Singapura, Pembuka Coldplay Tour Asia

31 Maret 2017 mungkin merupakan hari yang tidak dilupakan oleh penggemar grup musik Coldplay di Asia, khususnya fans dari Singapura. Karena pada hari itu, grup musik asal Inggris ini memulai rangkaian tur Asia mereka bertajuk A Head Full of Dream Tour yang rencananya berlangsung hingga pertengahan April di Tokyo. Beberapa tempat bakal disinggahi Chris Martin dkk, diantaranya Singapura, Manila, Bangkok, Taipei, Seoul, dan Tokyo. Sebelum mereka melanjutkan menggebrak eropa pada bulan Juni dan Juli.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam jadwal mereka, sehingga saya dan beberapa teman dengan senang hati menyeberang ke negara tetangga untuk menyaksikan aksi pelantun lagu Yellow ini. Yaa… dengan senang hati lah, karena bagi saya. Tujuan mampir ke Singapura tentu bukan hanya nonton aksi panggung mereka, tapi pastinya juga ber-jejalan ria.

Akhirnya, setelah melalui persaingan berburu tiket yang “tentu saja” berujung kegagalan. Pada dua minggu menjelang hari H, saya dan seorang kawan akhirnya mendapat lungsuran tiket return dari beberapa kenalan. Hmm… walau menebusnya dengan harga sedikit lebih mahal, tidak apalah. Karena beberapa orang bahkan rela menebus tiket return yang berharga dua tiga kali lipat. Mungkin itulah buah dari kesabaran orang-orang seperti kami. hehehe.

Singapore International Stadium kabarnya sudah dipenuhi pengunjung sejak jam duabelas siang waktu setempat. Kendati gelaran acara akan dimulai pukul tujuh malam, antusias fans yang cukup membludak membuat area luar stadion berkapasitas limapuluh ribu orang itu semakin crowded. Saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di area Nicoll Highway, justru berangkat pukul empat sore, maklum Stasiun MRT Nicoll hanya tiga menit saja dengan Stasiun MRT Stadium. Jadi inilah keuntungan menginap lebih dekat dengan tempat konser.

Setelah sempat berbelanja di mall Kallang Wave yang masih bagian dari stadion, menjelang sore diiringi gerimis yang tak kunjung henti, kami mulai memasuki area plaza terbuka di lantai tiga. Dan… bum… ribuan calon penonton menyesaki antrian didepan gerbang yang ada. Tua Muda, Besar Kecil, wajah-wajah asia maupun bule, meramaikan suasana. Sebagian besar memakai kaos dan atribut bergambar Coldplay maupun logo geometris penuh warna pelangi, khas album terbaru mereka. Beberapa lagi juga terlihat memakai T-Shirt seragam dengan tagar AHFOD serta sablon jadwal tour dunia Coldplay yang terpampang di punggungnya.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Usut punya usut, ternyata disekitar plaza terdapat beberapa tenda official merchandise yang menjual Shirt serta pernak-pernik Coldplay selama konser berlangsung. Mengingat antrian sudah terlalu padat, dan kami juga harus mencari gate masuk yang sesuai dengan tiket. Maka tanpa tergoda belanja merchandise, kami ikut larut dalam barisan antrian masuk dalam stadion.

No Photography, No Videography, and selfie stick allowed. Dan itu benar-benar diterapkan petugas, semua tas diperiksa walaupun satu dua kamera mirrorless lolos dari pemeriksaan. Setidaknya himbauan yang tertera di tiket cukup membuat penonton enggan berencana membawa alat-alat yang pada nantinya bisa mengganggu kenyamanan penonton lain selama konser.

Whooaa… Akhirnya kami masuk kedalam stadion yang megah dengan penutup atap modern itu, sebagai arsitek saya dan kawan jejalan kali ini tentu saja termangu melihat barisan struktur atap serba high tech ini. Akan tetapi sudahlah, fokus ke konser, kita bahas itu lain kali, hehehe. Tempat duduk saya berada di baris tengah sedikit mendekati view panggung. Ini adalah titik paling sempurna bagi saya, karena bisa menyaksikan keramaian dibawah dan diatas saya. Walau jarak pandang ke panggung masih cukup jauh, tapi aksi Jhony Buckland dkk bisa terlihat jelas dari tiga layar super raksasa dibelakang mereka.

Dibuka aksi penyanyi muda Jess Kent, pengunjung terus memenuhi area dalam stadion, baik yang berdiri disekeliling panggung maupun tempat duduk. Suasana semakin gelap diluar stadion, dan pengunjung mulai asik bergoyang menikmati lagu-lagu pembuka. Sementara saya asyik memasang wristband di pergelangan tangan yang mana nantinya bisa menyala mengikuti permainan cahaya panggung, karena didalamnya terdapat perangkat elektronik yang dilengkapi sensor.

Tepat pukul 19.30 lampu stadion dimatikan, penonton sontak bergemuruh karena tiba-tiba wristband kami memancarkan cahaya merah seragam. Lautan manusia dibawah berubah menjadi lautan cahaya merah bak gemerlap plankton di lautan malam. Belum selesai kekagetan penonton, lampu laser panggung langsung menyorot bersahutan diiringi kemunculan para personel Coldplay membawakan lagu A head full of dream. Gebrakan yang istimewa, sebagian penonton masih bingung dan sibuk mengabadikan momen-momen permainan laser panggung dan ribuan cahaya wristband penonton lain hingga tak terasa lagu pertama telah usai dinyanyikan.

Tiba-tiba semua gelap, hanya ada bunyi gitar akustik yang Guy Beryman yang lembut mengalun, penonton terdiam menunggu… dan mendadak semua lampu wristband menyala kuning, stadion dipenuhi lautan cahaya warna kuning, penonton berteriak histeris karena mereka tahu bahwa ini adalah waktu melantunkan lagu Yellow, lagu yang turut mempopulerkan Coldplay di eranya. Bersamaan dengan itu pula alunan gitar berubah menghentak dengan distorsi khas lagu Yellow, kembang api menyala dibelakang panggung. Penonton semakin histeris dan stadion bergemuruh dengan nyanyian kami.

Berturut-turut kemudian, The scientist, Birds membuat para penonton riuh dengan bergoyang dan bernyanyi bersama. Hingga mereka kembali terdiam ketika lampu stadion meredup dan hanya terdengar alunan piano merdu dari kegelapan. “Paradise….” Demikian celetuk seorang penonton dibelakang saya, dan tetiba saja musik single Paradise mengalun khas, disertai warna merah dan biru menyala bersama di masing-masing wristband. Warna Pelangi untuk lagu Paradise seolah mengantar kami bernyanyi dalam mimpi indah.

Disusul kemudian dengan lagu beberapa lagu lain, diantaranya Clocks, Hmyn For The Weekend, dan Fix You yang sekali lagi Chris Martin membiarkan penonton bernyanyi dan dia yang mengiringi musiknya. Hingga akhirnya permainan laser dan wristband kembali menggila pada lagu Viva La Vida. Termasuk saya tak henti tertawa melihat rekan disebelah yang bergoyang heboh pada saat lagu Adventure of a lifetime dilantunkan. Suasana konser malam itu benar-benar istimewa. Aksi panggung, Background latar, permainan cahaya dan sound System, serta antusias pengunjung dengan aksi warna-warni wristband benar-benar patut mendapat acungan jempol. Atap stadion yang tertutup pun tak luput jadi sorotan permainan laser warna-warni yang menarik selama konser.

Ditengah acara, personil Coldplay sempat menghilang tatkala cahaya dimatikan, ternyata mereka berpindah tempat di panggung kecil yang lebih dekat dengan kerumunan penonton, tentu saja dengan pengamanan ekstra. Beberapa lagu akustik sempat dinyanyikan, diantaranya Don’t Panic yang mengalun lembut membius para penonton larut dalam suasana.

Dan seusai lagu Something Just Like This yang dipenuhi permainan videographic super keren di layar panggung utama. Aksi Coldplay kembali menggila di lagu A sky full of stars. Cahaya Laser dan Wristband menyala bersahutan, Chris Martin bahkan sempat berlari disepanjang panggung dengan disertai ledakan kembang api disusul taburan kertas warna-warni dan balon dari atap stadion. Hanya ada satu kata, luar biasa…

Histeris para penonton yang menjadi-jadi akhirnya ditutup dengan lagu Up & Up. Hingga lampu stadion dinyalakan, dan para personel Coldplay memberi salam perpisahan didepan panggung, para penonton sepertinya masih belum bisa move on. Teriakan “one more time” dari beberapa titik stadion masih terdengar. Namun semuanya telah berakhir bagi kami malam itu. Akhir bagi kami, namun awal bagi runtutan konser A Head Full Of Dream Coldplay 2017.

Clark Quay Singapura Dengan Sepenggal Senja Yang Romantis

Saya terpaku memandang sekeliling yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dengan beragam gaya. Mulai arsitektur modern, klasik, hingga high tech berdiri disepanjang tepian sungai Singapore River. Mentari sudah beranjak pergi, namun gelap masih belum kunjung tiba, sehingga kami berdua masih berkesempatan mengagumi masing-masing wujud bangunan disepanjang pedestrian Clark Quay Singapura. Apalagi saya yang masih terbius dengan perpaduan istimewa antara Sungai, Pedestrian, Landscape, dan jajaran arsitektur yang ada disana.

Tepukan ringan Siska di pundak saya kembali menyadarkan lamunan itu, “ayo ke sebelah sana, sunset dari atas jembatan jauh lebih menarik” tukasnya sembari memberi isyarat untuk menyiapkan kamera. Kami berdua melangkah ringan menuju Malacca Bridge, jembatan klasik yang menghubungkan area Riverside dengan kawasan kuliner Clark Quay Sentral yang berarsitektur high-tech.

suasana clark quay sebelum senja

Sore itu saya dan sahabat sengaja mengunjungi kawasan Clark Quay di tepi sepanjang Sungai Singapura. Setelah seharian penuh mengantar memenuhi hasrat belanjanya di Chinatown dan Orchard Road, sahabat saya yang satu ini berjanji mentraktir makan malam di tempat yang istimewa. Apalagi dia sudah paham jika saya suka melancong sambil menikmati senja di tepian sungai kota-kota besar, pilihannya untuk menghabiskan hari terakhir kunjungan di Singapura dengan menyambangi tempat ini adalah rekomendasi yang tepat. Sembari duduk-duduk di tepi railing pagar Malacca Bridge yang legendaris, kami berdua menikmati lalu lalang wisatawan menunggu hingga senja tiba di sebelah Barat.

Malacca Bridge memang tempat paling strategis, membujur dari sisi Utara ke Selatan, turis bisa leluasa memandang di kedua sisi jembatan yang demikian terbuka berupa sungai tanpa halangan apapun. Disisi Timur berupa gedung-gedung modern, dengan secuil plaza terbuka berupa wahana Reverse Bungee berukuran raksasa yang mampu melontarkan dua pasang manusia didalam kerangkeng mungilnya. Sesekali terdengar pekikan dan jerit ngeri bercampur senang tiap kali kami melihat bola besi transparan itu melenting puluhan meter ke udara, disertai kilatan cahaya blitz kamera ribuan turis yang mengabadikan momen disekitarnya. Namun kembali kami mengarahkan pandangan ke sisi Barat Jembatan, dimana deretan gedung Riverside Point yang cantik mulai menyalakan lampunya menyambut petang.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Kebetulan waktu itu langit Singapura benar-benar cerah, semburat warna jingga keunguan memenuhi langit senja. Jajaran gedung pencakar langit nan cantik berbaris disepanjang tepian sungai hingga ujung mata memandang. Lampu-lampunya yang mulai nyala berkilauan memantul laksana lukisan dipermukaan sungai Singapura yang tenang. Lalu lalang perahu kecil berhias lampu gemerlap semakin menambah daya tarik tempat ini, suasana romantis makin terasa tatkala beberapa pasangan muda-mudi asyik berselfie ria dengan latar sunset ditepi Malacca Bridge.

Sangat singkat, kurang dari sepuluh menit kami menikmati atraksi senja disni, namun ini adalah salah satu sepuluh menit terlama dalam hidup saya. Keindahan suasana senja ala Clark Quay tak patut untuk dilewatkan para traveler yang berkunjung ke Singapura. Kombinasi sunset, sungai dan keberadaan beragam arsitektur menarik adalah mahakarya yang memukau.

Rasa haus dan lapar membuat kami teringat untuk segera menuju Clark Quay Sentral di sebelah Utara. Area plaza terbuka dengan pedestrian berupa granit tile tertata unik, dengan dominasi struktur pipa besi membentuk payung-payung kanopi raksasa. Bahan tenda transparan diperkuat kabel-kabel baja sebagai penutup atapnya menambah kesan hightech dan modern, apalagi permainan tata cahaya yang demikian spektakuler semakin memberi kesan warna warni gemerlap yang serba berkelas.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Aneka pilihan menu tersedia disana, walaupun bagi saya range harga yang ditawarkan lumayan diatas rata-rata. Namun menjajal menikmati suasana makan malam ditepi Sungai Singapura adalah pengalaman spesial yang harus dicoba. Dua porsi Seafood Noodle, Minuman Sari buah dan Cocktail adalah pilihan yang kooperatif bagi saya dan sahabat untuk menghabiskan malam panjang kami di Clark Quay.