Musim Semi Di Kebun Raya Cibodas

Sudah lama saya mendengar bahwa di Kebun raya Cibodas ada beberapa pohon sakura, pohon ini katanya ditanam sejak tahun 1953. Sebagai penduduk negara dengan dua musim; hujan dan kemarau, boleh dong menikmati suasana musim semi seperti di Jepang. Yang paling terkenal tentu ditandai dengan berbunganya pohon sakura.

Tak perlu jauh maka saya mencoba menikmati suasana ala musim semi di Kebun raya Cibodas, tentu ketika pohon sakura sedang berbunga. Di Kebun raya Cibodas pohon sakura berbunga dua kali dalam setahun, yakni bulan februari dan bulan september.

Saya mendapati beberapa satwa kecil juga turut menikmati mekarnya bunga khas Jepang ini. Pohon sakura atau beberapa orang menyebutnya bunga sakura ini sebenarnya tergolong dalam familia Rosaceae, genus Prunus sejenis dengan pohon prem, persik, atau aprikot. Bahasa inggrisnya umum disebut dengan nama cherry blossoms.

Tak hanya soal bunga sakura sebenarnya, secara umum Kebun raya Cibodas cukup asyik dan nyaman untuk digunakan sebagai tempat melepas penatnya Jakarta, tentu pilih waktu berkunjung yang pas, agar gak malah jadi tambah penat ketika mendapati jalur puncak Bogor yang macetnya ampun-ampun, hehe.

Yang membedakan Kebun raya Cibodas dengan Kebun raya Bogor rasanya soal sejuknya udara, ya karena lokasi Kebun raya Cibodas memang pas di lereng atau kaki gunung Gede Pangrango, wajar jika lebih dingin. Yang jelas koleksi flora faunanya ya memang berbeda sih, secara otomatis suasananya juga berbeda.

Bagaimana seru kan? Mungkin lagu Uci bing slamet dengan judul Bukit Berbunga cocok diputar saat berkunjung ke sana, hehe.

Di bukit indah berbunga
Kau mengajak aku kesana
Memandang alam sekitarnya
Karena senja telah tiba
Mentari tenggelam
Di gunung yang biru
Langit merah berwarna sendu

Kita pun turun bersama
Melintasi jalan setapak
Tanganmu kau peluk di pundak
Membawa aku melangkah
Tak lupa kau petik
Bunga warna ungu
Lalu kau selipkan di rambutku

Bukit berbunga
Bukit yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Memadu cinta
Bukit berbunga
Tempat yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Di bukit berbunga

Singapura, Pembuka Coldplay Tour Asia

31 Maret 2017 mungkin merupakan hari yang tidak dilupakan oleh penggemar grup musik Coldplay di Asia, khususnya fans dari Singapura. Karena pada hari itu, grup musik asal Inggris ini memulai rangkaian tur Asia mereka bertajuk A Head Full of Dream Tour yang rencananya berlangsung hingga pertengahan April di Tokyo. Beberapa tempat bakal disinggahi Chris Martin dkk, diantaranya Singapura, Manila, Bangkok, Taipei, Seoul, dan Tokyo. Sebelum mereka melanjutkan menggebrak eropa pada bulan Juni dan Juli.

Sayangnya Indonesia tidak termasuk dalam jadwal mereka, sehingga saya dan beberapa teman dengan senang hati menyeberang ke negara tetangga untuk menyaksikan aksi pelantun lagu Yellow ini. Yaa… dengan senang hati lah, karena bagi saya. Tujuan mampir ke Singapura tentu bukan hanya nonton aksi panggung mereka, tapi pastinya juga ber-jejalan ria.

Akhirnya, setelah melalui persaingan berburu tiket yang “tentu saja” berujung kegagalan. Pada dua minggu menjelang hari H, saya dan seorang kawan akhirnya mendapat lungsuran tiket return dari beberapa kenalan. Hmm… walau menebusnya dengan harga sedikit lebih mahal, tidak apalah. Karena beberapa orang bahkan rela menebus tiket return yang berharga dua tiga kali lipat. Mungkin itulah buah dari kesabaran orang-orang seperti kami. hehehe.

Singapore International Stadium kabarnya sudah dipenuhi pengunjung sejak jam duabelas siang waktu setempat. Kendati gelaran acara akan dimulai pukul tujuh malam, antusias fans yang cukup membludak membuat area luar stadion berkapasitas limapuluh ribu orang itu semakin crowded. Saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di area Nicoll Highway, justru berangkat pukul empat sore, maklum Stasiun MRT Nicoll hanya tiga menit saja dengan Stasiun MRT Stadium. Jadi inilah keuntungan menginap lebih dekat dengan tempat konser.

Setelah sempat berbelanja di mall Kallang Wave yang masih bagian dari stadion, menjelang sore diiringi gerimis yang tak kunjung henti, kami mulai memasuki area plaza terbuka di lantai tiga. Dan… bum… ribuan calon penonton menyesaki antrian didepan gerbang yang ada. Tua Muda, Besar Kecil, wajah-wajah asia maupun bule, meramaikan suasana. Sebagian besar memakai kaos dan atribut bergambar Coldplay maupun logo geometris penuh warna pelangi, khas album terbaru mereka. Beberapa lagi juga terlihat memakai T-Shirt seragam dengan tagar AHFOD serta sablon jadwal tour dunia Coldplay yang terpampang di punggungnya.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Usut punya usut, ternyata disekitar plaza terdapat beberapa tenda official merchandise yang menjual Shirt serta pernak-pernik Coldplay selama konser berlangsung. Mengingat antrian sudah terlalu padat, dan kami juga harus mencari gate masuk yang sesuai dengan tiket. Maka tanpa tergoda belanja merchandise, kami ikut larut dalam barisan antrian masuk dalam stadion.

No Photography, No Videography, and selfie stick allowed. Dan itu benar-benar diterapkan petugas, semua tas diperiksa walaupun satu dua kamera mirrorless lolos dari pemeriksaan. Setidaknya himbauan yang tertera di tiket cukup membuat penonton enggan berencana membawa alat-alat yang pada nantinya bisa mengganggu kenyamanan penonton lain selama konser.

Whooaa… Akhirnya kami masuk kedalam stadion yang megah dengan penutup atap modern itu, sebagai arsitek saya dan kawan jejalan kali ini tentu saja termangu melihat barisan struktur atap serba high tech ini. Akan tetapi sudahlah, fokus ke konser, kita bahas itu lain kali, hehehe. Tempat duduk saya berada di baris tengah sedikit mendekati view panggung. Ini adalah titik paling sempurna bagi saya, karena bisa menyaksikan keramaian dibawah dan diatas saya. Walau jarak pandang ke panggung masih cukup jauh, tapi aksi Jhony Buckland dkk bisa terlihat jelas dari tiga layar super raksasa dibelakang mereka.

Dibuka aksi penyanyi muda Jess Kent, pengunjung terus memenuhi area dalam stadion, baik yang berdiri disekeliling panggung maupun tempat duduk. Suasana semakin gelap diluar stadion, dan pengunjung mulai asik bergoyang menikmati lagu-lagu pembuka. Sementara saya asyik memasang wristband di pergelangan tangan yang mana nantinya bisa menyala mengikuti permainan cahaya panggung, karena didalamnya terdapat perangkat elektronik yang dilengkapi sensor.

Tepat pukul 19.30 lampu stadion dimatikan, penonton sontak bergemuruh karena tiba-tiba wristband kami memancarkan cahaya merah seragam. Lautan manusia dibawah berubah menjadi lautan cahaya merah bak gemerlap plankton di lautan malam. Belum selesai kekagetan penonton, lampu laser panggung langsung menyorot bersahutan diiringi kemunculan para personel Coldplay membawakan lagu A head full of dream. Gebrakan yang istimewa, sebagian penonton masih bingung dan sibuk mengabadikan momen-momen permainan laser panggung dan ribuan cahaya wristband penonton lain hingga tak terasa lagu pertama telah usai dinyanyikan.

Tiba-tiba semua gelap, hanya ada bunyi gitar akustik yang Guy Beryman yang lembut mengalun, penonton terdiam menunggu… dan mendadak semua lampu wristband menyala kuning, stadion dipenuhi lautan cahaya warna kuning, penonton berteriak histeris karena mereka tahu bahwa ini adalah waktu melantunkan lagu Yellow, lagu yang turut mempopulerkan Coldplay di eranya. Bersamaan dengan itu pula alunan gitar berubah menghentak dengan distorsi khas lagu Yellow, kembang api menyala dibelakang panggung. Penonton semakin histeris dan stadion bergemuruh dengan nyanyian kami.

Berturut-turut kemudian, The scientist, Birds membuat para penonton riuh dengan bergoyang dan bernyanyi bersama. Hingga mereka kembali terdiam ketika lampu stadion meredup dan hanya terdengar alunan piano merdu dari kegelapan. “Paradise….” Demikian celetuk seorang penonton dibelakang saya, dan tetiba saja musik single Paradise mengalun khas, disertai warna merah dan biru menyala bersama di masing-masing wristband. Warna Pelangi untuk lagu Paradise seolah mengantar kami bernyanyi dalam mimpi indah.

Disusul kemudian dengan lagu beberapa lagu lain, diantaranya Clocks, Hmyn For The Weekend, dan Fix You yang sekali lagi Chris Martin membiarkan penonton bernyanyi dan dia yang mengiringi musiknya. Hingga akhirnya permainan laser dan wristband kembali menggila pada lagu Viva La Vida. Termasuk saya tak henti tertawa melihat rekan disebelah yang bergoyang heboh pada saat lagu Adventure of a lifetime dilantunkan. Suasana konser malam itu benar-benar istimewa. Aksi panggung, Background latar, permainan cahaya dan sound System, serta antusias pengunjung dengan aksi warna-warni wristband benar-benar patut mendapat acungan jempol. Atap stadion yang tertutup pun tak luput jadi sorotan permainan laser warna-warni yang menarik selama konser.

Ditengah acara, personil Coldplay sempat menghilang tatkala cahaya dimatikan, ternyata mereka berpindah tempat di panggung kecil yang lebih dekat dengan kerumunan penonton, tentu saja dengan pengamanan ekstra. Beberapa lagu akustik sempat dinyanyikan, diantaranya Don’t Panic yang mengalun lembut membius para penonton larut dalam suasana.

Dan seusai lagu Something Just Like This yang dipenuhi permainan videographic super keren di layar panggung utama. Aksi Coldplay kembali menggila di lagu A sky full of stars. Cahaya Laser dan Wristband menyala bersahutan, Chris Martin bahkan sempat berlari disepanjang panggung dengan disertai ledakan kembang api disusul taburan kertas warna-warni dan balon dari atap stadion. Hanya ada satu kata, luar biasa…

Histeris para penonton yang menjadi-jadi akhirnya ditutup dengan lagu Up & Up. Hingga lampu stadion dinyalakan, dan para personel Coldplay memberi salam perpisahan didepan panggung, para penonton sepertinya masih belum bisa move on. Teriakan “one more time” dari beberapa titik stadion masih terdengar. Namun semuanya telah berakhir bagi kami malam itu. Akhir bagi kami, namun awal bagi runtutan konser A Head Full Of Dream Coldplay 2017.

Clark Quay Singapura Dengan Sepenggal Senja Yang Romantis

Saya terpaku memandang sekeliling yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan dengan beragam gaya. Mulai arsitektur modern, klasik, hingga high tech berdiri disepanjang tepian sungai Singapore River. Mentari sudah beranjak pergi, namun gelap masih belum kunjung tiba, sehingga kami berdua masih berkesempatan mengagumi masing-masing wujud bangunan disepanjang pedestrian Clark Quay Singapura. Apalagi saya yang masih terbius dengan perpaduan istimewa antara Sungai, Pedestrian, Landscape, dan jajaran arsitektur yang ada disana.

Tepukan ringan Siska di pundak saya kembali menyadarkan lamunan itu, “ayo ke sebelah sana, sunset dari atas jembatan jauh lebih menarik” tukasnya sembari memberi isyarat untuk menyiapkan kamera. Kami berdua melangkah ringan menuju Malacca Bridge, jembatan klasik yang menghubungkan area Riverside dengan kawasan kuliner Clark Quay Sentral yang berarsitektur high-tech.

suasana clark quay sebelum senja

Sore itu saya dan sahabat sengaja mengunjungi kawasan Clark Quay di tepi sepanjang Sungai Singapura. Setelah seharian penuh mengantar memenuhi hasrat belanjanya di Chinatown dan Orchard Road, sahabat saya yang satu ini berjanji mentraktir makan malam di tempat yang istimewa. Apalagi dia sudah paham jika saya suka melancong sambil menikmati senja di tepian sungai kota-kota besar, pilihannya untuk menghabiskan hari terakhir kunjungan di Singapura dengan menyambangi tempat ini adalah rekomendasi yang tepat. Sembari duduk-duduk di tepi railing pagar Malacca Bridge yang legendaris, kami berdua menikmati lalu lalang wisatawan menunggu hingga senja tiba di sebelah Barat.

Malacca Bridge memang tempat paling strategis, membujur dari sisi Utara ke Selatan, turis bisa leluasa memandang di kedua sisi jembatan yang demikian terbuka berupa sungai tanpa halangan apapun. Disisi Timur berupa gedung-gedung modern, dengan secuil plaza terbuka berupa wahana Reverse Bungee berukuran raksasa yang mampu melontarkan dua pasang manusia didalam kerangkeng mungilnya. Sesekali terdengar pekikan dan jerit ngeri bercampur senang tiap kali kami melihat bola besi transparan itu melenting puluhan meter ke udara, disertai kilatan cahaya blitz kamera ribuan turis yang mengabadikan momen disekitarnya. Namun kembali kami mengarahkan pandangan ke sisi Barat Jembatan, dimana deretan gedung Riverside Point yang cantik mulai menyalakan lampunya menyambut petang.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Kebetulan waktu itu langit Singapura benar-benar cerah, semburat warna jingga keunguan memenuhi langit senja. Jajaran gedung pencakar langit nan cantik berbaris disepanjang tepian sungai hingga ujung mata memandang. Lampu-lampunya yang mulai nyala berkilauan memantul laksana lukisan dipermukaan sungai Singapura yang tenang. Lalu lalang perahu kecil berhias lampu gemerlap semakin menambah daya tarik tempat ini, suasana romantis makin terasa tatkala beberapa pasangan muda-mudi asyik berselfie ria dengan latar sunset ditepi Malacca Bridge.

Sangat singkat, kurang dari sepuluh menit kami menikmati atraksi senja disni, namun ini adalah salah satu sepuluh menit terlama dalam hidup saya. Keindahan suasana senja ala Clark Quay tak patut untuk dilewatkan para traveler yang berkunjung ke Singapura. Kombinasi sunset, sungai dan keberadaan beragam arsitektur menarik adalah mahakarya yang memukau.

Rasa haus dan lapar membuat kami teringat untuk segera menuju Clark Quay Sentral di sebelah Utara. Area plaza terbuka dengan pedestrian berupa granit tile tertata unik, dengan dominasi struktur pipa besi membentuk payung-payung kanopi raksasa. Bahan tenda transparan diperkuat kabel-kabel baja sebagai penutup atapnya menambah kesan hightech dan modern, apalagi permainan tata cahaya yang demikian spektakuler semakin memberi kesan warna warni gemerlap yang serba berkelas.

[one-half-first][/one-half-first]
[one-half][/one-half]

Aneka pilihan menu tersedia disana, walaupun bagi saya range harga yang ditawarkan lumayan diatas rata-rata. Namun menjajal menikmati suasana makan malam ditepi Sungai Singapura adalah pengalaman spesial yang harus dicoba. Dua porsi Seafood Noodle, Minuman Sari buah dan Cocktail adalah pilihan yang kooperatif bagi saya dan sahabat untuk menghabiskan malam panjang kami di Clark Quay.

Ayunan dan Gili Trawangan

Pagi itu, suasana Tahun baru sangat terasa di Gili Trawangan, satu diantara tiga pulau kecil destinasi primadona para turis tatkala berkunjung ke Lombok. Kendati hingar bingar perayaan mungkin sudah lewat sedari tadi malam, namun sisa-sisa kemeriahan masih terasa. Keramaian pengunjung dari dalam dan luar negeri terlihat memenuhi jalanan dan café-café disepanjang tepi pantai Gili Trawangan. Kami memaklumi karena kebetulan libur awal tahun kali ini jatuh pada hari Jum’at, “If weekend start from Friday, you will find long weekend”, demikian celetuk partner saya sembari menyeruput es krim Gili Gelato yang banyak ditemui disekitar pusat keramaian menuju pantai.

Saya hanya tersenyum, walau pernah berkunjung ke Lombok, namun baru kali ini menginjakkan kaki di Gili Trawangan. Ditengah lamunan sepanjang langkah kaki menuju penginapan yang sudah kami pesan, saya bertekad sore nanti akan menjajal berkeliling dengan sepeda kayuh yang banyak disewakan di pulau ini.

IMG_20160101_170405_HDR

Sepeda kayuh, dan cidomo (kereta kuda tradisional) adalah alat transportasi yang lazim ditemui. Bebas polusi dan asap kendaraan adalah salah satu “kemewahan” (demikian saya menyebutnya) yang ditawarkan tempat ini. Para wisatawan bebas menikmati keindahan pantai khas Lombok, tanpa harus terganggu berisik mesin maupun polusi kendaraan. Dan hal inilah yang memang kami rasakan sore itu ketika bersepeda santai disepanjang pantai menjelajah semua sudut pulau.

Kira-kira butuh hampir satu jam untuk menyudahi berkeliling dengan sepeda, namun kenyataannya kami berdua menghabiskan lebih banyak waktu. Entah berapa kali berhenti, menyandarkan sepeda ke pepohonan, berlari sambil melepas alas kaki, membiarkan telapak merasakan kelembutan pasir putih pantai, kesegaran air laut yang sebening Kristal, dan memanjakan mata dengan pemandangan gradasi warna hijau biru air laut berhias buih ombak kecil yang cukup ramah menyapa mata kaki. Kami memulai hari di awal tahun dengan sangat menyenangkan.

 

IMG_20160102_183822_HDR

Sepeda, pantai, dan senja, adalah kombinasi istimewa yang memenuhi jepretan kamera saya sore ini. Namun ada satu lagi yang kiranya tak bisa dilewatkan, yakni ayunan. Entah siapa yang memulai membuat alat bersantai ini dan membangunnya di atas permukaan air pantai, namun kami menemukan banyak sekali ayunan disepanjang keliling garis pantai. Mulanya hanya sekedar obyek foto sculpture bagi saya, sebuah aksentuasi diantara dominasi keindahan alam pantai Lombok. Akan tetapi lain halnya dengan partner jejalan saya kali ini, nalurinya sebagai traveler cewek tentu menasbihkan ayunan adalah obyek “berfoto” yang sangat menyenangkan. Jadilah akhirnya senja kali ini dihabiskan untuk menikmati sunset disekitar ayunan pantai Gili Trawangan.

IMG_20160101_172524_HDR

Sculpture, aksentuasi, unik, artistik, dan mungkin juga romantis. Cukup banyak pilihan kata untuk menggambarkan keberadaan ayunan kayu dengan tali tambang sederhana itu. Beberapa ayunan milik villa atau hotel, didesain lebih menarik, safety, dan juga penuh nuansa etnik, ditempatkan di pantai depan hotel atau villa yang langsung menghadap ke laut.

Menjelang senja tiba, karya seni sederhana ini sontak ramai dan menjadi point of view para turis. Bergantian mereka berfoto dengan latar matahari tenggelam, berpose sendiri maupun bersama pasangan, mencoba mengambil kesempatan menyelami sisi romantisme diantara semburat lembayung jingga di ufuk Barat. Karena Gili Trawangan selalu menjanjikan lukisan alam senja yang istimewa, walau tidak setiap hari anda selalu bisa berada disana.

Romantisme Bawah Laut

Romantis, kira-kira itu yang terpikir dengan kegiatan baru yang saya coba sebulan terakhir ini. Scuba Diving membawa saya menemukan dunia yang terasa baru. Landscape yang begitu berbeda dengan dunia darat, satwa yang berbeda bentuk dan perilakunya pun begitu. Hal baru yang mengasyikkan, birunya lautan menyejukkan mata, membuat seolah banyak hal diluar sana terlupakan sejenak.

Aktivitas bawah air ini masih membuat saya terus dan terus takjub dengan segala hal yang diciptakan olehnya. Pertanyaannya kenapa saya baru mengenal dunia ini, dunia bawah air. Romantisme yang mengagungkan pencipta atas segala ciptaan-Nya.

Kemudian pertanyaan lain muncul juga, seperti apa sih orang-orang yang menyukai dengan dunia bernafas dengan mulut dan berkacamata besar dan repotnya menggendong tabung dipunggung mereka. Apakah merasakan hal yang sama, atau malah biasa saja?.

deepdeeplove2

deepdeeplove3

Melenggang di kawasan Kota Tua Semarang

Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.

Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.

Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Gedung Marabunta dengan icon semutnya
Gedung Marabunta dengan icon semutnya
 Semarang Art Gallery
 tangga menuju lt.2 galery

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.

Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.

Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

interior galery
interior galery

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.

Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.

Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.

Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.

Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.

teman jejalan
teman jejalan

Sejenak Bermain di Alam, dengan Berarung Jeram

Hujan masih turun dengan cukup deras membasahi tubuh terbalut pelampung kami. hawa dingin dan suasana mendung siang itu lumayan membuat kami bertujuh terdiam diatas mobil bak terbuka menyusuri jalanan perbukitan di daerah Probolinggo. “Kalau hujan masih tetap aman kan mas?” tanya sahabat saya Vika pada pemandu kami disebelah.

“Aman mbak, selama kami cek masih layak disusuri, kita bisa turun”, jawab salah satu pemandu rafting yang mendampingi kami siang itu.

Yaa, Sabtu siang ini saya diajak oleh Vika, seorang sahabat saya di kampus dulu untuk memacu adrenalin berarung jeram di sekitar Probolinggo. Walaupun musim hujan lagi puncak-puncaknya, si Vika masih tetap bernyali juga menjajal derasnya arus sungai Pekalen Probolinggo yang memang populer sebagai trek rafting di jawa Timur. Meski awalnya sempat ragu, akhirnya saya penasaran juga menjajal liarnya arus sungai dikala hujan. Lagipula masak saya kalah sama teman cewek saya sih, hahaha.

Sampai pada titik pemberhentian, kami bertujuh turun dari mobil bak terbuka sembari membawa dayung masing-masing, perjalanan menuju start point sungai ditempuh berjalan kaki sekitar setengah jam dari sini. Disepanjang trek jalur setapak menembus perkebunan dan belukar naik turun itu, kami memulai obrolan ringan. Kebetulan kali ini Vika mengajak serta ibunda dan adik-adiknya, trekking melelahkan itu jadi tidak terasa karena penuh dengan percakapan. Selain sama-sama satu profesi, si Vika ini juga penggemar ekstrim sport. Pembicaraan pun jadi mengarah pada adventure travelling deh, apalagi sahabat saya mengajak pula temannya mas Kunto yang juga suka olahraga air, “wah… hari ini bakal beraksi bersama orang-orang yang mahir bermain di air nih”, pikir saya.

Sungai dengan gemuruh suara arus deras terbentang didepan, dua perahu karet besar telah siap di tepian. Sejenak kami melakukan briefing seperlunya, serta tak lupa memanjatkan doa untuk keselamatan selama perjalanan… eh, ralat… Selama Petualangan… Hehehehe.

DSC_0045

Perahu karet pun mulai melaju diantara derasnya arus penuh bebatuan sungai, dan dikawal oleh rintik hujan yang tanpa henti terus berjatuhan dari langit mendung. Saya satu perahu bersama Vika, ibundanya, serta keponakannya Awang. Sementara perahu kedua ada Kunto serat adiknya Vika, Dewi dan Abhi ditemani dua orang skipper (nahkoda rafting). Semua orang dalam perahu kami masih terdiam dan memainkan dayung perlahan, mungkin sedikit tegang dan merinding melihat hujan yang belum berhenti dan arus air berwarna keruh kecoklatan karena debitnya yang mulai naik.

Ketegangan tiba-tiba berubah menjadi teriakan seru ketika skipper meneriakkan “boom” pertanda perahu memasuki jeram yang cukup dalam. Sontak kami semua mengambil posisi duduk berjongkok didalam perahu diiringi jeritan ekspresif dan tawa geli. Jeram pertama tadi menandakan dimulainya petualangan kami kali ini.

Selain jeram yang cukup menantang adrenalin, spot sungai Pekalen juga dihiasi tebing-tebing yang sangat mempesona. Tebing dialiri air terjun dan goa penuh kelelawar adalah spot istimewa yang bisa ditemui ditengah perjalanan menyusuri sungai Pekalen ini. Derasnya arus sungai dan banyaknya jeram membuat perahu kami pontang-panting seolah mobil yang nge-drift kesana kemari. Namun setidaknya rasa lelah kami terbayar dengan berpose didiepan air terjun besar icon sungai Pekalen yang cukup populer itu.

Suguhan minuman hangat dan pisang goreng di saung tepi sungai tatkala kami beristirahat adalah momen untuk sejenak menarik nafas dan melonggarkan ketegangan kami. Hujan yang mulai reda dan tubuh yang basah kuyup membuat saya lupa berapa potong pisang goreng yang masuk kedalam mulut rakus ini. Jeda istirahat sekitar limabelas menit tidak terlalu lama dibanding total hampir tiga jam perjalanan rafting kami kali ini. Dayung kembali direngkuh helm kembali terpasang, sisa trek kurang dari setengah lagi. Kami masih punya semangat untuk menuntaskan perjalanan. Semangat yang timbul dari pisang goreng setengah basah akibat terguyur tetesan air hujan yang bocor dari atap rumbia saung. Hahaha.

Masih melewati beberapa jeram dan pemandangan indah dari tebing, setengah perjalanan juga melintasi pemandangan air terjun yang cukup deras, sayangnya lokasi cukup jauh dari alur sungai, sehingga kami cukup puas dengan menyaksikannya sembari melaju diatas perahu.

DSC_0028

 DSC_0036
 DSC_0071

Pada salah satu spot menjelang akhir rute, kami berhenti pada sebuah tebing dengan arus yang menikung tanpa bebatuan. Di tempat ini kami semua mencoba mendaki tebing setinggi lebih dari enam meter dan bergantian melompat dari atas. Waow, inilah jumping spot yang menjadi primadona saya kali ini, karena mengingatkan masa kecil yang suka bermain loncat dari atas pintu air milik Jasa Tirta di sungai dekat rumah saya. Hehehe.

Satu demi satu kami mencoba meloncat dari atas dan jatuh kedalam arus air dibawah sana. Benar-benar sensasional, free fall dari ketinggian enam meter lebih membuat darah berdesir dan adrenalin memuncak. Jatuh kedalam air memang sangat menyenangkan, namun kadang membuat kehilangan orientasi arah karena sungai yang cukup keruh dan kondisi tubuh yang sedikit lelah. Walau demikian, saya acungi jempol kepada ibunda teman saya yang sepuh itu, ternyata bernyali juga untuk bersaing dengan kami meloncat dari ketinggian.


IMG_6723

IMG_6718

Rasa lelah mengarungi trek sepanjang lebih dari sepuluh kilometer tadi membuat perut terasa keroncongan. Apalagi setelah tubuh dan kostum perang yang basah sudah berganti dengan pakaian kering. Kami tak sabar menuju tempat makan berbentuk pendopo tradisional dengan furniture kayu serta penerangan lampion. Hujan deras yang kembali turun sore itu membuat makan siang kami serasa makin nikmat. Sayur urap, sambal terong, ikan asin, ikan panggang, dadar jagung, khas makanan pedesaan. Ditambah dengan minuman hangat, kami disuguhi tampilan foto-foto ekspresif kami selama arung jeram yang terpampang pada televisi layar datar di ujung pendopo. Mengesankan, kami akan coba lagi lain waktu.

Menelusur sejarah kelam Vietnam dalam Cu Chi Tunnel

Gadis petugas loket itu menempelkan Stiker tanda masuk ke lengan jaket saya, pakaian tradisional Vietnam berwarna hitam menambah kecantikannya dikala tersenyum. Saya membalas ucapan selamat datangnya sembari memandangi stiker tanda masuk ketempat ini. Bentuknya bulat, kecil, dengan gambar siluet seorang tentara yang sedang merayap.

IMG_0652

Saya kemudian melangkahkan kaki mengikuti orang-orang yang ada didepan saya. Rombongan kami semua berjalan bebanjar mengikuti alur jalan setapak yang tanahnya telah padat karena sering dilewati. Siang itu harusnya terik memang, namun tanaman dan semak belukar disini cukup mengurangi sengatan sang surya. Kendati demikian, hembusan angin masih belum mampu menahan tetes peluh di dahi, sembari sesekali menyeka, sayapun melangkah dan terus melangkah diantara sampah dedaunan kering nan tebal menutupi permukaan tanah dikiri kanan jalan setapak.

Kicau burung dan keberadaan serangga yang bersahutan sempat menyita perhatian saya. Dan itu sejatinya sudah cukup membuat kami lengah. Mendadak terdengar suara gemeresak dedaunan, dan sekonyong-konyong muncul seorang prajurit Vietcong dari dalam tanah… Yaa.. muncul begitu saja, dari dalam tanah…

Untungnya saya bukan tentara Amerika, pula si Vietcong ini tidak membawa senjata… dan “Game”-pun masih belum “over”… Hahahaha. Tentu saja, karena aksi kejutan ini adalah ini adalah salah satu adegan sambutan ala “Cu Chi Tunnel” kepada para turis yang berkunjung kesana.

Ya, Cu Chi Tunnel adalah sebuah terowongan bawah tanah, yang digunakan sebagai sarana mobilisasi rahasia tentara gerilya peninggalan perang Vietnam. Menempuh perjalanan selama satu setengah jam dari pusat kota Ho Chi Minh City, kita bisa mengunjungi salah satu destinasi wisata yang unik dan terkenal ini. Sebagai salah satu benteng pertahanan terpanjang dan berada dibawah tanah, Cu Chi Tunnel benar-benar terkamuflase secara sempurna, dengan beberapa titik keluar-masuk ke permukaan tanah yang sangat sulit terdeteksi, tersembunyi dibawah rimbunnya belukar hutan Vietnam. Kabarnya jaringan Cu Chi Tunnel panjangnya mencapai ratusan kilometer, tersebar seantero bawah tanah kawasan Vietnam Selatan.

Jaringan “tunnel” ini sangat komplit, memiliki koneksi dengan area-area strategis dan menjadi markas bawah tanah selama perang Vietnam. Terhubung dengan titik-titik yang berfungsi sebagai markas, ruang kesehatan, ruang rapat, bahkan dapur umum yang tersebar kesegala penjuru wilayah. Semuanya tergambar jelas kala kami mencoba memasuki replika masing-masing ruangan dipandu oleh guide lokal yang sedikit kocak.

cu chi tunnel

Seperti halnya diorama ditempat terbuka, beberapa barak sederhana juga dibuat di sudut-sudut jalan setapak. Tampak patung-patung tentara Vietcong berpose disana, lengkap dengan pakaian gerilya dan senjata replikanya. Para turis pun langsung rebutan berpose dengan latar manekin gerilyawan itu.

Bukan hanya melihat kondisi riil barak dan gambaran aktivitas diorama saja, kami juga sempat deg-degan kala menyaksikan beberapa jebakan khas gerilyawan Vietcong yang kondisi dan lokasinya masih aseli. Jebakan berupa lubang besar penuh dengan besi dan kayu tajam itu terkamuflase sempurna dengan rerumputan diatasnya. Beberapa turis wanita bergidik ngeri membayangkan jika tubuh atau kaki musuh terperosok kedalamnya.

Kami terus melangkah menyusuri jalan menurun yang mirip lembah, sayup-sayup terdengar satu dua suara tembakan, disusul kemudian oleh rentetan senapan mesin yang sambung menyambung. Agak penasaran juga, apakah ini sekedar sound-system buatan untuk menambah suasana trekking menjadi lebih menarik?? Kami belum mendapat jawaban, dan terus berjalan mendekati sumber suara.

Oh ternyata, di area ini juga disediakan lapangan khusus bagi para turis yang ingin menjajal menembak menggunakan senapan asli eks perang Vietnam. Tentunya dengan biaya ekstra sebagai ongkos pengganti peluru yang digunakan. Disini tersedia banyak senjata legendaris yang cukup populer di eranya, mulai dari AK-47, M-16, M1-Carabin, hingga senapan mesin kelas berat Browning.

cu chi tunnel

cu chi tunnel

cu chi tunnel

Puas menjajal betapa garangnya senapan-senapan tua peninggalan perang Vietnam, kami melanjutkan ke bagian utama dari tour kali ini. Yaa.. benar, mencoba kesempatan berperan menjadi tentara Vietcong melalui uji nyali dengan menjajal masuk ke lubang terowongan di satu sisi, dan keluar pada sisi lainnya. Agak ragu juga tatkala saya hendak mencobanya, antara takut terowongan akan runtuh, atau bahkan salah orientasi karena nyasar kearah lain, karena memang banyak percabangan didalam jalurnya. Namun karena sudah terlanjur mengikuti tour dari awal, rasanya tidak sempurna kalau batal menjajal masuk kedalam Cu Chi Tunnel ini, sayapun memberanikan diri menyeruak kedalam mulut sumur sempit dengan sedikit belukar itu.

Ternyata tidak terlalu menyenangkan, terowongan ini sangat sempit, hanya selebar pundak, setinggi setengah badan, saya dan rombongan pun harus berjalan menunduk. Pula dibeberapa titik bahkan harus berjongkok sambil memaksakan diri setengah merangkak. Sekedar bergerak bebas saja benar-benar sukar sekali dilakukan didalam tempat ini, apalagi untuk membalikkan badan bertukar arah. Tak bisa dibayangkan, bukannya para gerilyawan pada masa itu tentu juga membawa ransel dan senjata laras panjang pula.

Semua itu masih belum seberapa. Kondisi gelap yang menyergap, oksigen yang serba tipis, dan bau tanah gua yang lembab membuat nafas kami semua tersengal. Ditambah lagi teriakan para turis bule dibelakang yang panik karena sempitnya terowongan, menjadikan suasana semakin berisik disepanjang lorong sempit nan gelap ini. Betapa tidak nyamannya kondisi ini, belum lagi kalau kondisi perang seperti dulu, gaduhnya suara manusia tidak sebanding dengan berisik rentetan tembakan, desing peluru dan ledakan bom yang tentunya juga terasa didalam.

IMG_0749

Ouuhh… kesialan nyata-nyata bertambah, saya samasekali tidak bersiap membawa penerangan guna menyusuri terowongan, maka jadilah blitz kamera yg membantu saya sesekali untuk meraba dan menduga kemana arah menuju. Sungguh perjalanan yang menegangkan dan penuh derita, saking sempitnya terowongan dan banyaknya anggota rombongan, saya serasa terjepit didalam antrian penumpang dikala musim mudik Lebaran. “Bahkan saya sampai bisa mendengar dan mencium bau nafas bule cewek yang tepat berada dibelakang saya”, bisik saya kepada Jeri, partner jejalan. Hehehe, sekedar gurauan pereda ketegangan saja.

Dan setelah lima menit yang mencekam, cahaya mulai tampak disalah satu tikungan terowongan. Sorot cahaya dari atas itulah pintu keluar menuju permukaan. Saya bernafas lega, dengan tetap berjongkok dan sesekali kepala terantuk dinding atas terowongan. Saya berhasil naik keatas permukaan tanah. Tak lupa pula membalikkan badan, sekedar mengulurkan tangan membantu cewek bule dibelakang saya tadi untuk naik keatas permukaan, hehehe…

Sejurus kemudian saya mengambil nafas dalam-dalam, memuaskan diri menghirup udara segar selepas lolos dari neraka sempit yang baru saja saya lewati. Ketegangan juga mulai berkurang tatkala kami diajak memasuki tempat semacam barak sederhana. Disana disediakan suguhan makanan khas gerilyawan Vietcong pada masa perang dulu. Ketela rebus, dengan piring kecil berisi sedikit campuran garam dan kacang yang ditumbuk halus. Bagi kami turis Indonesia, sajian ini tidak terlalu aneh. Lain halnya dengan turis dari Eropa, US dan Jepang yang satu rombongan dengan kami, mereka semua ragu untuk memakannya, mengira itu adalah batang semak belukar yang dimasak. Hehehe, jadilah kami akhirnya membantu guide untuk membujuk mereka supaya menyantap sajian ini.

Puas dengan sepiring ketela rebus dicocol kedalam serbuk kacang dan garam, secangkir the tawar khas Vietnam cukup membantu saya relaksasi setelah tour yang menegangkan kali ini. Bukan perkara jalur treknya, macam-macam kejutan dan jebakannya, atau karena menjajal senapannya yang menegangkan. Justru mencoba menyusuri terowongan gerilya adalah suatu petualangan yang luar biasa ekstrim bagi saya, lima menit serasa lima jam. Dan bisa menghasilkan cerita yang demikian panjang. Fuuhh… Mungkin terkesan biasa bagi anda, namun jika menikmati sedikit demi sedikit artikel ini. Setidaknya anda beruntung, karena sudah membaca kisah tentang Cu Chi Tunnel yang ditulis oleh seorang Klaustrophobia.

[photoset] Senja diantara Surabaya Madura

Akhir-akhir ini, langit senja di kota Surabaya dan sekitarnya memang tak terduga. Adakalanya langit tertutup awan mendung, kadangkala justru sangat cerah dengan pemandangan yang sangat menarik untuk dinikmati. Seperti sore ini, selepas menyelesaikan project di Madura, kami bergegas kembali ke Surabaya. Menjelang senja kami tepat berada diatas jembatan Suramadu. Dengan pandangan yang bebas tanpa batas kearah cakrawala, yaa… kami mendapati suasana langit senja yang sangat istimewa

Jejalan Suasana Senja Di Suramadu

[one-half-first]Jejalan Kincir Saat Senja[/one-half-first]
[one-half]Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 3[/one-half]
Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 1

[one-half-first]Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 4[/one-half-first]
[one-half]Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 5[/one-half]