Dibangun semasa pemerintahan Sultan HB I (1755), tamansari merupakan kawasan pesanggrahan bagi Sultan dan keluarganya untuk beristirahat. Saya sendiri tidak tahu persis kapan Tamansari dibuka untuk umum. Tapi semenjak saya kecil, sekitar tahun 90-an, area Tamansari bisa dikunjungi oleh umum. Dan seperti halnya Keraton Jogja, Tamansari merupakan area living heritage yang patut dilestarikan.

[one-half-first]

[/one-half-first]
[one-half]

[/one-half]
Dengan tiket masuk seharga 2.000 rupiah, saya segera masuk melewati terowongan dibawah Gapuro Panggung yang kaya ornamen. Fantastik, jujur saya langsung terkagum-kagum dengan kondisi area pesanggrahan Tamansari yang sekarang jauh terlihat lebih bersih. Warna tembok seluruh bangunan dominan berwarna krem menyala, bahkan hiasan sepasang naga digerbang ini cukup detail dan membuat saya nyaris lupa untuk mencoba naik ke area puncak gapura. Dengan tangga dikiri kanan gerbang, saya berpuas-puas diri menikmati antrian pengunjung di loket pintu masuk.
Saya melanjutkan ke halaman dibalik Gapuro Panggung, yakni area terbuka berbentuk segidelapan dengan empat bangunan berdinding kokoh yang dikenal dengan Gedong Sekawan (Gedung Empat), masing-masing bangunan hanya seukuran pos jaga satpam perumahan, namun keberadaan tanaman dan pot-pot bunga yang ditata teratur dengan perkerasan di alasnya, membuat khayalan saya melambung pada kemewahan khas bangsawan di masa lalu.
Maju selangkah lagi kearah Barat, saya segera menuruni anak tangga di lorong lebar yang dipenuhi oleh pengunjung. Tepat diujung lorong saya segera disambut oleh cantiknya Pesanggrahan Umbul Binangun. Yaa.., area inilah yang konon menjadi ikon di Tamansari, sebuah tempat pemandian Sultan dan keluarganya. Yang mana terdiri atas dua kolam di sebelah Tengah dan Utara, serta sebuah Kolam lebih Privat lagi disisi Selatan yang dikelilingi tembok dan Tower khas Tamansari.



Kolam-kolam itu memang sangat indah, dinding kolam danĀ bangunan yang berwarna seragam, kremterangĀ menyala. Bertemu dengan air yang tentunya mengandung lumut kehijauan, menciptakan warna air hijau muda yang menyegarkan mata. Apalagi beberapa sculpture teratai buatan yang memancurkan air, mengalirkan suara gemericik mempesona indera pendengaran. Sejenak saya mencari tempat duduk berteduh, menyiapkan pensil dan papan sketsa. Dan tanpa peduli tatapan ratusan pasang mata yang memadati Tamansari siang itu, tangan saya mulai bergerak lincah, seakan mengalir menggambar sketsa pensil tower Pesanggrahan Umbul Binangun.
Puas menikmati keindahan area utama Tamansari, saya beranjak terus kesisi Barat, menuju Gedong Gapura Agung dan menaiki puncak gerbangnya. Menurut cerita paman saya dulu, sebenarnya pintu masuk utama Tamansari ya dari Gapura Agung di sisi Barat ini. Sekilas memang mirip dengan Gerbang Gapura Panggung disisi Timur, namun ornamen ukirannya terlihat lebih ramai disini.



Terakhir, saya tidak lupa menyambangi bangunan tinggi berlantai tiga di sebelah utara. Dari sini saya bisa menikmati sekeliling pasar Ngasem dari atas. Namun sayangnya kondisi bangunan yang kalo tidak salah bernama Gedong Pulo Kenanga ini tidak seberuntung bangunan yang lain. Sebagian atap dan dindingnya runtuh karena faktor usia dan juga karena gempa. Pula saya kerap melihat di area sudut bangunan yang sepi, justru dijadikan tempat bercengkrama pasangan muda-mudi.
Tepat pukul 13.00 siang saya mengakhiri kunjungan di Tamansari, memang cukup lama blusukan disana. Tapi setidaknya sudah sangat memuaskan kerinduan saya setelah belasan tahun tidak menjenguk salah satu obyek menarik disebelah Barat keraton Jogja ini. Akhirnya, masih tetap berjalan kaki, saya memutuskan jejalan kearah Timur, menuju jalan Wijilan yang terkenal dengan sentra Gudeg-nya itu. Ternyata hampir tiga jam berpanas-panas ria, membuat saya keroncongan.