Bikin Puas, Pecinta Pedas
Kala cakrawala senja benar-benar menggelap di ufuk Barat, aktivitas kami memburu sunset berakhir sudah. Semua kamera dan perlengkapannya segera dikemas, tak lupa membasuh kaki tripod yang tadinya sempat berendam dengan air laut. Sembari memeriksa hasil gambar dan video, kami merebahkan tubuh yang lelah diatas jok mobil. Rasa lapar datang menyerbu mengiring kepenatan kami berkejaran dengan matahari. “Waktunya menjajal kuliner khas Bali”, demikian celetukan teman-teman dalam mobil.
Mungkin tak banyak masakan Bali yang pernah saya coba, hanya Sate Lilit, ayam betutu, atau mungkin juga kuliner khas semacam Bebek Bengil Ubud dan Ikan Bakar Jimbaran, hahaha. “Khusus untuk malam ini, saya ingin sesuatu yang lain dari biasanya”, pikir saya. Atas saran Satriyo, sahabat sekaligus kontributor kami yang sudah mengenal Bali. Malam ini kami mencoba beburu kuliner di area Pasar Badung. Bukan menu khas Bali memang, namun sambal lalapan ini konon sudah eksis beberapa tahun yang lalu.
Benar juga kiranya, warung lalapan ini tak pernah kehabisan pengunjung. Sekedar mencari parkir mobil pun kami kesulitan, hingga harus berjalan kaki tigapuluhan meter menyusuri trotoar pasar nan becek karena gerimis dan drainase yang buruk. Tatkala memasuki warung, bau khas masakan menyapa. Tidak terlalu besar ruangan yang tersedia, dengan cat dinding yang terkesan seadanya, meja dan kursi seolah berhimpitan ditata disetiap sudut dan sisi ruangan. Namun sekali lagi, saya nyaris minta ampun dengan berjubelnya pengunjung.
Menurut informasi, warung ini buka 24 jam setiap harinya. Setiap pagi dan siang, seringkali menjadi tempat favorit orang-orang yang mengunjungi Pasar Badung, sementara sore dan malam lebih didominasi pelajar dan mahasiswa. Pantas saja dari tadi yang lalu lalang kebanyakan adalah pasangan muda-mudi membawa motor, yang sepertinya menikmati “dinner” ala kantong mahasiswa. Dan saya seketika itu juga menyadari, bahwa saat ini adalah malam minggu.
Menunggu agak lama, sajian akhirnya datang juga. Mas pramusaji datang dengan kedua tangan dipenuhi tumpukan piring dan cobek sambal, jadi teringat kelihaian para pramusaji di warung Nasi Padang. Masing-masing kami menelan ludah saat sepiring nasi putih dan secobek penuh lauk, sambal dan lalapan terpampang diatas meja. Ada banyak menu yang ditawarkan disini, lalapan ayam, tempe, ikan lele atau mujahir. Semuanya sama menggunakan sambal yang khas, terbuat dari campuran tomat dan cabai hijau.
Sampai lupa pelajaran jaman kanak-kanak, “Berdoalah sebelum makan…!”, kami menyantap menu Lalapan Pasar Badung itu. Dengan lauk ayam goreng, tempe goreng, dan sambal berwarna sedikit kehijauan, dan ditemani segelas es teh. Kami menggila dan seakan berlomba untuk menghabiskan satu porsi penuh.
Saya akui rasa masakannya tidak terlalu istimewa. Ayam gorengnya terasa seperti masakan rumahan, tempe goreng juga diiris tipis dan terasa seperti masakan lalapan mahasiswa kos-kosan, pula dengan sayur mentimun dan kubis secukupnya. Namun lain lagi dengan sambal yang tersaji diatas cobek. Paduan sambal tomatnya terasa mantab luarbisa. Dari warnanya yang sedikit kehijauan dan mengandung air, saya yakin racikan sambal ini terbuat dari cabai hijau dan tomat hijau segar. Namun walau demikian, rasa pedasnya tidak kalah dengan sambal lalapan yang saya temui di kota Surabaya atau Malang.
Pendek kata, semua yang tersaji mulai dari ayam goreng, tempe goreng, lalapan, nasi putih, seakan mempunyai rasa lebih kala dicocolkan diatas cobek yang berisi sambal. Pedas, asin, gurih, sedap, dan pastinya, segar. Sangat memuaskan bagi mereka yang menyukai masakan pedas kelas menengah.
Tak terasa seporsi lalapan ayam dan tempe goreng ludes kami santap, segelas es teh masih belum cukup mengobati lidah dan dinding mulut kami dari siksaan sambal. Namun apapun resikonya, kami cukup puas dengan menu lalapan sederhana yang membuat kami serasa berada dirumah. Peluh yang ada di jidat masih sempat kami hapus dengan tisu, tapi rasa nikmat pedas Lalapan Pasar Badung, tak dapat dihapus dari lidah.