Di atas adalah video pendek hasil dokumentasi Jejalan saya ketika mengikuti prosesi upacara keagamaan hari Trisuci Waisak di Candi Borobudur tahun 2012.
Sebenarnya saya tidak punya rencana pasti untuk datang pada acara Waisak di Borobudur kali ini, hanya sebatas keinginan saja, karena ada beberapa deadline yang menuntut harus saya selesaikan terlebih dahulu. Tetapi begitu mendekati hari acaranya dilaksanakan, saya memutuskan berangkat dengan mengajak dua orng sahabat Jejalan saya, Astoto dan Soer. Mereka sudah sudah terbiasa dengan trip dadakan dan tanpa plan yang sering saya lakukan. Dan merekapun menyanggupi ajakan saya untuk menemani hingga ke Jogja. Dikemudian hari Soer mengajak Rizky, seorang teman lain yang rupanya ikut tertarik Jejalan bersama kami.
Hari Jumat malam kami tetapkan untuk berangkat. Ketika mendekati jam keberangkatan, ternyata saya masih berkutat dengan kerjaan yang ada, dan jauh dari kata selesai. Akan tetapi ketika Soer dan Rizky mengabari bahwa posisi mereka sudah berada di terminal Purabaya (Bungur AC), saya-pun memutuskan meninggalkan pekerjaan tersebut. Sedangkan Astoto yang masih berkutat dengan deadline lainnya, yang lebih tergolong urgent, memutuskan tetap tinggal di Surabaya dan merencanakan menyusul saya langsung ke Borobudur – Magelang, tepat pada hari pelaksanaan Festival berlangsung.
Maka jadilah kami bertiga yang berangkat pada malam itu, plan awal kami adalah Jejalan Jogja pada hari sabtu dan pada hari minggunya kita harus berpisah. Rizky dan Soer yang melanjutkan Jejalan Jogja dan saya lanjut ke Borobudur di Magelang sendirian. Seharusnya hari minggu pagi Astoto langsung menyusul saya kesana, maka saya-pun berencana berangkat terlebih dahulu dengan harapan tidak ketinggalan mengikuti prosesi acara Waisak disana. Menjelang siang Astoto mengabari bahwa dia ketiduran, sayapun dapat memaklumi kondisinya, apalagi setelah dia berkutat dengan deadline sehari sebelumnya. Maka terpaksalah saya memtuskan ke Borobudur sendirian. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Di luar rencana, Tino seorang sahabat sekaligus Illustrator handal di Gameloft Jogja bersedia menemani saya. Tidak hanya itu diapun ternyata mengajak seorang teman kantornya untuk turut serta. Dengan dibonceng Tino berangkatlah saya ke Magelang. Sedangkan temannya mengendarai motornya sendirian.
Sesampai di lokasi, saya dan tino berpisah dan hunting foto secara mandiri. Saya kembali bergerak ke candi Mendut untuk menilik prosesi kirab umat Budha menuju candi Borobudur, sekaligus menemui Irma seorang fotografer cewe asal Jember yang mendadak ikut menyusul ke Borobudur, dengan ditemani mas Bayu dari InfoBackpaker jadilah kami bertiga bergerak mendokumentasikan ritual waisak tahunan ini bersama-sama.
Hujan yang membawa hawa dingin-pun sempat turun disaat pawai dari Candi Mendut hampir berakhir di Candi Borobudur, tetapi hal tersebut tidak pernah mengendorkan semangat umat Budha untuk tetap setia mengikuti prosesi Waisak ini. Watu itu saya dan Irma memutuskan berteduh dahulu disebuah rumah penduduk demi mengamankan camera yang kami bawa. Cukup lama saya berteduh, disana saya jadi mengetahui bahwa hampir disetiap acara Waisak, pasti disertai turunnya hujan. Ya seperti sebuah mitos tentang hujan di malam tahun baru China. Ketika hujannya berubah menjadi gerimis kecil, maka kami memutuskan untuk melanjutkan perjalan menuju Candi Borobudur. Cuaca yang masih belum terlalu bersahabat tersebut ternyata tidak menyurutkan banyak fotografer dan turis yang ikut memadati pelataran Candi Borobudur. Ya Suasana waisak saat itu rame dan padat sekali.
Ketika menjelang malam selain hujan air dari langit, hujan flash dari kamera fotografer yang saya rasa cukup mengganggu juga tidak menghalangi para Biksu dan umat Budha yang lainnya untuk tetap menjalankan prosesi selanjutnya. Saya tidak perlu menjelaskan secara detail makna masing-masing prosesi yang sedang berlangsung waktu itu. Maklum waktu itu saya tidak lebih hanya sebagai seorang turis. Pesan saya buat turis lainnya yang menyaksikan upacara keagamaan tidak hanya Waisak ini saja, hendaknya cukup tahu etika. Semisal jangan menyalakan blitz kamera jika tidak benar-benar butuh dan memang di ijinkan atau jangan memasuki area-area yang sekiranya dapat mengganggu jalannya ibadah. Berlaku sopan akan lebih baik. Kadar toleransi umat beragama kita akan terlihat disini.
Mengenai toleransi, ada hal yang cukup menarik yang sempat saya amati di sebuah tenda di dekat pintu timur Candi Borobudur. Seorang Biksu senior memberikan kuliah umumnya dihadapan Biksu-biksu junior berikut orang umum tentang ajaran sang Budha, di penghujung kuliah tersebut ada sesi tanya jawab antara Biksu Senior dan Biksu Junior, berikut juga dengan masyarakat umum yang waktu itu turut serta mengikuti kuliah tersebut. Ada sebuah sesi dimana beberapa Mahasiswa jurusan Ilmu perbandingan agama dari IAIN (saya lupa tepatnya IAIN mana) menanyakan tentang beberpa ajaran Budha. Bukan soal debat kolot soal prinsip beragama, tetapi sekedar diskusi dan tanya jawab yang santun . itulah yang saya maksudkan dari kata menarik diatas, disela-sela upacara besar ke-agamaan seperti saat itu, pemuka agama budha dengan arif dan bijaksana mau terbuka dan berdiskusi dengan pengunjungnya, walaupun itu dari agama lain. Indah rasanya menyaksikan toleransi antar umat beragama yang saling terjadi saat itu.
Selepas acara tersebut para biksu bergerak menuju pintu utara candi Borobudur untuk mengikuti kelanjutan acara waisak dengan melakukan meditasi bersama-sama puluhan biksu lainnya di altar utama. Cukup lama acara meditasi berlangsung, ketika waktu mendekati tengah malam prosesi Phradaksina-pun dilakukan, yakni mengelilingi candi Pelataran candi Borobudur sebanyak 3 kali dengan membawa lilin. Setelah itu acara pelepasan lampion harapan mulai dilakukan.
Ratusan lampion berisi pesan dan harapan-pun diterbangkan ke langit yang mulai cerah dengan sinar bulan Purnama, Lampion terbang pada puncak acara Waisak di Borobudur saat itu menjadi penutup yang istimewa.