Seperti biasa ketika pikiran kalut dan suasanan jenuh datang, aktivitas yang dapat saya lakukan adalah tancap gas keluar kota. Sebenarnya saya orangnya suka pantai, tapi tidak untuk kondisi seperti tempo hari. Udara gunung dan hutan sepertinya emang obat mujarab untuk meredakannya, dingin, sejuk dan suasana damai adalah yang saya cari.
Kebetulan sahabat saya yang juga penulis di web ini adalah teman yang sangat cocok untuk diajak jalan naik gunung dan masuk hutan. Singkat cerita setelah seharian naik gunung dan nongkrong lama di kaki gunung. lewat tengah malam kami bergegas turun kembali ke rumah sahabat saya di kota Bangil untuk beristirahat.
Setelah cukup beristirahat dan pagi telah menjelang, sahabat saya mengajak untuk sarapan nasi punel, nasi punel yang dipilih adalah yang lokasinya tak jauh dari depan Lembaga pemasyarakatan. Berbeda dengan nasi punel yang pernah saya coba sebelumnya, kali ini adalah nasi punel yang sepengetahuan saya merupakan satu-satunya yang dijual di emperan toko, alias kaki lima. Walaupun demikian sahabat saya menuturkan bahwa nasi punel ini adalah salah satu nasi punel yang sudah lama ada semenjak dia masih kecil. Sehingga teman saya mengkategorikan dalam istilah Nasi Punel Original, hehe. Wajar saja sih mengingat sekarang di kota sekecil Bangil ini warung yang jualan nasi punel dan cukup punya nama tidak kurang dari 7 lokasi, dan kebanyakan dari mereka adalah warung atau depot yang baru saja dibuka.
Sebagai bukti ucapan teman saya tadi adalah pembeli yang kebetulan makan bersama dengan kami adalah nenek-nenek yang merupakan langganan setia sejak jaman dahulu. Perhatian saya sejenak tertahan ketika mengamati sekelompok nenek-nenek didepan saya yang berdebat soal uang pembayaran dan juga kembaliannya. Uang beberapa puluh ribu dan pecahan lainnya juga dikeluarkan dari dalam sebuah buntalan kecil sapu tangan, hehe. Gambaran itu langsung mengingatkan saya akan kebiasaan orang jaman dahulu, ketika kebanyakan pecahan uangnya masih berupa kepingan logam, maka sangat pantas untuk di simpan dalam bentuk buntalan sapu tangan.
Tanpa perlu panjang lebar lagi, silahkan dinikmati video pendek yang saya sempatkan untuk merekamnya sembari menikmati maknyusnya nasi punel emperan ini. 🙂
“…Gethuk, asale saka tela… Mata ngantuk, iku tandane opo…?” (…gethuk, asalnya dari ketela… Mata mengantuk, itu tandanya apa…?)
Demikian sebuah penggalan lirik lagu campursari yang populer pada eranya. Walau dari syairnya jelas menyebut nama jajanan “Gethuk”, tapi yang pasti tidak ada kaitan samasekali dengan mata mengantuk (hanya akhiran kata yang lafalnya sama), apalagi kalau sampai menganggap Gethuk adalah obatnya mata mengantuk. Hehehe.
Apa yang dinyanyikan dalam syair isi lagu tersebut ada benarnya. Sebagai salah satu jajanan tradisional tempo dulu, Gethuk memang berbahan dasar dari ketela. Salah satu jenis umbi-umbian yang sebenarnya mengandung banyak gizi serta manfaat, dan pada intinya termasuk bahan makanan yang bisa mengenyangkan. Apalagi setelah diolah menjadi kue gethuk. Bergizi, mengenyangkan, dan rasanya lebih lezat.
Bagi saya, penjual gethuk dengan rombong sepeda kayuhnya adalah momen spesial yang layak dinanti. Apalagi sore hari menjelang berbuka puasa seperti saat ini. Tentunya beberapa potong kue Gethuk dengan warna-warni menarik diantara taburan kelapa parut, menjadi sebuah tampilan yang layak untuk menjadi makanan pembuka saya petang nanti.
Pembuatan kue gethuk sebenarnya sederhana dan cukup mudah. Setelah dikupas dan dibersihkan, ketela direbus hingga matang. Selanjutnya ketela tadi ditumbuk hingga benar-benar halus. Adakalanya sebagian orang menggunakan gilingan untuk menghaluskan ketela. Karena itulah disebagian tempat, kue ini kerap disebut gethuk Lindri, (lindri = dibuat dengan cara digiling/dilindri).
Setelah ketela dihaluskan, kemudian diberi gula dan garam secukupnya hingga terasa manis sesuai keinginan. Untuk lebih menarik biasanya sebagian orang menambahkan pewarna makanan. Lantas, barulah adonan gethuk diiris, dicetak atau dibentuk seperti untaian benang dengan cara dimasukkan gilingan daging. Gethuk pun siap disajikan dengan disertai taburan kelapa parut.
Dengan harga relatif murah, 500,- rupiah per-potong. Saya bisa menikmati potongan demi potongan kue gethuk sebesar genggaman itu. Rasanya demikian mantab, teksturnya lembut di mulut, rasanya manis ringan tidak membuat eneg. Dan yang pasti, cukup tiga atau empat potong saja sudah sanggup mengganjal rasa lapar saya. Nyaamm…, saya hampir melupakan nasi rawon diatas meja sebagai menu berbuka puasa saya yang utama. Kue Gethuk memang benar-benar istimewa.
Lokasi : Pasar Baru Bangil, Blok Sisi Selatan – buka setiap pagi jam 06-00 s/d 10-00
Boleh jadi kesan pertama ketika anda melihat gerai nasi Punel ini adalah, sebuah warung mungil di kompleks pasar tradisional. Memang benar, menempati sebuah kios permanen dengan ruangan sedikit gelap, bangku-bangku dan meja kayu sederhana, lantai tegel abu-abu (mengingatkan saya akan sekolah dasar jaman orde baru), dan tentunya si empu pemilik warung yang senantiasa turun tangan sendiri dengan “kostum” kebesarannya, nuansa lokal tradisional.
Kembali ke makanan, sajian Nasi Punel dengan piring beralas daun pisang masih tetap dari tahun ke tahun. Nasi Punel yang hangat disajikan bersama beberapa “aksesoris” wajib, seperti Tempe Mendol berukuran sebesar kelereng, sate kelapa yang biasanya juga disajikan seukuran kelereng, sate kerang (jika anda beruntung datang pagi), bothok bobor (pepes kelapa manis berukuran mini), sayur rebung dengan tahu seukuran penghapus pensil, klomotan (entah apa anda menyebutnya) bisa berupa kikil atau tulang rawan yang dimasak bumbu bali. Dan paling penting adalah lauk utamanya yang bisa anda pilih sendiri, Dendeng, Empal, Paru, Lidah, Babat, Limpa bahkan di beberapa penjual lain juga menyediakan lauk Usus, dan Hati.
Dari segi penyajian, Bu Riana mungkin tidak terlalu memperhatikan estetika, semua lauk seolah ditumpuk jadi satu, namun nuansa tradisionalnya masih terasa, anda belum tentu menemukan sendok garpu sebagai alat makan, nikmati saja dengan tangan, karena itulah sejatinya menikmati nasi punel. Pula tidak akan terlihat tempat-tempat tissue diatas meja, melainkan serbet atau lap dengan motif kotak-kotak hitam putih khas bungkus nasi pulang kenduri.
Nasi punel di gerai ini masih standar, disajikan hangat-hangat panas dan sensasinya adalah, saat tercium aroma khas kala nasi panas bertemu dengan daun pisang (saya tak bisa menceritakan lebih detail, lebih pas kalo anda sendiri yang mencobanya). Lauk pendamping favorit saya adalah sate kerang. Sate kerang ini hanya satu tusuk, berisi sekitar 5-6 butir kerang seukuran kuku jari, rasa bumbunya tidak terlalu kaya dan se-“menyengat” sate kerang khas bangil, namun bumbu “ringan”-nya sangat pas dinikmati menemani nasi punel. Tapi, jika anda datang sedikit lebih siang, saya pastikan anda akan kehabisan.
Bothok bobornya juga cukup unik, dibungkus daun pisang ditusuk lidi, anda akan sedikit “kecewa” dengan isinya yang tak lebih banyak dari sesuap nasi, namun jika anda merasakan tekstur bothok kelapa-nya yang lembut, manis dan sedikit asin santan, kekecewaan akan lunas terbayar.
Untuk tempe mendolnya, saya belum menemukan taste yang unik, terkesan biasa seolah makan tempe goreng dengan bentuk mini dan sedikit “alot” tentunya. Namun jika menilik sate kelapanya, akan terasa tekstur yang lembut, bagaikan bothok-bobor versi goreng. Kadang anda akan sedikit surprise ketika didalam sate kelapa, anda menemukan suwiran daging atau dendeng, benar-benar sensasional.
Beralih ke klomotan, kebetulan saya mendapatkan kikil dan sebutir daging bergajih, masih hangat pula. Tekstur kikilnya kenyal dan sedikit membuat jengkel geraham saya, namun untunglah bumbu bali-nya terasa soft dan cocok ketika bertemu nasi punel hangat. Sementara daging dan gajih klomotannya terasa lembut dan tidak terlalu membuat gigi saya harus bekerja keras melumatnya.
Sayur rebung yang menemani nasi punel juga cukup unik, rasanya seperti seolah dibumbui sayur lodeh, namun cukup ringan dan terasa sedikit pedas bagaikan dicampur bumbu bali. Rebung – rebung itu dimasak sedemikian rupa sehingga masih terasa renyah di mulut, sangat khas rasanya. Sementara tahu yang menemani rebung, mungkin tidak terlalu sensasional, jika boleh saya katakan, tahu rebus ini adalah sebagai formalitas.
Lauk utama bisa anda pilih, anatara dendeng, lidah, empal, paru, dll. Tapi favorit saya tetap dendeng, karena lauk dendeng lebih kaya bumbu, dan dibanding lauk-lauk pendamping yang lain, dendeng masih terasa lebih dominan jika dipilih sebagai lauk utama. Tentunya saya juga pernah mencoba lauk lain seperti paru, lidah, empal dll. Dan bagi saya semuanya recomended, bumbunya kuat, teksturnya lunak, anda tidak akan kesulitan saat menikmati lauk-lauknya yang tiap potongnya rata-rata berukuran sepertiga sandal jepit itu.
Dan satu hal lagi yang pasti, jangan pernah melupakan sambal nasi Punel. Sambal langsung diuleg ditempat, dicampur dengan irisan kacang panjang, adalah teman sejati jika anda menikmati nasi punel. Porsinya memang tidak lebih dari dua sendok makan, namun bagi para pecinta sambal, porsinya mungkin masih kurang. Apalagi pedas dan rasa sambal yang cukup garang, dengan kerenyahan irisan kacang panjang, membuat saya menyarankan agar jangan pernah sungkan untuk minta tambah sambal.
Diakhiri dengan meneguk teh hangat, wisata kuliner saya di pagi itu cukup memuaskan. Sembari melihat sekeliling, bangku-bangku reot sudah dihuni oleh berbagai pelanggan, mulai dari bapak-bapak PNS yang akan masuk kantor, sopir-sopir angkutan, para makelar pasar, dll. Nasi punel memang untuk segala kalangan.