Ayunan dan Gili Trawangan

Pagi itu, suasana Tahun baru sangat terasa di Gili Trawangan, satu diantara tiga pulau kecil destinasi primadona para turis tatkala berkunjung ke Lombok. Kendati hingar bingar perayaan mungkin sudah lewat sedari tadi malam, namun sisa-sisa kemeriahan masih terasa. Keramaian pengunjung dari dalam dan luar negeri terlihat memenuhi jalanan dan café-café disepanjang tepi pantai Gili Trawangan. Kami memaklumi karena kebetulan libur awal tahun kali ini jatuh pada hari Jum’at, “If weekend start from Friday, you will find long weekend”, demikian celetuk partner saya sembari menyeruput es krim Gili Gelato yang banyak ditemui disekitar pusat keramaian menuju pantai.

Saya hanya tersenyum, walau pernah berkunjung ke Lombok, namun baru kali ini menginjakkan kaki di Gili Trawangan. Ditengah lamunan sepanjang langkah kaki menuju penginapan yang sudah kami pesan, saya bertekad sore nanti akan menjajal berkeliling dengan sepeda kayuh yang banyak disewakan di pulau ini.

IMG_20160101_170405_HDR

Sepeda kayuh, dan cidomo (kereta kuda tradisional) adalah alat transportasi yang lazim ditemui. Bebas polusi dan asap kendaraan adalah salah satu “kemewahan” (demikian saya menyebutnya) yang ditawarkan tempat ini. Para wisatawan bebas menikmati keindahan pantai khas Lombok, tanpa harus terganggu berisik mesin maupun polusi kendaraan. Dan hal inilah yang memang kami rasakan sore itu ketika bersepeda santai disepanjang pantai menjelajah semua sudut pulau.

Kira-kira butuh hampir satu jam untuk menyudahi berkeliling dengan sepeda, namun kenyataannya kami berdua menghabiskan lebih banyak waktu. Entah berapa kali berhenti, menyandarkan sepeda ke pepohonan, berlari sambil melepas alas kaki, membiarkan telapak merasakan kelembutan pasir putih pantai, kesegaran air laut yang sebening Kristal, dan memanjakan mata dengan pemandangan gradasi warna hijau biru air laut berhias buih ombak kecil yang cukup ramah menyapa mata kaki. Kami memulai hari di awal tahun dengan sangat menyenangkan.

 

IMG_20160102_183822_HDR

Sepeda, pantai, dan senja, adalah kombinasi istimewa yang memenuhi jepretan kamera saya sore ini. Namun ada satu lagi yang kiranya tak bisa dilewatkan, yakni ayunan. Entah siapa yang memulai membuat alat bersantai ini dan membangunnya di atas permukaan air pantai, namun kami menemukan banyak sekali ayunan disepanjang keliling garis pantai. Mulanya hanya sekedar obyek foto sculpture bagi saya, sebuah aksentuasi diantara dominasi keindahan alam pantai Lombok. Akan tetapi lain halnya dengan partner jejalan saya kali ini, nalurinya sebagai traveler cewek tentu menasbihkan ayunan adalah obyek “berfoto” yang sangat menyenangkan. Jadilah akhirnya senja kali ini dihabiskan untuk menikmati sunset disekitar ayunan pantai Gili Trawangan.

IMG_20160101_172524_HDR

Sculpture, aksentuasi, unik, artistik, dan mungkin juga romantis. Cukup banyak pilihan kata untuk menggambarkan keberadaan ayunan kayu dengan tali tambang sederhana itu. Beberapa ayunan milik villa atau hotel, didesain lebih menarik, safety, dan juga penuh nuansa etnik, ditempatkan di pantai depan hotel atau villa yang langsung menghadap ke laut.

Menjelang senja tiba, karya seni sederhana ini sontak ramai dan menjadi point of view para turis. Bergantian mereka berfoto dengan latar matahari tenggelam, berpose sendiri maupun bersama pasangan, mencoba mengambil kesempatan menyelami sisi romantisme diantara semburat lembayung jingga di ufuk Barat. Karena Gili Trawangan selalu menjanjikan lukisan alam senja yang istimewa, walau tidak setiap hari anda selalu bisa berada disana.

Why We Love Plaosan

Candi Prambanan, Ratu Boko, dan mungkin juga Kalasan, kiranya sudah tidak asing terdengar di telinga kita. Ketiganya cukup terkenal dan acapkali muncul menjadi icon promosi daerah Klaten, Jogja, dan Jawa Tengah. Apalagi Prambanan dan Ratu Boko, keduanya menjadi Taman Wisata Candi yang dikelola dengan serius sebagai aset wisata internasional. Namun pada kesempatan kali ini saya tidak berkisah tentang ketiga candi tersebut, karena ada beberapa peninggalan cagar budaya lain yang tidak kalah keren, dan mungkin sudah kesekian kalinya menjadi artikel di Jejalan.

Yaa, kembali saya bercerita tentang Candi Plaosan di Klaten yang mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya bagi para kru Jejalan. Terletak kurang lebih empat kilometer disebelah Timur kompleks Candi Prambanan, Candi Plaosan bisa ditemui berdiri dengan gagah ditengah hamparan lahan persawahan yang lapang. Sudah tidak terhitung berapa kali saya dan teman-teman menyambangi Candi yang diperkirakan dibangun pada abad 9 Masehi ini. Bahkan pada kesempatan kali ini saya sudah berkunjung dua kali dalam sebulan.

IMG_9709 sawah

Ibarat sebuah oase di padang pasir yang terik dan gersang, sosok Candi Plaosan adalah sebuah arsitektur kuno yang berdiri megah ditengah sawah lapang. Warna hitam kelabu batu-batu yang menyusunnya adalah pemandangan kontras bagi hamparan permadani hijau lahan persawahan disekelilingnya. Saya menyebutnya aksentuasi, dan inilah daya tarik pertama mengapa kami belum bisa move on dari Plaosan.

DSC00266

Lokasinya yang jauh dari jalan raya utama bukanlah kekurangan, justru jalan aspal pedesaan yang menjadi penghubung Candi ke jalan raya arteri adalah nilai lebih yang membuat tempat ini jauh dari bising dan polusi udara. Cobalah bayangkan ketika pagi buta, sembari menghirup udara segar pedesaan, memandang lansekap hijau persawahan, telinga dipenuhi suara gemericik aliran air sungai dan kicauan aneka burung, disambut senyum ramah bapak ibu petani yang berangkat kesawah dengan sepeda kayuhnya, disusul terbitnya mentari di ufuk Timur yang menciptakan siluet Candi di tengah lahan persawahan. Hanya satu kata, istimewa.

DSC00274

plaosan jejalan sunrise 7

Bagi pemburu sunrise ataupun sunset, Plaosan menawarkan sensasi berbeda. Terbitnya mentari dengan latar belakang candi, dan aktivitas petani di sawah adalah sebuah kisah yang bisa diabadikan dalam kamera. Sementara tenggelamnya matahari dengan siluet candi juga merupakan pemandangan yang tak kalah spektakuler. Apalagi bagi mereka yang menyukai berburu Milky Way, area terbuka persawahan di sekitar Plaosan adalah surga yang tidak boleh dilewatkan. Momen Sunrise dan Sunset yang khas, inilah daya tarik kedua Candi Plaosan.

[one-half-first]plaosan right[/one-half-first]
[one-half]plaosan left[/one-half]

Tempat ini memang belum dikelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah, tidak ada ticketing khusus dengan tarif yang mengikat. Kendati pengunjung hanya diminta iuran sukarela untuk biaya perawatan candi, namun fasilitas macam Kamar Mandi dengan air bersih sudah bisa dipergunakan disini. Murah, dan juga jam kunjungan yang fleksibel adalah alasan ketiga mengapa candi Plaosan cukup menarik. Kami pernah datang bukan pada jam kunjungan resmi, tepatnya pukul enam pagi, justru dipersilahkan memasuki kompleks candi serta diiringi oleh senyum ramah bapak petugas pos jaga dipintu gerbang, betapa menyenangkan.

Candi Plaosan memang masih berupa reruntuhan, akan tetapi merupakan kompleks percandian dengan skala yang cukup besar dan terawat dengan baik. Dua candi utamanya yang berada di Utara jalan desa adalah icon utama, sementara beberapa candi kecil di Selatan juga tidak boleh dilewatkan. Dibanding dengan Cagar Budaya lain yang sudah cukup ramai, Plaosan bisa jadi alternatif menikmati jejalan tanpa harus dipusingkan dengan potensi padatnya pengunjung. Karena itu, bagi para traveller yang sudah bosan dengan destinasi terlalu mainstream, sepatutnya harus mencoba mlipir kemari. That’s why we love Plaosan.

Menanti Buka di Kebun Bunga

 

Mesin motor butut kami meraung menerobos jalan setapak di areal perkebunan sore ini, sesekali melakukan manuver luar biasa mengikuti kontur pematang kebun yang naik turun tanpa bisa diduga. Diiringi oleh berisik petasan mainan bocah-bocah yang semakin marak di penghujung Ramadhan ini, kami terus melaju di areal perkebunan kering yang dipenuhi beragam jenis tanaman itu.

Seperti tekad semula, di akhir-akhir Ramadhan tahun ini tim jejalan berniat ngabuburit menghabiskan sore ditempat-tempat yang berbeda dari biasanya. Khusus kali ini, kami menyambangi areal perkebunan Bunga Sedap Malam di perbatasan Kecamatan Bangil dan Kecamatan Rembang, Pasuruan. Bukan tanpa sebab kami memilih “berkebun” sebagai aktivitas pilihan jejalan. Karena menjelang Hari Raya Idul Fitri, warga Bangil dan Pasuruan pada khususnya tentu tidak asing dengan Bunga Sedap Malam, salah satu jenis Bunga untuk pelengkap Ziarah Kubur. Selain itu Bunga ini baru bermekaran jika hari menjelang malam, cocok untuk dinikmati semerbak wanginya langsung dari kebunnya.

Sesampainya ditengah areal perkebunan, kami memarkir motor ditengah pematang kebun. Hamparan batang-batang bunga Sedap Malam memenuhi pandangan di sekeliling kami. Semebak bau harumnya yang khas mempesona indera penciuman kami. Tak sabar lagi, kami segera turun menyerbu mendekati batang demi batang tanaman untuk sekedar mengambil gambar mendokumentasikan bunga dengan nama latin Polianthes Tuberosa ini.

Selain sebagai bunga pelengkap untuk ziarah kubur, Bunga yang oleh warga lokal sering disebut Bunga Sundel itu juga termasuk jenis Bunga Hias. Sangat bagus bila dipakai Bunga Rangkai untuk acara2 pernikahan, juga untuk Bunga pengharum ruangan dan Penghasil Parfum. Kelebihan lain Bunga Sedap Malam adalah daya tahan keawetannya yang lebih unggul dibanding beberapa jenis bunga lain. Meski sudah dipotong, batangan bunga yg ditaruh dalam vas berisi air, bisa bertahan lebih dari satu minggu, serta bau harumnya tetap tidak berkurang. Oleh karena itulah, keberadaan Flora maskot unggulan Jawa Timur ini menjadikan beberapa kantor pemerintah di Pasuruan, memasang hiasan Bunga Sedap Malam di ruang tamu kantornya.

Bunga Sedap Malam tumbuh berbentuk batangan, rumpun bunga berkelopak dengan warna putih kecil. Dedaunan berwarna hijau berbentuk tipis memanjang, dan tumbuh di sekitar area pangkal batangnya. Saat dipanen, biasanya dipotong langsung dari pangkal batangnya, atau juga sekedar memetik satu demi satu masing-masing bunga. Karena kebetulan menjelang Hari Raya Idul Fitri banyak dibutuhkan bunga ziarah kubur, saya melihat beberapa ibu tampak cekatan memanen kelopak bunga. Pemandangan yang istimewa, jari jemari ibu tua itu seolah menari-nari bak pendekar kungfu wanita, mencabut dengan mudah bunga yang berada disekelilingnya. Padahal saya mencoba mengambil beberapa saja, tidak semudah ibu itu. Dan dia tersenyum menjauh ketika kamera kami arahkan kepadanya.

Seketika ibu pemanen bunga tadi pergi, sang surya mulai tenggelam di ufuk barat. Kami semakin fokus mengambil dokumentasi si Kelopak Putih, perpaduan warna bunga dan semburat gradasi warna jingga dilangit sepertinya adalah kombinasi warna yang luar biasa. Membuat kami semakin kagum pada varian bunga yang konon berasal dari Meksiko ini. Hingga adzan maghrib berkumandang, dan bocah-bocah pemain petasan berlarian pulang kerumah. Kamipun mengucap syukur, selain karena waktu berbuka puasa telah tiba, sore ini kami bisa menikmati menghabiskan waktu untuk berkenalan dengan salah satu Flora ciptaan Tuhan yang sangat istimewa ini.

Istana Ratu Boko

Pesona Senja, di Situs Purbakala

Para tukang ojek itu berebut mendekati saya, “kemana mas…?? Prambanan…??” tanya mereka berulang-ulang. Sembari membetulkan ransel setelah tadi terpaksa menentengnya saat berada didalam bus TransJogja, saya dengan sopan menolak tawaran mereka. Agak berjalan menjauh dari terminal mungil Bus TransJogja area Prambanan, saya melirik jam tangan yang menunjuk pukul tiga sore. Segera saya mencangklong ransel, memakai topi lebar menahan panas, lantas melangkahkan kaki kearah selatan. Tidak ada tujuan lain saya di sore itu, kecuali menuju salah situs purbakala populer di Jogja, yakni Candi Ratu Boko.

Lokasi Candi yang terkenal dengan pemandangan saat sunset ini berada tidak jauh dari Kompleks Candi Prambanan. Hanya berjarak sekitar 6km sebelah selatan Prambanan. Anda bisa menjangkaunya menggunakan ojek, sewa mobil, atau bahkan membeli tiket terusan dari Prambanan dan nantinya akan diantar mobil ke lokasi Ratu Boko. Namun tidak demikian halnya dengan saya, sore itu saya bertekad menembus terik mentari dengan trekking menuju lokasi.

Sunset Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko
Sunset Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko

Bagi yang tidak terbiasa jalan kaki, tentu aktivitas ini amat sangat menyiksa. Namun setidaknya saya masih bisa sejenak “membuang” waktu agar supaya sampai dilokasi menjelang pukul 16.00 sore. Bagi saya, semakin sore keindahan Ratu Boko semakin mempesona, dan saya sudah berniat mendokumentasikan salah satu spot sunset terbaik di Jogja itu. Dan tak sampai 30 menit, Bukit Boko sudah terlihat diujung tikungan jalan. Bagi yang terbiasa menggunakan kereta api, bukit ini bisa terlihat disisi selatan rel kereta, sesaat setelah anda melewati stasiun Lempuyangan menuju kearah Solo.

Langkah kaki saya makin bersemangat, melintasi rel dan jembatan sungai penuh batu-batu menarik. Hingga tak lama saya telah tiba di gerbang utara Bukit Boko. Setelah membeli tiket masuk senilai 20 ribu rupiah, saya harus menaiki ratusan anak tangga untuk mencapai check-point yang berada sekitar 40 meter diatas sana. “Fuuhh….!! demi sunset di Ratu Boko, semua akan saya lalui”, demikian pikir saya.

Sampai di check point, saya disambut petugas yang menyobek tiket masuk. Dengan menyodorkan jatah air mineral botol, dia bertanya dengan sopan, “kok sendiri mas..? terus kendaraannya mana..?”

Dengan mengatur nafas yang sedikit tersengal, saya sampaikan bahwa saya seorang lone-traveller dan kebetulan pingin mencoba mengunjungi Ratu Boko dengan trekking. Saya sampaikan pula bahwa sebelumnya saya sudah trekking ke Candi Plaosan dan Prambanan, dan bapak itu mengangguk-angguk tersenyum, “yaa… silahkan masuk mas, mumpung belum tutup. Kita satu jam lagi sudah mau tutup”.

Akhirnya saya segera memasuki area kompleks Candi yang punya sejarah kental dengan Candi Prambanan itu. Konon menurut legenda, Candi Prambanan dibangun oleh Bandung Bondowoso demi ikrar cintanya kepada Loro Jonggrang, Putri Raja Boko, Penguasa istana Boko. Jadi jika dikaitkan dengan legenda yang ada, maka Candi Ratu Boko tak lain adalah sisa-sisa istana Kerajaan Boko.

Sunset Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko
Sunset Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko
Sunset Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko

Dari pintu masuk, anda akan berjalan menuju arah Timur dan menaiki gerbang yang sangat menarik. Seperti sisa-sisa reruntuhan Gapura pintu masuk menuju kerajaan Boko. Ini adalah salah satu spot favorit untuk berfoto. Dari balik gerbang batu ini, pemandangan kota Jogja yang berada disisi Barat terlihat seolah dibingkai oleh Gapura bernuansa Purbakala. Eksotis…!!

Setelah menaiki tangga dan melewati gerbang, kita disambut pemandangan hamparan rumput hijau yang luas, dan jika mengikuti jalan setapak terus kearah Timur, sampailah pada area Kraton Ratu Boko. Kebetulan saat itu sudah terlampau sore, tidak terlalu banyak pengunjung yang berada dalam kompleks candi. Sayapun leluasa membuka papan sketsa dan mulai menggores pensil diatas kertas, mencoba menerjemahkan Kraton Boko dalam sebuah sketsa. Sebuah panggung beralas batu dengan pagar keliling juga dari batu yang diukir, membawa khayalan saya pada dongeng Loro Jonggrang dimasa lampau.

Tidak begitu lama, saya masih menyempatkan diri menjenguk kolam bekas pemandian yang berada disisi Timur bangunan Kraton. Walau kondisinya sudah tidak terawat, namun keadaan kolam-kolam batu yang airnya demikian tenang itu menyiratkan bahwa area ini dulunya adalah area privasi dari Kraton Boko. Masih terlihat pagar batu berlumut yang mengelilingi kolam-kolam yang bentuknya sudah tak teratur itu, sekaligus menunjukkan betapa lama dan tua-nya situs purbakala ini.

Lamunan dan analisa iseng saya sontak buyar, tatkala seorang petugas keamanan candi memperingatkan kami bahwa sudah pukul 5 sore, dan candi akan ditutup. Dengan perasaan kecewa, saya dan empat orang pengunjung yang kebetulan berada disitu segera bergegas kembali ke pintu masuk. Dan bapak petugas itu melanjutkan aktivitasnya menyisir sekeliling kompleks, mengantisipasi andai ada pengunjung yang tertinggal. Mengingat jika menjelang gelap, dalam area candi di perbukitan luas ini tidak ada jaringan penerangan listrik yang memadai.

Saya berjalan kembali menuju pintu masuk, dan sebelum sampai pada gerbang gapura utama. Saya segera mengambil posisi untuk mengabadikan tenggelamnya matahari di area favorit itu. Kebetulan sekali sore itu ada sesi foto prewed dari sekelompok pengunjung, akhirnya sayapun seolah-olah “membonceng” menjadi bagian dari kru foto prewed sehingga tidak segera diusir keluar dari area Candi. Hehehe…

Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko
Candi Ratu Boko

Sayangnya saya hanya membawa kamera Hape, tapi setidaknya langit sore itu cukup bersahabat, sehingga saya masih cukup puas dengan beberapa jepretan di kamera hape saya. “mas…, masnya mau jalan kaki lagi, sebaiknya saya antar aja ke Halte TransJogja, sudah gelap”, tawaran bapak petugas pintu masuk membuyarkan keasyikan saya menyeleksi foto-foto dalam hape. Ternyata hanya tinggal saya seorang pengunjung yang tersisa didalam candi, sementara waktu sudah menunjukkan pukul 18.00.

“Wah, terima kasih tawarannya pak. Kebetulan saya butuh tumpangan”, saya berseri dan segera mengikuti bapak petugas itu menuju area parkir motor karyawan. Dalam benak saya hanya ada satu kalimat, “Tiada senja hari yang istimewa di Jogja, selain menikmatinya dengan jejalan di Candi Ratu Boko”.

[photoset] Senja diantara Surabaya Madura

Akhir-akhir ini, langit senja di kota Surabaya dan sekitarnya memang tak terduga. Adakalanya langit tertutup awan mendung, kadangkala justru sangat cerah dengan pemandangan yang sangat menarik untuk dinikmati. Seperti sore ini, selepas menyelesaikan project di Madura, kami bergegas kembali ke Surabaya. Menjelang senja kami tepat berada diatas jembatan Suramadu. Dengan pandangan yang bebas tanpa batas kearah cakrawala, yaa… kami mendapati suasana langit senja yang sangat istimewa

Jejalan Suasana Senja Di Suramadu

[one-half-first]Jejalan Kincir Saat Senja[/one-half-first]
[one-half]Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 3[/one-half]
Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 1

[one-half-first]Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 4[/one-half-first]
[one-half]Jejalan Suramadu Senja Diantara Surabaya Madura 5[/one-half]

Twilight at Dobonsolo

Sebenarnya saya sedang tidak tahu harus menulis apa lagi, masih banyak stok foto dan cerita yang ingin saya tulis, tetapi selalu terkendala mood. Ya penyakit yang satu itu memang tidak pandang bulu, terlebih lagi tubuh lemas saya yang dihajar rutinitas tanpa henti-henti. Beberapa rutinitas memang menyenangkan, tetapi sesampainya dirumah pasti kasur seakan memangil-manggil untuk segera dihuni. Terus kalau begini maunya apa coba? bingung kan?

Sudahlah saya sendiri sedang bingung mau posting apa. Dua buah e-book yang diplanning sedang tahap finishing, artikel Bromo juga sedang mentah ditengah jalan, ndak nemu mood buat melanjutkan. Kisah refreshing di sekitar Gunung Salak, sudah terlalu lama untuk di ingat detail dan feelingnya. Tetapi anehnya kalo soal makanan kok masih ingat terus, haha sepetinya ada benarnya orang-orang di timeline twitter bilang, kalau makanan adalah pelarian utama orang yang sedang stress 🙂

Okelah mungkin saya posting foto-foto tanpa cerita saja, karena memang asal jepret dengan kamera ponsel 1.3 m pixel yang selalu setia menemani waktu sedang trip sendirian dengan KM. Dobonsolo 🙂

Matahari Terbenam di Dobonsolo 2
Matahari Terbit di Dobonsolo
Matahari Terbit di Dobonsolo 1
Matahari Terbit di Dobonsolo 2
Matahari Terbit di Dobonsolo 2