Kendaraan kami masih berputar-putar disekitar kolam depan Stasiun Tawang, dua kali sudah melewati jalan yang sama hanya karena bingung hendak memulai darimana. Yaa, siang itu saya dan beberapa sahabat sedang menyambangi kawasan Kota Tua Semarang. Setelah sejenak berhenti mengambil foto gedung Marabunta dengan ikon patung semutnya, kawan-kawan sepakat memarkir mobil di area taman disamping Gereja Blenduk yang sangat terkenal.
Menikmati teduhnya rerimbunan pohon besar didalam taman, kami melenggang santai sembari menjelajahi keindahan arsitektural gereja dengan warna putih serta kubah merah terakota ini. Konon nama Gereja “blenduk” adalah julukan orang-orang sekitar, mengacu pada bentuk “mblendung” kubah besar dipuncak bangunan gereja.
Beberapa pengunjung sepertinya juga berasal dari luar kota Semarang tampak asyik mengabadikan sosok Gereja yang dibangun sekitar tahun 1750-an ini, saya dan para sahabat juga tidak mau ketinggalan berpartisipasi bersama mereka dengan kamera masing-masing. Di sisi timur, terlihat pula sepasang muda-mudi dengan jas dan gaun tengah berpose dengan latar Gereja. Rupanya mereka sedang melangsungkan foto pre-wed, dan aktivitas semacam ini kiranya sudah menjadi pemandangan lazim di kawasan kota tua ini.

Puas berpose narsis disekitar plaza dan sekeliling gereja, kami mencoba menyusuri lorong-lorong jalan yang dipenuhi bangunan peninggalan Belanda. Beruntung sekali salah satu kawan saya, si Ami pernah kuliah di Semarang. Sehingga jejalan kali ini cukup memuaskan dahaga saya terhadap estetika bangunan Kolonial. Bahkan karena terlalu fokus mengambil gambar detail arsitektural, saya sampai beberapa kali tertinggal oleh kawan-kawan yang asyik terus berjalan menyusuri diantara gang bangunan.
Petualangan berlanjut dengan menyelinap diantara jalan-jalan kecil ditengah teriknya sengatan matahari kota Semarang, kiranya Ami menuntun kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery. Ditemani sahabat saya May, dan rekannya Nengah yang senantiasa sibuk dengan tongsisnya, kami berempat memasuki gedung yang resmi digunakan sebagai gallery sejak tahun 2008 ini.
Cuaca panas yang semula terasa diluar, sontak menjadi tidak terasa tatkala kami mulai memasuki bagian dalam gallery. Apa karena jejalan saya kali ini ditemani tiga gadis cantik sehingga terasa sejuk…, ohh ternyata ini hanya ulah beberapa kipas angin besar menggantung di langit-langit inilah yang tanpa henti mengalirkan udara didalam ruangan. Memang untuk interior gallery yang menghindari pengaruh debu dan kotoran dari luar, pencahayaan dan penghawaan buatan mutlak diperlukan guna memberi kenyamanan pengunjung yang memadati didalam.

Bangunan ini terbagi atas beberapa ruang. sebelah kiri setelah pintu masuk kita akan menemui beberapa karya seni instalasi. Patung dan relief yang tersebar acak didalam ruangan dengan lantai yang dominan abu-abu, warna alami dari hasil ekspose plester semen tanpa difinish material lain. Lukisan-lukisan unik menempel di dinding, serta ada pula sebuah kap mobil terpajang diantara kanvas berukuran besar, yang sekaligus juga diolah menjadi media gambar. Cukup menarik memang.
Berlanjut naik ke lantai dua, kami disuguhi lukisan tiga dimensi yang kerap dijadikan ajang foto para pengunjung. Anda harus rela mengantre bersama para muda mudi guna mendapatkan foto dengan latar lukisan kontemporer berupa manusia berkepala singa atau burung garuda. Namun saya justru tertarik dengan pemandangan dari void berdinding kaca yang mana saya bisa melihat dengan leluasa aktivitas serta pose lucu selfie ketiga sahabat saya di lantai bawah.
Selain memajang lukisan kontemporer dan seni instalasi tiga dimensi, pada bagian belakang gallery juga terdapat raung terbuka penuh dengan rumput hijau serta pedestrian yang menarik. Disini pengunjung bisa leluasa berpose dengan latar relief dinding maupun patung-patung “nyeni” yang ada disana. Sosok patung lelaki yang berdiri miring dengan warna hijau kehitaman adalah paling ramai diapresiasi pengunjung, maklum saja karena sepertinya karya itu adalah maskot dari galery ini, hehehe.
Tiket masuk seharga lima ribu rupiah kiranya cukup pantas bagi anda yang memang menyukai gallery seni. Apalagi didukung penataan interior yang cukup berkelas, serta usaha merenovasi bangunan sebagai salah satu upaya menghidupkan dan memelihara bangunan konservasi. Hal semacam inilah yang kadang terasa mengesankan dan cukup menarik untuk disimak.
Puas menyambangi art gallery dengan menyusuri lorong-lorong jalan di kawasan kota tua membuat kami merasa lapar kembali. Dan sepertinya pembahasan beragam makanan khas macam Lumpia pula bandeng Semarang membuat saya menelan ludah. Tanpa tunggu lama, kami melangkahkan kaki menuju area parkir dengan segala macam bayangan menu kuliner yang terlintas dikepala.
