Musim Semi Di Kebun Raya Cibodas

Sudah lama saya mendengar bahwa di Kebun raya Cibodas ada beberapa pohon sakura, pohon ini katanya ditanam sejak tahun 1953. Sebagai penduduk negara dengan dua musim; hujan dan kemarau, boleh dong menikmati suasana musim semi seperti di Jepang. Yang paling terkenal tentu ditandai dengan berbunganya pohon sakura.

Tak perlu jauh maka saya mencoba menikmati suasana ala musim semi di Kebun raya Cibodas, tentu ketika pohon sakura sedang berbunga. Di Kebun raya Cibodas pohon sakura berbunga dua kali dalam setahun, yakni bulan februari dan bulan september.

Saya mendapati beberapa satwa kecil juga turut menikmati mekarnya bunga khas Jepang ini. Pohon sakura atau beberapa orang menyebutnya bunga sakura ini sebenarnya tergolong dalam familia Rosaceae, genus Prunus sejenis dengan pohon prem, persik, atau aprikot. Bahasa inggrisnya umum disebut dengan nama cherry blossoms.

Tak hanya soal bunga sakura sebenarnya, secara umum Kebun raya Cibodas cukup asyik dan nyaman untuk digunakan sebagai tempat melepas penatnya Jakarta, tentu pilih waktu berkunjung yang pas, agar gak malah jadi tambah penat ketika mendapati jalur puncak Bogor yang macetnya ampun-ampun, hehe.

Yang membedakan Kebun raya Cibodas dengan Kebun raya Bogor rasanya soal sejuknya udara, ya karena lokasi Kebun raya Cibodas memang pas di lereng atau kaki gunung Gede Pangrango, wajar jika lebih dingin. Yang jelas koleksi flora faunanya ya memang berbeda sih, secara otomatis suasananya juga berbeda.

Bagaimana seru kan? Mungkin lagu Uci bing slamet dengan judul Bukit Berbunga cocok diputar saat berkunjung ke sana, hehe.

Di bukit indah berbunga
Kau mengajak aku kesana
Memandang alam sekitarnya
Karena senja telah tiba
Mentari tenggelam
Di gunung yang biru
Langit merah berwarna sendu

Kita pun turun bersama
Melintasi jalan setapak
Tanganmu kau peluk di pundak
Membawa aku melangkah
Tak lupa kau petik
Bunga warna ungu
Lalu kau selipkan di rambutku

Bukit berbunga
Bukit yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Memadu cinta
Bukit berbunga
Tempat yang indah
Di sana kita selalu datang berdua
Di bukit berbunga

Why We Love Plaosan

Candi Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin juga Kalasan, kiranya sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Ketiganya cukup terkenal dan acapkali muncul menjadi icon promosi daerah Klaten, Jogja, dan Jawa Tengah. Apalagi Prambanan dan Ratu Boko, keduanya menjadi Taman Wisata Candi yang dikelola dengan serius sebagai aset wisata internasional. Namun pada kesempatan kali ini saya tidak berkisah tentang ketiga candi tersebut, karena ada beberapa peninggalan cagar budaya lain yang tidak kalah keren, dan mungkin sudah kesekian kalinya menjadi artikel di Jejalan.

Yaa, kembali saya bercerita tentang Candi Plaosan di Klaten yang mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya bagi para kru Jejalan. Terletak kurang lebih empat kilometer disebelah Timur kompleks Candi Prambanan, Candi Plaosan bisa ditemui berdiri dengan gagah ditengah hamparan lahan persawahan yang lapang. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dan teman-teman menyambangi Candi yang diperkirakan dibangun pada abad 9 Masehi ini. Bahkan pada kesempatan kali ini saya sudah berkunjung dua kali dalam sebulan.

IMG_9709 sawah

Ibarat sebuah oase di padang pasir yang terik dan gersang, sosok Candi Plaosan adalah sebuah arsitektur kuno yang berdiri megah ditengah sawah lapang. Warna hitam kelabu batu-batu yang menyusunnya adalah pemandangan kontras bagi hamparan permadani hijau lahan persawahan disekelilingnya. Saya menyebutnya aksentuasi, dan inilah daya tarik pertama mengapa kami belum bisa move on dari Plaosan.

DSC00266

Lokasinya yang jauh dari jalan raya utama bukanlah kekurangan, justru jalan aspal pedesaan yang menjadi penghubung Candi ke jalan raya arteri adalah nilai lebih yang membuat tempat ini jauh dari bising dan polusi udara. Cobalah bayangkan ketika pagi buta, sembari menghirup udara segar pedesaan, memandang lansekap hijau persawahan, telinga dipenuhi suara gemericik aliran air sungai dan kicauan aneka burung, disambut senyum ramah bapak ibu petani yang berangkat kesawah dengan sepeda kayuhnya, disusul terbitnya mentari di ufuk Timur yang menciptakan siluet Candi di tengah lahan persawahan. Hanya satu kata, istimewa.

DSC00274

plaosan jejalan sunrise 7

Bagi pemburu sunrise ataupun sunset, Plaosan menawarkan sensasi berbeda. Terbitnya mentari dengan latar belakang candi, dan aktivitas petani di sawah adalah sebuah kisah yang bisa diabadikan dalam kamera. Sementara tenggelamnya matahari dengan siluet candi juga merupakan pemandangan yang tak kalah spektakuler. Apalagi bagi mereka yang menyukai berburu Milky Way, area terbuka persawahan di sekitar Plaosan adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Momen Sunrise dan Sunset yang khas, inilah daya tarik kedua Candi Plaosan.

[one-half-first]plaosan right[/one-half-first]
[one-half]plaosan left[/one-half]

Tempat ini memang belum dikelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, tidak ada ticketing khusus dengan tarif yang mengikat. Kendati pengunjung hanya diminta iuran sukarela untuk biaya perawatan candi, namun fasilitas macam Kamar Mandi dengan air bersih sudah bisa dipergunakan disini. Murah, dan juga jam kunjungan yang fleksibel adalah alasan ketiga mengapa candi Plaosan cukup menarik. Kami pernah datang bukan pada jam kunjungan resmi, tepatnya pukul enam pagi, justru dipersilahkan memasuki kompleks candi serta diiringi oleh senyum ramah bapak petugas pos jaga dipintu gerbang, betapa menyenangkan.

Candi Plaosan memang masih berupa reruntuhan, akan tetapi merupakan kompleks percandian dengan skala yang cukup besar dan terawat dengan baik. Dua candi utamanya yang berada di Utara jalan desa adalah icon utama, sementara beberapa candi kecil di Selatan juga tidak boleh dilewatkan. Dibanding dengan Cagar Budaya lain yang sudah cukup ramai, Plaosan bisa jadi alternatif menikmati jejalan tanpa harus dipusingkan dengan potensi padatnya pengunjung. Karena itu, bagi para traveller yang sudah bosan dengan destinasi terlalu mainstream, sepatutnya harus mencoba mlipir kemari. That’s why we love Plaosan.

Gemerlap Lampion Pasar Gede Solo

“Masih belum nyala…!!” demikian komentar teman saya sembari menengok jam ditangannya. Sudah hampir pukul 18.00, dan kami semua tetap sabar menanti berbaur dengan para pengunjung lain. Yaa, menjelang Imlek seperti saat ini, sekitar Pasar Gede Solo selalu dihias dengan ribuan lampion khas berwarna merah menyambut datangnya Tahun Baru Cina. Momen paling dinanti tentu saja kala menjelang malam, saat masing-masing lampion mulai nyala dan memancarkan cahaya cantik dari balik kertas pembungkusnya.

Kebetulan hari itu baru saja berlangsung acara Grebeg Sudiro, sebuah panggung masih terlihat mulai dibersihkan dekorasinya. Tepian jalan raya masih tampak sampah berserakan bekas makanan para penonton pawai Grebeg yang berlangsung siang harinya. Sambil menyaksikan perjuangan para petugas kebersihan bertempur melawan sampah, kami sejenak berjalan menuju Klenteng Tien Kok Sie Pasar Gede yang hanya beberapa langkah dari pusat keramaian.

IMG_7533

IMG_7534

IMG_7535

Klenteng kecil ini terlihat mulai bersolek, lampion lampion cantik bergantungan di langit-langit. Selendang dan pita warna merah menyala menghiasi pagar depan dan kedua patung di pintu masuk. Cahaya lilin dan kertas hias membuat suasana Klenteng semakin berkilau. Kami dan pengunjung mulai sibuk mengambil gambar dan juga sedikit berpose narsis disana.

Suasana yang semakin gelap, dan beberapa kendaraan yang mulai menyalakan lampunya sekaligus mengingatkan kami kalau saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Satu demi satu lampion di depan Pasar Gede mulai menyala. Wah, suasana berubah menjadi meriah, bahkan jalan raya sejenak menjadi macet akibat ulah para pengunjung yang asyik mengabadikan nyala lampion hingga mengganggu pengguna jalan.

IMG_7540

IMG_7345

IMG_7346

IMG_7563

Sepanjang jalan didepan Pasar Gede memang dipenuhi oleh ribuan bola cahaya berwarna merah. Lampion-lampion itu seolah menjadi elemen dekoratif sekaligus penghias taman dan jalan raya. Ada yang ditata memanjang melintang maupun membujur dengan jalan. Disusun melingkar bertumpuk-tumpuk diatas sculpture menara jam Pasar Gede. Beberapa menggantung di sepanjang bangunan, berbaris melintang diatas sungai, bahkan disusun rapat laksana tirai raksasa didekat jembatan sungai, sungguh sangat meriah sekali.

Saya dan kawan-kawan segera larut dalam suasana semarak petang itu, kami berfoto bersama, gantian berpose, berusaha mengabadikan momen-momen spesial dibawah gemerlap terang lampion. Sebuah momen travelling yang menyenangkan, menikmati akhir pekan dengan jejalan diatas aspal jalan Pasar Gede Solo dengan bermandikan cahaya lampion Imlek. Semoga Imlek tahun depan kami bisa menikmatinya lagi.

Mencoba Sony a6000 di Bromo

Kamera apa yang lebih cocok untuk menemani saya sebagai pejalan yang semakin tua ini? haha… ya sebenarnya seiring dengan tenaga yang sudah tidak meledak-ledak lagi seperti beberapa tahun yang lalu, tentu ada pertimbangan untuk mengganti kamera dslr lama yang cukup berat dengan kamera baru. Kamera yang lebih ringan dan praktis, tentu dengan tidak mengorbankan sisi kualitas fotonya secara “teknis”.

Maksud “teknis” diatas adalah secara sepesifikasi teknisnya. Karena kalau soal ranah bagus tidaknya kembali ke penggunanya, seperti pepatah yang cukup terkenal diantara tukang jepret saat ini, semua tergantung dari “Man Behind the Gun”. Saya cukup sepakat dengan kata tersebut, tapi juga bukan yang setuju seratus persen juga, haha. Bagaimanapun kamera yang secara teknologi semakin advance akan sangat membantu banyak penggunanya. Walaupun disini saya tidak akan menjelaskan detail teknik hasil foto-foto saya. Hanya sekedar built-in kualitas kamera dengan feel/style saya memotret.

Selebihnya saya tidak akan berpanjang lebar, foto-foto berikut adalah testing pertama saya yang mencoba menggunakan kamera mirrorless a6000 (alpha 6000) keluaran dari Sony. Untuk spesifiasi lengkapnya silahkan dilihat langsung disini.

DSC00347

DSC00348

DSC00331

Lensa yang saya coba hanyalah Kit-nya saja, Sony 16-50mm f/3.5-5.6 OSS, secara umum saya cukup puas dengan lensa ini, cukup tajam dengan rentang yang pas buat berjejalan. 16mm-nya lebih dari cukup untuk menangkap landscape alam. Bagaimana untuk Selfie? ya walaupun tidak memungkinan melihat melalui lcd, namun dengan lensa yang cukup lebar, selfie dengan gaya ngawur-pun akan ter-cover dengan baik :p.

DSC00524

DSC00272

DSC00111

IMG_1248

Kamera ini cukup ringan dan ringkas buat penyuka gaya snap-shoot, sangat nyaman untuk memotret dengan kondisi bergerak atau objek-nya yang bergerak, atau bahkan keduanya bergerak bersama. Pemotret dan objek yang dipotret sama-sama bergerak. Ya cukup nyaman untuk melakukannya.

IMG_1252

LCD-nya cukup tajam dengan warna yang cerah, komposisi peletakan menu di LCD juga cukup terorganisir dengan baik, untuk aksesnya sepertinya hanya butuh membiasakan diri saja, terlebih buat saya yang lebih familiar dengan urutan menu Canon setelah bertahun-tahun menggunakannya.

IMG_1253

Bagaimana dengan Electronic View Finder-nya? atau biasa disebut EVF. Sebelumnya saya belum pernah menggunakan kamera dengan penggunaan EVF, tetapi secara umum saya cukup puas dengan EVF milik a6000 ini, semua menu juga dapat terakses/tampil langsung di dalam EVF. Memudahkan untuk mengubah-ubah setingan sambil tetap fokus membidik melalui EVF. Cukup keren menurut saya.

DSC00286

DSC00282

DSC00319

Untuk kondisi low light-pun saya cukup puas. Percobaan dengan iso 3200-pun memunculkan noise yang menurut saya masih bisa diterima.

Slebihnya silahkan menilai sendiri melalui hasil jepretan saya lainnya.

DSC00327

DSC00395

DSC00414

DSC00415

DSC00439

DSC00447

DSC00550

DSC00544

DSC00497

DSC00570

DSC00490

DSC00480

DSC00468

DSC00466

DSC00465

DSC00160

DSC00181

Bagimana kalau pendapat Anda?