Penunjuk waktu yang tertera dilayar ponsel sudah menunjuk pukul tujuh, tidak terlalu pagi kami berempat tiba di kota Karanganyar, Jawa Tengah. Perjalanan saya kali ini ditemani Zakky, Diky, dan Faris, tiga kawan dari Pasuruan yang juga doyan travelling. Sesuai rencana awal, tujuan jejalan kali ini adalah menyambangi Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu. Dan kami tidak sendirian, saya juga mengajak Maya, sahabat lama jaman sekolah yang kebetulan sudah lama stay di kota ini. Karena kami yang buta rute menuju destinasi, akhirnya sepakat menemui Maya di pusat kota Karanganyar pagi-pagi sekali.
Lima jam berkendara dari Surabaya menembus pekat malam terasa cukup melelahkan bagi kami. Sembari menunggu si Maya tiba di lokasi, sejenak saya dan kawan-kawan merebahkan diri di jok kendaraan, dengan diiringi lantunan musik dari audio mobil setidaknya bisa membuat kami rileks.
Tak berapa lama, yang kami nanti sudah tiba. Dengan senyum manisnya Maya menyapa kami yang sedang terkantuk-kantuk didalam mobil. “ayo sarapan dulu”, dia mengajak kami menuju warung Timlo yang tidak jauh dari tempat kami menunggu. “Pagi yang masih dingin disuguhi kuliner Timlo yang hangat tentu sangat mengundang selera” pikir saya.
Sambil saling mengenalkan kawan-kawan saya dengan si Maya, kami bercakap-cakap ringan ditemani sajian nasi hangat dan semangkuk sup Timlo yang masih mengepulkan uap panas, sup hangat dengan tampilan bening ini terasa segar di tenggorokan. Irisan telur pindang, dadar gulung, sosis, ditambah dengan mihun, potongan wortel dan sedikit jamur, semakin menggugah selera dengan suwiran daging ayam serta taburan bawang goreng yang menambah aroma. Ahh, kami hampir lupa untuk segera berkemas lagi menuju destinasi.
Dari kota Karanganyar, lokasi Grojogan Sewu Tawangmangu tidak lebih dari 30 kilometer. Jalur khas pegunungan berkelok dengan pemandangan perkebunan indah dikiri kanan jalan adalah salah satu daya tarik yang tidak bisa dilewatkan. Sejenak kami lupa akan rasa kantuk sebelumnya, dan fokus menikmati rute sepanjang perjalanan. Apalagi Maya mengajak serta dua temannya, Ami dan mas Ari. Perjalanan semakin menarik dan penuh dengan obrolan.
Atas saran mas Ari, kami diarahkan masuk melalui pintu gerbang kedua Grojogan Sewu, mengingat jika melalui gerbang utama, jumlah undak-undak turunan anak tangga yang konon katanya mencapai 1200 lebih itu bisa membuat kaki gemetaran. Karenanya kami memilih alternatif gerbang kedua yang mana lokasi parkirnya lebih jauh, namun trek jalannya relatif lebih ringan. Apalagi teman saya Maya kala itu belum sepenuhnya fit akibat didera flu, medan yang berat dan cuaca hujan bisa menambah resiko.
Menerobos hutan pinus dan menapaki jalur bebatuan yang lembab berlumut bagaikan olahraga pagi buat kami. Cuaca mendung dan hawa pegunungan yang sejuk memang tidak membuat berkeringat, tapi setidaknya bisa menyegarkan paru-paru kami yang sudah lama merindukan udara segar travelling di alam terbuka. Trek relatif datar yang tidak terlalu menguras tenaga membuat kami lekas sampai pada view point Air Terjun Grojogan Sewu yang Legendaris itu.
Dari makna kata, Grojogan Sewu berasal dari kata Grojogan : Pancuran, Air Terjun dan kata Sewu : Seribu. Yang secara sederhana berarti Air Terjun Seribu. Entah darimana nama itu berasal, terkait mitos atau legenda, saya belum sempat bertanya. Tapi yang jelas, setelah berjalan menurun menuju aliran sungai, saya berdiri diatas jembatan dan menatap sebuah tampilan alam yang luar biasa. Sebuah air terjun yang cantik, hanya sebuah bukan seribu.
Sejenak saya terdiam menikmati hempasan uap air yang menerpa halus kulit muka, sementara yang lain mulai sibuk mengabadikan momen melalui kamera. Salah satu pesona wisata di kaki Gunung Lawu ini memang luar biasa, gemuruh deras aliran air yang tumpah dan hempasan angin bercampur uap air demikian terasa dari Air Terjun setinggi kurang lebih 80 meter ini. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan musim penghujan, dimana debit air sedang tinggi. Kami benar-benar menikmati kemolekan Grojogan Sewu dengan sosok yang nyaris sempurna.
Sedikit berhati-hati dengan banyaknya kera liar yang ada disana, kami harus pandai-pandai menyimpan benda-benda berwarna mencolok yang menarik perhatian mereka. Kacamata, jam tangan, gantungan kunci, makanan, bahkan ponsel. Satwa yang satu ini kadang tak segan bersitegang dengan pengunjung dan berani melakukan intimidasi. Tapi maklum sajalah, kita datang ke habitat mereka, mestinya kita yang harus tahu diri. Hehehe.
Pukul sebelas siang mendung mulai bergelayut disusul rintik hujan, kabut juga mulai memenuhi udara disekitar kami. Hawa semakin terasa dingin dan jaket yang mulai basah mengingatkan kami untuk segera meninggalkan lokasi. Sembari menyempatkan diri mengambil beberapa gambar sepanjang trek menuju pintu keluar, perjalanan kami diiringi dengan obrolan dan debat santai terkait pilihan menu makan siang nanti. Hahaha, benar-benar Sabtu siang yang menyenangkan.