Jejalan Aceh

Mengawali postingan di tahun baru 2013. Maka jejalan menampilkan catatan visual untuk perjalanan akhir tahun 2012 yang menyenangkan, bertemu banyak kawan baru serta destinasi-detinasi yang menawan. Dan tentu saja kopi istimewa yang selalu tersedia menambah semangat untuk menjelajah Propinsi paling barat di Indonesia ini.

Diawali menghabiskan hari di pantai Lampuuk, pantai yang luas memanjang, dengan pasir putihnya dan deburan ombak air laut yang  bersih dan jernih. Sebuah tempat dengan pemandangan matahari tenggelam yang memanjakan mata. Posisi pantai yang tepat menghadap ke barat, membuat matahari terlihat tenggelam sempurna di ujung cakrawala Samudra Hindia.

Perjalanan kemudian berlanjut random, mulai dari destinasi populer hingga menerobos daerah dengan kondisi jalan desa yang berlumpur akibat genangan air sisa hujan. Jangan ditanya, tentu saja konturnya menjadi sangat tidak beraturan. Hal ini diperparah oleh hujan yang sesekali masih datang menyapa dan memaksa kami untuk berteduh. Untung saja saya berada di Ibukota-nya kopi Indonesia (bahkan mungkin dunia). Sehingga setiap kali kami berhenti entah karena lelah, lapar atau hujan, maka akan selalu ada warung kopi kopi Aceh yang bisa disinggahi.

Sempat pula saya menyebrang hingga ke Pulau Weh. Melalui pelabuhan Sabang saya sempat menuju tempat bernama Iboih, sebuah tempat yang sudah sangat tersohor di kalangan para pecinta laut. Waktu sehari yang tersedia rasanya tidak cukup untuk menjelajah Iboih. Butuh waktu yang lebih panjang untuk dapat menikmati terumbu karang dan keaneka ragaman biota laut yang menjadi andalan wisata bahari Iboih. Jangan datang sendirian, saya sarankan datang kesana bersama kawan, tempat yang menyenangkan untuk melakukan aktivitas berkelompok. Kecuali Anda memang berniat menyendiri disana.

Kuliner Aceh juga cukup menggelitik lidah.  Mie Aceh plus Udang menjadi santapan yang memanjakan indra pengecap saya. Kari kambing-pun demikian, dengan bumbu yang kuat, dan tekstur daging kambing yang khas, masakan ini ‘wajib’ dicoba bagi orang yang berkunjung ke Banda Aceh.

Untuk selebihnya silahkan melihat sendiri video dokumentasi perjalan saya diatas. Sebuah perjalanan singkat yang menyenangkan. Sebuah tempat yang akan membuat anda  ingin kembali kesana lagi.

Canai Mamak – Kuala Lumpur di Banda Aceh

Malam itu Adun sahabat baru saya di Banda Aceh berencana mengajak melihat pertandingan bola antara Persiraja Banda Aceh melawan kesebelasan dari negeri tetangga, Selangor FC – Malaysia. Oh okey, saya menyanggupi untuk menemaninya ke stadion. Karena jika di ingat-ingat lagi, terakhir adalah sewaktu SMA saya menonton dua kesebelasan beradu teknik menguasai bola secara langsung di stadion. Dan itu sudah lama sekali.

Dari desa Lampuuk di Aceh Besar kami berboncengan menuju Stadion di Kota Banda Aceh. Jarak yang harus kami tempuh kira-kira 17 kilometer untuk mencapai Stadion tersebut. Ditengah perjalanan menuju Stadion saya dikontak Ferzya, seorang teman yang sudah saya kenal terlebih dahulu sewaktu di Jogja. Dia menanyakan posisi kami dimana? Saya-pun menjawab bahwa sedang dalam perjalanan menuju Stadion di Kota, dan dia-pun berpesan untuk menghubungi jika sudah berada di Kota.

Sejenak saya  dan Adun minggir di tepi jalan dan berdiskusi tentang rencana menonton bolanya. Karena saya di hari tersebut juga baru tiba di Banda Aceh melalui penerbangan langsung dari Jakarta, maka diputuskan Adun akan mengantar saya ke tempat Ferzya, dan dia sendiri akan melanjutkan menonton bola ke stadion. Adun tidak ingin melewatkan pertandingan saat itu, jarang-jarang dan dia juga sudah janjian bersama teman-teman yang lain untuk datang menyaksikan pertandingan tersebut.

Maka tidak lama kami sampai di tempat Ferzya. Terlihat tempatnya sepi, kami malah hanya bertemu Meutia (entah benar atau tidak saya menuliskan namanya), sepupu yang tinggal serumah sengan Ferzya. Dan rupanya orang yang ditunggu juga masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.  Sebenarnya saat itu saya merasa tidak enak juga dengan Adun, karena saya tahu tidak lama lagi kick-off pertandingan bola sudah dimulai. Tetapi dia tetap bersedia menemani hingga si empu-nya rumah datang. Sembari menunggu saya membaca beberapa brosur tentang wisata  di Aceh, sementara Adun dan Meutia terlihat bercanda, ah rupanya mereka cukup kenal akrab.

Tak lama orang yang ditunggu akhirnya datang. Adun bergegas ke stadion, dan saya menunggu tuan rumah bersiap mengantarkan saya menikmati kota Banda Aceh malam itu, dan tentunya berwisata kuliner di tempat yang mereka rekomendasikan.

Singkat cerita kami sudah sampai di kedai Canai Mamak, Jalan Teuku Umar No. 51 Setui, Banda Aceh. Oh oke… ini memang bukan kuliner khas Aceh, karena setahu saya canai adalah makanan khas negeri jiran. Dari cerita yang beredar ternyata pemilik kedai dulu konon pernah berkerja di Malaysia,  sebelum akhirnya membuka kedai di Banda Aceh dengan mengadopsi makanan khas dari sana.

Saya-pun memesan canai isi srikaya, Meutia canai kering atau apa saya lupa nama menunya, sedang si Ferzya lebih memilih menu lain, selain berbagai macam varian roti canai yang menjadi andalan di kedai tersebut.

Canai Mamak selai Srikaya

Canai Kering

Makanan-pun akhirnya tersaji di meja, yang datang pertama kali adalah pesanan saya, disusul pesanan Meuti dan kemudian punya Ferzya. Pesanan saya datang lebih cepat karena ‘sepertinya’ makanan tipe ini lebih mudah dibuat stock terlebih dahulu, Sebelum di hidangkan per-porsi kepada pembeli. Untuk pesanan punya Meutia harus sedikit diracik sebentar sebelum siap diantarkan. Sedangkan Punya Ferzya memang harus menunggu cukup lama karena harus dimasak terlebih dahulu dari bahan-bahan mentah.

Dari segi rasa saya suka dengan canai isi srikaya ini, enak. Selai srikaya yang ada di dalamnya saya suka, teksturnya halus dengan rasa yang khas. Rotinya cukup empuk untuk dipotong dengan sendok sebelum akhirnya di kunyah dalam mulut. Manis dan baunya juga harum, cukup menggugah selera.

Tetapi entahlah saya rasa satu porsi roti canai (5 potong roti canai ukuran sedang) ini menurut saya terlalu banyak, untuk ukuran perut saya. Rasanya yang manis akan terasa semakin manis di dalam mulut jika kita mencoba mengunyahnya cukup lama. Sebuah fenomena yang lazim dari makanan berbahan utama karbohidrat ketika bertemu dengan enzim yang terdapat di air liur. Siapa sih yang tidak mencoba menikmati makanan enak dengan mengunyahnya perlahan. Terlebih lagi waktu itu kami menikmatinya sambil mengobrol santai. Efeknya adalah ketika potongan ke-3 roti ini sudah masuk dalam perut, rasa kenyang sudah menghampiri saya. Sudah tidak sanggup rasanya menghabiskan dua potong tersisa.

Disaat rasa kenyang sudah cukup, eh ternyata saya diminta juga merasakan canai yang dipesan oleh Meutia. Sekilas terlihat seperti potongan kulit roti yang ditaburi Gula. canai tersebut memang disajikan dengan taburan gula pasir, saya mencoba mencicipinya sedikit. Cukup renyah dan enak rasanya, tetapi rasa kenyang membuat saya berhenti pada potongan pertama saja.

Setelah dirasa cukup kami melanjutkan berkeliling kota. Bak tour guide handal Ferzya dan Mutia menjelaskan beberapa sudut kota yang dianggap menarik hehe. Hingga pada saatnya kami bergegas kembali ke rumah. Apalagi si Adun sepertinya juga sudah selesai menonton bola di Stadion dan kembali menjemput saya untuk mengantarkan beristirahat di penginapan.

Dengan perut kenyang saya cepat terlelap begitu tiba di penginapan. Menjelang pukul 3 pagi saya terbangun karena alarm, waktunya untuk memulai aktivitas memotet malam. Sayangnya awan mendung dan ahh lagi-lagi perut yang kekenyangan yang tidak bisa membuat saya bertahan lama di luar kamar. Tetapi untungnya makan malam waktu itu bukan hanya perut saja yang terasa kenyang, sehingga tidur saya lebih terlelap lagi seusai bereksperimen ala kadarnya dengan foto-foto malam. hehe.

View malam Lampuuk dari Joel's bungalow