Sewaktu saya masih kecil dan tinggal di desa, kerapkali saya menjumpai aktivitas penduduk menumbuk padi. Menumbuk padi ala tradisional adalah cara manual untuk mengubah padi kering menjadi beras yang siap dimasak. Tatkala keberadaan mesin penggilingan padi dirasa lebih ekonomis, mudah dan tidak menghabiskan banyak waktu, banyak petani yang mulai meninggalkan aktivitas tersebut. Tidak bisa disalahkan memang, namun ada satu tradisi yang turut punah ketika aktivitas tersebut juga menghilang.
Di Ciptagelar, kampung adat yang berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi. Saya menemukan kembali beberapa potongan ingatan apa saja yang hilang dari aktivitas menumbuk padi ini. Satu hal yang saya ingat adalah keberadaan nilai Seni didalamnya. Menumbuk padi bukan sekedar aktivitas merubah padi menjadi beras. Jika dilakukan bersama-sama, Alu yang dipegang ibu-ibu akan menghasilkan suara khas ketika bertumbukan dengan lumpang. Sekiranya dilakukan dengan tempo yang sudah diatur secara bersama-sama, niscaya akan menghasilkan alunan musik yang indah. Secara pribadi saya terhibur dan suka dengan bunyi-bunyian unik semacam ini.
Inilah musik yang saya nantikan ketika dulu berkunjung ke desa, dan saya menemukan kembali ketika berkunjung ke Ciptagelar. Seni musik yang membuat saya betah berlama-lama menikmati alam pedesaan yang masih asri.
Selain perpaduan musik, hal lain yang saya amati ketika melihat sekelompok ibu-ibu menumbuk padi adalah mereka aktif melakukan obrolan, kalau kata orang kota ini semacam ajang untuk bergosip, bisa jadi hal itu ada benarnya. Mungkin lebih tepatnya ajang untuk bersosialiasi, membahas isu terkini yang terjadi di desa. Saya sendiri hanya bisa menyimpulkan berdasarkan asumsi untuk hal ini. Tapi saya cukup yakin sih kalau hal itu yang terjadi. Hehehe.
Jadi menumbuk padi adalah aktivitas berkesenian sekaligus besosialiasi yang berkembang bersama budaya hidup agraris.