Kicauan Merdu di Prambanan

Suasana lomba burung

Parkir selatan area candi Prambanan cukup ramai di Minggu pagi itu. Kendaraan bermotor dengan plat nomor dari beragam Karesidenan, terparkir rapi diatas hamparan rumput hijau kompleks percandian yang katanya merupakan Candi tercantik di Indonesia ini. Keramaian itu tidak seberapa dibandingkan dengan aktivitas pengunjung yang ada didepan gerbang masuk Parkir Selatan. Ratusan warga terlihat memenuhi beberapa lapangan dan stan yang ada, sebagian besar dari mereka menenteng sangkar burung yang masih ditutup kelambu. Sebuah pemandangan yang tak biasa di tempat seperti Prambanan ini.

Memang para Kicaumania (sebutan untuk komunitas pecinta burung berkicau) sedang sibuk mengikuti pehelatan akbar. Lomba Burung Berkicau Kelas Nasional Piala Raja yang selalu ditunggu-tunggu para penggila Burung Berkicau seantero Nusantara. Kebetulan Piala Raja yang diselenggarakan setiap tahun seringkali bertempat di kompleks Candi Prambanan. Tak heran, ribuan pecinta burung tumplek-blek jadi satu disana. Mulai dari peserta lomba, para penjual sangkar, penjual pakan dan kelengkapan memelihara burung, serta para penggemar burung yang sekedar menonton atau membeli barang-barang yang dijual di setiap stan yang ada.


Bukan lomba teriak

Tepat pukul sembilan, para pengunjung dikejutkan oleh suara tetabuhan drum band yang muncul dari arah Timur. Kiranya sepasukan Prajurit Keraton Jogja dengan seragam lengkap, berbaris teratur berparade membunyikan tetabuhan. Mirip dengan sepasukan parade drum band yang biasa kita lihat di acara-acara parade, namun regu drum band Prajurit Keraton ini melengkapi bunyi-bunyian alat musiknya dengan gong kecil, terompet dan seruling tradisional, sehingga suara musik berbeda dengan yang biasanya.

Mereka melangkah tegap mengiring salah satu Replika Piala Raja yang sengaja “dikirab” untuk membuka Lomba kali ini. Para pengunjung memandang takjub, beberapa warga mundur memberi jalan sembari menunduk seolah menghormat pada iringan Prajurit ini. Beberapa turis bahkan mengabadikannya melalui kamera dan camcoder. Memang kirab Prajurit Keraton jarang muncul, kecuali pada acara-acara resmi Kerajaan yang dianggap sakral.

Parade yang diikuti oleh sekumpulan Prajurit dari berbagai usia itu berhenti tepat didepan panggung pembawa acara. Selanjutnya terjadi penyerahan simbolis replika Piala Raja kepada panitia. Dilanjutkan oleh sambutan salah satu wakil keluarga kerajaan, sekaligus membuka lomba dengan pelepasan ratusan burung berkicau kea lam bebas. Sungguh sebuah momen yang menarik, di satu sisi para peserta lomba “memelihara” burung dalam sangkar, namun di sisi lain mereka berpartisipasi melepas burung kealam bebas untuk menjaga kelestarian mereka. Sebuah wujud nyata bahwa para Kicaumania bukan sekedar mengeksplorasi suara dan keindahan burung semata, tapi juga mencintai eksistensi mereka di alam liar.

Pasukan (musik) keraton

Akhirnya, lomba resmi dibuka. Satu demi satu peserta mendaftar pada kelas burung masing-masing. Ada kelas Cucak Rowo, Murai Batu, Cucak Hijau, Cucak Jenggot, Kacer, dll. Mereka mulai pula menstarter masing-masing gaco mereka, kerudung sangkar dibuka, dipancing dengan menjentikan jari dan siulan dari tuannya. Suasana tambah ramai dan semakin menyenangkan. Sungguh sebuah acara yang layak untuk dijadikan sebuah Festival.

Lomba demi lomba dimulai, para peserta masing-masing kelas telah selesai menempatkan gaco mereka pada gantangan (sebutan untuk gantungan sangkar lomba bagi para Kicaumania). Dan ketika peluit ditiup, mulailah mereka bersiul dan bertepuk tangan memancing gaco-gaco meraka dari jarak yang ditentukan. Para juri berkeliling sembari sesekali menancapkan bendera kecil pada sangkar burung yang dianggap mempeoleh nilai. Masing-masing juri membawa puluhan bendera kecil berbeda warna, ada yang bertugas menilai keindahan dan juga ketegapan postur burung saat berkicau, menilai panjang pendek irama kicauan, menilai nyaring tidaknya volume kicauan, dan sebagainya.

Kelas demi kelas selesai diadu, menjelang sore nilai masing-masing burung selesai direkap. Perwakilan juri naik keatas panggung mengumumkan pemenang masing-masing kelas, sekaligus menyerahkan piala Raja pada para juara, dan Pagelaran Piala Raja 2011 resmi dututup. Walau gaco mereka gagal meraih juara Para kicaumania lain semua tetap menyambut gembira. Sebuah sikap sportifitas yang patut ditiru. Setidaknya mereka senang bisa bertemu dan silaturahmi dengan para Penggemar Burung se Indonesia. Tak jarang beberapa diantara mereka bahkan sepakat ber-transaksi resmi, memindah kepemilikan burung yang mereka minati.

Peserta lomba menata sangkar burung Jagoannya

Salah satu tenda tempat burung berkicau berlomba

[wpcol_1half id=”” class=”” style=””]
Penjurian

[/wpcol_1half] [wpcol_1half_end id=”” class=”” style=””]
Burung berkicau
[/wpcol_1half_end]
Salah satu tenda tempat burung berkicau berlomba

Suporter dan pemilik burung berdiri duluar pagar saat penjurian

Meski lomba telah usai, kemeriahan dan serunya kisah menarik hari ini tidak akan hilang dari kenangan para peserta. Begitu halnya dengan saya, kendati bukan termasuk pecinta lomba burung berkicau tetapi saya merupakan penikmat kicauan burung, terlebih lagi di alam liar, sedikit membayangkan suasana candi Prambanan dijaman dahulu, tentu masih asri dengan kanan kirinya hutan ataupun persawahan warga, dan sudah tentu pula banyak burung yang berkicau dengan lebih merdu lagi karena kebebasan hidupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *