranya seperti undian acak, semua orang boleh mengisi data diri pada formulir online dari detikfood, kemudian tim detik.com akan memilih beberapa nama secara random utuk berkesempatan makan siang bersama pak Bondan. Tempatnya yang dipilihpun berpindah pindah sesuai rekomendasi tim detikfood maupun pak Bondan sendiri.

Saya sendiri dulu sempat menikmati ikut serta menjadi crew yang membantu pelaksanaan acara dilapangannya. Pak Bondan selalu memberi sambutan dan penjelasan singkat soal keistimewaan menu masing-masing di tempat tersebut. Yang paling saya ingat dari acara tersebut adalah, waktu dimana acaranya dilaksanakan di Restoran Susi, lokasi tepat tempatnya saya tidak ingat pasti, maklumlah waktu itu saya masih orang baru di Jakarta. hehe. Sedikit yang saya ingat dari kawasan kantor detik.com di Warung Buncit Jakarta Selatan kami harus menerobos macetnya Jakarta sekitar satu setengah jam lamanya. Lokasinya di sebuah deretan ruko-ruko tiga lantai, yang bila saya perhatikan sebagian besar merupakan restoran juga.

Pak Bondan Winarno dan Peserta Makan Siang
Pak Bondan Winarno Berfoto Dengan Peserta Makan Siang

Lucunya di tempat tersebut adalah saya lebih memilih menu yang aman buat lidah jawa saya, menu-menu yang dimasak matang maupun setengah matang saja. Katrok memang saya ini, makan yang orang lain terlihat lahap ketik memakannya saya malah ogah. Agak rugi memang, ke Restoran Susi tapi mencoba menu ‘ikan mentah’ yang memang identik dengan restorannya. kalau sayuraan atau buah-buahan mentah sih saya doyan tapi kalau daging dan ikan mentah sepertinya perut dan lidah belum terlatih menerimanya. hehe. Tapi ah biarlah saya memang bukan orang Jepang kok.

Rasa-rasanya semenjak resign dari detik.com saya merindukan suasana acara kuliner rame-rame seperti ini. Tetapi untunglah sekarang lagi musim orang hajatan menikah, setidaknya suasana kuliner yang hampir sama dapat saya rasakan di resepsi pernikahan teman dan kerabat, walaupun menunya standart catering wedding pada umumnya sih. ahaha. 🙂

nb: foto-foto adalah dokumentasi dari acara makan siang detikcom

Kue Putu Jedul

“Sebuah keunikan dibalik suara siulan yang Legendaris”

Putu Jedul
Putu Jedul

Jalanan masih sedikit basah setelah diguyur hujan berjam-jam. Apalagi sudah menjelang jam Sembilan malam. Aktivitas di kota kecil tempat saya tinggal tentunya sudah mulai sepi. Orang-orang lebih suka menghabiskan malam yang dingin ini dengan menonton teve dirumah, atau mungkin membungkus tubuh erat-erat dengan selimut diatas tempat tidur.

Bagi saya, melewatkan malam yang dingin dengan perut lapar bukanlah kompromi yang baik, apalagi dihadapan saya hanya ada secangkir  teh hangat dengan rasa aroma melati, sungguh bukan malam yang sempurna, pikir saya.

Sayup-sayup dari kejauhan, terdengar suara siulan yang cukup panjang. Seperti bunyi seruling satu nada yang mendengung tanpa henti.  Bagi sebagian orang, suara siulan dimalam hari yang sepi ini, tentunya menimbulkan rasa penasaran dan tentunya pikiran akan dipenuhi dengan nuansa mistis. Beda halnya dengan saya, siulan malam ini adalah indikator kedatangan penjual makanan favorit saya.

Dengan sedikit tergesa, saya keluar dari rumah. Jauh disudut jalan, si empunya suara terlihat samar-samar melangkah diantara sorot-sorot lampu jalanan. Dengan tertatih-tatih membawa pikulan dipundaknya, Pak Juki sudah hampir sebelas tahun menekuni profesinya sebagai penjual Kue Putu keliling di pinggiran Kota Bangil.

Kue Putu, sebuah jajanan tempo dulu. Bentuknya seperti potongan pipa kecil dengan warna hijau atau putih. Terbuat dari adonan tepung beras dengan isi gula merah didalamnya. Disajikan bersama taburan kelapa parut diatasnya. Sederhana memang, tapi penuh dengan keunikan tersendiri.

Bagi saya, menikmati kuliner Kue Putu, tidak bisa hanya diapresiasi ketika dirasakan dalam mulut saja. Tapi kesempurnaan Kuliner ini, tentunya dengan meluangkan waktu untuk menyaksikan proses pembuatannya.

Adonan tepung beras dan gula jawa, dimasukkan kedalam cetakan-cetakan yang biasanya terbuat dari potongan bambu sepanjang 7-8 centi, dengan diameter seukuran ibu jari kaki. Lantas kedua ujung dipijat-pijat dipadatkan, selanjutnya ujung bambu tadi dikukus diatas lubang-lubang uap air panas. Tentunya dengan bergantian di kedua ujungnya.

Belum lima menit, kesepuluh cetakan kue putu pesanan saya sudah matang. Pak Juki dengan cekatan jari-jemarinya mengambil semua tabung bambu yang masih panas itu.  Lubang – lubang tempat memasak kue Putu tadi lantas ditutupnya lagi dengan batangan bambu seukuran tusuk gigi. Lirih terdengar suara siulan panjang yang nyaring dan khas. Kiranya inilah asal muasal sumber bunyi siulan itu.

Selanjutnya dengan sebuah potongan kayu tumpul dia mendorong (men-jedul) salah satu ujung cetakan hingga kue putu matang keluar dari sisi cetakan satunya. Semerbak bau khas kue putu panas yang keluar dari cetakan membius penciuman saya. Potongan-potongan kue itu tercetak sempurna, mengepulkan uap panas, ditiriskan diatas selembar daun pisang dengan taburan parutan kelapa diatasnya.

Inilah kue putu yang legendaris itu. Didaerah saya lebih pupoler dengan sebutan Putu Jedul, karena dibuat dengan cara mendorong (men-jedul) untuk mengeluarkan dari dalam tabung bambu cetakannya.

Didaerah lain mungkin kue ini ditemui dengan nama dan teknis penyajian yang berbeda. Termasuk penjualnya ada yang sudah memakai gerobak dorong, tidak dengan pikulan seperti didaerah saya.

Dengan harga 500 rupiah per potongnya, menikmati kehangatan dan kelembutan tekstur kue putu di malam hari yang dingin, adalah sebuah sensasi tersendiri. Keunikan rasa tepung beras dikukus, dan legitnya gula merah merupakan teman yang pas kala disantap dengan secangkir teh hangat manis.

Singkat cerita, saya tak sabar untuk segera menikmati sajian Kuliner istimewa kali ini. Pula Pak Juki kembali melanjutkan petualangan malamnya menyusuri jalanan pinggiran Kota Bangil, untuk menjajakan Kue Putu.

Akhirnya, suara siulan malam yang legendaris itu perlahan sayup-sayup terdengar semakin menjauh, bersamaan dengan lenyapnya sosok Pak Juki dan pikulan keranjang kue Putunya di tikungan ujung jalan perumahan.

note : di Semarang dikenal dengan nama “putu bumbung”

Klepon Gempol

Sensasi Cairan Gula “Muncrat” didalam Mulut, masih tetap menjadi Fenomena

Tidak ada yang unik dari tampilannya. Berbentuk bulat seukuran kelereng, berwarna hijau pandan, dengan taburan parutan kelapa diatasnya. Namun, citarasa Klepon menjadi unik dan penuh sensasi ketika anda mencoba menikmatinya.

Keunikannya adalah, tatkala konsumen menikmati masing-masing butiran klepon, seketika cairan gula akan “muncrat” didalam mulut, memberi sensasi rasa manis diantara kekenyalan daging klepon itu sendiri. Anda akan sulit berhenti mengunyah, hingga tanpa disadari butiran-demi butiran klepon dalam satu kotak habis dalam sekejap.

Klepon terbuat dari adonan tepung beras ketan yang dibentuk bulatan-bulatan seukuran kelereng. Sebelumnya, didalam masing-masing bulatan klepon itu, diisi oleh cairan gula merah. Kemudian, dengan cairan gula didalamnya, klepon direbus hingga matang. Lantas disajikan dengan parutan kelapa diatasnya.

Semenjak pertengahan tahun 90-an, kuliner ini memang sudah lama menjadi makanan khas yang dijajakan disepanjang jalan utama Gempol – Pasuruan. Anda akan temukan puluhan kios yang menjual klepon disepanjang jalan wilayah Gempol, Wahyu Klepon, Lisa Klepon, Ridho Klepon, Klepon Barokah, Klepon Gangsar, dan banyak lagi yang lainnya.

Sejatinya, Klepon termasuk salah satu dari rangkaian Jajanan Pasar tradisional yang sudah ada sejak lama. Di pasar-pasar tradisional, Klepon dijual bersama jajanan lain semisal Cenil, Lupis, Gempo, Klanting, dan lain-lain. Namun, karena ada keunikan yang cukup khas, tak heran para konsumen lebih mengidolakan makanan yang di daerah lain juga  dinamai dengan sebutan “Onde-onde” ini.

Walau termasuk jajanan lokal tempo dulu, keunikan dan citarasa klepon memang masih mampu bertahan hingga sekarang. Apalagi saat ini Klepon telah dikemas dalam wadah yang menarik, serta memungkinkan untuk dibawa ke tujuan lain sekedar untuk buah tangan atau dinikmati sendiri. Eksistensi Klepon mungkin tidak akan tergilas jaman.

Kendati bencana Lumpur Lapindo berimbas dengan ditutupnya jalan tol Gempol, namun peminat Klepon tidak pernah surut. Bahkan beberapa pengendara dengan tujuan Malang lewat jalan raya Porong – Japanan, rela menempuh jalur memutar lebih jauh kearah Gempol, demi mendapatkan beberapa kotak jajanan klepon.

Masing –masing kotak biasanya berisi antara 12 – 15 butir klepon. Dengan harga yang cukup terjangkau (Rp. 3000, – Rp. 3500,) per kotaknya. Sensasi cairan gula “muncrat” didalam mulut bisa menjadi pengalaman yang istimewa bagi para pecinta kuliner.