Gadis petugas loket itu menempelkan Stiker tanda masuk ke lengan jaket saya, pakaian tradisional Vietnam berwarna hitam menambah kecantikannya dikala tersenyum. Saya membalas ucapan selamat datangnya sembari memandangi stiker tanda masuk ketempat ini. Bentuknya bulat, kecil, dengan gambar siluet seorang tentara yang sedang merayap.
Saya kemudian melangkahkan kaki mengikuti orang-orang yang ada didepan saya. Rombongan kami semua berjalan bebanjar mengikuti alur jalan setapak yang tanahnya telah padat karena sering dilewati. Siang itu harusnya terik memang, namun tanaman dan semak belukar disini cukup mengurangi sengatan sang surya. Kendati demikian, hembusan angin masih belum mampu menahan tetes peluh di dahi, sembari sesekali menyeka, sayapun melangkah dan terus melangkah diantara sampah dedaunan kering nan tebal menutupi permukaan tanah dikiri kanan jalan setapak.
Kicau burung dan keberadaan serangga yang bersahutan sempat menyita perhatian saya. Dan itu sejatinya sudah cukup membuat kami lengah. Mendadak terdengar suara gemeresak dedaunan, dan sekonyong-konyong muncul seorang prajurit Vietcong dari dalam tanah… Yaa.. muncul begitu saja, dari dalam tanah…
Untungnya saya bukan tentara Amerika, pula si Vietcong ini tidak membawa senjata… dan “Game”-pun masih belum “over”… Hahahaha. Tentu saja, karena aksi kejutan ini adalah ini adalah salah satu adegan sambutan ala “Cu Chi Tunnel” kepada para turis yang berkunjung kesana.
Ya, Cu Chi Tunnel adalah sebuah terowongan bawah tanah, yang digunakan sebagai sarana mobilisasi rahasia tentara gerilya peninggalan perang Vietnam. Menempuh perjalanan selama satu setengah jam dari pusat kota Ho Chi Minh City, kita bisa mengunjungi salah satu destinasi wisata yang unik dan terkenal ini. Sebagai salah satu benteng pertahanan terpanjang dan berada dibawah tanah, Cu Chi Tunnel benar-benar terkamuflase secara sempurna, dengan beberapa titik keluar-masuk ke permukaan tanah yang sangat sulit terdeteksi, tersembunyi dibawah rimbunnya belukar hutan Vietnam. Kabarnya jaringan Cu Chi Tunnel panjangnya mencapai ratusan kilometer, tersebar seantero bawah tanah kawasan Vietnam Selatan.
Jaringan “tunnel” ini sangat komplit, memiliki koneksi dengan area-area strategis dan menjadi markas bawah tanah selama perang Vietnam. Terhubung dengan titik-titik yang berfungsi sebagai markas, ruang kesehatan, ruang rapat, bahkan dapur umum yang tersebar kesegala penjuru wilayah. Semuanya tergambar jelas kala kami mencoba memasuki replika masing-masing ruangan dipandu oleh guide lokal yang sedikit kocak.
Seperti halnya diorama ditempat terbuka, beberapa barak sederhana juga dibuat di sudut-sudut jalan setapak. Tampak patung-patung tentara Vietcong berpose disana, lengkap dengan pakaian gerilya dan senjata replikanya. Para turis pun langsung rebutan berpose dengan latar manekin gerilyawan itu.
Bukan hanya melihat kondisi riil barak dan gambaran aktivitas diorama saja, kami juga sempat deg-degan kala menyaksikan beberapa jebakan khas gerilyawan Vietcong yang kondisi dan lokasinya masih aseli. Jebakan berupa lubang besar penuh dengan besi dan kayu tajam itu terkamuflase sempurna dengan rerumputan diatasnya. Beberapa turis wanita bergidik ngeri membayangkan jika tubuh atau kaki musuh terperosok kedalamnya.
Kami terus melangkah menyusuri jalan menurun yang mirip lembah, sayup-sayup terdengar satu dua suara tembakan, disusul kemudian oleh rentetan senapan mesin yang sambung menyambung. Agak penasaran juga, apakah ini sekedar sound-system buatan untuk menambah suasana trekking menjadi lebih menarik?? Kami belum mendapat jawaban, dan terus berjalan mendekati sumber suara.
Oh ternyata, di area ini juga disediakan lapangan khusus bagi para turis yang ingin menjajal menembak menggunakan senapan asli eks perang Vietnam. Tentunya dengan biaya ekstra sebagai ongkos pengganti peluru yang digunakan. Disini tersedia banyak senjata legendaris yang cukup populer di eranya, mulai dari AK-47, M-16, M1-Carabin, hingga senapan mesin kelas berat Browning.
Puas menjajal betapa garangnya senapan-senapan tua peninggalan perang Vietnam, kami melanjutkan ke bagian utama dari tour kali ini. Yaa.. benar, mencoba kesempatan berperan menjadi tentara Vietcong melalui uji nyali dengan menjajal masuk ke lubang terowongan di satu sisi, dan keluar pada sisi lainnya. Agak ragu juga tatkala saya hendak mencobanya, antara takut terowongan akan runtuh, atau bahkan salah orientasi karena nyasar kearah lain, karena memang banyak percabangan didalam jalurnya. Namun karena sudah terlanjur mengikuti tour dari awal, rasanya tidak sempurna kalau batal menjajal masuk kedalam Cu Chi Tunnel ini, sayapun memberanikan diri menyeruak kedalam mulut sumur sempit dengan sedikit belukar itu.
Ternyata tidak terlalu menyenangkan, terowongan ini sangat sempit, hanya selebar pundak, setinggi setengah badan, saya dan rombongan pun harus berjalan menunduk. Pula dibeberapa titik bahkan harus berjongkok sambil memaksakan diri setengah merangkak. Sekedar bergerak bebas saja benar-benar sukar sekali dilakukan didalam tempat ini, apalagi untuk membalikkan badan bertukar arah. Tak bisa dibayangkan, bukannya para gerilyawan pada masa itu tentu juga membawa ransel dan senjata laras panjang pula.
Semua itu masih belum seberapa. Kondisi gelap yang menyergap, oksigen yang serba tipis, dan bau tanah gua yang lembab membuat nafas kami semua tersengal. Ditambah lagi teriakan para turis bule dibelakang yang panik karena sempitnya terowongan, menjadikan suasana semakin berisik disepanjang lorong sempit nan gelap ini. Betapa tidak nyamannya kondisi ini, belum lagi kalau kondisi perang seperti dulu, gaduhnya suara manusia tidak sebanding dengan berisik rentetan tembakan, desing peluru dan ledakan bom yang tentunya juga terasa didalam.
Ouuhh… kesialan nyata-nyata bertambah, saya samasekali tidak bersiap membawa penerangan guna menyusuri terowongan, maka jadilah blitz kamera yg membantu saya sesekali untuk meraba dan menduga kemana arah menuju. Sungguh perjalanan yang menegangkan dan penuh derita, saking sempitnya terowongan dan banyaknya anggota rombongan, saya serasa terjepit didalam antrian penumpang dikala musim mudik Lebaran. “Bahkan saya sampai bisa mendengar dan mencium bau nafas bule cewek yang tepat berada dibelakang saya”, bisik saya kepada Jeri, partner jejalan. Hehehe, sekedar gurauan pereda ketegangan saja.
Dan setelah lima menit yang mencekam, cahaya mulai tampak disalah satu tikungan terowongan. Sorot cahaya dari atas itulah pintu keluar menuju permukaan. Saya bernafas lega, dengan tetap berjongkok dan sesekali kepala terantuk dinding atas terowongan. Saya berhasil naik keatas permukaan tanah. Tak lupa pula membalikkan badan, sekedar mengulurkan tangan membantu cewek bule dibelakang saya tadi untuk naik keatas permukaan, hehehe…
Sejurus kemudian saya mengambil nafas dalam-dalam, memuaskan diri menghirup udara segar selepas lolos dari neraka sempit yang baru saja saya lewati. Ketegangan juga mulai berkurang tatkala kami diajak memasuki tempat semacam barak sederhana. Disana disediakan suguhan makanan khas gerilyawan Vietcong pada masa perang dulu. Ketela rebus, dengan piring kecil berisi sedikit campuran garam dan kacang yang ditumbuk halus. Bagi kami turis Indonesia, sajian ini tidak terlalu aneh. Lain halnya dengan turis dari Eropa, US dan Jepang yang satu rombongan dengan kami, mereka semua ragu untuk memakannya, mengira itu adalah batang semak belukar yang dimasak. Hehehe, jadilah kami akhirnya membantu guide untuk membujuk mereka supaya menyantap sajian ini.
Puas dengan sepiring ketela rebus dicocol kedalam serbuk kacang dan garam, secangkir the tawar khas Vietnam cukup membantu saya relaksasi setelah tour yang menegangkan kali ini. Bukan perkara jalur treknya, macam-macam kejutan dan jebakannya, atau karena menjajal senapannya yang menegangkan. Justru mencoba menyusuri terowongan gerilya adalah suatu petualangan yang luar biasa ekstrim bagi saya, lima menit serasa lima jam. Dan bisa menghasilkan cerita yang demikian panjang. Fuuhh… Mungkin terkesan biasa bagi anda, namun jika menikmati sedikit demi sedikit artikel ini. Setidaknya anda beruntung, karena sudah membaca kisah tentang Cu Chi Tunnel yang ditulis oleh seorang Klaustrophobia.