Why We Love Plaosan

Candi Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin juga Kalasan, kiranya sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Ketiganya cukup terkenal dan acapkali muncul menjadi icon promosi daerah Klaten, Jogja, dan Jawa Tengah. Apalagi Prambanan dan Ratu Boko, keduanya menjadi Taman Wisata Candi yang dikelola dengan serius sebagai aset wisata internasional. Namun pada kesempatan kali ini saya tidak berkisah tentang ketiga candi tersebut, karena ada beberapa peninggalan cagar budaya lain yang tidak kalah keren, dan mungkin sudah kesekian kalinya menjadi artikel di Jejalan.

Yaa, kembali saya bercerita tentang Candi Plaosan di Klaten yang mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya bagi para kru Jejalan. Terletak kurang lebih empat kilometer disebelah Timur kompleks Candi Prambanan, Candi Plaosan bisa ditemui berdiri dengan gagah ditengah hamparan lahan persawahan yang lapang. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dan teman-teman menyambangi Candi yang diperkirakan dibangun pada abad 9 Masehi ini. Bahkan pada kesempatan kali ini saya sudah berkunjung dua kali dalam sebulan.

IMG_9709 sawah

Ibarat sebuah oase di padang pasir yang terik dan gersang, sosok Candi Plaosan adalah sebuah arsitektur kuno yang berdiri megah ditengah sawah lapang. Warna hitam kelabu batu-batu yang menyusunnya adalah pemandangan kontras bagi hamparan permadani hijau lahan persawahan disekelilingnya. Saya menyebutnya aksentuasi, dan inilah daya tarik pertama mengapa kami belum bisa move on dari Plaosan.

DSC00266

Lokasinya yang jauh dari jalan raya utama bukanlah kekurangan, justru jalan aspal pedesaan yang menjadi penghubung Candi ke jalan raya arteri adalah nilai lebih yang membuat tempat ini jauh dari bising dan polusi udara. Cobalah bayangkan ketika pagi buta, sembari menghirup udara segar pedesaan, memandang lansekap hijau persawahan, telinga dipenuhi suara gemericik aliran air sungai dan kicauan aneka burung, disambut senyum ramah bapak ibu petani yang berangkat kesawah dengan sepeda kayuhnya, disusul terbitnya mentari di ufuk Timur yang menciptakan siluet Candi di tengah lahan persawahan. Hanya satu kata, istimewa.

DSC00274

plaosan jejalan sunrise 7

Bagi pemburu sunrise ataupun sunset, Plaosan menawarkan sensasi berbeda. Terbitnya mentari dengan latar belakang candi, dan aktivitas petani di sawah adalah sebuah kisah yang bisa diabadikan dalam kamera. Sementara tenggelamnya matahari dengan siluet candi juga merupakan pemandangan yang tak kalah spektakuler. Apalagi bagi mereka yang menyukai berburu Milky Way, area terbuka persawahan di sekitar Plaosan adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Momen Sunrise dan Sunset yang khas, inilah daya tarik kedua Candi Plaosan.

[one-half-first]plaosan right[/one-half-first]
[one-half]plaosan left[/one-half]

Tempat ini memang belum dikelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, tidak ada ticketing khusus dengan tarif yang mengikat. Kendati pengunjung hanya diminta iuran sukarela untuk biaya perawatan candi, namun fasilitas macam Kamar Mandi dengan air bersih sudah bisa dipergunakan disini. Murah, dan juga jam kunjungan yang fleksibel adalah alasan ketiga mengapa candi Plaosan cukup menarik. Kami pernah datang bukan pada jam kunjungan resmi, tepatnya pukul enam pagi, justru dipersilahkan memasuki kompleks candi serta diiringi oleh senyum ramah bapak petugas pos jaga dipintu gerbang, betapa menyenangkan.

Candi Plaosan memang masih berupa reruntuhan, akan tetapi merupakan kompleks percandian dengan skala yang cukup besar dan terawat dengan baik. Dua candi utamanya yang berada di Utara jalan desa adalah icon utama, sementara beberapa candi kecil di Selatan juga tidak boleh dilewatkan. Dibanding dengan Cagar Budaya lain yang sudah cukup ramai, Plaosan bisa jadi alternatif menikmati jejalan tanpa harus dipusingkan dengan potensi padatnya pengunjung. Karena itu, bagi para traveller yang sudah bosan dengan destinasi terlalu mainstream, sepatutnya harus mencoba mlipir kemari. That’s why we love Plaosan.

Melenggang di kawasan Kota Tua Semarang

Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.

Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.

Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Gedung Marabunta dengan icon semutnya
Gedung Marabunta dengan icon semutnya
 Semarang Art Gallery
 tangga menuju lt.2 galery

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.

Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.

Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

interior galery
interior galery

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.

Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.

Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.

Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.

Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.

teman jejalan
teman jejalan

Menghabiskan Sabtu di Grojogan Sewu

Penunjuk waktu yang tertera dilayar ponsel sudah menunjuk pukul tujuh, tidak terlalu pagi kami berempat tiba di kota Karanganyar, Jawa Tengah. Perjalanan saya kali ini ditemani Zakky, Diky, dan Faris, tiga kawan dari Pasuruan yang juga doyan travelling. Sesuai rencana awal, tujuan jejalan kali ini adalah menyambangi Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu. Dan kami tidak sendirian, saya juga mengajak Maya, sahabat lama jaman sekolah yang kebetulan sudah lama stay di kota ini. Karena kami yang buta rute menuju destinasi, akhirnya sepakat menemui Maya di pusat kota Karanganyar pagi-pagi sekali.

Lima jam berkendara dari Surabaya menembus pekat malam terasa cukup melelahkan bagi kami. Sembari menunggu si Maya tiba di lokasi, sejenak saya dan kawan-kawan merebahkan diri di jok kendaraan, dengan diiringi lantunan musik dari audio mobil setidaknya bisa membuat kami rileks.

IMG_3125

Tak berapa lama, yang kami nanti sudah tiba. Dengan senyum manisnya Maya menyapa kami yang sedang terkantuk-kantuk didalam mobil. “ayo sarapan dulu”, dia mengajak kami menuju warung Timlo yang tidak jauh dari tempat kami menunggu. “Pagi yang masih dingin disuguhi kuliner Timlo yang hangat tentu sangat mengundang selera” pikir saya.

Sambil saling mengenalkan kawan-kawan saya dengan si Maya, kami bercakap-cakap ringan ditemani sajian nasi hangat dan semangkuk sup Timlo yang masih mengepulkan uap panas, sup hangat dengan tampilan bening ini terasa segar di tenggorokan. Irisan telur pindang, dadar gulung, sosis, ditambah dengan mihun, potongan wortel dan sedikit jamur, semakin menggugah selera dengan suwiran daging ayam serta taburan bawang goreng yang menambah aroma. Ahh, kami hampir lupa untuk segera berkemas lagi menuju destinasi.

Dari kota Karanganyar, lokasi Grojogan Sewu Tawangmangu tidak lebih dari 30 kilometer. Jalur khas pegunungan berkelok dengan pemandangan perkebunan indah dikiri kanan jalan adalah salah satu daya tarik yang tidak bisa dilewatkan. Sejenak kami lupa akan rasa kantuk sebelumnya, dan fokus menikmati rute sepanjang perjalanan. Apalagi Maya mengajak serta dua temannya, Ami dan mas Ari. Perjalanan semakin menarik dan penuh dengan obrolan.

IMG_3133

Atas saran mas Ari, kami diarahkan masuk melalui pintu gerbang kedua Grojogan Sewu, mengingat jika melalui gerbang utama, jumlah undak-undak turunan anak tangga yang konon katanya mencapai 1200 lebih itu bisa membuat kaki gemetaran. Karenanya kami memilih alternatif gerbang kedua yang mana lokasi parkirnya lebih jauh, namun trek jalannya relatif lebih ringan. Apalagi teman saya Maya kala itu belum sepenuhnya fit akibat didera flu, medan yang berat dan cuaca hujan bisa menambah resiko.

Menerobos hutan pinus dan menapaki jalur bebatuan yang lembab berlumut bagaikan olahraga pagi buat kami. Cuaca mendung dan hawa pegunungan yang sejuk memang tidak membuat berkeringat, tapi setidaknya bisa menyegarkan paru-paru kami yang sudah lama merindukan udara segar travelling di alam terbuka. Trek relatif datar yang tidak terlalu menguras tenaga membuat kami lekas sampai pada view point Air Terjun Grojogan Sewu yang Legendaris itu.

 IMG_7267
 IMG_7289

 

Dari makna kata, Grojogan Sewu berasal dari kata Grojogan : Pancuran, Air Terjun dan kata Sewu : Seribu. Yang secara sederhana berarti Air Terjun Seribu. Entah darimana nama itu berasal, terkait mitos atau legenda, saya belum sempat bertanya. Tapi yang jelas, setelah berjalan menurun menuju aliran sungai, saya berdiri diatas jembatan dan menatap sebuah tampilan alam yang luar biasa. Sebuah air terjun yang cantik, hanya sebuah bukan seribu.

Sejenak saya terdiam menikmati hempasan uap air yang menerpa halus kulit muka, sementara yang lain mulai sibuk mengabadikan momen melalui kamera. Salah satu pesona wisata di kaki Gunung Lawu ini memang luar biasa, gemuruh deras aliran air yang tumpah dan hempasan angin bercampur uap air demikian terasa dari Air Terjun setinggi kurang lebih 80 meter ini. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan musim penghujan, dimana debit air sedang tinggi. Kami benar-benar menikmati kemolekan Grojogan Sewu dengan sosok yang nyaris sempurna.

IMG_3147

Sedikit berhati-hati dengan banyaknya kera liar yang ada disana, kami harus pandai-pandai menyimpan benda-benda berwarna mencolok yang menarik perhatian mereka. Kacamata, jam tangan, gantungan kunci, makanan, bahkan ponsel. Satwa yang satu ini kadang tak segan bersitegang dengan pengunjung dan berani melakukan intimidasi. Tapi maklum sajalah, kita datang ke habitat mereka, mestinya kita yang harus tahu diri. Hehehe.

snapshot_00.02

Pukul sebelas siang mendung mulai bergelayut disusul rintik hujan, kabut juga mulai memenuhi udara disekitar kami. Hawa semakin terasa dingin dan jaket yang mulai basah mengingatkan kami untuk segera meninggalkan lokasi. Sembari menyempatkan diri mengambil beberapa gambar sepanjang trek menuju pintu keluar, perjalanan kami diiringi dengan obrolan dan debat santai terkait pilihan menu makan siang nanti. Hahaha, benar-benar Sabtu siang yang menyenangkan.